Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3 ; For You' I'll Stay

Kini, biarkan sang ketiga dan keempat berbicara. Bagaimana luka yang dalam semalam tumbuh kembali.

***

"Halo? Bang Juan ... Anna."

"Anna kenapa, Ga?"

Mengingat Anna yang sedang berada di ujung juang, ia tak pernah membayangkan akan berjumpa kembali dengan seorang kasih yang selalu ia doakan keselamatannya.
Namun, kali ini, berbeda.

Langkahnya melemah, tatapan teduhnya sirna, dan debaran jantungnya pun perlahan menunjukkan sisi buruknya. Saat kedua netranya ia tajamkan hingga pandangan di hadapannya terlihat sangat jelas. Sangat jelas, hingga perih luka di hatinya terasa kembali.

"Ann?" Seseorang itu sama-sama mematung di hadapan Anna yang kini sedang menahan dengan sekuat tenaga agar bendungan pada kedua aksanya tak pecah.

***

"Anna di mana?"

"Di sana ...."

"Kok kamu di sini? Kenapa nggak temenin Anna?" Angga menunduk seketika saat keberadaan Juan membuatnya urung diri menatap balik sang kakak.

"Aku nggak seberani Anna," gumam Angga yang suaranya bergetar hingga terasa sampai pendengaran Juan.

Langkah Juan semakin jauh. Meninggalkan Angga yang masih meratapi perasaannya di ujung koridor, sendirian. Angga meremas kuat ujung kaos polosnya. Hingga tak sadar, tetes demi tetes membasahi jari jemarinya yang masih setia dengan kuatnya. Ia memang terlihat begitu penakut. Karena sebenarnya, ada luka yang tak bisa laki-laki itu sembuhkan. Membuat dirinya merasa menjadi seseorang yang tak akan pernah bisa selamat dengan kegelapan.

Kedua kakinya tak bisa menopang tubuhnya lebih lama lagi. Hingga rintihan kecil saja yang menjadi jawaban atas rasa sepinya.

Sakit ....

***

Kini keduanya sama-sama saling memandang dengan tatapan pedih. Bergegas Juan mendekati sang bungsu. Menjauhi kedua manusia yang sedari tadi ada satu orang yang diamnya sangat membuat Juan ingin melayangkan satu hentakan kasar pada tubuhnya.

"Ayo pulang."

"Nanti dulu."

"Apa yang kamu tunggu si, Ann?"

Anna menepis genggaman Juan yang ingin membawanya pergi dari sana. Bukan karena ia jagoan, karena sampai kapan pun, Anna tak akan pernah sekuat Juan atau pun Haris. Tetapi, ia ingin sekali dalam hidupnya yang kini sudah dipenuhi pahit, menatap kembali seseorang yang meninggalkan dirinya dan ketiga lainnya dengan perasaan tak bersalah.

"Juan, ayo bicara dulu," ajak seseorang yang kini, dari luarnya saja sudah nampak orang asing bagi Juan.

"Ayo, Anna," cela Juan di saat seseorang itu berusaha melerai dirinya dan adiknya yang masih tetap diam pada tempatnya.

"Juan! Dengerin Ayah dulu." Juan menepis kasar lengan laki-laki yang mengaku dirinya dengan sebutan 'Ayah'.

"Saya ngga pernah kenal siapa anda."

"Ju, Anna mau bicara sama Ayah dulu. Ayah jela-"

"APA SIH YANG HARUS DIJELASIN LAGI? JELASIN BAHWA SELAMA INI KITA HANYA BEBAN UNTUK ANDA?" Teriakan Juan mengisi tiap-tiap bagian gedung tersebut. Termasuk Angga yang berusaha menenangkan dirinya di ujung kegelapan sana.

"Ju, bukan begitu. Ayah nggak pernah berpikir kalian beban. Ayah hanya-"

"Lelah dengan sikap Ibu? Atau karena ada kehidupan lain buat Ayah?" Kali ini, Anna yang angkat bicara. Bimo-seseorang yang mereka sebut ayah kala itu- menatap cepat pada Anna sebelum akhirnya menggenggam jemari Anna dengan tatapan memelas.

"Ann, nggak gitu. Ayah jelasin waktu itu, Anna. Ayah hanya pergi sebentar, sebelum akhirnya bisa bawa kalian kembali lagi sama Ayah," tuturnya seraya meyakinkan Anna dan melihat pada Juan yang terlihat murka pada dirinya.

Anna tersenyum kecut, "Ck, bahkan Ayah aja nggak tau gimana kondisi Kak Angga sekarang."

Tubuhnya terlihat kaku. Mendengar satu nama yang Anna sebutkan, membuat Bimo merasakan petir serasa menyambar lubuk hatinya. "Angga ...."

"Ayah kenapa harus muncul sekarang?"

Lelaki paruh baya itu memperlihatkan sisi lemahnya. Perempuan yang tadi bersamanya? Ia hanya menunduk dan tak menoleh sama sekali kepada Anna. Apalagi Juan.

Anna segera menepiskan buliran air mata yang terasa akan jatuh. Ia tak ingin dirinya terlihat lemah di depan mereka. Ia ingin bangkit. Meski selama satu tahun ini, usahanya dan Angga adalah suatu kesia-siaan. Berharap dan berdoa agar bisa kembali dengan sosok yang selalu jadi kebahagiaan untuk mereka.

Juan perlahan meninggalkan Bimo terlebih dahulu. Lalu disusul Anna. Sebelum bergegas pergi jauh, Anna memberikan beberapa kertas lusuh pada Bimo yang selalu ia bawa ke mana pun ia pergi.

"Kita baik-baik saja tanpa Ayah."

Ayah ... Ini sudah dua hari Ayah tak pulang
Anna selalu tanyain Angga, apa Ayah ada hubungi Angga.
Padahal, Angga saja tak tahu ....
Apa Ayah akan hubungi Angga ....

Ini sudah sebulan.
Mas Haris kali ini harus kerja lebih keras, Yah. Ayah ke mana?

Dua bulan lagi Angga pergi. Bedanya, sekarang Anna yang temani.

Ternyata Ayah benar-benar tidak datang....

Ayah? Selamat ulang tahun. Maafin Angga.
Kali ini, Angga menyerah.

Jadi benar, apa kata Bang Juan. Kepergian Ayah, benar-benar hal terberat bagi kita.

Hari begitu cepat berlalu dan sakit, selalu datang di waktu yang tidak tepat.

Tak ada kata, hanya tangis yang terdengar. Perempuan itu menenangkan Bimo di kala ia benar-benar merasa menjadi sosok paling buruk. Batinnya terus menyesal. Bagaimana jika saat itu, ia nekat membawa semua hal yang paling berharga baginya. Apakah semua hal yang berkaitan dengan ai mata tak pernah menjumpai Haris, Juan, Angga, dan Anna?

Jawabannya adalah, tidak. Karena sampai kapan pun, masa lalu hanya akan menjadi sebuah bagian kenangan yang akan selalu ada. Yang bisa dilakukan, hanya merasakan kembali perasaannya. Bukan untuk diratapi penyesalannya.

Itu yang dirasakan Bimo saat ini. Ia memang seseorang yang sangat buruk. Meninggalkan atap yang sudah susah payah ia bangun dan memperkuat tiangnya hanya karena ia lelah dengan semesta. Dalam semalam, pikirannya kalut. Lalu memutuskan untuk pergi.

Meninggalkan Haris yang sedang berjuang dengan separuh jiwanya, Juan yang sedang dirudung penantian akhir, Anna yang sedang mempertahankan prestasinya, dan Angga yang sedang berjuang melawan dirinya sendiri.

***

Seperti pada sebuah lagu yang akhir-akhir ini Angga dan Anna sukai maknanya.

Mereka bilang syukurilah saja
Padahal rela tak semudah kata
Tak perlalu khawatir, ku hanya terluka
Terbiasa tuk pura-pura tertawa
Namun bolehkah sekali saja ku menangis
Sebelum kembali, membohongi diri

Mungkin kisah mereka memang tak sejelas peran lainnya. Tetapi, yang sebenarnya, ada kuat yang mereka pegang bersama-sama.

Jangan salah, yang termuda juga belum tentu selalu paling diperhatikan. Termasuk Anna.

Sebelum kepergian kedua orang tersebut, Anna sudah lebih dulu menjadi gadis yang tak pernah dimanja. Lebih tepatnya, tidak dibuat untuk menjadi seperti itu. Tetapi, dirinya juga masih tetap menjadi gadis kecil yang apa-apanya selalu menjadi hal yang harus diapresiasi. Termasuk oleh sang ayahanda.

Begitu pun Angga.

Angga memang selalu berada di belakang sang ayah. Mengingat bahwa saat ia beranjak remaja, sosok ganas pada tubuhnya kembali menggerogoti dirinya setelah sekian lama. Lalu, sosok Bimo-lah yang menjadi kekuatan sekaligus tameng untuk dirinya.

Meski benar, rela tak pernah semudah kata.

Mereka sama-sama sudah melihat jelas. Bagaimana semesta mempermainkan kedua kakaknya, dan juga diri mereka sendiri, yang jatuhnya mereka rasakan dengan tiba-tiba. Hingga luka yang hampir sembuh kembali terbuka.

Jika ditanya, bagaimana perasaan Anna saat setelah sekian lama ia tak bertemu dengan Bimo. Jawabannya adalah, kuat. Haris pernah memberitahu suatu hal padanya.

"Ann, sakit itu wajar. Bertahan itu harus. Kamu memang tak akan pernah jadi yang paling kuat. Tetapi, apa semesta pernah bertanya, pada setiap insan di dunia, bagaimana mereka menaruh kuat pada hidupnya?"

Anna menoleh pada Haris. Membiarkan tatapan mereka beradu.

"Tidak semua hal buruk, ada lukanya. Dan tidak semua luka, ada buruknya, Ann."

Itu yang membuat Anna memilih kuat. Menahan dirinya agar tak terpengaruh dengan semua kata-kata memelas sang ayah. Puan itu akhirnya bangkit berdampingan dengan lukanya.
Namun, tidak dengan sakitnya.

Lalu Angga. Hatinya masih dengan goresan yang tak tahu kapan akan sembuh.
Sampai pada malamnya, Juan menemani dirinya hingga proses pengobatannya selesai.

"Kamu boleh jatuh. Karena saat jatuh, kamu akan tahu apa artinya bangkit, Ga. Lukamu memang tak akan pernah sama dengan siapa pun. Tetapi, Abang harap, kamu belajar satu hal untuk kejadian hari ini."

"Belajar untuk menemani lebih dalam diri sendiri di kegelapan, mungkin."

Juan meletakkan kedua lengannya pada pundak Angga. Memberi isyarat padanya agar tak perlu menoleh ke belakang.

"Cukup. Ini terakhir kalinya kamu lihat ke belakang. Biarkan pahit terasa tiap harinya. Waktu yang akan mengatur semuanya, Angga. Kamu hanya perlu ingat. Masih ada Anna, Abang, dan Mas Haris yang tangannya siap jadi penopang kamu. Sampai kamu sembuh."

***

Ada banyak hal yang tak bisa kisah ini tulis dengan jelas.
Namun, berkat mereka, si tokoh terbaik yang memerankan dirinya dengan begitu baik. Ada seseorang yang hatinya ikut teriris saat menuliskan kisah mereka dan belajar dari mereka.

Garis perhentian manusia memang tak akan pernah sama. Begitu pun jalannya.

Namun, siapa sangka. Bila ternyata, mereka memilih untuk tetap pada jalan yang sama. Beriringan membawa harapan, untuk menuju sembuh yang luar biasa. Meski nanti, jalannya akan berbeda. Tetapi, setidaknya, mereka sembuh dengan bersama.

Sampai berjumpa lagi dengan Haris, Juan, Angga, dan Anna.

***

Halo temen-temen :D
Gimana nih kabarnya? Aku harap kalian yang sudah baca sampai sini, sehat selalu ya?
Oh sedikit pemberitahuan, Di Bawah Semesta ( DBS ) untuk beberapa minggu kedepan belum bisa up dulu ya T^T
Tapi tenang aja, akan ada banyak kejutan lainnya yang aku siapin buat kalian ! Sekali lagi, terimakasih banyak yang sudah bersedia baca sampai bab ini <3

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro