[1]
Adelaide, 1992
Kehidupan itu seperti roda, terkadang kebahagiaan bisa sirna dalam sesaat dan digantikan duka yang berkepanjangan. Tak selamanya berada di atas, tetapi bisa dengan cepat terhempas ke bawah. Menyakitkan, ya, sangat menyakitkan bahkan rasanya seperti ingin mati.
Jaman telah berubah, dengan cepat, mengubur kenangan kelam yang pernah terjadi. Menutup dosa-dosa biadab para serdadu Jepang yang kala itu menduduki tanah jajahan mereka. Tetapi duka itu tak akan mampu sirna dalam ingatan para korbannya, termasuk diriku. Ya, akuah sang mantan jugun ianfu yang hanya mampu menanti detik berlalu dan memberikan keadilan bagi wanita-wanita lain yang bernasib sama dengan diriku.
Tangan keriputku membelai sebuah bingkai foto kusam yang telah lama aku simpan rapat dalam sebuah laci dengan gembok besar. Tak ingin kubuka barang sekali pun. Tetapi melihat wanita-wanita Korea itu menuntut keadilan pada sang Perdana Menteri Jepang, terpaksa membuatku membuka sebuah luka lama yang harusnya hanya menjadi bongkahan sampah usang yang tak perlu lagi dipungut.
Wanita dalam foto usang berlatar hitam putih itu sungguh cantik. Bagaimana tidak, ia adalah keturunan Belanda asli. Lahir di Semarang, Indonesia, kala serdadu Belanda masih memegang tampuk kuasa di tanah Jawa. Kedua orang tuanya yang merupakan orang Belanda asli begitu dekat dengan para priyayi-priyayi pribumi. Menghabiskan hidup dengan bahagia di daerah perkebunan kopi di Kendal, sampai serdadu Jepang memasuki bumi Indonesia.
Cathelijne Van' Herne, nama yang indah seindah rupanya. Tetapi sungguh pun jika ia boleh memilih, tiada akan pernah ia memilih untuk menjadi perempuan dengan paras rupawan. Apalah arti sebuah cantik jika itu akan mendatangkan nestapa dan penderitaan tiada berujung?
Langit kota Kendal kala itu berselimut awan gelap. 1942, saat lonceng perang dunia II berkumandang, tahun keemasan Belanda berubah menjadi tahun yang berdarah-darah saat banyak dari mereka yang menyerah kepada Jepang. Banyak serdadu Belanda terbunuh dan hilang tanpa jejak. Banyak pula dari mereka yang kembali ke negara mereka untuk menghindari pembantaian Jepang. Tetapi semuanya terlambat, saat Cathelijne dan keluarganya belum sempat kembali ke Belanda.
Langkah-langkah para serdadu Dai Nippon bagai sebuah mata pedang yang mengerikan. Cathelijne hanya mampu bersembunyi di dalam lemari saat mendengar suara dobrakan pintu rumahnya.
"Serahkan anak perempuan kalian!"
Rupanya papan kayu tak bertahan lama menjadi benteng yang menyembunyikan Cathelijne. Dengan brutal tentara-tentara itu mengobrak-abrik rumahnya, menemukannya, dan membawanya ke dalam truk tentara yang sudah berisi banyak sekali wanita-wanita pribumi.
Ada sorot bahagia dalam wajah wanita-wanita pribumi itu yang membuat Cathelijne beku dalam keterdiamannya. Ia tahu banyak wanita pribumi yang tak boleh sekolah. Ia tahu para serdadu telah memberikan iming-iming pekerjaan yang pantas untuk mereka. Tetapi ia terlalu pintar untuk bisa dikelabuhi oleh para prajurit Dai Nippon. Wanita-wanita pribumi itu tentu akan menangis darah seandainya pun tahu apa yang akan terjadi pada mereka.
Tentara Jepang membawa mereka ke sebuah kamp tahanan di Ambarawa. Hanya sebuah rumah yang cukup besar namun terlihat mengerikan. Saat menginjakkan kaki pertama kali di kamp tahanan itu, Cathelijne tiada lagi mampu berpikir jernih. Serdadu-serdadu terlihat begitu mengerikan di matanya. Liur dan tatap mereka merekah bagaikan melihat madu manis yang siap di cicipi saat para wanita mulai di tempatkan di kamar mereka masing-masing.
Kamar... nyatanya konotasi itu masih lebih baik dibanding keadaan yang sesungguhnya. Hanya sebuah bilik-bilik sempit yang disekat oleh kain dan kayu teriplek tipis. Cathelijne bergidik ngeri membayangkan apa yang terjadi selanjutnya pada ia dan juga wanita-wanita pribumi lainnya.
Ya, di tempat itu mereka disiksa secara mental dan fisik. Tubuh mereka digunakan sebagai alat pemuas nafsu bagi para tentara Jepang. Sehari bisa melayani 10 hingga 20 prajurit tanpa ampun. Dengan peluh yang sudah melebur bersama darah. Dengan ratap tangis yang tiada guna lagi untuk mendapat sedikit belas kasihan. Menolak melayani, siap saja dengan berbagai siksa cambuk dan pukulan. Hamil? Maka aborsi menjadi pilihan. Kematian? Batasnya sudah menjadi sangat tipis. Bahkan jika boleh memilih mati, Cathelijne lebih memilih jalan itu.
Jugun Ianfu, mereka menyebutnya. Atau confort women, bangsa kulit putih menyebutnya. Mereka bukan pelacur, mereka hanyalah korban dari keadaan dan kebiadaban terhadap perikemanusiaan. Saat emansipasi tak lagi memiliki peran. Saat moralitas hanya mampu bertahan diatas angan. Para jugun ianfu mencoba tetap bertahan hingga masa keemasan Jepang surut ditelan dua bom mahadahsyat yang meluluh lantakkan Hiroshima dan Nagasaki.
Dan kini 50 tahun telah berlalu. Kenangan pahit itu tak akan mampu terlupa. Ia membekas dan menimbulkan luka pemanen. Tangan keriputku masih membelai wajah rupawan dalam lembar hitam putih itu.
Cathelijne Van' Herne, ya, itu adalah diriku. Diriku yang telah dipermainkan oleh masa kelam kekejaman serdadu Jepang. Diriku yang tak lagi mampu memiliki keturunan karena kemandulan permanen akibat saat-saat kegelapan itu. Dan kini diriku ingin mempertahankan apa yang harus dipertahankan. Memperjuangkan apa yang harus diperjuangkan.
Diam tak selamanya emas, sekarang adalah saatnya berbicara dan membuka luka lama. Hanya untuk sebuah keadilan. Bukan hanya bagi diriku, tetapi juga bagi wanita-wanita lain yang bernasib sama denganku di seluruh belahan negara lain yang pernah dijajah oleh Jepanv, tak hanya di Indonesia.
50 tahun telah berlalu. Dan diriku tak akan pernah berhenti berjuang. Hingga sang Perdana Menteri menyuarakan permohonan maafnya. Hingga tak lagi ada wanita-wanita lain yang menjadi korban kebiadaban. Fifty Years of Silence, sebuah buku yang aku persembahkan sebagai bagian dari perjuanganku akan masa kelam itu. Buku yang akhirnya menjadi titik balik diriku menjadi seorang aktivis kemanusiaan.
Kisah ini aku persembahkan untuk semua wanita-wanita tangguh yang berani melawan diskriminasi. Yang terus berjuang untuk keadilan.
Adelaide, 1992
Cathelijne Van' Herne
Dedicated for Jan Ruff O'Herne
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro