New Journey
Disclaimer: Asagiri Kafka & Harukawa Sango.
Warning: OOC, typo, T+ menuju M, jangan dibaca pas lagi puasa, jangan khilaf, dll.
Sebuah bar dengan bola dunianya yang lebih benderang, dibandingkan kenyataan hidup, memancarkan warna-warni yang gemilang yang memperamai keriuhan di sekeliling.
Dua blue ocean sudah Dazai pesan sejak sepuluh menit lalu. Irisan lemon sebagai hiasan pada tepi gelas dimainkannya bosan, dan tentu saja ia tahu keisengan tidak berarti ini mustahil membunuh waktu. Akutagawa tengah menunggunya di dalam mobil–terakhir kali terlihat bocah ringkih itu menggeliat resah, entah Akutagawa mendadak mengompol atau masih tahan. Bisa dibilang Dazai sengaja berlama-lama memang, agar tarik-ulur ini lebih menegangkan bagi Akutagawa.
Kata siapa Dazai bercanda untuk membuat Akutagawa membunuh?
Mangsanya–orang acak yang asalkan berpotensi maka memperoleh giliran–sudah ia dapatkan sejak sepuluh menit lalu. Bintang malam ini adalah wanita penari tiang yang telah bertukar pandang dengannya, sejak ia memulai pertunjukkan. Dazai juga menontoninya, walaupun tampak cuek. Sang pemuda jangkung boleh jadi seolah-olah memandangi bar display, tetapi mereka tahu bahwa Dazai memperhatikan melalui ekor matanya yang sengaja dibuat, seperti melirik ke samping.
"Sendirian saja, Tuan Tampan?"
"Langsung menghampiriku saat orang banyak ingin bersalaman denganmu, kau agresif juga, ya." Di belakang punggung mereka aura mengintimidasi memancar kuat. Dia adalah Catherine–penari tiang terpopuler di bar ini–yang wajar saja apabila digilai. Umurnya 23 tahun. Hanya mengencani pria dengan tinggi minimal 170 cm, dan menurut makelar Rokuzo tergila-gila pada warna cokelat.
"Sejujurnya aku tidak nyaman dengan mereka semua. Maukah kau menolongku?" bisiknya sambil merapat. Dada berukuran D cup itu menempel pada lengan Dazai. Mata sebiru sapphire miliknya melumat waras, ditambah cara berdandan yang apik–bulu matanya lentik, panjang, dan memang berpengalaman menggoda pria.
"Semoga kau tidak meminta tolong pada orang yang salah, Nona."
Perlahan-lahan dagu Catherine diangkat. Sesekali Dazai akan melirik ke arah kerumunan, menyeringai puas membikin hati para fans Catherine mendongkol, barulah ia mendaratkan french kiss yang panas–tangannya bahkan sedikit bermain-main, dengan memberikan sentuhan menggunakan ujung jari yang mengitari tepian payudara.
"Maaf soal itu~ Dia ini pacarku sebenarnya. Omong-omong kami ingin merayakan anniversary, lho. Kalian semua jadi saksinya, oke?"
Segelas blue ocean Dazai berikan pada Catherine yang menerimanya tanpa sungkan. Mereka bersulang disusul seruan, "cheers" yang riang. Orang-orang bertepuk tangan selagi Dazai membisikkan, "Sejak pertama mata kita berpandangan, aku langsung memutuskan akan bersulang dengan wanita secantik dirimu". Catherine tersipu malu–tindakannya seolah-olah mengekspresikan ia menemukan mahakarya terbaik, sehingga perlu dirayakan sedemikian rupa.
"Itu lebih dari sebuah bantuan. Sepertinya aku memang jatuh cinta padamu, sejak mata kita bertemu."
"Maka aku jatuh cinta padamu, sebelum aku mengenal apa itu cinta."
Setengah jam kemudian, ketamin yang Dazai campurkan pada blue ocean milik Catherine bekerja, membuatnya berhalusinasi disusul mengalami kelumpuhan otot.
Hanya satu kalimat yang keluar sebagai yang pertama sekaligus terakhir dari Dazai, sebelum mobilnya diparkirkan di garansi mansion, dan mematikan AC yang menyembur kencang yang selama melaju, menjadi pengisi hening di antara mereka.
Pada akhirnya bukan Akutagawa yang mendekam di bagasi, melainkan wanita bernama Catherine ini. Dazai menggendongnya yang sudah diikat, sekaligus disumpal mulutnya menggunakan kain. Di belakang Akutagawa mengekori–menatap ngeri punggung sang tuan yang dibalut jas hitam, dan mengikutinya menuruni sebuah tangga tersembunyi. Kali ini Akutagawa betul-betul melihat yang biasa ia saksikan, seperti alat-alat penyiksaan atau tembok bernoda darah kering.
"Angkat kursinya agar lebih maju, Akutagawa-kun."
Kursi kayu yang Dazai maksud Akutagawa dorong menimbulkan bunyi berdenyit. Kelakuannya memang bertentangan. Namun, Dazai sekadar mengidikkan bahu tidak mempermasalahkan itu.
"Meski kau tidak ingin korbanmu kabur, jangan mengikatnya terlalu kencang atau aliran darahnya akan terhambat. Lalu Autagawa-kun tahu? Saat wanita tolol ini terkena efek ketamin, aku memberinya minum yang banyak. Biar apa? Menurutku asyik saja kalau dia mati-matian menahan buang air kecil, hahaha ..."
Tawanya ringan, dan meskipun tidak sekeras yang biasa Akutagawa dengar, suara Dazai justru berkali-kali lipat lebih menyesakkan. Napasnya semakin memburu kala Dazai melepaskan sarung pisau, lantas mengajari Akutagawa menggenggamnya membuat ujung senjata tersebut teracung ke arah Catherine yang terkencing-kencing–Dazai terbahak-bahak sekarang, sampai memegangi perutnya yang nyeri.
"Omong-omong ini bukan sembarang pisau, lho. Namanya Jagdkommando. Hadiah ulang tahunku yang ke dua belas. Maunya, sih, aku menyuruhmu menembak. Tapi dengan tanganmu yang gemetar seperti itu, nanti malah buang-buang peluru."
"Luka yang pisau ini hasilkan bukan sekadar tusukan berupa garis. Bisa membuat lubang, lho. Makanya saat pertama kali mencoba, aku sedikit kaget korbanku mati dengan cepat, padahal meleset dari titik vitalnya." sambung Dazai enteng yang bagi Akutagawa, harusnya ia tidak sesantai itu. Ternyata lebih baik dipaksa bersanggama. Sekarang juga Akutagawa akan melepaskan pakaiannya, atau sekalian saja ia memasang borgol pada kaki sendiri asalkan–
"Jangan bilang kau berpikir lebih baik melakukan seks saja? Pikirkan baik-baik, Akutagawa-kun. Dengan membunuh kau merenggut, sedangkan ketika diperkosa apa yang ada di dalam dirimu direnggut."
"Dengan membunuh wanita itu, dan mengambil hidupnya, kau mungkin bisa membuat dirimu hidup. Akutagawa-kun yang sekarang hanyalah boneka rusak, tapi belum benar-benar rusak. Jika bisa diperbaiki kenapa tidak? Inilah tawaran lain yang kuberikan padamu, supaya lebih hidup."
Ketakutan membekukan akalnya. Akutagawa mana mungkin tahu apakah merenggut seperti ini dapat membuatnya hidup, tetapi Dazai memang benar jika Akutagawa ingin lebih hidup. Kata itu tidak pernah sesederhana bernapas atau jantung berdetak. Ia ingin disebut hidup, karena melakukannya tanpa ketakutan–bahwa Akutagawa di sini, karena ia memang di sini yang bukan disebabkan status budaknya, melainkan karena Akutagawa adalah Akutagawa.
Akutagawa hidup karena dirinya sendiri. Itulah yang ia inginkan sekaligus wujudkan, selama dengan bodohnya masih memercayai "suatu hati nanti".
"Tetapi jika kau melakukannya, kau tidak akan bisa hidup sebagai manusia," batin Dazai yang secara sembunyi-sembunyi, mengeluarkan pistol dari balik jas. Langkah Akutagawa semakin dekat dengan korban. Telunjuknya siap menarik pelatuk, guna melubangi kepala sang budak yang Dazai pikir akan segera ia ganti.
"Lakukan apa pun untuk membuat dirimu hidup."
"Jangan mau direnggut, tetapi merenggutlah agar kau bebas".
Kalimat-kalimat itu berdengung dalam nadi Akutagawa, dan terdengar seperti Dazai yang mengucapkannya. Walaupun masih gemetar, tak sekali pun Akutagawa berniat melepaskan, atau berputar balik di pertengahan. Pandangan Cathrine terhalang oleh bayang-bayang Akutagawa, saat jagdkommando diangkat tinggi-tinggi hingga menutupi cahaya lampu gantung. Seluruh kekuatannya telah ia taruh pada gagang pisau yang akan telak menusuk kening Cathrine, apabila–
DOR!
Peluru timah dilepaskan. Pistol di tangan kanannya Dazai turunkan, kemudian disimpan lagi ke balik jas hitam. Wanita malang itu pasti ingin berteriak. Permata sapphire miliknya pun tambah menggoda saja, ketika terbuka lebar-lebar membuat air mata berjatuhan, menyebabkan seluruh riasannya luntur.
"Berutung sekali aku meleset, Cathrine-chan~ Tidak apa-apa, kan, jika hanya pipimu yang tergores? Kamu pasti ingin segera keluar, ya? Tunggu sebentar, oke?"
Tali yang semula mengikatnya Dazai lepas sembari bersenandung. Namun, dengan kaki gemetar seperti itu kapan Catherine keluar? Selain membenci wanita bodoh–meski di sisi lain menyukainya–Dazai pun tidak menyukai perempuan lamban. Makanya dia hitung saja sampai sepuluh–satu, terus sepuluh tanpa dua sampai sembilan, dan sekali lagi mengambil pistol–kebetulan pula pelurunya tinggal satu, dia ini beruntung sekali membikin Dazai sendiri tersenyum riang.
"Maaf, ya, Catherine-chan. Awalnya aku tidak mau membunuhmu, tetapi kau lamban sekali padahal tangganya sangat dekat."
DOR!
Darah mengucur deras membasahi lantai beton. Matanya yang terbuka lebih indah, dibandingkan tatapan menggoda Catherine yang sebenarnya mendorong Dazai, untuk mencongkel netra dari mantan penari tiang itu–ini berkaitan dengan masa lalu yang menyebalkan, sehingga tidak perlu Dazai bahas lagi dalam benaknya.
"Orang-orang bilang, meninggal dengan mata terbuka berarti masih memiliki penyesalan. Sebenarnya tidak begitu, lho, Catherine-chan. Mereka yang meninggal dengan mata tertutup memiliki kelainan ptosis. Serabut saraf mendapatkan rangsangan gara-gara kontraksi dari otot dan kelopak mata, lalu menyebabkan gangguan pada proses membuka atau menutup mata."
"Jadi, mau kau meninggal dengan mata tertutup atau terbuka, itu enggak ada hubungannya dengan kehidupanmu. Mati, ya, mati. Sederhana sekali, bukan?" Handphone di saku celananya Dazai ambil perlahan. Fitur kamera ia buka untuk memtoret Catherine yang kepalanya berlubang, dan karena bagus akan Dazai perlihatkan kepada Akutagawa.
"Hal ini harus kujelaskan pada Akutagawa-kun, supaya dia tidak sebodoh dirimu. Nanti kita bertemu lagi, ya, di neraka~ Bye-bye."
Tubuh Akutagawa yang pingsan Dazai bawa ke kamar. Usai keluar dari ruang bawah tanah yang pintu masuknya menyerupai petak lantai, giliran Hirotsu beraksi untuk membersihkan mayat Catherine–kepala pelayan itu sudah tahu, walau Dazai membawa korban tanpa sepengetahuan dia.
"Sepertinya dia memang yang terakhir, ya, Osamu-sama."
Tanggapan Dazai hanyalah sesederhana mengibaskan tangan, entah benar-benar peduli atau tidak.
"Aku benci wanita bodoh yang gampang dirayu, Akutagawa-kun. Itu selalu mengingatkanku pada seseorang."
Langit-langit kamar berwarna putih bersih kembali Akutagawa lihat, kala ia berhasil membuka mata dengan sempurna. Dulu Fyodor. Sekarang ini kalimat Dazai yang membangunkannya, dan entah sang tuan kebetulan di sini atau bagaimana, Akutagawa benar-benar melihatnya tidur dalam posisi duduk–seperti biasa perban menutupi leher hingga sekujur tubuhnya, entah apa yang Dazai sembunyikan di balik semua itu.
"Hnnggg ... jam berapa sekarang?" Pandangannya mengarah pada gorden yang masih ditutup. Sinar matahari belum mencoba menembus masuk. Mereka bisa bangun kepagian ternyata–angka di handphone Dazai menunjukkan pukul 04.00, dan ia kurang ingat sedari kapan matanya terpejam.
"Masih pagi banget, ya, ternyata. Tidurmu nyenyak?" Akutagawa mengangguk memberi jawaban. Melihat kebiasaan itu kembali Dazai tersenyum kecil–siapa yang tahu Akutagawa malah jadi aneh.
"Kemarin kamu pingsan. Wanita itu aku yang bunuh akhirnya."
Pingsan, katanya? Secara spontan Akutagawa meremas selimut yang menutupi kakinya–gemetar bukan main, menyadari ia pun sama saja dengan budak-budak yang dahulu Dazai beli. Sebentar lagi semua-muanya berakhir. Ke mana pun Akutagawa dibuang dia hanya boleh pasrah, dan harus segera menyiapkan diri–menarik napas dalam-dalam, menegaskan kepada dirinya sendiri Akutagawa tidak bisa hidup lagi, meskipun dadanya bergetar menolak kesimpulan tersebut.
"Menculik seseorang secara acak, dan membunuhnya tanpa alasan jelas adalah hobiku. Kemarin pasti membuatmu sangat ketakutan, ya. Mau bicara?"
Kepala yang semula menunduk kini terangkat lagi. Gelenyar hangat itu nyata–menciptakan peluk tak kasatmata yang memiliki rasa kekeluargaan. Mata hitam jelaga Akutagawa melebar. Nada bicara tersebut bahkan berbeda dari Dazai yang biasa bercanda–lebih dalam, dan ... tulus?
"Ini permintaanku. Bukan perintah atau apa pun."
"Da ... Da ..." Caranya yang seperti baru belajar itu mengundang tawa dari Dazai. Tetapi ia tampak menunggu. Menunggu Akutagawa yang terus menggerakkan bibirnya, walau belum mengeluarkan suara lagi.
"Dazai ... sama ... akan membuangku?"
"Membuangmu? Kapan aku bilang begitu? Bukannya kita harus merayakannya? Ini pertama kalinya Akutagawa-kun mengeluarkan suaramu tanpa diperintah, bukan?"
Benar. Bersuara pun Akutagawa menunggu disuruh, karena ia masih membenci rasa sakit, mendengar suara rotan memukul tubuhnya yang tersisa tulang, atau wajahnya ditenggelamkan ke dalam baskom air yang keruh–berulang-ulang sampai tanpa sengaja terminum, muntah gara-gara jijik, lalu dengan keji Akutagawa justru dipaksa memakan balik muntahannya.
"Tapi Dazai-sama ingin aku berbeda dari yang lain, hanya saja aku gagal melaksanakan perintahmu. Bukankah Anda tidak membutuhkan budak seperti itu?"
"Memang benar, sih. Jadi apa yang akan kau lakukan?"
"Selanjutnya saya pasti bisa." Mengobral janji manis, kah? Namun, tidak juga menilik Akutagawa nyaris melayangkan tusukan pertamanya tanpa ragu, andaikata ia tak pingsan akibat asma kambuh.
"Bisa membuatku membawamu ke kamar lagi maksudnya?"
"Bukan. Saya pasti bisa membunuh nanti." Bagaimanapun itu Akutagawa akan bertahan. Dibuang terus-menerus juga melelahkan, ditambah lagi Akutagawa sudah mendapatkan sedikit keberanian berkat hari kemarin–dia pun bisa jika mau berjuang melawan ketakutan.
"Baiklah, baik. Kita tunggu yang selanjutnya saja. Jangan mengecewakanku, Akutagawa-kun."
Hanya saja "selanjutnya" itu tidak pernah ada, dan Akutagawa tak mengetahuinya sama sekali.
Lalu datanglah Jumat yang cerah, di mana sejak pukul sembilan pagi Akutagawa juga tidak paham, mengapa ia terdampar di keramaian bernama pusat perbelanjaan ini.
Mereka baru saja keluar dari butik yang khusus menjual pakaian pria dewasa, dan lagi-lagi atas permintaan tanpa membawa-bawa perintah, Akutagawa disuruh memilih setelan untuk Dazai pakai. Pegawai yang barusan melayani sepertinya menertawakan selera Akutagawa–entahlah, ia betul-betul tidak mengerti harus memasangkan warna apa dengan apa, atau yang ini harus dipasangkan dengan apa biar cocok.
"Sekarang mau ke mana? Kita sudah membeli baju untukmu, dan juga untukku. Akutagawa-kun mau bermain sesuatu?"
"Main ... apa?" Kebetulan langkah mereka terhenti di depan timezone. Melalui pintu masuk Akutagawa dapat menyaksikan sepasang muda-mudi bergerak lincah di atas dance pad–kelihatan asyik, akan tetapi Akutagawa ingin mundur teratur saja, setiap mendengarkan musik yang berisik di dalam sana.
"Misalnya seperti Pump it Up yang dimainkan oleh pasangan muda itu. Ada juga tembak-tembakan. Basket. Capitan boneka. Maximum Tube. Banyak, kok."
"..."
"Atau mau ke toko buku?"
"Tempatnya tidak berisik, 'kan?" Benar-benar membenci keramaian, ya. Dazai harus sering-sering membawa Akutagawa pergi rasanya, bahkan mahasiswa semester dua itu kepikiran untuk sengaja meninggalkan Akutagawa–mengisengi dia sepertinya lucu, walau ide tersebut buruk juga–jika diculik bagaimana? Kode di leher Akutagawa juga membahayakan jika ketahuan.
"Mana mungkin berisik. Di sana Akutagawa-kun juga bisa membaca buku."
Alunan lagu klasik langsung menyambut mereka, saat pintu dibukakan oleh doorman yang tersenyum ramah. Toko buku ini dekat dengan arcade game yang batal dikunjungi. Bingung harus ke mana untuk cuci mata, pertama-tama Akutagawa sekadar mengikuti Dazai yang menghampiri rak novel–iseng-iseng membaca buku kurang lebih setebal empat ratus halaman yang segelnya dirusak, lalu Akutagawa mengikuti walaupun hanya seperti menatap kosong.
"Kamu masih ingat cara membaca?" Telunjuk Dazai mengarah pada judul buku, di bagian kover berwarna merah marun ini. Netra Akutagawa melotot dan menyipit. Mengapa jadi seperti ia tahu tetapi tidak tahu?
"Buat permulaan beli saja buku dongeng. Akutagawa-kun pilih sendiri, ya."
Dazai benar-benar hanya mengantarnya, kemudian sibuk membaca majalah yang berdekatan dengan rak dongeng. Padahal Akutagawa tidak bilang ingin membeli–baju-bajunya pun seperti itu, dan sesungguhnya ia memilih gara-gara diminta, namun Dazai tetap memborong yang Akutagawa tunjuk. Haruskah ia bilang kurang tertarik? Keberanian meminta hal-hal personal berbeda dengan melawan rasa takut, dan ... Akutagawa tak pikir bisa.
"Jangan malu. Umur empat belas pun tidak apa-apa, kok, membaca dongeng juga." Selesai memperhatikan majalah Dazai kini membaca koran. Lamat-lamat Akutagawa memandangi punggung yang dibalut trench coat tersebut–samar-samar seperti bergetar rasanya, entah mengapa.
Masalahnya adalah Dazai salah paham akan pemikirannya kali ini. Akutagawa masih bingung, sampai ia menemukan sebuah sampul bergambar pohon bambu yang pada batangnya, berbagai tanzaku bergelantung. Semakin ia berlama-lama menatapnya, kepala Akutagawa kian pening entah disebabkan apa. Dazai yang sudah selesai membaca koran pergi mengecek Akutagawa. Sebelah alisnya naik mengindikasikan heran, mendapati bocah ini mematung macam dihiptonis.
"Ada apa, Akutagawa-kun? Wajahmu pucat."
Belum ada respons. Penasaran terhadap keanehannya Dazai mengikuti arah pandang Akutagawa, dan mengangguk-angguk sewaktu menemukan buku yang dimaksud. Dazai langsung mengambilnya tanpa pikir panjang–palingan bocah berpenyakitan ini malu-malu lagi.
"Buku pilihanmu pasti bagus. Habis ini kita makan siang, oke? Ayo ke mesin kasir."
Gara-gara Akutagawa terlambat mengikuti langkah Dazai, satu lembar seribu yen telanjur diberikan kepada tukang kasir. Bukan hanya itu bagian terburuknya, Dazai bahkan menyuruh Akutagawa membawa bukunya sendiri–meskipun tertutup tas belanjaan, tetap saja Akutagawa sulit menghapus bayang-bayang yang tadi dilihatnya.
"Mau pulang saja? Kayaknya wajahmu makin pucat." BRUKKK! Saking tidak konsentrasinya Akutagawa malah menabrak punggung Dazai, menyebabkan buku yang dibelikan itu tergeletak di jalan. Mestinya ia tak memungutnya kembali. Namun, tangan Akutagawa bergerak cepat untuk mengambilnya, lantas dipeluk erat-erat.
"Sa-saya baik-baik saja."
"Bentar lagi sampai, kok. Saat sarapan juga makanmu sedikit banget. Makanlah lebih banyak nanti, daripada enggak bisa tumbuh tinggi kayak aku~"
Pemberhentian yang dituju adalah kafe Uzumaki yang tidak terlalu dipadati orang-orang. Dazai memilih tempat duduk dekat jendela, membuat mereka dapat menontoni lalu-lalang kendaraan yang menjemput tujuan. Buku itu masih Akutagawa peluk. Menu di depan matanya seolah-olah menghilang, sementara Dazai tengah memilih-milih yang ingin diicipnya.
"Satu dark coffee dan nasi kare. Akutagawa-kun mau memesan apa?"
"Disamakan saja, tolong." Ah, ya ... Dazai sudah menduganya, sih. Dibandingkan mengisengi Akutagawa dengan meninggalkannya, lebih baik melihat dia kepahitan akibat meminum dark coffee–pasti bakalan seru, dan nanti akan Dazai foto kemudian dikirim ke grup, "Fans Dazai Osamu"–anggotanya adalah dia, Hirotsu, Naomi, dan Juunichiro.
"Mohon tunggu sebentar. Pesanan Anda akan segera disiapkan."
Pelayan pun pergi menyampaikan pesanan. Sebelum Dazai puas cekikian, kini ia harus khawatir dulu terhadap Akutagawa yang aneh.
"Punya kenangan dengan buku itu? Daritadi kamu memeluknya terus."
"Soal itu saya tidak tahu. Mungkin ... iya." Judulnya adalah "Tanabata" yang tak sekali pun membuat Akutagawa penasaran. Andaikata boleh jangan dibuka saja. Akutagawa enggan sakit kepala lagi menyebabkan Dazai mencemaskannya, padahal harusnya ia membahagiakan sang tuan.
"Apa Akutagawa-kun ingat masa lalumu?" Perlahan ia menggeleng. Memorinya kacau semenjak menjadi budak–hanya tahu disiksa, dihukum, disiksa, dan dihukum setiap hari.
"Tetapi bisa menemukan sesuatu dari masa lalu, menurutku itu tidak terlalu buruk. Akutagawa-kun masih beruntung. Beda denganku yang tak lagi menemukannya."
Berarti ia tak salah lihat ketika punggung Dazai bergetar, yang penyebabnya sebetulnya kurang Akutagawa pikirkan. Dua nasi kare dan dark coffee disuguhkan di atas meja. Melihat makanan itu hadir secara nyata Dazai langsung semangat mengambil sendok–memasukkannya ke dalam mulut sampai berlepotan, sedangkan Akutagawa pertama-tama menyeruput minumannya–ternyata tidak seburuk warnanya yang hitam pekat.
"Kopinya enak?" Dia tidak terlihat kepahitan atau menahan keluhan. Dazai pun kicep di tempat, sambil meminum dark coffee yang sebenarnya ingin ia caci maki–pahit sangat, dari dulu ia lebih menyukai kopi susu lagian.
"Enak."
"Enggak kepahitan atau apa?"
"Biasa saja."
"Ya ampun Akutagawa-kun. Itu menunjukkan kamu terlalu terbiasa dengan pahitnya kehidupan. Coba, deh, ditambah gula." Tiga sendok teh gula Dazai masukkan secara sembarangan. Akutagawa mencicipnya lagi–sedikit lebih manis, dan pahit yang tertinggal di lidah tidak terlalu banyak.
"Maaf. Menurut saya masih lebih enak rasa yang pertama."
"Karena yang pertama selalu spesial, bukan? Menurutku juga begitu, dan tidak ada yang bisa menggantikan rasa kari yang pertama kali kumakan."
Mungkin. Sebenarnya Akutagawa tidak tahu cara menjelaskan perkataannya yang spontan itu, tetapi memandangi Dazai bercerita dengan riang mengenai rasa, dari kari pertamanya di umur sebelas tahun sangatlah menyenangkan untuk didengarkan–mereka jadi berlama-lama di kafe hingga senja, dan sama-sama melupakan perihal Akutagawa yang sempat pucat–bicaranya memang belum banyak, hanya saja ia berhenti memikirkan buku tersebut.
"Heee~ Tidak terasa, ya, sudah sore. Akutagawa-kun mau langsung pulang atau bagaimana?" Berjam-jam Dazai habiskan untuk menceritakan kari–telinganya pasti panas, bukan, mendengarkan antusiasme sang tuan yang kebablasan mengungkit-ungkit sejarah makanan itu? Namun, disayangkan juga kalau langsung pulang, karena ada film yang ingin Dazai tonton.
"Ada tempat yang ingin Dazai-sama kunjungi?"
"Tadinya aku mau mengajakmu menonton di bioskop. Kamu suka horor?"
"Akan saya temani kalau begitu."
Tanpa berucap lagi Akutagawa beranjak berdiri. Tindakan itu akan Dazai anggap sebagai bentuk semangatnya, dan selagi berjalan kaki menuju bioskop, Dazai terus mengulangi, "Jangan sampai menyesal" dengan nada usil yang menggemaskan–terkadang pula ia memancing agar Akutagawa menanyakan film yang ingin ditonton, atau "Apakah kita akan membeli popcorn?" di mana Dazai membalas, "Ya" dengan riang.
"Tapi merepotkan juga, ya, karena kita membawa banyak barang." Semuanya disimpan ke tempat penitipan barang, membuat Akutagawa sejenak berpisah dari buku yang terus direngkuhnya itu. Ia tidak terlihat sedih, ataupun senang karena Dazai pikir; kini Akutagawa terbebas yang tak perlu tanpa sengaja terbayang-bayang.
"Terima kasih telah mengajariku memakai sendok." Sebelum duduk di kursi bioskop, tiba-tiba saja Akutagawa menundukkan badan, dan perasaannya yang acak itu membikin Dazai tertawa–lagi pula sudah lama sekali kejadian yang mengawali semua ini, sampai mereka tiba di titik terawal ini.
"Apaan, deh? Sebenarnya, kan, Akutagawa-kun bisa pakai sendok. Jarimu hanya kagok saja, makanya kesulitan sendiri."
"Lalu, terima kasih juga sudah membelikanku pakaian, dan buku."
"Nanti kita akan lebih sering keluar, lho. Tahu begitu aku ajak Hirotsu-san juga, tapi dia mengotot agar kita berdua saja yang pergi."
"... boleh saya bertanya satu hal?"
"Duduklah dulu. Filmnya akan segera dimulai lagian. Tanyakan saja nanti di kereta."
Mobil pribadi Dazai terparkir rapi di bagasi, karena ia ingin mengajari Akutagawa naik kereta, sekaligus mencoba rasa-rasa baru bersama-sama, jika bocah penyakitan itu masih menyegani dunia luar. Hari ini Dazai banyak memotret–berkatnya Akutagawa tahu Dazai mencintai fotografi, terutama dalam mengambil gambar mengenai makhluk hidup–sepasang kakek-nenek makan crepes berdua, seekor puddle berlarian di taman kota, sedangkan favorit Akutagawa adalah semuanya.
Tadi pagi sebelum ke butik, Akutagawa mengambil foto pertamanya yang merupakan biru langit–amat jernih, awan cirrus yang menyerupai serat filamen halus, dan ketika Dazai mengajaknya berburu pemandangan–cepat atau lambat–Akutagawa tidak dapat menahannya–itu kali pertama ia mengangguk kencang-kencang, tetapi kepalanya tak mau copot akibat merasa tertekan.
Apakah selama mengintip isi galeri Dazai, ada sebuah foto yang mengganggu? Sekilas Akutagawa memang menemukan album yang dikunci, meski tidak bertanya lebih lanjut–omong-omong pula Dazai sebatas bercanda, tentang niatnya memperlihatkan kepala berlubang milik Catherine.
Tentu Dazai ingin mengajari Akutagawa macam-macam, yang salah satunya adalah menjelaskan proses bagaimana awan terbentuk–mungkin sang tuan betul-betul benci dengan orang bodoh, dan karena daya ingat Akutagawa rendah, benaknya terus mengulanginya walau di tengah bioskop.
Namun, bagaimana jika Dazai nanti menanyainya tentang alur film ini? Jadilah ia kembali memfokuskan pandang, pada layar di depannya yang benderang di tengah kegelapan. Pemeran wanitnya tampak dipaksa memasuki sebuah peti. Napas Akutagawa tercegat. Sebuah kilat seolah-olah melintas dalam kepalanya, memperparah sebuah kilasan yang Akutagawa saksikan.
"Jadilah anak baik, Ryuu. Suatu hari nanti kami pasti menjemputmu."
Matanya bergerak liar menyapu seisi bioskop. Siapa yang berkata? Suara siapakah itu yang mengajaknya berbicara, dan terdengar seperti wanita dewasa? Sekujur tubuh Akutagawa mendadak keringat dingin. Bahkan pandangannya mengabur, akan tetapi ia memaksa bertahan.
"Perban di lehermu mau copot. Kuperbaiki sebentar."
Untuk menyembunyikan deretan nomor panjang itu, tentu saja. Namun, sebelum Dazai sempat menyentuhnya, ia lebih dulu panik menyadari napas Akutagawa terputus-putus. Tubuhnya yang ringan Dazai gendong keluar teater. Berlari-lari kecil membuat petugas sedikit meneriaki Dazai, walau yang didapatinya bukanlah kepatuhan melainkan secarik kertas berisi nomor telepon–pihak bioskop Dazai minta agar menghubungi Hirotsu, supaya barang-barang mereka dibawakan.
"Kenapa, Akutagawa-kun? Bukankah sudah kubilang jangan memaksakan diri?"
"Berhati-hatilah di sana. Jangan memaksakan dirimu."
"Apanya yang jangan memaksakan diri? Selama jadi budak mereka terus memaksaku, meski aku tidak suka."
"Akutagawa ... kun?"
Baru pernah Dazai mendengar suaranya yang bergetar, sampai-sampai menitihkan air mata yang menggenang di pelupuk–Akutagawa tetap menahannya, padahal ia setengah tidak sadar membuat Dazai sesak. Taksi yang lewat diberhentikan. Rambut Akutagawa dielusnya lembut, berharap bayang-bayang buruk pergi dari dalam kepalanya yang pasti sangat kacau.
"Pada akhirnya aku memang tidak tahu apa pun tentangmu, ya?"
Segala-galanya mendadak sendu, dan baik itu laju taksi maupun kereta tidak bisa mengangkatnya.
Bersambung ...
A/N: Btw maaf aku lupa update jumat lalu. jadi sekian dan terima kasih. mangat puasanya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro