Dia Jackson
"Jadi, sebagai siswa atau siswi, hendaknya kalian memerhatikan lingkungan...," jejeran kata dari Pak Rudi -kepala sekolah dengan tubuh tambun itu perlahan menghilang dari pendengaranku.
Bukan aku mendadak tuli. Atau tiba-tiba tak sadarkan diri hingga teman-temanku datang membawa brangkar dari UKS. Melainkan seluruh sarafku tertuju pada sosok yang berada kurang lebih empat puluh lima derajat dari sudut mataku.
Ia melipat tangannya ke belakang. Tidak memakai topi seperti yang aku dan barisan di belakang lakukan. Dasinya longgar, miring ke kiri. Seragamnya pun tidak masuk ke dalam sela celana abunya. Berkali-kali, ia menyentuh batang kacamatanya agar tetap pas di hidung. Dengan memerhatikan itu, aku dapat melihat bulir keringat yang mulai menuruni pelipisnya.
"Oi istirahatnya udah kali," bisik seseorang di belakangku. Aku cepat-cepat melepas lipatan tangan di punggungku.
"Mikirin apa sih?" bisiknya lagi.
Aku menggeleng tanpa bersuara.
Aku kembali fokus pada susunan acara upacara. Walau sesekali sudut mataku tak bisa tahan untuk melirik pada barisan siswa yang dihukum.
"Tanpa penghormatan, balik kanan bubar, jalan!"
Seluruh barisan hancur bagai semut yang dihancurkan sarangnya. Mereka kembali ke kelas masing-masing. Kecuali aku dan Talita -sahabatku yang tadi menyadarkanku dari lamunan.
Kami terbiasa menunggu lapangan lengang. Mengingat kami sama-sama tak suka berdesakan.
"Tal," panggilku ragu. Sungguh aku penasaran. Setiap upacara, aku sering bahkan tak pernah sekalipun ia menghilang dari posisi itu. Tapi, anehnya aku tidak pernah melihat dia saat istirahat atau berpapasan dengannya walau berkeliling sekolah.
"Apa?" tanya Talita sambil mengipas-ngipas wajahnya oleh topi.
"Lo tau nggak cowok yang dihukum itu?" tunjukku pada kumpulan siswa yang sedang diceramahi kesiswaan.
"Yang mana?" Talita memiringkan lehernya dan memerhatikan satu per satu dari orang-orang yang kumaksud. "Banyak kali cowok yang dihukum."
Talita kembali menoleh padaku. Aku tersenyum kikuk dan menggaruk kepala belakangku. "Tapi, gue nanya ini bukan apa-apa ya. Cuma... penasaran?"
Mengakhiri kalimatku, tawa Talita berderai. Membuatku sedikit kesal.
"Sejak kapan lo mulai tanya-tanya cowok?" tanya Talita disertai kekehan kecilnya. "Rendy aja yang ketua MPK lo malah kabur waktu dideketin."
Aku mendecakkan lidah. Tidak menyukai saat Talita menyebut nama manusia yang membuatku jengah. "Dia mah kelihatan banget nyepik gue doang. Tipe tukang tebar pesona. Ngapain gue ladenin?"
"Iya, iya," Talita menyerah. "Jadi, siapa yang lo tanyain tadi?"
Rautku kembali netral. Tidak ingin kelihatan gugup atau tiba-tiba bahagia saat Talita menjawab pertanyaanku nanti.
"Itu tuh yang pake kacamata, paling depan," tunjukku dengan dagu. Talita mengikuti arah pandangku.
"Oh si idiot," celetuk Talita membuat mataku melebar tak percaya.
"Bibir lo, Tal," aku menepuk pundak Talita sekali. "Jangan ledekin orang kayak gitu."
Sahabatku ini malah mengedik. Seolah tidak peduli pada nasehatku.
"Orang-orang pada manggil dia kayak gitu, Di. Masa udah dihukum sekali, dia malah terus-terusan ngelakuin hal yang sama. Tiap hari keliatan ke warnet sebelah. Pulang-pulang sore," jelasnya panjang lebar. Khas Talita kalau sudah membicarakan orang selalu menggebu. "Apalagi kata temen sekelasnya dia itu suka molor di kelas. Suka ngambil barang jenis kle-"
"Dia kelas berapa?" potongku cepat.
"Sebelas IPS dua," jawab Talita enteng. "Terus dia tuh--"
Ucapan Talita terhenti. Wajahnya berubah mencurigai. Memincingkan mata tepat mengarah padaku.
"Lo nggak niat nyari dia, kan?"
Dahiku mengernyit, "emang kenapa?"
Talita bergidik. Seolah apa yang di bayangannya itu sebuah hal menjijikan. "Lo bisa gila, Di. Jangan berani."
"Omongan lo nggak akan nyambung sama dia," imbuh Diana memperjelas apa yang dimaksud gila itu. "Lo ngomong ke mana, dia ke mana. Udah! Mending lo ilangin niat jadiin dia temen."
Kedua ujung bibirku terangkat. Membentuk ulasan menyeringai. "Kalo gue jadiin pacar gimana?"
Mata Talita membelalak. "Lo nggak waras!"
**
Nggak waras semua!
Sepanjang koridor yang kulalui, tak hentinya mulutku mengucap kata kasar. Kalau saja ada kata terburuk yang masuk ke dalam rekor muri, kupastikan sudah terucap dari mulutku.
Bagaimana aku tidak kesal? Seluruh teman kelasku bekerja sama dengan Rendy. Alias laki-laki yang sejak sebulan lalu mulai gencar mendekatiku. Tadi, satu kelas sengaja meninggalkanku berdua dengan laki-laki itu. Tentu, aku langsung pergi begitu saja.
Sekarang aku tidak tahu harus melarikan diri ke mana. Seberusaha mungkin tidak bertemu salah satu temanku. Bisa saja aku ditarik kembali ke neraka itu. Beruntung, pelajaran sedang kosong. Bu Ami selaku guru Sejarah sedang cuti hamil dan pengganti beliau baru datang minggu depan. Sehingga, sudah dipastikan, saat ini seluruh kelas selain aku sedang dalam kegiatan belajar.
Muncul satu ide. Mungkin perpustakaan menjadi salah satu persinggahanku. Kalau ke UKS pasti aku mudah tertangkap. Mengingat seringnya aku bertugas ke sana.
Saat aku mulai mendekati belokkan menuju perpustakaan, kulihat seseorang tengah berbungkuk, kepala sedikit menjembul ke belokan kiri. Seluruh fisiknya tampak asing. Tapi, entah kenapa firasatku mengatakan sosok itu tampak familiar.
Hingga tinggal satu langkah mendekatinya, laki-laki itu tegak kembali. Kudengar, ia menghela napas panjang dan bertolak pinggang.
Aku masih terdiam di tempat. Menunggu reaksi dirinya saat mendapatiku di belakang.
Hingga dalam persekian detik, tubuh itu memutar haluan. Dan detik berikutnya, sepasang netra di balik lensa itu menatap tepat pada retinaku. Refleks, aku menahan napas sesaat.
Jackson.
"Hai," sapanya melambaikan tangan. Baru aku tahu. Saat senyum itu terulas, sepasang gigi kelinci tampak pas di tempatnya.
"Hmn... hai?" balasku ragu. Jelas, kami belum pernah menyapa. Tapi, Jackson terlihat telah mengenalku sejak lama.
"Kamu Diana?"
Aku mengangguk kaku. Entah sejak kapan kemampuan motorikku menjadi berkurang.
"Bener. Kata teman-teman saya kamu cantik."
Pipiku terasa kaku. Antara menahan untuk tidak tersenyum atau bingung untuk menjawab apa.
"Lo ngapain di sini?" tanyaku mengalihkan topik.
Serta-merta, dia menepuk dahi. Lantas berbalik dan membungkukkan badan melihat ke arah belokan tadi. Ia berdiri kembali dan mengusap dada dengan melepas napas lega.
"Untung si Mario Bros nggak ke sini," ucapnya saat berbalik, mengundang kernyitan di keningku.
"Mario Bros?"
"Wah, kamu nggak tau? Itu Si Maman. Kalo manggil gendut, Si Rudi disebut apa nanti. Mending panggil Mario Bros, kan?" jelasnya dengan kekehan di akhir kalimat. Begitu santai, padahal nama yang ia sebut adalah guru di sekolah ini. Tapi, mendengarnya dari mulut Jackson, seolah lucu saat tiba di gendang telingaku.
"Itu guru lo juga kali," ucapku terkikik geli.
Ia mengedik. "Idih. Mana mau saya diajarin mereka. Mending tidur," imbuhnya santai. "Oh ya saya pergi dulu."
"Tunggu," intrupsiku saat Jackson hendak mengangkat kaki kanannya untuk beranjak.
"Lo mau kemana?"
"Saya mau bolos. Males belajar. Gitu-gitu aja."
"Gue boleh ikut?" ujarku implusif.
"Jangan," ia mengibaskan tangan di depan wajahnya. "Kamu baik. Jangan keikutan nakal kayak saya."
"Gapapa," aku menggeleng. "Kelas gue free kok!"
"Kenapa kamu mau ikut saya?" keningnya berkerut rapat, "kamu kenal sama saya?"
Untuk pertanyaan itu, aku terdiam sejenak. Tidak secepat saat menyanggah beberapa pertanyaan barusan. Aku juga tidak mengerti, kenapa aku bisa serefleks ini saat mendengar Jackson akan pergi. Seolah-olah kata bolos di mulut laki-laki itu merupakan kalimat yang menggiurkan untuk kuikuti. Pun, ingin mengetahui ke mana Jackson pergi hingga aku kesulitan melihatnya setiap hari kecuali saat upacara.
"Gue kenal dari temen gue," jawabku enteng. Menendang jauh-jauh perasaaan gugup tadi.
Sejurus kemudian, senyumnya merekah. Ia memainkan jambul lantas menaik-turunkan kedua alisnya. "Saya emang terkenal."
Aku terkekeh geli melihat tingkahnya barusan. Unik. Jackson begitu lihai memainkan ekspresi. Dari heran menjadi penuh kepercayaan diri. Bukan tipikal laki-laki yang meminimkan raut wajahnya saat senang. Dan entah kenapa itu cukup menghibur di mataku.
"Jadi?" aku bertanya lagi.
Dia mengangguk antusias. "Ada yang mau saya pastikan hari ini."
**
Setelah dibuat penasaran oleh kalimat misterius yang Jackson ucapkan, kali ini aku dibuat keheranan. Aku kira, dia akan melakukan hal aneh dari yang dimaksud 'memastikan sesuatu'. Ternyata dia membawaku ke rooftop sekolah.
Rooftop jarang dikunjungi. Karena tempat ini digunakan layaknya gudang. Kursi, meja serta barang tak terpakai diletakkan di sini. Hanya ada ruang satu meter dari tembok pembatas yang tingginya seperutku.
"Ngapain ke sini?" aku berhenti memerhatikan sekitar. Jackson yang dari tadi seperti sedang mencari sesuatu di atas langit hanya melihatku sebentar. Kemudian kembali meneliti langit. Seolah-olah ada barang hilang di sana.
"Itu!" serunya menunjuk sudut langit yang tepat berhadapan dengan kami.
Aku mengernyit padanya lalu memincingkan mata, mengarah pada yang Jackson tunjuk.
"Itu apa?" aku menoleh padanya.
Laki-laki itu hanya tersenyum. Raut bahagia terpancar di wajahnya. Binaran tersinar jelas dari netra di balik lensa cekung itu.
"Itu awan pembawa keberuntungan saya," jawabnya ambigu. "Dulu saya liat awan itu. Trus sorenya, party saya menang lawan Agus."
Aku bergeming. Satu hal baru dan mempertegas apa yang dikatakan Talita. Jackson mudah bercerita. Ceritanya yang tak kumengerti, tapi laki-laki ini seperti menganggap aku mengetahui jelas apa yang ia maksud.
"Sekarang saya juga dapet keberuntungan lagi."
Aku memiringkan kepala, bertanya.
"Kamu," giliran aku yang ditunjuk. "Saya beruntung bisa ditemenin sama kamu."
**
Aku masih termangu sesaat Jackson mengatakan kalau dia beruntung karena aku di sisinya. Laki-laki itu berbalik, menghadap tembok pembatas. Seakan-akan ucapan manis barusan tidak berarti baginya. Tapi, penting sekali buatku.
"Maksud lo? Keberuntungan apa?"
Aku satu langkah di belakangnya. Kedua tangan Jackson menumpu pada tembok, kedua ujung kaki ditempelkan dengan tubuh yang direntangkan ke belakang. Senyum merekah mencuat di wajah khasnya. Seakan-akan ia baru saja mengalami hal yang membahagiakan.
"Kamu nggak usah tau."
Aku mengangguk, meski tetap meragu.
Sisa waktu kami, dihabiskan dengan perbincangan. Lebih tepatnya, Jackson yang mendominasi. Laki-laki itu suka sekali bercerita. Mendeskripsikan hobinya yang senang bermain game online, serta mempraktekkan bagaimana ibunya marah. Lengkap dengan gaya tolak pinggang dan pelototan.
Aku tahu, kenapa orang-orang enggan berbicara lama bersama Jackson. Bahkan, Talita mengatakan aku bisa gila berlama-lama dengan Jackson.
Lantaran Jackson susah sekali bila dihentikan sewaktu menjelaskan sesuatu. Laki-laki itu seperti mempunyai sejuta kisah yang harus diketahui oleh banyak orang.
Aku yang bertanya sekali, Jackson menjelaskan dengan rinci. Laki-laki itu bertanya sesekali dan aku yang memang sungkan bicara banyak, irit menjawab.
Aku yang tipikal pendengar, tidak merasa keberatan. Justru cerita Jackson terdengar seru di telingaku.
"Temen-temen saya suka ngobrolin kamu. Katanya kamu sombong, nggak mau diajak kenalan. Emang, iya?"
Aku mengedik. "Nggak tau. Pikiran orang-orang beda kali," jawabku seadanya. Lantaran bila dijelaskan secara jelas pun, aku pikir tidak ada gunanya.
Ketika selesai menceritakan kekalahan main game, kulihat Jackson melirik jam tangannya. Berikutnya ia menatapku. "Kamu nggak masuk ke kelas? Saya ada janji ngewar sama Gilang."
Giliranku melihat sebentar jam mungil biruku. "Oh iya udah mau ganti pelajaran," aku mendongak. "Lo nggak akan ke kelas?"
"Nggak. Pelajaran bab sekarang udah saya pelajarin semua. Yaudah saya bolos lagi aja."
Aku mengerutkan kening. "Kenapa? Lo nggak takut tinggal kelas?"
Jackson menggeleng dan memerhatikan pemandangan di bawah kami. "Tahun lalu saya homeschooling. Jadi, baru sekarang saya masuk sekolah formal. Ternyata pelajaran saya kecepetan. Makanya saya sering bolos," jawabnya diakhiri cengiran ke arahku.
"Semester kemarin lo ranking berapa?"
"Saya nggak mau sombong," ia mengedik.
"Berapa, Jackson?" tanyaku sedikit memaksa.
"Lima paralel," jawabnya tanpa melihatku. Mulutku seketika ternganga. Wow. Bahkan untuk masuk sepuluh besar aku harus kerja keras siang dan malam.
"Saya anter ke kelas yuk!" ajaknya lagi setelah melihat arloji. Seolah-olah tidak ada waktu untuk berlama-lama di sini.
"Gue sendiri aja ke kelasnya. Lo langsung ke sana aja."
"No! Saya mau mastiin kamu selamat sampe kelas."
**
"Ya Allah Diana! Lo ke mana aja, Kampret?!" seru Talita histeris saat aku tiba di depan kelas.
"Ini gue...," belum sempat menyelesaikan ucapanku, Talita serta-merta menarikku ke sampingnya.
"Lo dari tadi sama cowok ini?" bisik Talita ke telingaku.
Aku mengangguk.
"Lo nggak gila, kan?" tanyanya memelototiku.
"Ng--"
"Di!" interupsi seseorang membuatku sontak melihat ke belakang Jackson.
"Lo ke mana aja?" imbuhnya sesaat berdiri di depanku, di samping Jackson.
"Lo ngapain di sini?" Wajah laki-laki itu mendadak keruh sewaktu menoleh dan mendapati Jackson berdiri di dekatnya. Dan entah kenapa, rasa kesalku berkali lipat besarnya pada laki-laki ini.
"Saya cuma mastiin Diana selamat ke kelas," jawabnya santai, dia lalu menoleh padaku. "Saya pergi dulu, ya," ujarnya padaku.
Ia berbalik dan bersamaan dengan itu, Rendy --laki-laki yang sedari dulu ingin kucabut jantungnya berkata, "lo nggak pantes sama cowok idiot itu, Di."
Jackson bergeming sebentar dan melanjutkan langkahnya lagi. Aku yang merasa terkejut atas kata-kata Rendy, hanya bisa tergagu menatap kepergian Jackson.
Kuharap ini bukan segalanya. Ku harap ada jumpa lagi di waktu selanjutnya.
**
Di hari pertama aku bisa mengenal Jackson, di hari itu juga terakhir kalinya aku bisa bicara dalam waktu lama dengannya.
Seminggu berlalu ketika kata-kata Rendy terucap, Jackson menghindariku. Aku tidak merasa percaya diri. Hanya saja, sikap Jackson yang terlalu menampakkannya. Ingatlah, wataknya yang terlalu ekspresif hingga membuatnya terlalu mudah tertebak.
Memang tidak semuanya begitu. Tapi, untuk kasus Jackson, ia seperti sulit menyembunyikan sesuatu. Sosok implusif dan mudah bingung ketika ada sesuatu yang terjadi tiba-tiba.
Misalnya, ketika kami berpapasan di koridor --ini karena aku sengaja membuntutinya-- Jackson langsung berbalik arah. Ketika kami ada dalam satu koridor dan berlawanan arah, Jackson malah mengambil jalan berputar. Yang lebih parahnya, ketika aku sengaja mendatangi kelasnya --ini karena aku beralasan sedang mengantar siswa yang sakit, padahal itu bukan hari tugasku-- dia malah membuang muka dan pergi dari kelas. Ekstremnya, aku pernah menarik Jackson untuk meminta penjelasan, tapi laki-laki itu malah beralasan banyak. Enggan menatapku dan pergi begitu saja.
Hari ini adalah usaha terakhirku untuk bisa menemui Jackson. Aku akan mendatangi tempat pelarian Jackson setiap harinya. Yaitu, warnet.
Menurut kabar, Jackson sering ke sana. Itu dari mulutnya secara langsung serta berita yang tersebar seantero sekolah.
"Di! Gue belum selesai ngomong sama elo!" Rendy menarik tanganku dan kuhempaskan kasar.
Aku sengaja langsung keluar kelas saat bel berbunyi, tapi laki-laki di depanku ini lebih cepat dari dugaanku.
"Apaan lagi sih, Ren?" tanyaku jengah. "Gue udah bilang, gue nggak punya perasaan sama elo!"
"Kenapa?" tanyanya tak terima. "Karna cowok idiot itu?"
Aku tersenyum sinis. "Bahkan lo lebih idiot dari Jackson!"
"Apa pendasaran elo bisa ngomong gitu?" wajah Rendy menjadi datar. Sepertinya aku telah merendahkan harga diri laki-laki ini.
"Emang gue nggak tau elo juga lagi deketin Amel?" tanyaku menyebut salah satu anggota PMR. Raut Rendy berubah. Ia seolah tertangkap basah melakukan tindakan kriminal.
"G-gimana lo ta--"
"Cowok kayak lo emang manis di mulut doang, Ren!"
Aku pergi. Dan kutahu, Rendy tak berani mengejar lagi. Tadinya, aku ingin menutupi hal ini atas permintaan Amel. Dia tidak mau Rendy membencinya. Namun aku terpaksa melakukan ini. Mengingat Rendy tidak akan berhenti sampai kelemahannya terlihat ke permukaan.
Langkahku kupercepat sampai ke lokasi. Warnet itu memang dekat dari sekolah. Letaknya ada di dalam gang sebelah. Aku jarang sekali ke sini. Mengingat ada internet di rumah. Kecuali, ketika aku memang lupa mencetak tugas.
Hingga akhirnya sebuah bangunan kecil berjatah selembar kertas bertuliskan Rp 3000/jam menjadi identitas satu-satunya di samping pintu. Sandal serta sepatu berserakan di depan teras. Lebih terlihat seperti rumah tinggal dibandingkan warung internet.
Aku terdiam di depan. Bimbang untuk masuk. Aku belum memastikan apa Jackson di dalam atau belum datang. Keputusanku terlalu cepat diambil tanpa memastikan kebenarannya. Dan dampaknya baru terasa sekarang.
"Kenapa nggak masuk?"
Aku hampir terpekik ketika seseorang tiba-tiba di sampingku. Aku menengok dan mendapati seorang laki-laki bersweater cokelat dan celana abu sedang membuka sepatu sekolahnya.
"G-gue lagi nunggu orang," jawabku gugup.
Ia tegak kembali dan mengamatiku dari bawah ke atas. Ditatap seperti itu, aku hanya tersenyum kikuk.
"K-kenapa?"
"Lo Diana dari Adipura?"
Aku mengangguk. Mungkin ia tahu dari bet yang melekat di seragamku.
"Nyari Jackson?"
Untuk pertanyaan ini, aku menatapnya bingung.
"Dia udah jarang ke sini," imbuhnya tanpa kutanya.
"Kenapa?"
"Katanya mau berubah," ia terkekeh dengan jawabannya sendiri. "Gila, kan? Katanya dia mau keren. Buat cewek dia."
"Cewek?" aku merasa bagian kecil dari diriku tak nyaman. "Siapa?"
"Lo tanya aja sendiri," jawabnya misterius. "Eh tapi hari ini mau ke sini kok!"
"Dia mau jual akun game-nya. Nih, tadi gue baru dapet sms dari dia," tambah laki-laki di depanku ini.
"Tap--"
"Tuh orangnya," aku kontan menoleh ke belakang. Dan mendapati Jackson tengah berdiri dengan wajah terkejutnya.
"Jackson?"
"Gilang!" serunya tak menggubris panggilanku. Jackson berjalan cepat dan menuju ke arahku. Dan ternyata, ia menghampiri Gilang dan melingkarkan lengannya pada leher laki-laki itu.
"Kamu nggak bilang apa-apa kan sama cewek saya?" tanyanya marah. Gilang berusaha melepaskan cengkraman Jackson dan terkekeh geli.
"Cewek saya, kata siapa?" tanya Gilang mencibir. "Tanya, dia mau nggak? Jangan cuma liatin dari jauh terus ngomonginnya berani di belakang."
Jackson mendecak. Aku yang tidak mengerti apa-apa, hanya bergeming memandangi keduanya.
"Udahlah gue mau masuk dulu. Gue nanti transfer uangnya, lo kirim ID sama passwordnya."
"Ya. Nanti saya kirimin," jawab Jackson dan Gilang mengacungkan jempolnya lalu masuk ke dalam.
Kini aku dan Jackson tinggal berdua. Diatapi keheningan dengan rasa canggung yang begitu kental.
"Jadi?" tanyaku memulai. "Lo udah jadian makanya jauhin gue?"
"Nggak!" sanggahnya cepat. "Kamu jangan nyangka gitu."
"Ya terus?" aku terus menagih kebenaran.
"Diana!" panggil Gilang tiba-tiba sambil menyembulkan kepalanya dari dalam, membuatku dan Jackson menoleh. "Jackson tuh secret admirer elo! Gue yakin dia nggak akan jujur kalo nggak gue pancing!"
Gilang masuk kembali. Jackson memelotot dan hendak mengejar ke dalam. Tapi, aku cepat-cepat memanggil namanya.
"Kita belum selesai," kataku tegas. Meski sebenarnya aku ingin terbahak melihat wajah salah tingkahnya Jackson.
"Gitu," ucapnya tiba-tiba.
"Gitu apa? Lo fans gue? Kenapa nggak bilang dari dulu? Kenapa kemarin malah kabur terus?" aku mencoba bergurau, mencairkan suasana yang sempat runyam.
"Dulu kamu diomongin sama temen-temen saya. Saya penasaran kamu tuh yang mana. Mereka bilang kamu itu suka jaga di UKS sama pas upacara. Akhirnya saya bisa liat kamu waktu giliran jaga di barisan yang dihukum," jelasnya tanpa menatapku.
"Terus?"
"Y-ya dari situ saya suka liat kamu dari jauh," jawabnya gugup. "Dan saya kabur terus karna kamu malah lagi dideketin Rendy," semakin ke ujung, kata-katanya semakin pelan. Mungkin malu.
"Kenapa sekarang bisa ngobrol lagi terus nggak kabur?" desakku berpura-pura jengkel.
"Tadi saya denger kamu ngobrol sama Rendy," jawabnya mulai menatapku, "terus kamu ternyata nggak suka sama dia."
"Dari dulu gue emang nggak suka sama dia kali," ucapku memutar mata.
"Terus sekarang sukanya siapa?"
Senyumku tertahan dan pasti wajahku akan memerah total. "Kalo lo sendiri?"
Sekarang giliran kedua pipi Jackson yang merona, "S-saya sukanya sama kamu. Saya jual akun game saya biar bisa nembak kamu pake bunga. Tapi, kamunya mau nggak?"
Aku mengangguk malu-malu dan sejurus kemudian dikejutkan oleh teriakan Jackson, "GILANG! DIANA NERIMA SAYA!"
**
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro