Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

7 ; Falling In Love

Katanya, jatuh cinta memang semenyenangkan itu. Lalu, mengapa jatuh cinta lelaki ini begitu memilukan.

Bagi Ardan, jatuh cinta adalah hal yang paling sia-sia, tetapi memabukkan.

Ardan selalu berkata, "Jika jatuh hati hanya terasa sementara, aku lebih memilih jatuh cinta yang rasanya terasa lama.Meski emosinya terkadang melukai diri sendiri."

Ardan memandang jatuh hati sebagai ketertarikan biasa tanpa adanya emosional. Sedangkan jatuh cinta, sudah ia pilih dari awal kisah hidupnya di mulai.

"Nay, aku sungguh-sungguh mencintai kamu."

Naya menatap lekat Ardan dan mendengar secara seksama pernyataan yang sudah entah ke berapa kalinya ia utarakan.

"Aku tahu ini terdengar mengesalkan, tetapi aku benar-benar menginginkan kamu, Nay."

Bagi Naya, definisi yang Ardan buat tak bisa dijadikan alasan untuk ia mencoba terima pengakuan lelaki itu.

"Kamu masih ingat dengan jatuh cinta menurut kamu, 'kan?"

Lelaki itu mulai meredupkan cahaya bahagia di kedua netranya.

"Kamu bilang, meski rasanya terasa lama, tetapi bisa melukai diri sendiri. Apa sekarang kamu sedang melukai diri sendiri lagi?"

Ardan merapatkan bibir lembabnya, tak ingin menjawab pertanyaan yang Naya lontarkan.

"Jika iya, selamat. Kamu berhasil, lagi."

"Apa sesulit itu jatuh cinta kamu untuk bisa buat kita sepaham?"

Naya memiringkan sedikit senyum kecilnya.

"Jatuh cinta semua orang tak berbeda, Dan. Namun, cara mereka memahaminya yang berbeda."

Benar, Naya tak pernah memahami jatuh cinta sama dengan yang Ardan pikirkan. Naya memilih berjalan ke belakang. Meninggalkan kembali Ardan dengan jatuh cinta dan lukanya sendiri.

"Maaf, Ardan."

***

"Hey, kok udah pulang lagi?"

"Udah mau libur juga, ngapain lama-lama di sekolah."

Putra mengusak pelan surai sang adik lalu mendudukan diri di sebelahnya. Memandang sekilas kepada Naya sebelum akhirnya memberanikan diri berucap pada Naya.

"Nay, kamu tolak Ardan lagi, ya?"

Bukan sebuah rahasia lagi jika kini kakaknya mengetahui alasan mengapa akhir-akhir ini ia ingin pulang lebih awal.

"Iya."

"Kenapa? Susah untuk Ardan masuk ke hati kamu? Emang di hati kamu ada siapa, sih?"

Naya masih bergeming. Ingin menjawab, tetapi tak ingin isaknya kembali hadir. Ia memilih memejamkan matanya dan menarik napas perlahan. Berusaha tenang untuk kalimat selanjutnya yang akan ia dengar dari Putra.

"Nay, bukan salah kamu jika memang tak bisa. Perasaan nggak bisa kita paksain. Tapi, selama ini kamu sudah merasa bebas apa belum? Belum, 'kan?" Perempuan itu menganggukkan kepalanya tanpa memandang ke arah Putra.

"Ardan memang bukan obat, tapi jalannya, Nay." Setelah melontarkan kalimat menusuk relung hati Naya, Putra meninggalkan dirinya sendirian bertemankan pekarangan dengan tumbuhnya rerumputan dan bumantara yang sedikit murung.

Apa yang Naya lakukan selama ini pada Ardan, membuat Naya semakin merasa bersalah kepada lelaki itu. Padahal, yang sakit hati Naya, tetapi yang terluka selalu Ardan. Bagaimana mereka bisa bersatu, jika salah satu dari mereka tidak pernah baik-baik saja.

Sembuh bukan tujuan utama Naya. Baik-baik saja yang hingga detik ini masih Naya kejar.

Bagaimana bisa dikatakan sembuh jika saat mengingatnya sekilas membuat dirinya kembali tak baik-baik saja? Ya, Naya memang serumit itu. Lebih tepatnya, merumitkan diri sendiri.

Saat dirinya begitu sangat mencintai sesosok lelaki yang ia temui kala hatinya masih baik-baik saja. Mereka bertemu dan saling mengungkapkan yang dirasa. Jika dibayangkan kembali, rasanya begitu sangat ia rindukan.

Namun, semua itu tak berjalan dengan sempurna. Sebuah hubungan pasti akan selalu ada halangannya. Siapa sangka, yang menghalangi mereka adalah sebuah pengkhianatan berujung kekecewaan.

Naya, terlalu menaruh harap pada lelaki itu, hingga saat dirinya dibuatkan sebuah luka ia menjadi manusia yang merasa tak pantas untuk dicintai atau mencintai. Lihat, di antara miliaran manusia di dunia, masih ada yang seputus asa ini. Membuktikan bahwa jatuh cinta memang tak salah, tetapi cara menjalaninya yang lagi-lagi menggoreskan luka.

Naya pernah mencoba untuk memulai hal baru bersama seseorang. Hasilnya sama. Dia yang kembali berlari ke belakang dan seseorang itu mendapat luka baru oleh ulah Naya. Ia tak mau Ardan merasakan risikonya. Untuk mencintai wanita yang tak pernah ingin beranjak dari masa kelam.

Ia lupa. Bahwa sudah hampir berbulan-bulan Ardan berusaha dan ia tak pernah melihat ada jalan yang seharusnya ia lewati melalui perantara Ardan. Naya tak pernah berusaha untuk mencari jalan itu.

Sore itu, saat kedua netranya perlahan menatap kembali apa yang ada di hadapannya. Sosok itu kembali menatap Naya, dengan tatapan menanti. Sangat jelas terlihat bahwa lelaki itu kelelahan. Keduanya masih saling memandang tanpa ada usaha untuk memulai. Sampai akhirnya, Ardan memantapkan langkahnya untuk mendekati Naya. Mengulurkan sebuah lengan yang entah sudah berapa kali ia perlihatkan pada gadis itu, tetapi tak pernah Naya coba untuk meraihnya.

"Tak perlu memikirkan aku, Nay. Hatimu lebih penting. Kakakmu benar, bebasmu adalah bahagiamu, dan bahagiamu adalah bahagiaku juga."

Lengan itu ia turunkan kembali. Naya masih menatap lekat pada Ardan. Menerka-nerka apa lelaki di hadapannya ini seorang manusia atau malaikat yang hatinya tak mungkin bisa terkoyak.
Hatinya tiba-tiba sesak. Pikirannya kalut. Memikirkan Ardan.

Memikirkan apa kabar Ardan selama ini.

"Aku tak pernah merasa akan ada hal indah yang membawa semua perasaan sial di hatiku ini. Selama ini, kamu percaya diri dengan perasaanmu kepadaku?" Ardan tersenyum. Dalam pandangan Naya, itu seperti sebuah ketulusan yang tiba-tiba saja menghangatkan perasaannya.

"Nay, kamu bilang aku melukai diri sendiri lagi, 'kan? Benar, ini menyakitkan. Bagaimana aku masih tetap mencintai kamu yang jelas-jelas hatinya tak akan pernah sampai padaku. Anehnya, semua itu tak membuat teguh pendirianku runtuh. Mungkin, orang yang menaruh luka pada hatimu memang tak akan pernah menatap kamu lagi di sini. Terlepas dari itu, aku akan berani masuk ke hatimu untuk merasakan luka yang begitu nyaman di hatimu dan mengajak kamu untuk keluar bersama-sama, Nay."

Tutur kata yang mewakili perasaan Ardan akhirnya tersampaikan pada wanita yang begitu ia cintai. Apa pun jawabannya, Ardan sudah tak peduli lagi.

Saat kakinya ia langkahkan untuk mendekati wanita yang membuat penasaran hingga menuntun dirinya akan sebuah bentuk cinta. Ardan tak peduli. Untuk masa lalunya yang begitu menyakitkan, Ardan berani taruhan bahwa cintanya lebih baik jika dibandingkan dengan dia yang meninggalkan Naya.

Sekeras apa pun usahanya, semua ini hanya kembali lagi pada Naya.

"Maaf." Naya, kamu benar-benar bodoh apa pura-pura tak paham?

Mendengar satu kata yang Naya ucapkan, membuat Ardan merasa yakin. Bahwa usahanya memang tak bisa diadu dengan tembok yang Naya buat. Tak semudah itu, pikirnya.

Ardan pikir, apa pun pikirannya, apa pun tekadnya, jika memang tidak akan selamanya tidak bisa. Lelaki itu memilih meninggalkan Naya yang masih sunyi. Bahkan sampai Ardan semakin menjauh dari Naya, wanita itu benar-benar hanya diam.

Ardan benar-benar merasa bahwa ini sudah akhirnya. Ini sudah dipenghujung akhir dari kisahnya.





















Jumantara menjadi saksi. Langkahnya ia beranikan untuk melangkah lebih dan lebih jauh lagi. Di antara banyaknya luka dan harapan untuk bangkit, ini yang ia pilih.

Naya bukan lagi berjalan, tetapi berlari menuju lelaki itu. Menuju Ardan. Sungguh takdir yang begitu dramatis.

"Maaf, aku sudah terlalu lama tersesat. Kamu ... masih menginginkan genggaman ini hadir untuk kamu?"

Ardan terkesiap dengan ucapan Naya. Dirinya membalikkan badannya, menatap Naya dengan benih-benih dari sorot matanya yang hampir jatuh. Entah perasaan apa yang merasuki Naya hingga hanya dalam hitungan detik, ia sudah berada di hadapan Ardan. Dengan tatapan ragu dan berharap.

Tak butuh apa-apa lagi, Ardan mendekap erat Naya. Membawanya pada kehangatan yang mungkin sudah lama Naya impikan. Isakannya terasa jelas hingga relung hati Ardan. Membuktikan bahwa dirinya pun lelah, ingin beranjak, tetapi takut untuk melangkah.

Ternyata, jatuh cinta dan percaya adalah dua hal yang tak terpisahkan. Luka? Biarkan itu hanya menjadi sebuah cameo dalam bab pertama ini. Karena yang terjadi di sini, hanya ada Naya yang putus asa dan Ardan yang tak pernah menyerah.

Tbc !

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro