Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Satu

Sebuah piring terlempar begitu saja. Teronggok di lantai dengan telah menjadi kepingan-kepingan kecil. Piring itu jatuh, saat seorang pemuda melemparnya penuh emosi.

Napas pemuda itu naik-turun, wajah putih pucatnya memerah, tentunya ia tengah menahan emosi. Meski tangan yang terkepal di samping tubuhnya itu mulai melemah, tak berarti pemuda ini melepas seluruh emosinya.

Cacian, makian yang pernah ia dengar, sontak menyeruak kala ia memutuskan untuk mengalah pada emosinya, dengan duduk meluruh di lantai. Kedua kakinya menekuk. Gigi-giginya pun saling bergemeletuk. Tangan panjangnya memeluk kedua kaki yang tengah menekuk.

Ia tengah kalut. Dengan dirinya sendiri pun dengan keadaan sekitar. Semuanya seolah sama. Tak pernah menghargai kehadirannya. Ujaran kebencian tak sekali dua kali menghampiri. Membuat pemuda itu ingin menyerah begitu saja. Namun sayang, orang tuanya jelas akan menghalanginya melakukan hal tersebut.

Dhormy, namanya. Rizal Dhormy.

Namun orang lain lebih suka memanggilnya, si pucat atau si anak pucat. Bahkan tak jarang ada yang memanggilnya dengan sebutan Vampir. Tentu ada alasan dibalik pemberian julukan seperti itu. Sayang, Dhormy tak ingin kalian tahu lebih dulu.

Seolah terbiasa dengan sikap juga emosi Dhormy yang kadang meledak-ledak, sang ayah hanya diam. Baik ia, maupun istrinya tak berani mengganggu anak itu jika sedang emosi. Jangan sekali-kali, atau mereka akan kehilangannya. Dhormy akan menjadi orang yang paling nekat saat ia merasa terganggu. Namun, ia tak pernah menunjukkan pribadi itu ketika berada di hadapan teman-teman.

Ah, bukan. Mereka bukan teman-temannya. Dhormy hanya menganggap mereka suara angin. Yang akan hilang jika angin turut membawanya pergi.

Selama ini, Dhormy tak pernah menunjukkan amarahnya di hadapan umum. Ia menyimpan itu untuk dikeluarkan saat berada di rumah. Karena menurut Dhormy, rumah adalah tempat ternyaman untuknya menyalurkan emosi. Tak peduli seberapa takut orang tua bahkan kakak maupun adiknya akan amarahnya.

Dhormy sudah berjanji tak akan pernah menunjukkannya di depan khalayak ramai. Hanya ia dan keluarga yang boleh tahu fakta itu. Tidak dengan sampah seperti mereka. Yang hanya bisa mengolok-olok tanpa tahu bagaimana rasanya diolok.

Kembali lagi pada Dhormy, pemuda itu sudah terlihat lebih tenang. Matanya kembali memancarkan aura kehidupan, bukan lagi aura kemarahan bahkan keputusasaan.

Orang tuanya pun sudah berani mendekat. Ayah yang pertama kali merengkuh pemuda itu. Memeluknya erat sembari merapalkan beberapa kalimat penenang. Ayah selalu bisa menjadi tumpuan ketika Dhormy benar-benar merasa lelah. Bahu kokoh itu mampu membuatnya merasa hidup. Merasa berharga. Pun demikian halnya dengan Ibu. Ibu dengan segala kelembutannya. Membuat Dhormy merasa seolah ia masih anak kecil yang masih perlu dilembutkan.

"Tak apa, Nak. Jangan dengarkan mereka. Sumpal telingamu dan anggap mereka seperti angin yang akan berlalu.  Dhormy anak Ayah pasti bisa menulikan semua itu." Dalam dekapan hangat itu, Dhormy mengangguk.

Perlahan, Dhormy bangkit dibantu sang Ayah. Senyum di bibirnya yang pucat mengembang. Matanya pun seolah menyampaikan rasa terima kasih yang begitu besar.

Dhormy berjalan pelan menuju kamarnya. Sedangkan orang tuanya pasti tengah sibuk membereskan pecahan piring yang tadi ia lempar. Pemuda itu mengembuskan napas kasar. Kecewa pada diri sendiri karena lagi-lagi tak bisa mengendalikan emosi. Dhormy tak tahu mengapa ia hanya bisa menyalurkan emosinya di rumah. Di luar sana, ketika ia dihadapkan dengan mulut-mulut buas manusia, ia hanya bisa diam. Menunduk sembari mengatakan berbagai kalimat penenang, yang tentunya ia dapat dari ayah.

Yang Dhormy lakukan sekarang hanya termenung. Menatap jendela yang tak pernah ia buka ketika siang hari. Dan akan terbuka lebar saat malam datang. Ini hidupnya. Dhormy harus terbiasa dengan fakta itu. Ya, meskipun dari kecil ia tak bisa menerima apa yang terjadi pada tubuhnya begitu saja. Semakin dewasa, ia harus berusaha merelakan semuanya terjadi.

Dhormy tak pernah menyangka, pilihannya untuk berhadapan dengan dunia luar, ternyata salah. Seharusnya, dari dulu ia bisa mempertahankan semuanya. Memendam keinginan untuk menikmati dunia luar saat pagi hari. Menikmati teriknya mentari ketika berada di atas kepala. Walaupun sekarang semua keinginannya terwujud, ia salah memperkirakan jika yang lain akan menerima dirinya layaknya keluarga kecilnya.

Dhormy sungguh ingin kembali seperti dulu. Tanpa adanya cacian, makian juga seringai buas dari para pecundang itu. Dhormy tak sudi menyebut mereka teman. Karena memang ia tidak pernah mempercayai sesuatu yang berbau teman. Yang Dhormy tahu, temannya adalah Ayah, Ibu, Kakak dan adiknya. Hanya itu. Ya, hanya itu.

.

Malam semakin larut. Jendela kamarnya yang terbuka, membuat angin leluasa masuk. Dhormy yang saat itu berada di depan jendela, menghirup kuat anginnya. Angin yang selalu membuatnya tenang. Angin malam.

Sejenak, Dhormy dapat melupakan semuanya. Apa yang terjadi padanya hingga saat ini. Dhormy melupakannya. Angin malam yang membelai lembut wajahnya dapat membuat Dhormy tenang selain dekapan sang ayah.

"Belum tidur, Nak?" Suara indah ibu mengalun lembut di telinga Dhormy. Ia langsung berbalik dan melangkah menuju ibu yang kini tengah menaruh gelas berisi susu yang biasa Dhormy minum.

Sebuah senyum terukir di bibirnya yang terlihat sedikit lebih pucat. Dhormy mengambil gelas itu dari atas nakas. Lantas menandaskannya hanya dalam waktu beberapa detik.

Suara lembut ibu kembali terdengar. "Dengarkan Ibu. Jangan pernah mencoba menyembunyikan luka. Dhormy bisa membaginya ke Ibu, Ayah, kakak ataupun adik kamu. Mereka orang yang bisa kamu percaya saat ini." Ibu membelai rambut lembut Dhormy.

Dhormy terlihat mengangguk. "Aku tau. Akan aku usahakan untuk terus terbuka pada kalian."

"Bagus. Ibu senang melihat anak Ibu ini sudah mulai berubah. Tapi, Nak. Percayalah. Ibu tak akan pernah meninggalkanmu seperti mereka. Ibu tak akan pernah menyakitimu."

"Aku tau, Ibu. Ibu sudah beberapa kali bilang begitu." Ibu tertawa.

"Bukannya sesuatu yang diulang-ulang itu hasilnya baik?" Ibu mencoba menggoda Dhormy.

"Itu hal lain. Beda dengan Ibu. Ibu bahkan hampir setiap hari, setiap saat, berbicara seperti itu. Aku capek dengernya." Ibu semakin tertawa.

Dhormy pun ikut tersenyum. Baginya, tawa Ibu adalah obat mujarab bagi semua kesedihannya. Tawa Ibu adalah tawa paling merdu yang pernah Dhormy dengar. Bahkan sang ayah pun, tak memiliki hal ini.

"Nak, apa kamu nggak pengen laporin ini ke pihak guru? Bully yang kamu dapat itu lumayan lho, hukumannya." Dhormy mengangguk.

"Dhormy lebih memilih diam, Bu. Kayak apa yang pernah Ayah bilang 'diam adalah emas' aku harus diam kalau nggak mau masalah ini berlarut-larut. Makanya aku sering diam waktu mereka mengganggu."

Saat itu Dhormy sadar, apa yang ayahnya katakan adalah benar. Bahkan Dhormy menggunakan kalimat itu sebagai prinsipnya.

Diam adalah emas.

Bersambung...

GhibahWriters

020219

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro