Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[3]

Tidak banyak yang bisa dinikmati di kota ini. Anak mudanya sudah mulai minum arak menjelang sore, dan terus berlanjut hingga tengah malam. Besoknya mereka akan bangun kesiangan dan terus bermalasan hingga petang. Lalu kebiasaan mereka terulang lagi: mabuk sampai tengah malam, bangun kesiangan, mabuk lagi. Tak heran mengapa kota ini seperti bangunan tua yang ditinggali orang-orang tak bermimpi.

Nenek Juleha selalu bangun subuh. Ia mempunyai seorang cucu laki-laki. Namanya Risno. Kepribadiannya tak jauh beda dengan pemuda-pemuda kota ini. Mereka tinggal berdua di rumah yang sekarang sudah seperti gubuk—dulu bangunan ini terawat, namun sepeninggal kedua orangtua Risno, cucu Nenek Juleha itu terlalu lama larut dalam kesedihannya, sehingga uang warisan dihabiskan untuk membeli arak (tak ada yang diselipkan untuk biaya perawatan rumah).

Nenek Juleha tuli. Beliau pun sudah tak bisa berbicara dengan fasih. Mungkin karena faktor usia. Si Nenek juga sudah bungkuk, walaupun begitu ia masih bisa berjalan normal, tak perlu menggunakan tongkat layaknya orang lansia pada umumnya. Kekuatan fisik itu ia dapatkan karena semenjak berhenti menjadi tukang masak—pendengarannya sudah mulai berkurang—ia memutuskan untuk menjadi pemulung. Tiap hari bangun subuh dan mulai mengais sampah di kota ini. Nenek Juleha mampu berkeliling sampai puluhan kilo di usianya yang renta. Dulu, uang yang didapat dari hasil memulung cukup untuk mengisi perutnya, namun sepeninggal orangtua Risno, perut yang harus diisi jadi bertambah satu—Risno terlalu malas untuk mencari kerja.

Siang itu, Nenek Juleha mengais sampah di rumah Pak Kadis. Semalam ada acara di sana, jadi botol-botol air mineral dan sampah-sampah lainnya banyak berseliweran di sekitar halamannya. Sambil mengumpulkan sampah-sampah yang bertebaran, Nenek Juleha melihat sebuah bangku plastik kecil yang lusuh. Sepertinya sudah tidak dipakai pikir si Nenek. Ia pun memasukkan bangku itu ke dalam karungnya. Langsung saja anak Pak Kadis menegur karena sejak tadi ia memperhatikan gerak-gerik si Nenek.

"Eh, Nek. Itu jangan diambil!"

Si Nenek tak menyahut dan terus berjalan meninggalkan pekarangan rumah Pak Kadis.

"Sini bangkunya. Ini masih dipakai, Nek," kata anak Pak Kadis sambil berusaha mencari bangku itu di dalam karung si Nenek.

Nenek Juleha tak melawan. Ia mengerti maksud si Anak. Isi karungnya dibongkar semua, dan setelah menemukan kembali bangku kecil miliknya, anak Pak Kadis berlalu masuk ke dalam rumahnya. Nenek Juleha mengumpulkan kembali sampah-sampah yang dibongkar dari dalam karungnya. Sebelum beranjak dari situ, anak Pak Kadis teriak,

"Mulung di tempat lain, Nek!"

Nenek Juleha tak menyahut dan pergi dari tempat itu.

Di pinggir jalan raya si Nenek kembali mengumpulkan sampah yang berserakan. Hari sudah petang. Hampir di setiap gang, terlihat para pemuda yang sudah mulai melakukan rutinitas mereka. Minum arak. Kebetulan Nenek Juleha melewati gang di mana Risno biasanya berkumpul bersama teman-temannya. Nenek Juleha tidak melihat cucunya berada di sana. Maklum, penglihatan beliau sudah mulai rabun.

"Eh, Risno, itu bukannya nenekmu?"

Risno hanya menoleh sejurus lalu kembali bercakap bersama teman-temannya.

*

Di jalan Laiworo sebuah motor yang dikendarai seorang pria mabuk melesat tak keruan. Melambung setiap kendaraan di depannya dengan kecepatan tinggi. Tak jarang motor itu oleng dan melesat di bahu jalan—berapa kali hampir menabrak kios-kios yang berderat di pinggir. Kejadiannya cepat. Seperti kilat yang menyambar, motor itu menabrak seorang nenek yang sedang mengais sampah di pinggir jalan. Bunyi bedebam. Orang-orang berkumpul. Darah segar bertebaran: berikut sampah-sampah dari karung si pemulung. Langit yang tadinya lazuardi perlahan merah lalu gelap. Bunyi sirene ambulans menandai kejadian itu telah berakhir. Besoknya orang-orang kembali beraktivitas, pemuda kembali mabuk, dan jalan itu kembali ramai. Seperti kematian hanyalah detik-detik yang kebetulan hinggap di benak mereka.

Tidak banyak yang bisa dikenang di kota ini: air laut yang keruh, rumah-rumah makan reyot, pedagang kaki lima, preman di tiap gang, rumah-rumah megah yang sombong. Tak banyak yang bisa kau masukkan ke dalam memori kecuali, seorang nenek yang tuli dan hampir bisu: yang mengais sampah demi hidupnya, hidupmu, dan hidupku.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro