Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[4]

Tamparan itu bagaikan pedang yang menusuk tepat ke relung hatiku. Sakit dan perihnya bukan di pipi, melainkan di hati.

"Bunda sudah mengatakan ini padamu, tak usahlah kau menggapai langit yang tinggi selama kita hanyalah orang bawah."

Tanganku terkepal, perih yang sudah seharusnya di rasakan aku salurkan melalui kepalan tanganku. Keberadaan kami orang bawah, yang sangat hina. "'Tapi Bunda...!"

"Ketahuilah Cia, kamu hanya akan menanggung malu begitu mereka tahu siapa Bundamu!" Bunda berbalik memunggungiku, 'tapi aku sempat melihatnya. Setitik bening yang mulai meluncur meninggalkan singgasananya.

Semua itu benar adanya, kami orang bawah. Terlalu hina untuk di sandingkan dengan mereka orang-orang atas. Bagaikan langit dan bumi, terlalu jauh dan tak mungkin bisa bersatu.

*

Pagi ini, langit masihlah biru, sama seperti hari kemarin di mana semua keinginanku membuncak tinggi. "Cia ... bagaimana, jadi daftar ke Universitasnya!" Baru saja kaki ini memijak di kelas, suara Bu Tika langsung menyapaku.

"Maaf Bu, sepertinya tidak bisa!"

"Kenapa tidak dicoba dulu sayang? Nanti kamu menyesal loh!"

Aku mengangguk. "Saya akan mencobanya dulu, Bu!" ujarku seraya menunduk. Ijinkan aku untuk berbohong kali ini, sekali ini saja, kepada dirimu, Bunda!

*

Hari sepi, sangat sepi ketika aku mulai membuka mataku. Tak ada suara lain selain kicauan burung dan kokokkan ayam jantan. Aku menghela napas.

Bunda belum pulang, dan aku yakin Bunda akan pulang esok hari.

Kuputuskan membuka buku pelajaranku, satu persatu, lembar demi lembar mulai kuselami. Tak lupa pena dan juga kertas kosong gunaku merangkum semua yang kubaca kali ini.

"Kalau aku tidak bisa kuliah, bagaimana?" tanyaku tiba-tiba pada ruang hampa di hadapanku.

Dan saat itulah aku mulai memikirkannya. Ketika Universitas tak mau menerimaku? Apa yang akan aku lakukan?

Kugelengkan kepalaku. Biarlah ... sekali ini saja, biarlah aku melupakan alasan terburuk ini.

*

"Sudah diisi semuanya, Cia?" tanya Bu Tika di saat kami(aku dan juga peserta lainnya) berada di satu ruangan yang sama. Saling berbagi hanya untuk mendaftarkan diri ke Perguruan Tinggi Negeri.

"Sudah Bu!"

"Kalau begitu kalian boleh pulang, ingat ini. Apapun yang terjadi kalian tidak boleh menyerah. Tidak lolos jalur Undangan, masih ada jalur tulis. Kalian bisa kejar jalur tulis itu!"

Kami dengan terpaksa mengangguk, walau akupun melakukannya. Nyatanya aku tak yakin dengan kemampuanku di jalur tulis.

Aku mendesah, terlalu berat. Tanpa Bunda ... semuanya berat.

*

"Ci, gak lolos yah? Coba jalur tulis Ci, jangan pesimis dulu oke!" semangat sahabatku. Aku menggeleng, tak ada tangis bagiku. Tak ada karena aku tahu bahwa aku tak akan keterima semudah ini. Dua bulan lalu, aku sadar semua ini akan terjadi padaku.

"Aku gak yakin di jalur tulis, Ra!"

"Coba aja dulu Ci!"

"Ya." Putusku pada akhirnya. Hari ini ... aku akan menundukkan kepalaku dalam-dalam. Menatap Bunda dan meminta restu padanya ... bisakah aku melakukannya?

*

"Kamu tidak menuruti kata-kata Bunda, iya?"

Dengan terpaksa aku mengangguk. "Cia ingin sekolah, Bunda!"

"Apa gunanya kamu sekolah dan menghabiskan uang jutaan rupiah itu, Ci? Apa? Gak ada Cia, GAK ADA!" Walau Bunda terlihat marah, aku tak peduli.

"Cia akan buktiin ke Bunda kalau Cia bisa, Cia gak mau hidup seperti seekor burung di dalam sangkar. Gak mau dan gak akan, Bunda harus tahu itu!"

"Apa yang akan anak kecil lakukan hah? Gak akan bisa, Cia gak akan bisa lepas dari Bunda!"

"Cia masih yakin kalau Cia bisa, dan Cia akan mencobanya! Apapun rintangannya!"

Kemudian ... aku pergi dari sana dan tak pernah lagi kembali.

*

Setahun sudah sejak hari itu, hari di mana aku mulai membangkang pada Bundaku, dan hari di mana aku pergi meninggalkan rumahku.

Bagaimana kabar beliau di sana?

Bagaimana keadaannya?

Sehat kah?

Atau sakitkah?

Aku menghela napasku gusar, aku merindukan Bunda.

Kuputuskan hari ini ... aku akan mengunjungi Bunda di rumah yang dulu itu.

*

"Bunda!" panggilku lirih.

"Cia!"

"Cia rindu sama Bunda!" Aku memeluk beliau erat, terlalu erat sampai aku tak yakin bahwa aku bisa melepasnya.

"Bunda juga, sangat rindu sama kamu, Nak! Bagaimana kabarmu, Nak! Sehat?"

"Sehat Bunda, sekarang Cia tengah liburan semester jadi Cia bisa pulang. Maaf tak pernah memberi Bunda kabar!"

"Syukurlah ... setidaknya apa yang Bunda inginkan, masih bisa kamu laksanakan, Cia!"

"Apa maksud Bunda?"

"Bunda selalu mendoakanmu, nak! Selalu dan tak pernah berhenti."

Saat itupula airmataku mengalir, jadi ini alasannya. Karena doa orang tua lah yang membuat kita berhasil sampai seperti ini.

Sekejam apapun orang tua kita, pasti mereka hanya ingin yang terbaik untuk anaknya. Kita harus tahu itu. "Terima kasih untuk segalanya, Bunda!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro