Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[9]


Kehilangan....

Sebuah kata yang penuh arti

Sebuah kata yang tersirat sebuah kesedihan yang mendalam

Sebuah kata yang membuat manusia belajar untuk 'merelakan'

Sebuah kata yang membuat manusia belajar 'ikhlas' atas suratan takdir tuhan.

--

Ganita memandang kosong kearah luar balkon kamarnya, hampir berbulan-bulan lamanya sejak kepergial calon suamnya, hidup Ganita bagaikan hancur berkeping-keping. Ganita tidak menyaka Esa begitu cepat bahkan sebelum mereka benar-benar mengucap janji sehidup semati.

Ganita sangat mencintai Esa, apapun akan wanita itu lakukan demi pria yang menjadi pangeran pujaanya. Termaksud kehormatannya yang rela ia berikan untuk Esa dan... janin yang berada ada di dalam kandunganya itu menjadi sakit betapa Ganita mencintai Esa.

"Ni," sayup-sayup suara seorang wanita memanggil Ganita namun wanita ini enggan menyahut.

"Ganita Iswara, kamu di dalam, Sayang?" tanya suara itu lagi.

Ganita beranjak dari pinggir jendela kamarnya dengan langka gontai, perutnya yang sudah membesar membuat langkah Ganita semakin kesulitan. Dan Ganita pun berhasil meraih knop pintu lalu mengenggamnya.

"Ganita..." sambut seorang wanita berambut hitam dan putih yang sudah menunggunya di depan pintu kamarnya.

"Jangan paksa Nita buat makan lagi, Nita nggak nafus!" erang Ganita.

Tanpa aba-aba wanita itu memeluk erat Ganita. "Berhentilah bersikap seakan-akan duniamu hancur, Nak."

"Mama nggak pernah tahu rasanya di tinggal tanpa pamit oleh orang yang kita cintai!" tolak Ganita, "Sakit Ma! Sakit. Belum lagi anak ini nggak pernah tahu siapa Ayah kandungnya! Belum lagi aku harus terpakasa menikah dengan Mas Randu yang nggak pernah aku cintai! Mendingan aku mati aja nyusul Mas Esa daripada hidupku begini terus."

"Nyebut Nak! Nyebut!" erang Santi, "Kamu nggak boleh begini terus!"

Airmata mendadak membanjiri pelupuk mata Ganita. Semua cobaan hidupnya sudah terlalu berat. Ia harus kehilangan papanya sebelum ia sempat mengenal bagimana rupa papanya, hidup dengan cemooh orang-orang yang mengatakan ia adalah pembawa sial. Dan... kini, ia harus kehilangaan pria yang ia cintai lalu hidup dengan pria yang sama sekali tak penah ia kenal.

"Nita nggak kuat lagi, Ma..." isak Ganita.

"Kamu harus kuat!" tuas Santi.

"Nita nggak sanggup harus hidup seperti ini!"

"Dengerin Mama!" perinta Santi, "Kamu harus bersyukur dengan apa yang kamu peroleh Nak. Jangan pernah kamu menyalahkan takdir!"

"Tapi—"

"Apa yang kamu rasakan... belum seberapa seperti apa yang Mama rasakan dulu," sela Santi.

"Maksud mama?"

"Ketika papamu pergi... semuanya terasa begitu tiba-tiba." Santi memandang sedu kearah putrinya ini. "Papamu pergi begitu cepat bahkan mama tak pernah tahu... kepergian papamu untuk pamit bertugas itu adalah pertemuan kami yang terakhir.

"Hingga sebuah berita muncul mengenai kecelakaan pesawat maskapai penerbangan Papamu. Semua bagaikan petir di siang bolong, bahkan pernikahan kami belum genap mencapai satu dekade bahkan saat itu Kakakmu masih berusia lima tahun yang masih lucu-lucunya. Tapi... Papamu pergi begitu cepat, tanpa pesan... tanpa pamit. Dan... satu penyesalan Mama saat itu, Mama menolak ketika papamu ingin mencium kening mama."

"Mama...."

"Belum cukup luka kehilangan papamu... satu lagi sebuah kenyataan yang Mama terima. Mungkin kalau papamu masih ada di samping Mama... Papamu adalah orang yang paling bahagai. Mama hamil." Santi mengelus pipi tirus milik Ganita.

"Lalu?"

"Cemooh pun datang silih berganti," jawab Santi, "Mama di bilang wanita nggak bener lah apa lah. Tapi Mama selalu ingat Tuhan itu nggak pernah memberi sebuah cobaan yang di luar batas kemampuan umatnya. Mama terus berjuang membesarkan kamu dan Kakakmu, dengan kerja keras apapun asal itu halal. ketika Hara berhasil mengenakan toga kebangganya Mama masih tidak menyaka gadis kecil mama sudah tumbuh dewasa. Lalu... melihat kamu juga menyusul Hara sama-sama menggunakan toga mama baru sadar, mama sudah terlalu tua."

"Mama...."

"Saat Hara mengatakan ia ingin menikah, hati kecil mama seakan menolaknya. Mama belum rela melihat gadis kecil mama pergi bersama pria yang ia cintai." Santi tersenyum, "Dan sekarang.... gadis kecil kesayangan mama pun juga pergi bersama pria yang ia cintai."

Airmata semakin membanjir pelupuk kedua mata Ganita, sebegitu beratnya perjuangan mamanya namun apa yang Ganita balas? Hanya aib, ya hanya itu. Hamil di luar nikah lalu ia terpaksa menikahi Randu pria yang entah darimana asalnya bahkan Ganita tidak pernah tahun Randu adalah teman satu SMA-nya dulu.

"Maafin Nita Ma, Nit—"

"Seburuk apa pun kamu, kamu tetaplah anak Mama," sela Santi, "Suami ada bekasnya... tapi anak? Tidak sayang."

Ganita tersenyum, jari jemarinya berusaha menyekat sisa-sisa air mata yang ada di sudut-sudut kedua matanya. "Makasih ma... Makasih untuk semuanya."

"Ehem, kok ini ada adengan nangis-nangisan ya?" ujar suara pria membuat Ganita dan Santi sama-sama tersentak.

"Mas Randu?"

"Maaf ya, Nak Randu... hormon Ibu hamil biasa," sahut Santi.

Randu tertawa reyah "Ayo kamu makan dulu, Bumil!"

"Jangan pernah kamu sia-siakan pria sebaik Randu, Ni," bisik Santi. "Cintai dia, memang berat kamu harus kehilangan Esa tapi ingat... di samping kamu ada Randu."

Ganita melepaskan dekapanya, diliriknya Randu yang berdiri tepat di belakang Santi. "Bentar lagi ya!"

"Awas kamu kalau sampai nggak makan!" ancam Randu.

Ganita beralih memeluk pinggang Randu sebelum ia benajak. "Ampun Pak Polisi ganteng jangan tilang Nita, Nita kan anak baik."

Baik Randu maupun Santi hanya tertawa melihat sikap Ganita yang mendada menjadi manja. Namun di dalam hati Santi ia hanya mampu berdoa. Semoga... semua pengorbananya di masa lalu membuat hidup kedua putrinya bahagia."


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro