Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

6 ; Liku Luka

Satu tahun lalu, saat di mana semuanya terasa begitu cepat terjadi. Perasaan itu benar-benar terbentuk begitu saja. Hingga pada waktunya, lagi-lagi semuanya hanya menjadi sebuah angan dan lepas.

Kala itu, untuk kesekian kalinya Ghali dibuat terluka oleh perbuatannya sendiri. Ia selalu memandang perempuan yang tingginya lebih rendah darinya, surainya selalu terikat satu menyisakan beberapa anak rambutnya menghiasi wajah bulatnya dan sebuah earphone yang selalu terpasang di pendengarannya.

Ghali selalu penasaran akan sosok puan yang membuat debaran jantungnya selalu berdetak tak karuan. Saat pertemuan di sengaja atau pun tak di sengaja, Ghali tetap merasakan jantungnya yang berdebar cepat.

Namun, semua itu sudah menjadi sebuah kenangan yang tersimpan pada tahun lalu.

"Ghal? Ini kerjaan udah lewat dari batas waktu loh, dan lo masih belum selesai?"

"Sorry, Bang. Dari kemarin ban-"

"Banyak urusan? Banyak pikiran? Lo pikir cuma lo doang di sini yang nggak punya urusan dan pikiran?" Rio meninggikan suaranya pada Ghali. Sebenarnya, masalahnya sederhana, tetapi Ghali berkali-kali mengulanginya.

"Lo kebanyakan mikir, Ghal. Apa, sih, yang lagi lo pikirin akhir-akhir ini sampai lupa sama kerjaan? Pokonya gue nggak mau tahu, besok siang harus udah dikirim ke email gue!"

Tak butuh waktu lama ruangan yang tadinya terisi oleh dua orang itu akhirnya kembali sunyi dan bertemankan Ghali yang sedikit memijat pelipisnya. Sudah hampir seminggu Ghali tak fokus pada pekerjaannya. Bukannya tak ingin, ia pun sangat ingin segera menyelesaikan setumpuk kertas dengan angka-angka yang sangat memuakkan ini.

Namun, angan itu kembali hadir setelah satu tahun menghilang begitu saja.

Ghali sudah berada di ujung imajinasinya. Ia tak ingin berlarut-larut akan masa lalu. Dirinya memilih untuk menyelesaikan semua pekerjaannya saat pulang nanti dan membereskan barang-barangnya.

***

Perjalanan Ghali malam itu adalah jalan terpanjang yang ia lalui. Entah mengapa, setiap harinya Ghali merasa semakin lemah. Lelaki itu terus menerus merasa sangat lelah.

Meratapi dirinya, menahan segala sakit, dan berusaha melupakan kenangan buruk.

Katanya, jika melupakan adalah suatu hal yang mudah. Mungkin, Ghali sudah melepaskan semua sakit dan luka ini sedari lama. Tetapi, ternyata semua yang terasa pada Ghali hanya ada lelah dan berat.

Di saat lelaki di luar sana sudah memilih memantapkan pilihannya, Ghali lebih memilih membawa dirinya menjadi seorang lelaki karir yang isi hidupnya hanya ada harta dan tahta. Sekali lagi, bukannya tak ingin. Untuk kali ini, ia tak bisa.

Bayangkan- Ah tidak, malam ini biarkan Ghali yang merasakannya lagi sendiri. Di mana sebuah pertemuan dan perpisahan yang sangat singkat di hidupnya terjadi.

Saat itu, perempuan dengan cardigan coklat dan celana jeans yang senada itu sedang memejamkan kedua netranya. Menikmati anila yang bertabrakan dengan wajah bulat dan surainya yang tergerai. Ghali yang berdiam diri tak jauh dari perempuan tersebut tak melewatkan satu detik pun untuk tidak memandangi gadis yang diberi sebuah nama Agisty.

"Gis, bukannya hari ini lo berangkat, ya?"

"Nanti. Tiga jam lagi, santai aja."

"Kok santai, sih? Meskipun deket, ya, lo juga harus siap-siap lah, Agis," tutur salah satu teman Agis yang berusaha membangkitkan tubuhnya untuk segera beranjak mempersiapkan dirinya.

"Ah, lo mah, nanti gue tinggal tiba-tiba lo kangen lagi."

"Dih? Seneng gue lo mau pergi jauh. Hus hus sanah." Karla terus mendorong Agis hingga tak sengaja dirinya menginjak sepatu putih milik Ghali. Percayalah, Ghali pun tak menginginkan dirinya untuk tak beranjak pergi dari tempatnya berdiam.

"Eh, Ghal. Sorry banget," ucap Agis sembari melihat ke arah sepatu Ghali yang terlihat sedikit noda hitam.

"Nah! Kebetulan ada Ghali, bareng aja sama dia!"

Agis sontak menatap pada Karla yang baru saja mengucapkan sebuah kalimat keramat. Untuk Ghali tentunya.

"Apaan, sih, Kar! Enggak enggak, Ghal. Enak banget kayanya gue ngerepotin si Ghali."

Ghali menggaruk tengkuknya yang tak gatal setelah mendengar ucapan Agis yang terasa menjanggal di hatinya.

"Emang lo mau ke mana, Gis? Kalau searah bisa bareng gue aja." Ghali Ghali, bagaimana bisa dirinya mengajak sosok gadis yang ia idamkan dalam diam untuk berjalan berdua saja?
Ahh ... Yang namanya kesempatan tak ada yang tahu kapan akan datang lagi, bukan?

"Dia mau ke pelabuhan. Rese banget, udah tahu jam segini jalanan macet malah masih santai-santai di sini. Udah Ghal, bawa aja, deh, ini satu alien." Agis menepuk agak keras lengan Karla, merasa dirinya seperti sedang diserahkan kepada seorang pembeli tanpa memberikan pembayaran.

"Dih, gue yang mau pergi kenapa lo yang repot?!"

"Aduh, udah, dong jangan berantem di sini. Gue gapapa kok, Gis. Ayo kalau mau bareng, keburu makin macet nanti." Kali ini, Ghali yang menyakinkan Agis. Meskipun beberapa menit kemudian Agis terus menolak ajakan Ghali melalui perantara Karla itu.
Tak lama, Agis pun tak ingin melewatkan kesempatan yang tak datang dua kali ini. Lebih tepatnya, kesempatan untuk menghemat sedikit isi dompetnya.

***

Setengah jam tak terasa sudah dilewati oleh kedua insan yang saling mengenal tetapi canggung untuk berucap. Dirasanya, hanya Ghali yang merasa seperti itu.

Jalanan yang benar saja sudah dipenuhi dengan kendaraan beroda empat termasuk milik Ghali itu hanya melaju tak lebih dari kata sebuah maju yang benar.

"Ah, tau gini tadi gue berangkat pagi-pagi, ya, nggak sih, Ghal?" Ucapan Agis secara tiba-tiba itu membuat Ghali tertawa kikuk. Seperti baru pertama kalinya duduk di samping seorang perempuan.

"Oh ... Iya, hahaha. Kenapa dari tadi malah santai lagi, Gis," ujar Ghali yang sebisa mungkin menahan rasa malunya. Agis terdiam sebentar menatap Ghali yang masih sibuk mengibas lengannya ke arah wajahnya yang terlihat berkeringat.

"Bukannya santai, Ghali."

Serasa hatinya tersengat listrik yang entah dari mana datangnya, yang pasti dirinya benar-benar mematung begitu namanya keluar dari bibir Agis. Kesekian kalinya, Ghali semakin merasakan debaran jantungnya tak ingin berkompromi dengan pikirannya.

"Nih, lo liat kalung yang gue pakai sekarang?" Ghali melirik pada Agis yang sudah lebih dulu menatap Ghali dengan memperlihatkan sebuah liontin berbentuk sebuah simbol tersenyum.

"Gue tuh lagi nungguin orang yang ngasihin kalung ini ke gue. Meskipun gue nggak tahu dia bakal tahu hari ini gue pergi jauh dari Surabaya."

Ghali melihat Agis mengusap-usap liontin tersebut. Terlihat dari sorot wajahnya bahwa Agis benar-benar menunggu. Ia benar-benar menunggu seseorang di sana.

Agis benar-benar menunggu Ghali.

Pada terik mentari yang menemani mereka kala itu adalah sebuah tanda bahwa meraka sama-sama memikirkan hal yang sama.

Namun, semesta tak mengizinkan Agis memahami Ghali. Ia membiarkan Ghali dengan sejuta diamnya di hadapan Agis yang seharusnya lelaki itu benar-benar menatap kedua bola mata Agis lekat dan berkata bahwa ini, ini seseorang yang Agis tunggu hadirnya. Seseorang yang sama-sama menunggu Agis dari jauh.

Agis dan bisu adalah suatu kombinasi yang menyakitkan bagi Ghali.

***

Ghali menatap kepergian Agis yang langkahnya terus melaju ke depan tanpa melirik kembali Ghali yang berada di belakang sini. Sebuah asa singkat masih terasa jelas dibenak Ghali. Ia tak pernah membayangkan bahwa dirinya akan mengantar Agis jauh dari dirinya.

Memang benar, Agis hanya seorang teman yang kebetulan pesonanya berhasil menumbuhkan perasaan pada hati Ghali. Lelaki itu hanya bisa memendam semua itu selama ini sendirian.

Jika diceritakan bagaimana sekarang Agis dari pandangan Ghali. Tentu saja jawabannya adalah cantik. Agis selalu terlihat sama di mata Ghali. Meski sifatnya yang terkadang tak jauh berbeda dengan teman-teman lelakinya, Agis tetap menjadi gadis tercantik bagi Ghali.

"GHALI! MAKASIH BANYAK, YA?"

Suara teriakan Agis yang tertimpa dengan gemuruh langit kala itu membuat Ghali tertawa pelan dilihatnya. Ada rasa hangat sekaligus perih yang dirasa.

Agis melambaikan tangannya pada Ghali. Dilihatnya sebuah lengkungan indah terbentuk dari wajah bulat Agis. Ghali berani bersumpah, bahwa kala itu adalah sebuah ingatan paling membahagiakan dan menyakitkan yang tak akan pernah tergantikan.

Seperti sebuah pemutar film yang terulang begitu saja di kepala Ghali. Sesaknya terasa sangat jelas di lubuk hatinya. Ghali menjatuhkan wajahnya pada stir mobil yang sudah hampir satu jam ia masih berdiam di sana tak beranjak pergi.

Peristiwa satu tahun lalu benar-benar membuat Ghali merasa tercekik oleh dirinya sendiri. Isakannya lagi-lagi tak tertahan. Sudah selama ini, Ghali tetap tak bisa menerima dan memaafkan dirinya sendiri.

Ghali benar-benar masih menunggu Agis.

Sebuah kertas lusuh berwarna kelabu dengan tulisan hitam terpampang jelas di sebelah Ghali. Sudah terlihat banyak coretan merah di sana.

Bertuliskan sebuah berita acara saat satu tahun lalu. Saat dikabarkan sebuah kapal laut yang berlayar pada sore hari tanggal lima desember dua ribu dua puluh itu menghilang tiba-tiba sesaat setelah memberikan informasi bahwa mereka akan segera sampai di titik tujuannya.

Namun, ternyata titik tujuan mereka bukan tempat pulang yang semua orang bayangkan.

Ditepuknya nyeri yang terasa di dadanya. Tangisannya pecah di bawah gemerlapnya bintang yang menerangi gelap gulitanya sang langit.

Jika disebut sebagai lelaki lemah, Ghali akan tetap menerima semua cemoohan itu. Ia akan menerima semua ucapan orang lain terhadap dirinya. Karena semua itu sudah tak ada artinya bagi Ghali.

Ia hanya ingin Agis. Ghali hanya menginginkan Agis. Menginginkan Agis dengan senyuman manisnya berlari ke arah Ghali dan mendekap erat tubuhnya.

Semuanya sudah terasa sia-sia. Apa pun usahanya, semua itu hanya sebuah angan yang tak bisa Ghali lepaskan. Setiap hari, ia berbatin. Bagaimana jika saat itu dirinya menahan Agis untuk tidak pergi, bagaimana jika saat itu Ghali memilih untuk mengatakan yang sebenarnya, bagaimana jika Ghali saat itu menyebutkan nama Agisty dengan sangat lantang dan memeluk tubuhnya sangat erat.

Ghali menginginkan Agis kembali di hadapannya.

Lelaki itu tahu, lelaki itu paham. Bahwa dirinya harus berjalan kembali untuk masa depannya. Tetapi, kepergian tak berbekas itu terus menghantui Ghali. Membuat dirinya tak ingin percaya akan semua yang terjadi.

Akan sebuah kenyataan bahwa Agis kini sudah benar-benar pergi jauh dan hilang.

***

Ghali

Agis, hati-hati, ya?

Kalau sudah sampai tujuan, kabarin boleh, kan?

Aku mau tahu, apa liontin itu masih kamu pegang atau engga, hehehe.

Sampai jumpa lagi, Agisty.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro