Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[5]

Helen terdiam. Antara terpaku dan berpikir ke depan. Jujur, ia ingin menerima lamaran lelaki yang ia cintai. Tapi, belum sekarang. Dan mungkin saja, tidak akan pernah.

"Maaf, Jim." Helen mengembalikan cincin yang Jim gunakan untuk melamarnya. "Aku gak bisa."

"K-Kenapa? Apa kamu sudah memiliki orang lain?"

Helen menggelang kuat. Air mata telah berada di ujung matanya.

"Siapa yang akan menjadi waliku kelak ketika menikah? Ayahku, tidak akan pernah menganggapku lagi," suara Helen bergetar hebat. Ia memejamkan penglihatannya. Membuat air matanya lolos jatuh mengalir mengintari wajah oriental miliknya. Seiring dengan itu, pikiran Helen kembali pada masa lalu. Dimana ia masih dapat memanggil pria paruh baya itu dengan sebutan Ayah.

"Ini apa?" Ayah mengacungkan surat itu di hadapan Helen.

Helen menelan ludah sebelum menjawab, "i-itu panggilan untukku menuju perguruan tinggi."

"Perguruan tinggi katamu?"

Ya, surat itu ditunjukkan untuk Helen. Hasil jerih payahnya selama tiga tahun bersekolah. Ia bukan anak yang suka berkeliaran di mall setiap akhir pekan atau mempunyai banyak mantan ketika masa sekolah. Remaja yang cukup tertutup. Hanya memiliki beberapa teman. Tidak perlu banyak, yang penting orang-orang yang disekelilingnya jauh dari kata palsu dan memiliki topeng.

Ayah berdecak sebal. Ia arahnya telunjuknya tepat di depan mata anak semata wayangnya. "Apa yang harus Ayah katakan pada keluarga Atmaja?! Ayah sudah menerima tawaran itu. Kamu harus menikah dengan anak Atmaja. Bukan kuliah!"

"Batalkan saja, Yah. Ini masa depanku. Dan aku yang menjalani masa depanku. Bukan Ayah,"

"Tapi menikah juga masa depanmu! Kamu sebagai anak memang mencekik Ayah. Untuk kuliah dapat uang dari mana?! Sudah berbaik hati keluarga Atmaja yang membayar biaya pernikahan!"

"Tapi aku tidak mencintai dia! Ayah mau membiarkan aku menderita?"

"Bahkan Ayah dan Ibu dulu tidak pernah saling mencintai, Nak. Buat apa kamu kuliah kalau akhirnya tempat wanita itu adalah di dapur."

Helen merebut surat itu kasar, "sudah berakhir! Tempat wanita bukan lagi di dapur. Aku bisa membuktikan bahwa seorang wanita mampu memimpin dirinya sendiri."

Nafas Helen memburu ketika berbicara. Semakin menjadikan sang ayah naik pitam.

"Percuma! Perjuangan Kartini percuma bila sekarang wanita Indonesia masih harus berlindung di bawah naungan seorang laki-laki. Dan ingat Ayah, dapur adalah tempat dimana pisau berada. Dan di sanalah orang-orang mengatakan tempat perempuan bekerja."

Dengan cekatan Ayah merebut surat itu lalu merobeknya mantap. Surat yang akan membawa Helen menuju masa depan cerahnya. Yang dapat memutuskan rantai kemiskinan yang menjerat ia serta keluarganya.

"Tugas seorang laki-laki adalah untuk menjaga wanita! Dan tugas seorang wanita adalah untuk meredamkan sifat kasar seorang laki-laki setelah ia mati-matian menjaga wanitanya!"

Satu tamparan kuat mendarat di pipi kanan Helen. Ia terhenyak. Seumur hidupnya baru kali ini sang ayah bermain tangan dengannya. Tanpa ba-bi-bu, Helen mengumpulkan sobekan kertas surat tersebut lalu membawanya ke dalam kamar.

Tak ada waktu bagi Helen untuk menangis di atas kasur sambil meratapi nasibnya. Ia mulai meringkasi semua pakaiannya lalu segera bergegas pergi dari rumahnya tanpa berpamitan secara hormat dan sopan.

"Mulai detik ini, jangan panggil aku Ayah! Kamu perempuan liar yang ingin kebebasan! Bukan perempuan terdidik yang Ayah kenal!"

Helen pun tak ingin lagi berdebat dengan orang yang ia kasihi. Semakin ia mengulur waktu, semakin dirasa sulit untuk melepaskan. Dan sejak saat itulah, ia tak lagi melihat sosok ayahnya yang selalu menjaganya.

Hingga Helen terlalu terbiasa menjaga dirinya sendiri tanpa sosok lelaki mana pun. Bahkan, ia merasa lebih kuat dari lelaki. Tetapi tetap perasa sebagai seorang wanita.

Karir Helen memang tak semulus ucapan tangguhnya. Ia harus merangkak sebelum akhirnya dapat berdiri di depan khayalak untuk memperkenalkan dirinya sebagai salah satu ketua di sebuah partai politik papan atas di Indonesia.

"Untuk apa hari Kartini selalu diingatkan setiap tahunnya bila kita, sebagai wanita tidak dapat mengindahkan jasa Kartini? Padahal sekarang kita bisa setara dengan posisi laki-laki. Tetapi, kita beranggapan bahwa wanita tak pantas untuk bekerja lebih selain mengurus rumah tangga," ucapnya ketika berpidato pada suatu acara khusus di dalam gedung pemerintah.

Dan itulah yang membuat seorang lelaki bernama Jim terpikat kepadanya. Meskipun gengsinya cukup tinggi untuk mendekati wanita kelas atas seperti Helen, tetapi setinggi apa pun wanita, lelaki lah yang harus mendahului.

Jim sadar ia tidak terlalu terpandang seperti Helen. Tapi bagaimana pun, ia ingin menjadi seseorang yang dapat melihat sisi lembut Helen sebagai seorang wanita.

"Kalau begitu, ayo kita bertemu ayahmu," ajak Jim mencari jalan keluar.

Tapi, lagi-lagi Helen menggeleng. "Ia sudah meninggal bunuh diri. Rasa malunya adalah segalanya. Setelah aku kabur dari rumah, keluarga Atmaja benar-benar marah besar pada ayahku."

Jim memeluk Helen erat. Tak peduli sekeras apa pun Helen menangis, ia akan selalu berada di sampingnya. Sekuat apa pun Helen, ia akan berusaha lebih kuat darinya. Dan ia akan berjanji untuk menjaga Helen seperti tugas seorang lelaki.

"Ray, buka pintunya! Ini sabunmu!"

Entah sudah berapa kali aku mendengar ibu mengatakan hal yang sama dengan suara ketukan pintu yang tak kalah nyaring. Tetapi, aku tak bergeming. Lama kelamaan, suara ketukan pintu semakin gila.

"Apa kau tuli?!" aku dapat mendengar nada teriakan ibu naik satu oktaf.

"Simpan saja di meja dapur. Aku akan kesana." ucapku kemudian yang membuat ketukan pintu berhenti. Tak selang lama terdengar langkah kaki yang makin menjauh.

Biarlah kali ini aku mandi tanpa sabun. Karena dari pertama kudengar ketukan pintu, aku telah menyadari bahwa sebenarnya hari ini beliau sedang pergi ke Sydney.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro