Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

8 ; How About Me

Pedih. Menjadi salah satu perasaan mengapa lelaki yang sedang berdiam diri di bawah pohon rindang itu masih bertahan hidup. Hingga detik ini.

Luka luar dan dalamnya sudah sering ia rasakan. Seperti, untuk berusaha bangkit pun sudah tak ada gunanya. Itu yang ada di pikiran seseorang yang diberi sebuah nama Kamal.

Sudah hampir dua tahun lebih. Kamal tak pernah diberi satu kesempatan untuk bernapas lega. Setiap harinya adalah penjara paling mematikan untuknya.

"Heh, Kamal. Duduk di paling pojok sanah, males gue lihat muka lo deket-deket gini."

"Apaan, sih? Gue nyuruh lo beli roti tawar satu bukan sebungkus isinya berlapis-lapis gini, bego."

"Kamal, pulang nanti lo piket sendiri. Biar gue yang bilang kalau lo yang bersedia bersihin lapangan sendirian."

"Bangsat! Tatapan lo bikin gue makin jijik. Enyah lo, brengsek!"

Tak ada ketenangan. Hanya teriakan dan cemoohan yang didapat. Kamal, benar-benar telah hancur begitu saja untuk hidupnya. Untuk umur yang terbilang muda, terasa sudah seperti memiliki masalah yang sangat berat.

Seperti sekarang, dirinya sedang berdiam sendiri. Ingin menikmati setidaknya hanya beberapa menit ia menghabiskan makan siangnya, sebuah benda bulat berhasil mendarat di pipi kanannya dan terpantul kepada makanan yang belum sedikit pun ia rasa.

"Eh? Ada si kumel. Aduh, sorry banget. Jadi nggak bisa makan, ya? Nih, gue gantiin. Beli yang lebih sehat, ya, Kamal."

Kepalanya masih ia tundukan. Menatap pada sisa-sisa makanan yang berserakan juga selembaran kertas tadi menjadi pemandangan paling menyakitkan bagi Kamal. Ia menggigit bibir bawahnya kuat. Berharap derai pada aksanya tak lagi tumpah untuk kesekian kalinya. Kamal benar-benar lelah. Ia ingin semuanya menghilang dari pandangannya.

Ia benar-benar hanya merasakan sesak yang tertahan tak tercurahkan. Kesalahan dari kedua orang tuanya menjadikan sebuah imbas paling buruk untuk Kamal. Bahwa kini ia tertinggal sendirian di belakang sini, saat mereka berhasil tertangkap dan dibawa ke balik jeruji besi. Hidupnya terasa jatuh sedalam-dalamnya begitu mendengar kabar apa yang sudah kedua orang yang begitu ia cintai itu lakukan. Membawa dirinya kepada sengsara dan kesendirian.

"Eh, itu si anak yang orang tuanya masuk penjara, 'kan?"

"Sutt, jangan keras-keras. Iya, bener. Bisa-bisanya dia masih masuk sekolah padahal orang tuanya udah bikin kesalahan besar banget."

"Gila, ya? Orang tuanya beneran udah nggak waras. Jadi perantara untuk jual beli organ manusia gitu dibayarnya berapa, sih?"

"Mer! Ih, kalau dia denger gimana? Udah, ah, yuk. Takut aku lama-lama di sini."

Kamal mengepal kuat jari-jemarinya. Amarahnya memang ingin meledak, tetapi ketakutan selalu sukses menjadi pemenang. Ia mengusak wajahnya juga kedua netranya. Menarik napas berat, lalu memberanikan diri mengangkat wajahnya.

Tak di sangka, di hadapannya ada seseorang yang berdiam menatap dirinya. Wajahnya putih pucat, bibirnya yang sedikit berwarna merah mudah itu menampakkan simpulan cantiknya.

"Ini. Pakai ini buat bersihinnya." Gadis di hadapannya memberikan sebuah tisu basah yang baru saja ia beli beberapa menit yang lalu.

"Buat bersihin wajah kamu. Sini, aku bantu bersihin." Perempuan itu mendudukan dirinya di sisi Kamal tanpa persetujuan lelaki itu. Kamal memandang tiap gerak-gerik gadis di sampingnya. Menajamkan tatapannya pada sebuah nametag yang ia kenakan. Amara, tertulis jelas di sana.

Di saat Amara sudah mengeluarkan selembaran tisu basah dan siap menatap sang lelaki yang sama-sama menatap manik mata gadis itu, Kamal beranjak dari tempat yang ia duduki tanpa memperdulikan apa yang sedang dipikirkan oleh Amara.

"Mau kemana? Diem dulu di sini," ujar Amara dengan jemarinya yang menahan kepergian Kamal. Lelaki itu merasa ada yang menusuk dalam hatinya, dengan cepat ia menepiskan jemari mungil milik Amara.

"Nggak usah so peduli."

Layaknya seorang pasangan yang tak menginginkan kekasihnya untuk meninggalkan dirinya sendirian dan tak ingin menimbulkan sebuah kesalahpahaman, Amara menarik kembali lengan cokelat milik Kamal agar kembali pada posisi seperti pertama kali mereka berbincang.

Entah mengapa, rasanya Kamal seperti kehilangan banyak tenaganya. Saat dirinya dibawa kembali berhadapan dengan Amara, tubuhnya benar-benar mengikuti arah angin ini berhembus.

"Siapa yang peduli? Aku cuma nggak mau kamu kaya gini masuk ke kelas! Emangnya kamu dihina lagi dengan penampilan kaya gini?" Ada raut kekesalan terlihat dari wajah putih Amara. Kamal masih bergeming, membiarkan gadis di hadapannya ini menuntun jemarinya mendekat pada tiap-tiap bagian dari wajah milik Kamal.

Kamal melihat jelas tiap lengkungan yang terbentuk dari wajah Amara. Belum pernah rasanya Kamal melihat gadis ini selama ia menginjakkan kaki di tempat yang terasa bagai neraka untuknya. Masih dengan mimik wajah yang terlihat menumpukkan sebuah amarah, saat Amara menghentikan kegiatannya dan menatap netra Kamal, lelaki itu memutar bola matanya ke arah lain. Benar-benar ia merasa ada semburan api yang keluar dari kedua aksa gadis itu.

"Kalau kamu nggak salah, seharusnya kamu bertindak, bukan menjadi pecundang seperti ini. Kamu nggak pernah lihat diri kamu sendiri, 'kah?" Dugaannya benar. Amara menatap dirinya dengan sebuah emosi yang sepertinya sudah sangat lama ia pendam.

"Orang tua kamu yang salah, kenapa harus kamu yang menderita? Harusnya kamu nggak gini, Mal."

Sesak rasanya. Bagaimana bisa Amara menjadi satu-satunya orang yang memahami dari sisi seorang Kamal, si lelaki bodoh dan pengecut. Perkataan Amara berhasil membuat pikirannya bertabrakan dengan rasa sakit.

Amara memandang Kamal yang kembali menundukkan wajahnya. Geram dirasa, ia pun mengangkat pelan wajah Kamal untuk melihat apa yang ada di hadapannya.

"Lihat, Mal. Lihat seberapa luas bumi ini. Lihat seberapa jauh langit di atas sana. Dan lihat kamu sendiri. Lihat bagaimana kamu meninggalkan dirimu sendiri untuk tetap merasa paling kecil. Kamu salah. Iya, salah karena menyiksa dirimu sendiri, Kamal. Kenapa harus kaya gini, sih?" Ada isakan yang terdengar melewati pendengaran Kamal. Dirinya memalingkan pandangan ke samping. Melihat sosok Amara dengan derai pada aksanya sudah membasahi semua bagian dari wajah yang tadi berada sangat dekat dengan dirinya.

Kamal tak paham. Ia tak memahami apa maksud dari semua amarah yang gadis ini luapkan padanya.
Namun, entah bagaimana, semua amarah itu terasa menghangatkan dan membuka sedikit celah kesempatan dirinya untuk berdiri kembali.

Mereka masih saling memandang. Amara yang terisak dengan jemarinya sibuk mengusap pipi basahnya dan Kamal yang memandang sebuah objek paling langka yang ia terima.

Amara sekuat tenaga menahan isakannya lalu mengusap pelan wajahnya. Mengambil lengan Kamal, membuka kepalan jari-jemarinya. Ia memandangi amat lama sebuah tisu basah dan kotak bekal berwarna hitam yang sudah ia simpan di jemari Kamal. Lelaki yang ia percayai.

"Teruslah berusaha, Kamal. Kamu nggak boleh menyerah. Tolong, jangan kembali melihat ke belakang. Di depan sana, kamu layak untuk bahagia."

Pada jumantara yang kelabu, atma yang sudah berpisah, tangisan yang bertahan, dan genggaman yang terlepas, Amara meninggalkan Kamal kembali sendirian. Tidak, bukan untuk suatu hal buruk. Karena Amara tak hanya pergi begitu saja, ia meninggalkan jejak harapan untuk Kamal.

Perlakuan singkat Amara masih melekat pada memori Kamal. Perasaan untuk mengejar sang kesempatan itu terasa kembali. Meski sesak masih terasa, dan lagi-lagi harus dihiasi dengan kembalinya hujan badai dari Kamal. Setidaknya, Kamal tak lagi merasa rendah.

Kamal menumpahkan segala sakit bersama dengan derai pada aksanya. Jika memang semua ini hanya perihal memaafkan dan kembali berjalan. Kamal harap, untuk semua harap yang Amara berikan akan menuntun Kamal kepada mimpi untuk bangkit kembali. Ia lelah. Tak ingin terus-menerus disalahkan atas kesalahan yang bukan ia lakukan.

***

One Year Later...


Derap langkah berat semakin mengisi tiap bagian celah kosong yang lelaki itu lewati. Kamal melangkahkan kakinya sembari memegang beberapa tumpukan kertas, tak lupa dengan lengkungan indah yang ia buat pada sudut bibirnya.

"Kamal! Dih, aku panggil daritadi, loh."

Lelaki itu menghentikan langkahnya, lalu menatap ke belakang pada teriakan yang berhasil menyadarkan lamunannya.

"Eh? Ica? Sorry sorry, gue pake airpods jadi nggak kedengeran jelas. Kenapa?"

"Ish, dasar. Ini, laporan yang sempet aku tunda untuk kasihin ke kamu waktu itu. Maaf, ya, karena baru siap kasihin ke kamu." Ica menyodorkan map birunya. Kamal hanya memberikan senyuman terbaiknya kepada Ica. Ia paham, bagaimana saat itu Ica tak berani mendekati kembali Kamal sebab rumor yang pernah membuat dunianya runtuh.

"Tidak apa-apa. Yang penting sekarang udah sampai ke tangan gue." Mereka saling melemparkan tawa pelannya. Saat bersamaan, Kamal melihat ke arah nametag yang Ica kenakan. Di bawahnya tertulis kelas yang ia tempati, mengingatkan dirinya pada seorang gadis. Benar, Amara.

"Ca, di kelas lo ada yang namanya Amara, 'kan? Kok nggak pernah kelihatan?"

"Amara? Siapa Amara? Di kelas nggak ada yang namanya Amara, Mal. Ih, halu banget kamu, Kamal."

Tatapan Kamal menjadi sedikit meredup. Menandakan hatinya kini terasa ada yang hilang. Tak lama, lelaki itu berpamitan pada Ica lalu membawa dirinya untuk kembali ke tempat asalnya.
Saat langkahnya memasuki ricuhnya kelas, lengannya dengan sigap menangkap sebuah kotak makan berwarna hitam yang hampir mengenai dirinya.

"Mal, lo, tuh, dibilangin. Kalau bawa bekel tuh bagi-bagi. Licik banget anjir mau makan sendiri."

"Bukan buat lo."

"Wah, parah, nih, si paling gagah ini. Buat siapa, sih?"

Kamal mendekati satu persatu dari mereka yang sedari tadi menunggu kembali kedatangan Kamal. Lelaki itu mendudukan diri di antara mereka yang ternyata sudah meluluhkan hatinya agar berdamai dengan Kamal yang baru.

"Bukan punya gue ini kotak makan."

"Ah, udah nggak peduli gue, udah nggak laper. Nih, gue nemuin ini di bangku lo. Ngeri banget, tiba-tiba ada di bangku lo. Padahal dari tadi gue nggak ke mana-mana, nggak lihat ada yang lewat juga."

Ammar yang diketahui namanya itu menyodorkan sebuah kertas putih, sangat putih. Tak terlihat bekas noda sedikit pun dari tiap-tiap sisinya.

"Gue nggak buka. Sorry, gue paling anti sama surat-suratan."

Kamal hanya menggeleng pelan sembari menyimpan surat tak dikenal itu ke dalam saku jaketnya. Ia berniat membacanya selepas pulang tiba. Kamal kembali dengan menimpal candaan dari teman-temannya. Rasanya, kesempatan itu benar-benar sudah Kamal raih dan genggam. Ia ingin sekali setidaknya bertemu kembali dengan Amara setelah perjuangannya untuk bisa bangkit seperti sekarang.

Namun, takdir tak pernah memihak padanya selama satu tahun lebih ini. Kamal, tak pernah dipertemukan kembali dengan sosok gadis yang berani menitikkan air matanya di hadapan dirinya.

Tunggu, jika berkenan kalian bisa memutar lagunya. Beautiful Goodbye - Chen.

Hari begitu cepat berlalu. Kini hanya ada langit temaram yang menemani Kamal. Dirinya sedang berdiam diri di bawah pohon yang menjadi saksi harapannya terukir. Ia teringat sebuah surat yang belum sempat ia lihat. Tak dipungkiri bahwa dirinya juga merasa penasaran akan siapa sosok yang meninggalkan kertas putih bersih ini untuknya.

Sebuah nama tertulis di sana. Berhasil menghentikan satu detik detak jantung Kamal sebelum akhirnya kembali berfungsi. Tubuhnya terasa jatuh. Aksanya menimbulkan badai hujan, kembali.

Teruntuk Kamal.

Untuk hari lelah yang telah usai, aku persembahkan kamu sebuah bahagia dari sang semesta.

Sebab juang dan tegarmu telah terbalas, aku harap kamu benar-benar melupakan ingatan lama saat itu, ya? Meskipun, memang tak semudah itu.

Melihatmu yang sekarang, begitu hangat terasa bagiku, Mal. Aku seperti melihat mimpiku akhirnya terwujud.

Kamal, aku wanita lemah. Wanita dengan berjuta sakit dan pedih. Tangisan adalah makanan sehari-hariku. Dan damai adalah impianku sedari dulu.

Namun, aku tak pernah bisa menggapainya. Aku wanita yang sangat lemah dan bodoh.

Aku pernah berada di sana. Berada di tempat yang suram bahkan lebih gelap dari jurang tak berujung.

Aku sakit, Mal. Tidak, aku cacat luar dan dalam. Membuat aku harus menderita karena gelak tawa dan tindasan akan mereka.

Ingin rasanya aku bangkit. Berjalan dan berkata kepada semua orang bahwa aku ada di sini bukan untuk mereka hina.
Namun, apalah daya aku yang hanya bisa berdiam saat semua itu kembali menghampiri diriku.

Saat aku melihat kamu menjadi bahan cemoohan mereka. Aku takut. Aku takut, aku melihat diriku yang lain lagi. Sebab itu aku memilih mendekati kamu.

Aku tak ingin kamu menyesal, seperti aku.

Tetaplah menjadi sosok membanggakan untuk usahamu sendiri, ya? Berbahagia pun tak aku lupakan doa untuk kamu. Ingatlah masa kelam hanya untuk pengingat agar tak terjerumus ke hal yang sama kembali.

Terima kasih karena tak memilih untuk jatuh lebih dalam lagi.

Tertanda, Amara.

Sayang seribu sayang. Berjuta harap kini luntur dilahap sang badai. Ternyata, orang itu adalah sosok sama seperti dirinya.

"Kamal? Belum pulang? Ah, enggak. Aku ke sini mau sampaikan sesuatu. Tadi kamu sempat tanya Amara, 'kan? Aku tanya ke anak kelas, katanya pernah ada rumor bahwa Amara itu siswi di sini saat tiga tahun yang lalu."

Seseorang yang berdiam diri menjadi sosok yang ingin pergi membawa sang gadis itu kepada dekapannya.

"Dia ... udah nggak ada di bumi, Mal."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro