( DyBL - Bagian I )
( ⚘ )
Ketika eksistensi lampu dunia tergantikan oleh temaram sang rembulan, seharusnya para makhluk hidup memanfaatkan itu untuk beristirahat. Membuang lelah yang mulai melingkupi mereka, agar siap menghadapi hari esok. Akan tetapi, hukum alam tersebut tak diindahkan oleh satu keluarga yang kini terdengar kegaduhan dari dalam rumahnya.
Tetangga yang terganggu akan kerecokan keluarga itu hanya dapat bersabar. Berupaya menganggap hal tersebut lumrah karena kerap kali terjadi. Menjadikannya angin lalu tanpa memberi perhatian lebih. Sampai-sampai tak menyadari ada sepasang manusia kembar-di dalam rumah keluarga rusuh-yang saling melindungi diri; Langit dan Semesta namanya.
Kedua anak yang berselisih umur tujuh menit itu saling mendekap demi menyalurkan rasa aman. Sebagai sulung, Langit mengelus punggung Semesta dengan telaten. Harap-harap gadis tersebut dapat lebih tenang—walau ia sendiri sebenarnya pun takut.
"Nggak apa-apa, Ta," bisik Langit terus-menerus. "Sebentar lagi ..., sebentar lagi mereka pasti berhenti ...," imbuhnya, tak terlalu yakin.
Belum sempat semenit kalimat Langit mengudara, suara bantingan pintu kamar pemuda itu mengejutkan keduanya. Membuat pelukan mereka mengencang. Namun, tak berlangsung lama, sebab Guntur—sang ayah—menarik paksa Semesta. Mengakibatkan Langit hampir terjerembap jika Kejora, ibunya, tak lebih dulu menahan dan merengkuh.
Semua terlalu mendadak. Langit belum siap. Pikiran anak laki-laki tersebut kosong. Matanya hanya jatuh pada wajah Semesta yang menyiratkan ketakutan tak terkira, kala isakan nyaring dara itu menginvasi rongga telinganya.
"Oke, kita cerai, tapi Tata ikut saya," ucap Guntur yang kontan membuat Langit mematung. Syoknya bertambah. Fokus pemuda itu kini benar-benar hilang ditelan suasana.
Tanpa menunggu barang satu tanggapan, Guntur beranjak sembari mengeret Semesta. Sebagai seorang ibu, Kejora tak tinggal diam. Ia tidak ingin berpisah dengan buah hatinya.
Kejora berusaha menyusul. Memukul-mukul tangan Guntur agar terlepas dari anaknya. Namun, alih-alih berhasil, wanita itu hanya membuat si pria kian murka. Sampai mengakibatkannya harus didorong hingga tersungkur.
Mendapati sosok Kejora di lantai, atensi Langit kembali. Tangan anak laki-laki tersebut spontan mengepal. Mulutnya mengeluarkan geraman pelan. Ia tidak terima dengan perlakuan kasar Guntur kepada dua perempuan terkasihnya—apalagi saat menangkap ketakinginan Semesta yang enggan pergi—dan ingin membalas semua itu. Akan tetapi, keadaan Kejora yang sulit untuk bangkit membuat Langit mengurungkan niat.
"Bunda nggak ada yang luka, kan?" Langit bersimpuh. Membantu ibunya supaya bisa mendudukkan diri.
Pertanyaan Langit tak Kejora jawab. Ia hanya menarik anak itu mendekat. Mendekapnya erat-erat. Mengakibatkan Langit dapat mendengar tangisan pilu lagi.
Dan selanjutnya, Langit tahu bahwa mulai malam ini hidupnya akan berubah ....
( ⚘ )
Latihan dinyatakan selesai tepat ketika suara peluit Tito─guru olahraga sekaligus pembina klub basket SMA Candramawa, satu dari sekolah paling bergengsi di ibu kota─berkumandang. Beberapa anak laki-laki yang tadi menggumuli strategi permainan impuls menghentikan aktivitas. Membubarkan diri dari lapangan basket dalam ruangan menuju parkiran atau ruang ganti. Mereka siap beristirahat agar kembali fit di liga basket antar-SMA yang digelar besok malam.
"Gue yakin, besok kita bakal menang," kata Doni, sambil terus melangkah menuju ruang ganti, dengan percaya diri.
Detzki yang berada di sebelah kirinya mengangguk setuju. "Iya, supaya bisa ditraktir Pak Tito," yakin pemuda yang mempunyai garis darah Tionghoa itu.
Senyum geli Langit tampilkan usai mendengar penuturan Detzki. Sahabatnya yang punya bentuk tubuh gempal itu merupakan pesimis. Namun, untuk urusan makanan, ia tak akan ragu menumbuhkan optimistis.
Saat mereka hendak sampai ke tempat tujuan, Doni menoleh ke kanan, posisi di mana Langit berada. "Kalau emang kita menang, lo serius nggak bisa ikut makan-makan?"
"Iya," jawab Langit mantap tepat tatkala ketiganya memasuki ruang ganti. "Gue udah janjian sama Nyokap, sama Tata dari Minggu lalu."
Tangan Doni meraih botol air mineral dari tasnya ketika ia melontarkan kalimat interogatif lagi, tetapi kali ini tujuannya untuk Detzki, "Kalau lo, Ko? Misalnya menang, bakal ikut, kan?"
"Iya," sahut lelaki yang dipanggil dengan sebutan koko itu.
"Oke, aman deh gue kalau gitu."
Kurvaan bibir Langit kembali sekelar mendengar kalimat Doni. Ia mengerti benar apa yang membuat sejawatnya sejak SMP itu berwaswas. Tak lain dan tak bukan alasannya pasti karena ketegangan Doni dengan ketua klub basket, Zhan.
Setelah menyelesaikan kegiatan bersih-bersih dan ganti baju, Langit duduk di bangku panjang yang berada di tengah ruangan sekali lalu memakai arloji. Selepas itu, tangan lelaki tersebut meresek tasnya demi mengambil botol parfum. Kemudian, menyemprotkan minyak wangi itu ke beberapa bagian tubuh. Mengakibatkan aroma mint lantas menusuk hidungnya, juga menciptakan sensasi dingin di kulit. Membuat Langit kontan dilingkup rasa rileks.
Sembari menunggu sahabat-sahabatnya selesai, Langit menyempatkan diri memainkan ponsel. Jari-jemari pemuda tersebut aktif mengusap layar untuk menemukan kontak Semesta.
"Yuk, cabut," ajak Detzki berbetulan setelah pesan Langit terkirim.
Ketiganya beranjak berbarengan usai pamit pada anggota klub yang masih tersisa di ruangan. Mereka berjalan beriringan menuju parkiran khusus siswa yang terletak di bagian kanan sekolah.
"Gue duluan," permisi Langit setelah menaiki sepeda motor dan memakai helm.
Detzki menyambut, "Yoi."
"Hati-hati, Bro." Doni mengingatkan seraya menaiki kendaraannya.
Anggutan Langit keluarkan sebagai respons. Lalu remaja berumur enam belas tahun itu mulai membelah jalan raya. Melewati dan terlewati oleh kendaraan lain. Menuju rumah yang ia tempati bersama Kejora.
Sudah dua tahun berlalu sejak pertengkaran malam itu. Langit kini tumbuh menjadi putra yang cemerlang. Berbagai prestasi ia raih. Menyebabkannya menjadi salah satu murid teladan. Ditambah wajah atraktifnya, Langit dinobatkan sebagai salah satu selebritas sekolah. Membuat namanya terpampang jelas di garis sejarah SMA Candramawa.
Namun, secerah apa pun Langit, ia hanya bidang tak bermakna tanpa Semesta. Sedari orang tua mereka cerai beberapa bulan selepas konflik tempo itu─berkat pemalsuan data dan suapan─hak asuh Semesta jatuh pada Guntur. Dengan kekuasaan tersebut, pria itu melarang ketat pertemuan antara si anak perempuan dengan ibu dan saudaranya. Bahkan untuk sekarang, hampir tiga bulan Langit dan Kejora tak bertemu Semesta.
Meski begitu, Langit tidak putus asa. Oleh karena hal tersebut, ia menyuruh Semesta berdalih mengerjakan tugas kelompok supaya bisa datang ke pertandingan besok malam─apalagi kali ini tim Candramawa akan melawan klub basket dari sekolah Semesta. Lelaki itu akui, perbuatan ini tak benar. Akan tetapi, memang tak ada pilihan lain biar mereka dapat bertemu, karena kehampaan yang ada telah lebar mencuat. Sehingga melahirkan kerinduan yang makin menguat.
Sepeda motor Langit berhenti di depan gerbang berwarna coklat gelap setelah lima belas menit berkendara. Pemuda tersebut turun dari alat transportasi. Kemudian, membuka pintu masuk itu agar dapat memasuki area sebuah kediaman yang cukup besar di dalamnya.
Rumah dengan desain minimalis tersebut merupakan tempat yang Langit tinggali sejak lahir. Rupa bangunan berwarna krem dan coklat gelap itu sudah jauh berbeda dari yang dulu, sebab Kejora merenovasinya semenjak menjadi ibu tunggal. Bermaksud menghilangkan semua pedih yang membuah di masa lalu.
Deritan gerbang yang digeser Langit menyita perhatian Kejora. Wanita itu telah menanti kehadiran putranya sejak tadi. Ia keluar melalui pintu garasi dengan sebuah senyum hangat.
"Kamu langsung masukin aja motornya. Biar Bunda yang tutup gerbang," tutur Kejora yang langsung dibalas sengguk dari Langit. "Langsung mandi. Udah mau magrib. Habis salat baru kita makan."
"Iya, Bun," turut Langit. Ia mencium tangan Kejora terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam rumah dan pergi ke kamarnya.
Tas yang menjadi penampung bukunya ditaruh Langit di dekat meja belajar; tempat di mana benda tersebut biasa berada. Untuk seukuran anak laki-laki, kamar pemuda itu cukup apik. Mengingat Kejora yang selalu marah saat melihat ruangan berantakan, Langit dan Semesta dididik untuk menjaga kebersihan dan kerapian dari dini.
Sunyi kamar pecah ketika suara deringan ponsel terdengar. Mengakibatkan kegiatan Langit yang hendak mandi terhenti.
( ⚘ )
Sorak-sorai penonton sudah terdengar di seluruh penjuru gedung. Pertandingan akan segera dimulai dan saat ini Langit tengah mencoba menghubungi Semesta─setelah mendapatkan kabar dari Kejora yang berada di tribune─bersama sahabat-sahabatnya yang lain; Juna, Teo, Winako, dan Rayan─bahwa tak ada tanda-tanda dari gadis itu.
"Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif─"
Mendengar suara operator yang menjawab teleponnya, Langit tak mampu untuk menahan geraman pelan yang ingin keluar. Jari-jari pemuda itu melingkar kuat pada ponselnya. Menyalurkan kefrustrasian dari sana. Ia mulai khawatir. Takut rencana kali ini akan gagal seperti dulu-dulu.
Jujur saja, sampai sekarang, sebenarnya Langit masih belum bisa memaafkan Guntur. Ia masih murka dan kecewa atas perbuatan pria tersebut di masa lalu. Namun, juga tak bisa dimungkiri, bahwa Langit pun menyalahkan diri sendiri. Andai dua tahun lalu ia dapat menahan kepergian Semesta, pasti tak akan ada gelebah yang menaungi mereka.
Tak mau terendap dalam emosi, Langit kembali berfokus pada ponselnya. Ia mengirim pesan singkat untuk Kejora.
Kalimat-kalimat yang terkoherensi di layar ponselnya berhasil melepaskan Langit dari belenggu keresahan. Kini semangatnya yang tadi sempat padam kembali menguap. Ia akan berusaha memenangkan pertandingan ini ... agar Semesta bangga.
( ⚘ )
"Langit!" panggil Falin, seorang anggota pemandu sorak Candramawa. Bersama senyum manis, dara berkucir ekor kuda itu berlari menghampiri si pemilik nama yang hendak memasuki ruang ganti. Ia mengepalkan tangan dan menjulurkannya setelah sampai di depan lelaki tersebut. "Good job!"
Sudut bibir Langit tertarik membentuk senyuman. Tangannya ikut menggumpal. Lantas ditubrukan dengan milik si gadis. "Makasih."
"Sama-sama," sahut Falin sambil beranjak dan melambaikan tangan.
Seperginya Falin, Langit memasuki ruangan tujuannya. Masih dengan bibir yang melengkung, pemuda itu mulai bersih-bersih. Kegembiraan tak bisa lepas dari wajahnya.
Pertandingan tadi berlangsung lancar. Keberuntungan sepertinya berpihak pada tim basket Candramawa. Membuat kemenangan telak berada di tangan mereka. Mengakibatkan para anak laki-laki tersebut─terutama Langit yang mencetak skor paling banyak─terus diberondongi ucapan selamat oleh orang-orang, seperti yang dilakukan Falin tadi.
Butuh waktu kurang-lebih sepuluh menit untuk Langit siap dan rapi kembali. Pemuda itu mengambil tas dan mencangklongnya ke punggung. Aktivitas tersebut sontak mengambil perhatian Zhan.
"Pak Tito, 'kan, mau traktir kita, Lang. Lo serius langsung cabut nih?"
Tanggapan pertama dari Langit adalah mengangguk. Kejora juga sudah menjanjikan akan makan di B&J Hotel, perusahaan keluarga mereka, kalau ia menang meski tak ada Semesta. "Nyokap udah nunggu, Bang."
Zhan menghela napas. "Sayang banget. Padahal lo yang bikin kita menang malam ini."
"Lain kali aja, ya, Bang."
"Ya, udah hati-hati," ujar Zhan seraya memberi satu tepukan pada punggung Langit.
Kemudian, Langit undur diri. Mengeluari gedung olahraga─sebelum berpamitan kepada sahabat-sahabatnya yang tadi menemani Kejora. Ia memerlukan waktu sekitar lima menit untuk menemukan sepeda motornya di tengah keramaian parkiran.
Tadi Kejora memesankan agar Langit langsung pergi setelah selesai berberes. Mengingat mereka tidak datang dengan kendaraan yang sama. Oleh karena itu, ia berusaha bergerak cepat supaya wanita itu tak menunggu terlalu lama. Akan tetapi, aktivitas Langit diinterupsi oleh sebuah tepukan pada punggungnya. Hingga dengan terpaksa, lelaki tersebut menyempatkan waktu untuk membalikkan badan.
Di detik selanjutnya, netra Langit kontan menangkap sosok seorang gadis rupawan; berambut panjang dan halus yang terurai indah, serta kulit terang yang kelihatan bercahaya di bawah sinar rembulan. Seingatnya, dara itu merupakan salah satu anggota pemandu sorak dari sekolah Semesta.
"Iya?" Langit memulai pembicaraan.
Si gadis rupawan menyelipkan rambut ke belakang telinga. Matanya menyiratkan sebidang permohonan. "Bisa tolong gue?"
"Tolong apa?"
"Tolong anterin gue pulang dong. Tadi gue nggak bawa mobil dan temen-temen malah ninggalin. Udah gue chat, mereka bilang, nggak bisa cepet puter balik karena kejebak macet. Gue udah harus pulang sebelum jam sembilan malam nih ... atau gue bakal dikunciin pintu," papar si dara diikuti bibir yang menukik.
Dahi Langit sedikit mengernyit. Ia kira perempuan itu adalah kenalan Semesta yang ingin mengabarkan sesuatu. "Serius nggak ada yang lo kenal lagi di sini?"
Kepala si gadis rupawan bergerak naik-turun. Rautnya makin menyiratkan kesedihan. "Iya, bener-bener nggak ada yang gue kenal lagi di sini ...."
"Lo, 'kan, juga nggak kenal gue," kata Langit, tak langsung mengiakan.
Selama beberapa detik, mimik nelangsa dara di depannya hilang. Ia menunduk dalam. Lalu kembali menengadah dengan sorot yang kian sarat permohonan. "Lo yang paling deket dari tempat gue nunggu tadi. Yang lainnya juga pada pulang sama temen. Nggak enak kalau gue mintain tolong, sementara lo, 'kan, sendirian."
Perintah Kejora masih terngiang di telinga Langit. Laki-laki itu ingin menolak. Namun, ketika menyadari apa yang dikatakan si gadis fakta adanya, ia jadi tak tega. Mana lagi rambut panjang perempuan tersebut mengingatkannya pada Semesta.
"Ya, udah. Ayo."
Persetujuan Langit mampu menciptakan seulas senyum di wajah dara itu. Mengakibatkannya langsung menaiki sepeda motor si pemuda tanpa lupa berterima kasih.
Sebelum jalan, Langit berujar, "Gue nggak bawa helm dua."
"Nggak pa-pa." Si gadis rupawan memajukan tubuh. Menyejajarkan mukanya dengan Langit yang sedikit memiringkan posisi kepala. Hingga jarak wajah keduanya hanya menyisakan beberapa sentimeter. "Di dekat rumah gue jarang ada polisi ngawas kok."
Langit berdeham, berusaha tetap tenang. Kemudian, kembali mengarahkan wajah ke depan. "Oke ...."
Tanpa membuang waktu lebih banyak, sekarang Langit benar-benar menggerakkan sepeda motornya. Di tengah perjalan, obrolan mengenai alamat rumah terbangun di antara dua remaja itu. Sampai akhirnya mereka saling mengenalkan diri.
"Gue lihat tadi lo yang ngecetak skor paling banyak." Aurora─nama si gadis rupawan─menatap Langit menggunakan kaca spion. "Hebat."
"Makasih." Bibir Langit membentuk kurvaan tipis. "Tapi emangnya lo nggak kesel?"
Alis Aurora tertaut. "Kenapa mesti kesel?"
"Tim sekolah lo jadi kalah."
"Oh, itu." Masih dari kaca spion, Aurora tampak menggelengkan kepala. "Nggak sih. Toh performa mereka emang nggak bagus. Jadi, dari awal gue udah nggak berharap banyak."
Bertepatan dengan selesainya Aurora menyampaikan alasan, roda kendaraan Langit berhenti di depan sebuah rumah besar dengan nomor tepat seperti informasi yang diberikan si gadis. Melalui sela-sela pagar tingginya, indra penglihatan pemuda itu dapat melihat desain mewah dari bangunan tersebut.
"Ini rumahnya?"
"Iya." Aurora turun dari sepeda motor. "Makasih udah nganterin gue."
Langit mengangguk sekali. "Sama-sama."
"Langit ...." Aurora tak langsung masuk. Dara itu memilih untuk berdiri dengan kaki yang berubah tumpuan setiap tiga sekon. "Sekarang kita temanan, kan?"
Tanpa balasan verbal, Langit kembali memberi sebuah anggutan.
Garis senyum Aurora muncul lagi. Ia merogoh tas. Mengeluarkan benda persegi panjang dari sana. Lantas menyerahkan benda itu kepada Langit. "Kalau gitu, kita harus tetap berhubungan. Tulis kontak lo."
Tangan Langit meraih ponsel Aurora. Melakukan permintaan dara itu. Lalu memberikan alat komunikasi tersebut kepada empunya. "Gue pulang dulu."
Lengkungan bibir Aurora makin lebar tatkala menerima kembali ponselnya. "Iya, Lang. Hati-hati. Nanti gue chat, lho. Makasih, ya, sekali lagi."
"Iya, sama-sama."
( ⚘ )
"Maaf, aku telat, Bun," kata Langit sekelar beruluk salam pada Kejora. Ia menempatkan diri tepat di kursi yang berhadapan dengan wanita itu.
"Nggak pa-pa, tapi kenapa bisa telat? Ngobrol dulu sama temen?" tebak Kejora.
"Bukan ...." Langit menarik menu yang berada di tengah meja. "Bunda udah pesan?"
"Udah." Kejora menaikturunkan kepalanya. "Bunda juga udah pesenin makanan kesukaan kamu di menu hari ini, tapi kalau emang mau yang lain, pesen aja."
"Nggak usah deh." Langit mengembalikan menu ke tempat semula. "Aku juga mau makan itu kok."
"Oh, ya, udah." Tangan Kejora bertengger di meja. Membiarkan dagunya bertopang di sana. Indra penglihatan wanita itu mengarah lurus ke arah Langit. "Bunda masih penasaran deh, Bang, kenapa kamu telat. Biasanya, 'kan, selalu tepat waktu."
"A-ku nganterin ... cewek pulang."
Sudut bibir Kejora memberontak ingin tertarik ke samping. Namun, dengan berbagai usaha, ia menahannya. "Cewek kamu?"
"Bukan. Aku nggak kenal dia, tapi kayaknya anggota cheers dari sekolah Tata," jelas Langit. "Aku sebenarnya nggak mau nganterin karena nggak mau Bunda nunggu lama, tapi aku jadi ingat Tata. Bayangin kalau Tata yang di posisi dia dan yang Tata mintain tolong nggak mau nganterin."
"Oh, gitu, ya." Kini senyuman Kejora benar-benar terukir. Bukan lengkungan jenaka seperti niatnya tadi, tetapi sebuah kurvaan bangga. Menyadari anak laki-lakinya sudah tumbuh dewasa. "Tiba-tiba Bunda jadi seneng deh."
Kernyitan timbul di wajah Langit. "Kenapa?"
"Karena ternyata anak Bunda jadi laki-laki yang gentle."
Langit tertawa kecil dengan kepala sedikit tertunduk. "Makasih, Bun."
Beberapa sekon usai Langit menyelesaikan kalimatnya, seorang pria dengan pakaian khas koki mendatangi mereka. Membawa hidangan yang dipesan Kejora. Menyebabkan wanita itu spontan memamerkan jejeran gigi rapinya setelah menyadari bahwa sosok tersebut merupakan orang yang dikenalnya, Ridwan─executive chef yang paling dekat dengan Kejora sepanjang B&J HR berdiri.
Ridwan tersenyum sopan. "Selamat menikmati, Bu, Mas."
"Ya, ampun Chef Ridwan repot-repot aja," ucap Kejora penuh ramah-tamah.
"Nggak pa-pa. Ibu, 'kan, jarang-jarang datang ke sini," sahut Ridwan sembari menata makanan di atas meja.
"Makasih, lho, ini." Kejora memperhatikan setiap hidangan yang tersusun. Kemudian, kembali menaruh atensi pada pria di depannya. "Ngomong-ngomong Chef Ridwan apa kabar?"
"Baik, Bu. Alhamdulillah." Kepala Ridwan terangguk sekali. Ia menatap pasangan ibu dan anak itu bergantian. "Bu Jora sama Mas Langit sendiri gimana?"
"Alhamdulillah, kami juga baik, Chef. Iya, 'kan, Bang?"
Langit yang sejak tadi memilih diam, mengulas bibirnya membentuk kurvaan tipis sambil menganggut. "Iya."
"Syukur alhamdulillah. Ya, udah deh, Bu, Mas, saya permisi dulu," pamit Ridwan.
Kejora menjawab, "Iya, Chef. Makasih, ya, sekali lagi."
"Bunda ...," panggil Langit sekelar keduanya kembali memiliki ruang sendiri.
"Iya, Bang?"
Netra Langit berfokus pada seporsi hidangan yang terletak di antara piringnya dan Kejora. "Bunda kenapa pesan tiga makanan?"
"Oh, nggak pa-pa." Kejora menggeleng kikuk. Cahaya kurva tanda kebahagiannya meredup. "Bunda pengen aja."
Napas Langit terhela dalam, lalu terhembus dengan nyaring. Kepalanya tertunduk. "Maaf, ya, Bun."
Air muka Kejora menyendu. "Kenapa minta maaf, Bang?"
Langit sedikit menengadah. "Karena aku udah ngajakin Bunda nonton pertandingan supaya ketemu Tata, tapi ternyata nggak jadi."
"Nggak usah minta maaf, Bang. Itu bukan salah kamu kok."
"Tapi─"
"Bukan salah kamu, Lang," potong Kejora cepat; dengan satu tarikan napas. Mimiknya tampak mengeras. "Udah, ya, makan."
Langit patuh. Ia benar-benar bungkam. Mengetahui bahwa ibunya sungguhan tak menyukai perbincangan tadi. Sebab ketika Kejora sudah menyebut namanya, maka pertanda bahwa wanita itu sedang serius dan tidak ingin ditentang.
"Karena Tata nggak datang, sebenernya ada sedikit keuntungan buat Bunda, lho." Kejora membuka topik baru dengan nada lebih santai. Kali ini senyum hangatnya pun telah muncul lagi.
Namun, alih-alih mendapat sahutan yang setimpal, Kejora hanya diupahi Langit yang terlihat kebingungan karena perubahan suasana yang drastis. Anak laki-laki tersebut tetap geming. Tak punya ide sama sekali untuk membalas.
"Bunda jadi bisa fokus dukung sekolahmu aja. Kalau Tata datang, 'kan, Bunda bingung mau jadi suporter yang mana," imbuh Kejora masih dengan intonasi yang sama. Ia tetap tak menyerah untuk meraih atmosfer hangat yang sempat kabur. Membuatnya sekarang dihadiahi tawa si buah hati.
( ⚘ )
Langit menaiki ranjang. Mengambil ponselnya yang terletak di atas nakas. Lantas memeriksa notifikasi benda canggih itu. Banyak pesan yang diterimanya malam ini. Akan tetapi, tak ada satu pun dari Semesta. Membuat Langit langsung diserang penasaran mengenai keadaan gadis tersebut. Ia bertanya-tanya di dalam hati apa yang terjadi sehingga Semesta tidak memberi kabar sama sekali.
Tak mau dirundung gelisah sehingga mengganggu waktu tidurnya, Langit memutuskan untuk menelepon lagi. Dering tanda tunggu menusuk rongga telinga pemuda itu di detik kemudian. Menandakan bahwa nomor yang sejak tadi ia coba hubungi sudah aktif.
"Halo," sapa Langit saat dirasanya telepon telah tersambung.
"Halo, Lang," balas Semesta di seberang sana. Suaranya terdengar berbisik.
Menyadari itu, kernyitan tipis menghiasi kening Langit. "Kamu nggak pa-pa?"
"Ng-nggak pa-pa kok."
"Terus kenapa ngomongnya pelan gitu?"
"Ayah udah tidur. Takut kebangun."
"Oh, gitu."
"Maaf, ya, tadi aku nggak datang. Ayah nggak bolehin," ucap Semesta dengan nada penuh penyasalan. Menyebabkan Langit impuls terbayang ekspresi nestapanya.
"Nggak apa-apa. Udah malam juga. Emang harusnya Ayah nggak izinin." Langit mencoba pengertian. Tak ingin mengakibatkan adiknya kian diterpa rasa bersalah. "Kalau abis pulang sekolah besok kita ke B&J atau T'Sky─bakery-nya Bunda, kamu bisa?"
Hening menghiasi perbincangan mereka selama beberapa detik. Sepertinya Semesta sedang menimang.
"Oke, besok."
Dua kata itu mampu menimbulkan senyum di wajah Langit. "Besok aku jemput kamu."
"Oke," setuju Semesta."Gimana pertandingan tadi, Lang?"
"Aku menang dong," kata Langit penuh jemawa.
"Serius? Wah, hebat! Aku ikut senang dengernya. Selamat, ya, Lang. Aku bangga sama kamu," ujar Semesta dengan ketulusan maksimal.
Sudut bibir Langit makin tertarik ke samping. Gembira karena keyakinannya benar-benar terjadi. "Kamu nggak kesel? Tim sekolah kamu, 'kan, jadi kalah."
"Nggak kok. Aku malah seneng banget. Apalagi tadi Bunda nonton. Bunda pasti juga seneng banget lihat kamu menang." Suara Semesta keluar tanpa ragu. Semangatnya terdengar menggebu. Menandakan bahwa dara itu betul-betul jujur dengan kalimatnya. "Udah, ya, Lang. Tidur kamu. Pasti capek, kan?"
"Iya, kamu juga tidur, Ta. Makasih, ya."
"Iya, aku tidur juga. Selamat malam, Langit."
( Dia yang Bernama Langit - Bagian I )
Hai, guise!
Seperti yang M bilang di forewords, ini tuh proyek event bulanan CreaWiLi. Btw, ini mini series sih. Pokoknya sedikit banget deh chapternya dibanding cerita lain.
Hehe.
See you! ♡
The simple but weird,
MaaLjs.
20 Mei 2019 | 06.14
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro