Sepuluh
Hening sesaat setelah Mentari menjabarkan kalimat panjangnya. Sesekali gadis ini memandang lelaki di sampingnya. Khawatir Dhormy akan tersinggung karena kalimat-kalimatnya barusan.
"Gue rasa lo bener." Tepat sedetik setelah Dhormy berujar, Mentari menatap sepenuhnya pada pemuda itu.
"Lo bener, Mentari. Guenya aja yang bodoh. Terlalu merasa lemah, padahal banyak banget di luar sana orang yang lebih menderita dibanding gue. Makasih, udah nyadarin gue akan hal itu." Tanpa sadar mentari mengangguk. Senyumnya tersungging lebih lebar.
"Sama-sama. Gue senang bisa deket sama lo, kek gini."
"Maksud lo?"
Mentari tertawa sejenak. "Gue denger tentang lo udah lama. Gue juga tau tentang penyakit lo juga udah lama. Tapi gue baru berani nyamperin lo langsung, kemarin-kemarin. Gue tertarik sama kehidupan lo, karena gue merasa nasib kita sama. Hampir sama lebih tepatnya. Tapi jangan harap gue suka sama, lo, gue cuma nganggep lo sebagai teman."
Kini giliran Dhormy yang tertawa, meski pelan. "Bodohnya gue nggak ketemu lo dari awal. Mungkin gue udah lama bebas dari si Toni. Makasih sekali lagi."
Keduanya terdiam sebentar. Menikmati hembusan angin yang masuk melalui celah-celah ventilasi udara. Mata Dhormy terpejam, menikmati belaian pelan angin pada tubuhnya. Dhormy selalu menyukai angin. Angin membuat perasaannya lebih tenang. Seolah ikut membawa beban yang dipikulnya kendati sedikit.
Mentari yang enggan lama-lama terdiam hendak membuka suaranya tapi ia urungkan. Melihat Dhormy yang sedang memejamkan matanya sembari tersenyum membuatnya ikut tersenyum. Wajah pemuda itu terlihat tenang dan damai. Mentari tak ingin mengusiknya.
"Lo percaya teman?"
Suara berat nan lirih itu tiba-tiba mengejutkan Mentari. Ia lantas menegakkan badannya. Melirik pada Dhormy yang masih terpejam.
"Gue rasa iya."
"Kenapa?"
"Nggak ada alasan khusus. Gue percaya tali pertemanan. Bahkan persahabatan."
"Karena lo punya teman?"
"Iya. Gue punya. Mungkin itu salah satu alasannya kenapa gue percaya."
"Gue enggak. Tapi teman gue hanya angin."
Mentari mengernyit. "Angin? Lo beneran nggak punya teman?"
"Menurut gue, anginlah yang paling setia. Dia datang di saat gue butuh. Pergi pun membawa tenang. Gue merasa tenang kalau ada angin," katanya pelan.
"Aneh tapi unik."
Dhormy kembali tertawa pelan. "Mungkin menurut orang, bintang bisa menjadi teman mereka. Tapi gue rasa nggak. Bintang hanya ada ketika malam. Sedangkan angin, dia selalu ada kapanpun dan di manapun. Kalau teman lo?"
Kendati Mentari berpikir bahwa pembicaraan ini melenceng, tak urung ia tersenyum sembari mengucapkan jawabannya. "Manusia."
"Siapa?"
"Lo."
Terkejut. Dhormy melebarkan matanya sedikit. Ia tak menyangka dua huruf itu akan meluncur bebas dari bibir Mentari. Ia kira, cewek itu mempunyai banyak teman kendati ia sering di-bully. Sampai detik ini pun, Dhormy masih merasa terkejut. Dia? Teman Mentari? Dhormy bahkan baru mengenalinya.
"Mulai sekarang, kita teman?"
Kelingking Mentari terangkat sampai ke depan wajah Dhormy. Sedangkan Dhormy sendiri masih bingung. Ia meragu. Di sisi lain ia mulai merasa memercayai Mentari. Di sisi lain, ia takut Mentari tak sebaik apa yang ia kira.
Hingga akhirnya Dhormy memilih mengangguk. Untuk saat ini, ia memutuskan untuk percaya. Kelingkingnya turut terangkat, menyambut jemari kelingking Mentari.
"Lo nggak perlu sungkan membagi masalah. Nggak perlu merasa takut atau nggak percaya. Karena gue, akan selalu ada di samping, lo. Kapanpun dan di manapun lo butuh gue. Mentari bukanlah sinar matahari yang bisa nyakitin lo kapan aja. Mentari yang sekarang adalah Mentari yang memutuskan menjadi angin. Untuk Dhormy."
Lagi-lagi Dhormy hanya bisa tersenyum. Ia merasa bahagia luar biasa. Tak pernah ia rasakan kebahagiaan seperti ini sebelumnya. Dhormy merasa kembali hidup. Seolah baru saja lahir.
"Makasih banyak, Mentari."
.
Hari berganti hari. Dhormy dan Mentari terlihat selalu bersama. Kini, tak ada lagi gangguan Toni ataupun para pem-bully lainnya. Mereka hanya bisa melihat dari jauh, lalu tertawa dalam hati. Merasa Dhormy dan Mentari adalah pasangan yang cocok. Sama-sama pernah menjadi korban bully dan saksi kekejaman Toni, meski nyatanya Toni tak sekejam itu.
Sedangkan Mentari dan Dhormy, mereka sering menghabiskan waktu bersama kendati kelas mereka berbeda. Rasa nyaman sering kali hadir di antara mereka meski tak ada rasa-rasa lebih, seperti saling menyukai misalnya. Mereka nyaman dengan hubungan mereka saat ini, teman. Bahkan mungkin persahabatan.
Seperti saat ini, mereka tengah duduk berdua di kantin. Ya, meskipun tetap dikelilingi oleh tatapan-tatapan tak suka dari lainnya. Bagaimana bisa Mentari, si cewek cupu dengan kacamata super tebalnya bisa berteman dengan manusia setengah Vampire seperti Dhormy? Namun mereka berdua bersikap tak acuh saja. Toh, mereka merasa nyaman sejauh ini.
"Abang lo baik banget ternyata, gue enggak nyangka." Mentari memulai obrolan.
"Abang gue emang kayak gitu."
"Gue rasa keluarga lo harmonis banget. Gue jadi pengen punya kakak sama adik. Ibu lo juga baik banget, ramah. Meski bukan orang Indonesia asli."
Dhormy terkekeh sembari kembali memakan bakso pesanannya. "Makan. Jangan lupa abisin, jangan ngoceh terus. Kasihan baksonya, mereka nangis karena lo anggurin."
"Humor lo oke juga. Ternyata manusia ganteng setengah Vampire kayak lo bisa ngelawak juga."
Mereka tertawa bersama. Benar-benar mengabaikan tatapan tak suka ataupun tatapan iri dari yang lain. Padahal dalam lubuk hati mereka yang paling dalam, mereka menginginkan posisi Mentari saat ini. Siapa yang tidak mau duduk semeja dengan cowok paling putih seantero sekolah? Cewek cupu seperti Mentari saja bisa menghidupkan Dhormy, dan mereka iri akan hal itu.
"Makasih banyak, Mentari."
Mentari yang saat itu tengah makan hanya tersenyum menanggapi. Sejujurnya ia ingin protes, sudah ribuan kalimat terima kasih ia dengar dari mulut Dhormy. Kendati demikian, Mentari tetap bersyukur. Dhormy terlihat jauh lebih hidup sekarang. Banyak bicara, banyak tertawa, tersenyum, bukan seperti Dhormy ketika Mentari pertama kali mengenalnya.
Dan menjadi teman Dhormy adalah sebuah anugrah bagi Mentari. Ia bisa dekat dengan manusia langka seperti Dhormy, Mentari senang akan hal itu. Meski benih-benih rasa lain belum muncul, Mentari berharap bahwa ia dan Dhormy akan seperti ini, selamanya. Bahkan mungkin sampai ia dan Dhormy terpisah oleh maut.
"Dhormy...," panggil Mentari.
"Ya?"
"Gue senang."
"Gue lebih senang."
"Gue senang lo kelihatan lebih hidup sekarang. Banyak tersenyum, tertawa."
"Itu semua berkat, lo. Jadi, terima kasih."
Mentari mendengkus. "Makasih aja terus sampai lo lumutan." Dhormy hanya bisa tertawa. "Ingat, jangan pernah jadi manusia lemah. Apalagi lo cowok. Ngerti? Gue nggak suka liat lo kayak kemarin."
"Aye-aye captain."
"Bagus."
Mentari memandangi Dhormy yang kembali memakan makanannya. Diam-diam, Mentari berharap bahwa ia dan Dhormy akan terus seperti ini. Tak terpisahkan.
Semoga Tuhan tak memisahkan kita, Dhor. Meski hanya sebagai teman.
Bersambung...
090319
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro