Dia Pikir, Burung Tidak untuk Hidup di Palung
Jika kamu adalah seekor burung yang terbiasa terbang bebas di antara kanvas indah semesta, bagaimana perasaanmu ketika menghantam awan mendung, hingga berakhir mengenaskan di kedalaman palung?
Sesak, kecewa, tak terima. Begitulah yang dirasakan oleh seorang Elang Maharaja saat ini.
"Bu ...." Sudah berkali-kali nada tak percaya itu mengudara di langit-langit rumah bercat cokelat yang sudah mengelupas di sana-sini. Lagi, Elang menghadang langkah Ibu yang hendak pergi ke pintu depan dengan keranjang dagangan di tangan.
Berhasil. Kini, Ibu sepenuhnya menatap raut masam Elang. Anak laki-laki itu menggelengkan kepala. Rasa putus asa mulai menggantung di pelupuk matanya. Ia sudah membicarakan keputusan Ibu sejak minggu-minggu yang lalu, tetapi tidak ada tanda-tanda bahwa ibunya akan tersentuh dan berubah pikiran. Embusan napas berat keluar dari mulut Elang. Mustahil, ya?
Mendapati putra sematawayangnya malah membisu, lekas saja Ibu beranjak untuk meneruskan langkah yang sempat tertunda. Tangan kanan yang mulai keriput itu menggapai gagang pintu. Akan tetapi, Elang kembali menghentikannya dengan menggenggam pergelangan tangan sang ibu. "Bu, Bu ... Ibu yakin mau sekolahin aku di sana? Ibu enggak salah pilih?"
"Seragam sudah dipakai, ransel sudah di pundak ... dan kamu masih nanya itu? Kamu pikir, Ibu sedang dihipnotis ketika mendaftarkanmu ke SMA Pertitas?" Ibu menatap kedua manik hitam legam putranya dengan sorot yang memohon pengertian. "Daripada terus-terusan mempertanyakan sesuatu yang sudah jelas jawabannya apa, lebih baik kamu antarkan dagangan ini ke warung Ceu Nenih sekarang juga, biar langsung sekolah dan tidak datang terlambat. Ini hari pertamamu masuk seko ...."
"Sekolah?" sambar Elang dengan nada yang sangat tidak bersahabat. Kedua manik hitam legam itu mulai berhias bara api yang berada di luar kendali. Elang mengempaskan pergelangan tangan Ibu yang sedari tadi dipegangnya. "Aku maunya belajar di sekolah yang bisa menjamin masa depanku, Bu. Aku mau jadi orang sukses! Aku mau diterima di perguruan tinggi yang bergengsi, menaikkan taraf finansial keluarga ... dan itu enggak bisa aku gapai kalau sekolah di SMA terbelakang itu! Aku bakalan terus tertinggal, Ibu ... aku enggak mau!"
Ibu memejamkan matanya erat-erat. Perdebatan ini mulai lagi. "Ibu diburu waktu, Elang. Ceu Nenih sudah buka warung sejak tadi. Kalau kamu enggak mau, biar Ibu saja yang antarkan. Sekarang, kamu berangkat ke sekolah dan jangan sampai terlambat. Pulang tepat waktu, jenguk ayahmu kalau kau sempat. Ayah ingin sekali bertemu denganmu, Elang."
Detik berikutnya, bingkai pintu melahap punggung Ibu. Kini, tersisalah Elang seorang di dalam rumah. Elang mengusap wajahnya dengan gusar. Kenapa ... kenapa Ibu tidak pernah mendengarkannya, sih? Wanita itu tahu-tahu sudah mendaftarkan Elang di Pertitas. Tanpa aba-aba, tanpa pemberitahuan, tanpa kesepakatan bersama. Setidaknya, berilah Elang sebuah alasan yang logis! Ketika Elang tanya dahulu, Ibu malah berbual mengenai jarak Pertitas yang dekat dari rumah. Bagaimana bisa Elang terima begitu saja?
Anak laki-laki itu menendang daun pintu dengan penuh emosi. Benaknya memutar memori pada satu hari yang lalu, persis ketika Langit---teman SMP yang selalu jadi saingannya selama tiga tahun berturut-turut---mengonfirmasi bahwa Elang akan melanjutkan sekolah di Pertitas.
"Astaga, Pertitas? SMA Pertiwi Tasikmalaya, yang di perempatan Sapta Marga itu? Yang enggak pernah masuk SMA top seribu UTBK di Indonesia? Kamu yakin mau ke sana?" Masih jelas di ingatan Elang, kedua sudut bibir Langit terangkat. Namun, Elang menangkap maksud senyuman itu sebagai bentuk prihatin Langit kepadanya. "Semangat, ya, Elang. Semoga kamu enggak susah masuk SNMPTN hanya karena mutu sekolah yang kayak gitu."
Elang mengepalkan tangan kuat-kuat, seolah hendak menghancurkan setiap senti dari kehidupan tulang maupun pembuluh darah yang berada di dalamnya. Saat ini, Langit pasti sedang menikmati hari pertamanya bersekolah di SMA favorit, SMA Angkasa Tasikmalaya. Sementara di sini, Elang ... Elang rasanya tak mau sekolah saja.
Kenapa ia harus berakhir seperti ini? Di saat temannya melambung tinggi di udara, mengapa ia malah terjun bebas ke dalam jurang?
Ia adalah Elang, burung yang seharusnya bebas terbang ke mana saja. Sedari awal, hidupnya ada di angkasa sana. Bukan di palung begini!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro