[6]
"Kamu anak perempuan belajar tinggi-tinggi ga ada gunanya. Mending langsung nikah aja selesai SMA."
Benar, itu adalah pernyataan keluargaku sendiri. Seluruh sertifikat lombaku dirobek habis oleh ibuku. Buku-buku kesayanganku dibakar oleh ayahku. Ada apa ini? Apa memang semuanya harus berakhir di dapur?
---
Saat ini aku duduk di kelas 3 SMA, dan baru saja menyelesaikan ujian nasional. Anak perempuan lain pasti berusaha untuk masuk ke jenjang yang lebih tinggi dan sangat didukung oleh orangtua mereka.
Berbeda dengan nasibku, sudah dituntut seperti ibu rumah tangga sejak kecil.
"Dina, kalau kamu masih ada waktu buat baca buku, lebih baik bantu di sini saja."
Buku yang baru aku pinjam dari temanku, judulnya 'Sukses Masuk Perguruan Tinggi', akhirnya bisa aku baca. Namun, ibuku sepertinya sadar namun tetap tidak peduli denganku.
Entah kenapa di masa sekarang masih ada saja pemikiran sempit seperti mereka. Aku tidak menghina, hanya saja... ini terlalu sulit bagiku.
"Ba-baik bu." Aku memutuskan untuk membacanya malam hari agar bisa membantu ibu. Keadaan keluarga kami dan di sekitar kampung kami memang belum terlalu maju, itulah sebabnya motivasiku semakin menjadi-jadi untuk membangun desa ini.
"Dengar, kamu harus cepat cari pasangan, biar cepat nikah. Makanya, harus punya ciri-ciri istri yang baik."
Uh, aku setuju dengan poin terakhir. Hanya saja, cepat nikah? Tunggu, perjalananku masih panjang.
Aku tetap terdiam membantu ibuku memasak. Aku tidak berani membantah. Tiap malam aku berdoa, namun sepertinya belum ada jawaban dari Yang Maha Kuasa.
"Dengar Dina, banyak anak itu banyak rezeki. Syukurlah ibu melahirkanmu, namun tidak bisa ada anak lagi, karena rahim ibu lemah."
Pernyataan yang hampir berjuta kali terngiang di telingaku. "Hmm..." responku singkat tak berbelit.
---
Berkali-kali aku tetap mencoba untuk mencairkan hati orangtuaku yang keras. Namun mereka bersikeras untuk menyuruhku menikah seusai kelulusan.
"Teman perempuanmu malah sudah banyak yang putus sekolah dan menikah. Kau malah masih sibuk belajar, mau bagaimana nanti ke depan?"
Kali ini ayahku mengeluarkan argumennya. Aku tak bisa membantah. Mereka adalah orangtuaku, tak perlu membantah meski aku yang tersakiti.
Suasana cukup hening saat ini, membuatku berani mengeluarkan suara. Ayahku juga sedang keluar.
"A-anu, begini..."
"Hah, apa lagi?" Ibuku tiba-tiba mengejutkanku dengan nada tingginya.
"Bu, aku dapat beasiswa untuk kuliah. Full hingga wisuda nanti," ucapku antusias dengan wajah berseri.
Aku bisa melihat perubahan ekspresi di wajah ibuku. Ya, menakutkan sekali. Aku tak peduli.
"Kau tuli atau bagaimana? Kau tidak boleh kuliah! Ngerti?"
"Ta-tapi bu, aku belum ingin menikah. Aku rasa aky harua sekolah lebih tinggi, mencari pekerjaan yang sesuai, dan barulah menikah. Bukankah ini zaman modern? Harusnya mengikuti perkembangan, bu."
"Semuanya itu ga berguna. Ujung-ujungnya suamimu yang akan kerja, kamu tugasnya cuma ngurus anak. Mau gimana masa depan anakmu kalau kamu kerja melulu?"
Di situ aku terdiam. Pertanyaan terakhir, entah kenapa harus aku jawab dengan hati-hati.
"A-aku bisa pikirkan itu nanti. Lagipula, aku ingin sekolah lebih tinggi. Ingin lihat dunia luar, dan tidak ingin terjebak di kampung ini terus."
"Kamu dilahirkan dan besar di sini, jangan sekali-kali kamu menghinanya..."
"Aku tidak menghina, malah aku sayang dengan kampung ini. Saking sayangnya, aku ingin belajar tinggi-tinggi biar bisa memajukan desa ini. Apa itu salah? Memangnya hanya laki-laki yang bisa? Ibu saja tetap kerja di PKK desa untuk membantu desa."
Aku mencurahkan emosiku dalam setiap kata yang kuucapkan. Ibuku memang bisa membaca dan menghitung, hanya untuk memenuhi kebutuham pengetahuannya. Ibuku memang tidak sampai tingkat SMA, hanya SMP saja.
"Terserah kamu saja!"
Di balik pernyataan tersebut tersirat sesuatu, yaitu 'Ibu mau pikirkan dulu.' Aku tahu itu karena dia adalah ibuku.
---
Berhari-hari lewat, aku tidak berani lagi membahas tentang beasiswaku. Aku memang mendapat beasiswa, tapi orangtuaku tidak senang.
"Teknik Sipil kah..."
Jurusan yang memang cukup sulit seperti yang dikatakan orang. Tapi entah aku yang seorang perempuan tertarik mengambil jurusan tersebut.
Aku hanya menghayal sambil menatap dinding kamar yang terbuat dari kayu.
"Dina..."
Ibuku tiba-tiba datang duduk di atas kasurku. Aku pun sontak langsung duduk.
"Ibu dan ayah memutuskan untuk mengizinkanmu mengambil beasiswa itu. Ya, memang aneh sekali rasanya, karena tetanggamu banyak sekali yang berharap anak perempuan mereka langsung menikah tapi ibu dan ayah mencoba untuk membuka suatu lembaran baru. Asalkan kamu sungguh-sungguh, kamu pasti jadi orang yang hebat."
Aku tersenyum berseri. Astaga, doaku terjawab akhirnya. Ada dukungan dari orangtua membuatku malah lebih bersemangat.
"Makasih ibu..." Aku langsung memeluknya erat dan meneteskan air mata. Ya, perjuanganku saat sekolah tidak sia-sia. Meski buku dan sertifikat saat sekolah tidak bersisa, namun perubahan ada saat aku kuliah nanti.
"Maafkan ibu dan ayah yang sudah memaksamu ya, Nak..." Ibuku seperti menangis, aku pun langsung merasa lega.
Mungkin ini perjuangan Kartini tidak semudah yang aku alami saat ini...
---
Delapan tahun kemudian...
"Peresmian infrastruktur Desa Jayaraga oleh Bapak Gubernur..."
Seluruh masyarakat desa bertepuk tangan. Inilah yang aku capai. Setelah melewati tantangan yang sulit, hasilnya sangat luar biasa.
"Terima kasih kepada Dina Utami dan seluruh rekan yang sudah membantu pengembangan Desa Jayaraga ini," ucap Kepala Desa. Aku hanya tersenyum dari tempat duduk.
Orangtuaku bangga padaku. Memang, selama 12 tahun tidak didukung dalam pendidikan, akhirnya mereka melihat hasilnya sendiri.
"Habis gelap terbitlah terang, benar 'kan?"
Senyum manis tersungging di bibirku, memancarkan harapan baru bagi masyarakat sekitar.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro