Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[8]

Sudut Pandang Laras

Keberadaan perempuan dianggap tidak eksis, tatkala ia tidak memiliki cinta. Sedang pria yang tengah jatuh cinta dapat membuat perempuan yang dicintainya masuk dan menjadi bagian dari eksistensinya. Dengan demikian sang perempuan pun menjalani takdirnya untuk mengabdi kepada pria yang dicintainya.

Omong kosong!

Laras menggulir layar ponselnya, membiarkan kalimat demi kalimat esai yang sedang ia baca lewat tak terbaca. Ia menggelengkan kepala ketika sampai pada bagian akhir, merasa kesal dengan pilihan bacaannya. Mendengus, ia mengingat-ingat kapan terakhir kali menikmati waktu luangnya. Pasalnya, Laras jarang sekali memiliki waktu luang. Dan hari ini, lagi-lagi, ia menghabiskan kesempatan langka itu dengan percuma.

Membaca sebuah omong kosong adalah perbuatan percuma.

Laras meletakkan ponselnya dengan kasar. Ia memang bukan seorang feminis, tetapi ide bahwa perempuan menjalani hidup untuk mengabdi pada seorang pria tetap terasa tidak pas. Karena, kalau pada akhirnya hanya mengabdi, kenapa selama ini ia harus bekerja keras? Kenapa waktunya habis untuk menyiapkan masa depan? Kenapa ia harus menanggung begitu banyak hal sejak muda?

Dan lagi, bicara soal cinta. Laras tidak yakin bahwa hal itu cukup agung untuk mengakari segala hal—termasuk untuk membuat seorang wanita menyerahkan diri dan sisa umurnya pada laki-laki yang (katanya) mencintainya. Cinta adalah perasaan. Dengan begitu, cinta sama likuidnya dengan air; berubah-ubah. Tentu saja ia sudah pernah merasakan cinta dalam hidupnya. Ibunya, meski tertatih-tatih, telah membuktikan betapa kasih sayang seorang ibu mampu menjauhkan leher mereka dari mata pisau dapur. Namun, sekali lagi, yang ia bicarakan di sini adalah cinta laki-laki kepada perempuan. Semasa hidupnya, Laras sudah mendapatkan lebih dari cukup bukti bahwa hal itu, yang mereka sebut cinta, tidak selalu lembut dan damai seperti definisi para pemabuk cinta di televisi.

Cinta itu perjuangan. Koreksi, cinta melahirkan perjuangan yang terkadang lebih sadis daripada romusha.

Mungkin, saat-saat ketika mereka masih terikat dengan ayahnya adalah perjuangan paling menyiksa yang harus dilewati ibunya. Laras mengingat-ingat lebar tarikan bibir ibunya, mengingat kembali alasan di balik senyum wanita yang melahirkannya; ia atau ayahnya. Ia mengembuskan napas mengingat masa lalu mereka. Saat itu, ibunya mati. Saat itu, Laras mati-matian berjuang agar tidak ikut mati. Saat itu, cinta mati ibunya, ayahnya seakan menyiksa mereka agar cepat mati. Namun Laras menolak untuk mati. Dan ibunya yang penyayang tidak ingin anaknya mati. Sayangnya kisah mereka tidak berakhir dengan kematian ayahnya. Tidak, Laras tidak setega itu. Ia sudah puas melihat ibunya hidup kembali, meskipun tanpa kehadiran cinta dari seorang laki-laki.

Dan meskipun begitu, bukan berarti Laras serta-merta menobatkan diri sebagai aktivis antilelaki. Kenyataannya, ada satu makhluk berkromosom XY yang berhasil masuk ke dalam bentengnya. Ya, satu-satunya yang bertahan setelah puluhan kali 'kencan' di perpustakaan.

"Kenapa, sih? Siapa yang nge-chat?"

Laras bersandar pada punggung kursi. "Artikel busuk." Laras mengamati alis laki-laki itu terangkat, otomatis mendorong ponselnya dengan telunjuk—mempersilakan Arman membaca apa yang pada awalnya menarik minatnya. "Kalau menurutmu bagus, nggak usah promosi ke aku."

Arman tertawa. "Yah, padahal pengin ngomong gitu. It's well-written, not bad."

Kedua mata Laras menyipit. "Not bad, tapi busuk."

Arman kembali tertawa. "Itu 'kan cuma pendapat orang. Bukan berarti dengan baca itu, kamu tiba-tiba berubah jadi wanita yang seperti itu."

"Yah, terserah." Laras membenarkan posisi duduknya, kedua tangan berpangku di atas meja. "Memangnya apa sih, yang menarik dari cewek penurut?"

Arman mengernyit. "Ras, jangan mulai...," ucapannya berhenti, ia mengamati raut wajah laras, kemudian bicara lagi, "... Oke, debat. Tapi jangan marah. Aku bebas ngomong sesuai pendapatku."

Laras mengangguk.

"Jadi," Arman memulai dengan ragu, "Em, tentu saja menarik. Penurut artinya mudah diatur. Jujur aja, laki-laki pasti bangga kalau bisa mengatur istrinya. Ini soal gengsi. Semacam kalau kita debat dan kamu yang menang. Ya, senang sih pacarku pintar tapi gimana ya, masa aku kalah sama kamu."

"Kalau kita nikah, kamu akan punya istri yang tidak penurut."

Arman tersenyum simpul. "Aku tetap nggak keberatan dengan itu."

Laras menggelengkan kepala. "Aku akan tetap kerja dan sangat memungkinkan lembur."

"Jawabannya sama, nggak keberatan." Arman terkekeh. "Lagian kayak kamu mau aja diajak nikah."

Tawa Laras meledak. "Jangan dendam karena waktu itu aku nolak lamaranmu."

"Nggak dendam." Arman meraih tangan kanan Laras. "Cuma capek nunggu kamu berubah pikiran."

Laras hanya bisa tertawa, sedih. Bagaimana ya, ia sendiri tidak yakin kalau ia mencintai Arman. Ia memang menyukai laki-laki itu tetapi ... cinta? Laras selalu berharap apa yang dirasakannya adalah sesuatu yang lebih baik daripada itu. Cinta adalah cinta, Laras tahu betul. Cinta adalah cinta, perasaan yang secair air. Cinta bisa saja dingin dan menyejukkannya, bisa juga segar dan mengobati dahaganya. Namun cinta bisa juga panas sehingga lidahnya melepuh, pun beku sehingga tulang-belulangnya ngilu. Jika Arman adalah cintanya, maka Arman bisa saja berubah. Laras tidak ingin ada yang berubah.

Lagipula, Laras ragu untuk memiliki keturunan. Dunia semakin gila, dan membiarkan keturunannya lahir setelah tahu akan kenyataan itu terasa egois bagi Laras. Ia hanya ingin melindungi keturunannya dari zaman edan. Entah bagaimana, opsi tidak melahirkan anak kerap kali muncul sebagai bagian dari perjuangan untuk mewujudkan cita-citanya. Meskipun, jika ia mengambil opsi itu, perjuangannya harus naik ke level pengorbanan. Masalahnya, sampai sekarang Laras tidak mau mengorbankan mimpinya tentang keluarga kecil yang mungkin ia bangun bersama Arman. Sekali lagi, ia tidak ingin melepaskan Arman.

"Ras?" Arman meremas tangan Laras. "Kok diem aja?"

Laras tersenyum tipis, meremas jari-jari Arman yang lebih besar dari miliknya. "Sabar, ya. Kamu tahu alasanku apa."

Arman menatapnya lembut. "Ya, aku tahu."

Laras tahu, Arman tahu. Hanya saja perlu waktu lama untuk berjuang melawan traumanya. Ia memang tidak yakin, tetapi saat waktu itu tiba, ia harap mereka memiliki akhir kisah yang bahagia. Entah akhir kisah yang bagaimana.

TAMAT


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro