Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

6 ; A Sequel - Liku Luka

Lebih tepatnya, setelah hilangnya Agis inilah yang Ghali temukan.

Surabaya hari itu adalah perasaan yang ada dan masih akan selalu ada sampai kapan pun. Meski kepergiannya bukanlah sebuah kepastian.

"Agis udah pergi, Ghal. Mau sampai kapan lo kaya gini?"

Bibir wanita itu akhirnya mengucapkan sebuah kalimat setelah hampir satu jam mereka hanya saling bergelut dengan pikiran masing-masing.

"Pergi bukan berarti hilang, Kar."

Tatapannya sayu. Ia sangat merindukan sosok dambaan hatinya.

"Gue yakin Agis masih ada. Agis masih di sini."

Jika diceritakan bagaimana perasaan mereka saat kehilangan seseorang yang tak ada jejaknya, mereka sama seperti Ghali. Sangat menyiksa dan melelahkan.

"Ghali, gue tahu. Gue tahu lo suka sama Agis, lo suka lihat Agis dari jauh, lo selalu kasih sesuatu yang Agis suka meskipun bukan lo yang kasih langsung ke dia."

"Agis juga tahu."

Lelaki itu tersenyum kecut sembari menundukkan kepalanya.

Perkataan Karla selanjutnya membuat Ghali mematung seketika. Apa yang dikatakan Karla benar-benar bukan suatu hal yang Ghali bayangkan.

Suatu ajakan dari Karla untuk bertemu dengan Ghali adalah sebuah rencana. Tetapi, pengungkapan Karla pada Ghali adalah sebuah kemustahilan yang Ghali harus percaya.

"Lo nggak tahu, seseneng apa Agis waktu lo susulin dia sebelum berangkat. Lo nggak tahu, sebahagia apa dia saat lo kasih dia hadiah yang dia pengen. Nggak pernah gue lihat selama gue hidup, dia seceria itu."

Suaranya bergetar. Terasa sampai pendengaran Ghali, bahwa Karla pun merasakan sakitnya. Satu-satunya sahabat yang ia percaya harus merasakan kejadian yang bahkan menyiksakan bagi mereka yang hanya melihatnya.

"Kalau selama ini lo ngira dia adalah orang yang paling sedikit bebannya. Lo salah. Agis bukan perempuan sekuat itu, Ghal."

Ada sebuah kisah yang katanya tak penting, tetapi ternyata pembawa masalah sedari awal cerita itu di mulai.

"Dulu, Agis mutusin untuk pergi dari Bali ke Surabaya tepat setelah satu bulan orang tuanya pisah. Katanya, Bali bukan hal baik buat dia kala itu," tutur Karla. Ghali masih dengan seksama mendengarkan setiap tutur kata yang Karla sampaikan. Setidaknya, kisah Agis yang ia dengar dari satu-satunya sahabatnya bisa melepas sedikit sebuah kerinduan.

"Tapi lo tahu? Dia nggak pernah nyangka hidupnya bakal berbanding terbalik, setelah ketemu lo."

Ghali memandang ke arah lengan Karla yang menunjukkan sebuah buku kecil bertuliskan 'Agis dan Pelanginya.'

"Ini apa?"

"Hal penting untuk Agis, itu yang bakal dia jawab kalau lo tanya tentang buku ini."

Namun, tanpa Agis semuanya hanya membuat Ghali merasa seperti berlari tanpa kaki.

Semakin Ghali mencoba mengerti, semakin ia merasa bahwa Agis tak akan pernah kembali. Bahwa Agis, benar-benar hilang tanpa bekas.

Apalah daya Ghali hanya seorang lelaki yang tak sekuat mereka. Ia hanya lelaki yang mencintai satu wanita di hidupnya.

Lalu, ada Agis. Seorang wanita yang berusaha tegar dengan hidupnya. Ia hanya wanita yang menginginkan bahagia selalu menyertai hidupnya. Pun bersama Ghali.

"Gue berterima kasih banyak sama lo. Banyak hal yang Agis laluin dan selalu terbalas dengan yang lo lakuin." Karla menepuk pelan pundak Ghali. Semua yang Agis simpan sudah tersampaikan kepada orang yang begitu ia dambakan.

Setelah kepergian Karla, Ghali masih tak bergerak sedikit pun. Ia masih dengan posisi menunduk dan menggenggam erat bukunya sedari tadi.

Dibukanya satu persatu, tiap-tiap lembar dari buku tersebut. Beberapa untaian kata yang tertulis sama persis dengan yang teringat oleh Ghali.

"Lo tolol banget. Ngapain jauh-jauh ke sini? Nyari perhatian ke keluarga gue?"

Perempuan itu meremas bagian bawah seragam putihnya setelah mendengar jelas ucapan dari lelaki yang tingginya berbeda jauh dengan wanita itu.

"Maaf, Kak Dimas. Agis cuma mau ketemu Omah, Kak."

"Ketemu Omah? Setelah yang lo dan nyokap lo lakuin selama ini? Lo sadar nggak, sih, Gis? Keluarga lo tuh nggak sehat!"

"Agis tahu ...."

"Ya, kalau tahu nggak usah nunjukkin muka lo di sini, lah!" Agis merasakan badannya didorong begitu keras oleh lelaki di hadapannya. Lelaki itu adalah anak pertama dari istri kedua sang ayahanda.

"Hey! Santai bisa? Ini yang di hadapan lo itu cewek." Dapat Agis rasakan, lengannya digenggam erat oleh seseorang.

"Lo siapa? Pacarnya ni cewek? Ohh, mau jadi pahlawan? Udah punya pahlawan kesiangan lagi aja lo, Gis."

"Ucapan lo nggak nunjukkin lo seorang lelaki. Ayo."

Itu kali pertama gue bertemu dengan dia.

Ghali Pramudya.

Mungkin dia nggak akan inget sama kejadian itu. Kejadian di mana itu adalah hal yang paling memalukan di hidup gue. Tapi, dengan beraninya, dia langkahkan kakinya untuk membela seorang perempuan yang dirudung oleh laki-laki tak tahu diri.

Bendungan pada kedua bola mata Ghali terasa sudah tak tertahan. Dapat terlihat netranya kini memerah, membaca tiap-tiap kata yang Agis curahkan.

Karla temuin gue sama Ghali tadi sore. Ah, awkward banget HAHAHAHA.
Dia, beneran nggak inget gue. Tapi, gapapa. Setidaknya yang dia ingat sekarang adalah Agis yang pencicilan.

KARLAAAAAAAAAAAA.
ORANG SINTING!! KENAPA HARUS GABUNGIN KELOMPOK SAMA GUE SIH??
GUE KAN JADI SALTING MULU DEKET GHALI ....

Tertawa kecil. Ghali mengingat kejadian itu. Saat dirinya diberi tugas gabungan dengan Karla. Tanpa ia tahu, ternyata Karla menggabungkan kelompoknya dengan kelompok sahabatnya. Bukan malu lagi. Kelewat salah tingkah, Ghali benar-benar tak berkutip sedikit pun saat Agis duduk di hadapannya.

Ghali dengan diamnya dan Agis dengan nakalnya adalah cara tersembunyi bahwa mereka sama-sama jatuh hati.

Ghaliiiiiiiiiiii hehehehehe.
Namanya lucu, tapi sayang.
Sayang gue nggak bisa disamping lo.

Ghali, thanks a lot for everything. Gue nggak tahu harus gimana lagi.

Semua yang lo lakuin, yang lo kasih adalah hadiah terbaik yang gue percaya Tuhan beneran masih sayang sama gue.

Maafin gue. Gue harus pergi lagi.

Sejujurnya, selama gue di Surabaya dan ketemu sama lo, pengen banget sekali dalam hidup gue yang berantakan ini bisa ada di dekapan lo.

"Gapapa, semuanya pasti berlalu. Percaya, ya?" Hahaha, gue udah gila sih berharap kaya gini.

Satu hal yang perlu lo tahu. Hidup gue bakal terasa hampa tanpa adanya lo, yang selalu berusaha lakuin apa pun buat gue ketawa meskipun nggak ditunjukin langsung ke gue, yang selalu kasih apa pun yang gue mau meskipun lewat perantara Karla ataupun orang lain.

Aku amat sangat bersyukur bisa ketemu kamu, Ghal ....

Papah ....

Ini semua salah Agis, ya? Harusnya Agis nggak usah ada di dunia ini, kan?
Harusnya Agis nggak bertemu dengan Ghali.

Semakin Ghali mendalami apa yang Agis tulis, rasa bersalahnya semakin membesar.

Bukan, bukan hanya karena ia tak menyadari perasaan Agis padanya, tetapi semua hal yang Agis lalui tak pernah Ghali ketahui.

Saat pertama kali bertemu dengan Agis. Seharusnya ia sadar bahwa ada yang tak beres dengan Agis.

Ghali mempertahankannya, tetapi sakit di dadanya membuat ia harus menangisi Agis kembali hari ini. Membayangkan bagaimana kuatnya Agis terus berjalan dan berdiri tegap dengan semua deritanya. Menampakkan senyum terindahnya di saat batinnya berperang untuk menghancurkan hidupnya. Ia merasa gagal menjadi lelaki untuk Agis.

Pada halaman terakhir, sebuah untaian kata menunjuk kepada sebuah pamit.

Karla ....

Thanks buat semuanya. Terima kasih karena masih sama gue sampai detik ini.
Bahkan saat di keadaan terburuk pun, lo masih tetap di sini.
I'll always love you so much, Karlananta Putri. Gue bakal kangen banget sama lo di Bali nanti.

Ghali ... Gue nggak tahu harus bilang apa sama lo. Karena kita nggak pernah sedekat itu, kan, ya? Hehehe.

Tapi, Ghali ... Semua yang ada di dunia lo adalah keajaiban yang akan selalu gue doakan kebahagiaannya. Gue emang bodoh, pura-pura nggak peka sama perasaan lo, bahkan perasaan gue sendiri juga.

Gue cuma nggak mau lo ada di samping gue. Karena, semua orang yang gue sayang selalu nggak berakhir indah.

Karla? Lo pasti tahu sekuat apa gue tahan untuk nggak sering jalan berdua sama dia. Gue takut. Tetapi, dunia akan selalu adil, kan, ya? Cuma waktu bagian gue, adilnya malah ke buang gitu aja.

Gue harap lo cepet-cepet lupain gue, ya? Nggak baik, suka sama perempuan yang hidupnya penuh duri. Nanti yang ada lo lagi yang terluka.

Papah?

Udah bertahun-tahun juga Papah tetep nggak mau ketemu sama aku?
Jadi bener kan, semua ini emang salah aku ... Bukan salah istri kedua Papah.
Agis pamit, ya? Agis mau susulin lagi Mamah.

Tolong sampaikan ke mereka, Agis masih dengan teguh pendirian Agis. Meskipun nggak akan ada yang percaya.

Mah? Apa kabar?

Maafin Agis tinggalin Mamah gitu aja. Agis cuma mau ketemu Omah. Tetapi, keluarga Papah udah benar-benar sebenci itu sama kita.
Mah ... Agis cape. Bukan salah Agis, kan? Bukan Agis yang celakain adiknya Kak Dimas, kan?
Agis cape dituduh terus. Setiap hari, selalu ada aja yang kirim hal-hal busuk ke Agis.

Agis mau ketemu Mamah. Tapi, Agis rindu Papah dan Omah.

Agis mau pulang.

Pulangmu membawa sakit yang lain, Agis.
Pulangmu bukan tujuan terbaik untuk mereka yang ditinggalkan.
Namun, jika pulangmu ini adalah istirahat terbaik untukmu, tak apa. Biarkan semesta yang mangatur semuanya. Biarkan mereka menanggung pedih dan sakitnya setelah membawa kamu kepada jurang kegelapan selama ini.

Ghali menutup semua kisah singkat yang tersirat di sana. Pandangannya menatap jelas pada langit temaram. Ia merasakan sebuah anila melewatinya begitu saja. Aroma yang selalu Agis pakai tercium jelas oleh indra penciumannya.

"Agis, ayo kembali. Biar aku menjadi tempat kamu pulang yang sebenarnya."

****

Tolong, jangan lupa untuk memberikan dukungan vote dan comment, ya? <3

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro