Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Enam

Pagi itu suara denting sendok beradu tetap menjadi vokal utama yang mengisi keheningan di meja makan. Tak biasanya Dani membiarkan sarapan mereka sepi tanpa canda tawa, membuat Sekar sesekali melirik ke arah ayahnya yang terlihat enggan menyantap makanan kesukaannya. Sekar tahu, ada sesuatu yang mengganggu pikiran ayahnya. Dan dia sedikit yakin, itu ada hubungannya dengan kejadian di mana ia demam dan izin masuk sekolah.

"Nanti Ayah anter kamu sampai depan kelas."

Sekar membulatkan netranya, menatap lurus ke arah di mana ayahnya berada. Dani, ia memilih untuk minum segelas air tanpa membalas pandangan anaknya. Seperti tak ingin ada kalimat bantahan, Dani langsung beranjak dari kursinya kemudian mengambil jaket serta kunci motor yang tergantung di dinding dekat meja makan.

"Gak usah buru-buru, Ayah akan tunggu di depan. Habiskan dulu sarapan kamu, jangan sampai tersisa."

Nada dingin dari ayahnya seakan asing di pendengaran Sekar. Dani yang biasanya selalu menularkan aura positif karena lawakan garingnya, kini seakan berubah menjadi sosok sedatar dinding tak berpori. Sekar tak bisa melakukan apa-apa selain berusaha menikmati sarapannya sampai habis sambil menghindari pandangan dari Reina yang dengan terang-terangan menatap Sekar sambil berkaca-kaca.

"Ayah anter kamu sampe depan kelas gapapa, kan?" Reina mulai membuka obrolan.

Sekar membenarkan letak kacamatanya, ia mengangguk pelan. "Gapapa. Walau itu bisa jadi bahan mereka untuk merendahkan aku lagi."

Mendengar jawaban Sekar, Reina terdiam, ia menyadari bahwa ucapan Sekar itu logis adanya. Bagaimana jika putrinya malah diejek karena diantar oleh ayahnya?

"Tapi gak papa. Akan lebih baik jika Ayah tenang karena aku sampai di kelas dengan selamat. Aku berangkat, Bu."

Suasana di rumah itu sangat berbeda dengan biasanya, aura hitam seakan mendominasi di tiap ruangan. Tiap anggota keluarga di rumah itu mempunyai pikiran masing-masing, tetapi memilih untuk diam dan mengikuti alur yang bahkan mereka tak tahu akan dibawa ke mana. Dani yang terus memikirkan bagaimana caranya melindungi Sekar, Reina yang terus memikirkan untuk membalas perbuatan orang-orang yang melukai Sekar, serta Sekar yang terus berusaha untuk menerima dan memaafkan semua yang telah menyakitinya.

Setulus itu. Namun, orang lain tak membutuhkannya. Orang lain hanya butuh melihat Sekar dalam keadaan terpojok, membuat Sekar merasa terintimidasi, kemudian berakhir dengan Sekar yang menangis tersedu-sedu sambil berlari menjauhi mereka.

Maka dari itu, sebisa mungkin Sekar mencoba untuk berubah. Dimulai dari poin tiga, di mana Sekar berusaha untuk tidak pernah menangis lagi di depan para musuh berkedok teman. Maka dari itu, Sekar mencoba untuk tersenyum lebar sambil menatap mereka bak orang yang mempunyai gangguan mental. Baru dua hari Sekar menerapkan itu saat ia SMA, tetapi lagi-lagi seseorang berhasil meruntuhkan segala usahanya. Salsa tiba-tiba datang dan menambahkan ketakutan pada diri Sekar, membangkitkan rasa trauma yang padahal sudah berhasil dilewatinya. Ditambah dengan teman-teman seangkatannya yang sudah memberikan penilaian buruk dari awal pertemuan mereka.

Ia menyeret langkahnya, kemudian menyusul ayahnya yang sudah duduk di atas kendaraan beroda dua. Dan lagi-lagi, Sekar merasa asing dengan pria paruh baya yang berada di hadapannya. Bahkan Sekar tak memegang pinggang Dani seperti biasa, ia lebih memilih memegang besi di belakang jok motor untuk menumpu tubuh bulatnya itu.

Benar saja, Dani memasukkan motornya ke parkiran sekolah yang berada di belakang lapangan. Setelah memarkirkan motornya, Dani langsung turun kemudian melepas helm, disusul dengan Sekar yang melakukan hal serupa. Sekar berjalan terlebih dahulu, matanya mulai membaca papan kecil yang berada di atas pintu tiap kelas untuk menemukan ruangannya. Dani masih setia berjalan di belakang Sekar, enggan menyejajarkan langkahnya di sebelah anaknya.

Segerombol pasang mata mulai mengintai keduanya, menatap dengan terang-terangan sambil memberikan pandangan mengejek juga tertawa sinis. Sekar tak acuh, ia lebih memilih meneruskan langkahnya untuk mencari ruangan kelas. Sedangkan Dani, rasanya ia ingin sekali mencolok mata anak-anak remaja yang tidak tahu sopan santun itu. Bagaimana bisa mereka menatap Sekar dan Dani dengan sangat angkuh seperti itu? Dani memandang punggung lebar Sekar yang masih berjalan di depannya, kemudian ia menghembuskan napasnya perlahan.

Andai saja ia tak bangkrut, andai saja ia masih berjaya seperti dulu, anaknya tak akan mengalami kejadian seperti itu.

"Ayah, aku udah sampai. Ayah bisa pulang sekarang. Ayah sudah puas, kan? Lihat, gak ada yang berani gangguin aku karena aku diantar oleh Ayah."

Setelah itu Sekar tersenyum ceria, kemudian mencium tangan dan pipi ayahnya, seperti biasa.

Dani mengangguk, ia langsung berbalik dan segera berjalan meninggalkan Sekar yang masih terdiam di depan pintu kelas.

Satu hal yang menganggu pikiran Dani.

Mengapa nada bicara Sekar tadi terdengar dingin?

Mengapa Dani merasa bahwa Sekar tak nyaman padahal sudah dilindungi olehnya?


Bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro