Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Lima

Lagi dan lagi. Toni kembali berbuat ulah. Dengan menyuruh Dhormy menggantikannya menyelesaikan hukuman. Dhormy berusaha melawan, tapi kawan-kawan Toni yang perawakannya mirip dengannya, membuat nyali Dhormy ciut seketika.

Helaan napas terdengar begitu Dhormy menggambil alat pel yang sebelumnya berada di tangan Toni. Nasib sial menimpa Dhormy ketika beberapa saat yang lalu hendak pergi ke toilet.

"Kerja, cepet!" Toni memasang wajah garangnya.

Sungguh, Dhormy ingin sekali melawan. Membuat cowok itu takut atau bahkan tak berani mengusilinya. Tapi sayangnya, Dhormy tak mempunyai keahlian apa pun di bidang pertahanan diri. Dhormy tak pernah terlibat dalam perkelahian yang menggunakan kekerasan. Sekali pun tidak pernah.

Jangankan diperlakukan kasar, matahari menyentuh kulitnya barang sedetik saja, sudah dipastikan akan ruam. Lebih parahnya melepuh.

Dasar manusia lemah.

Lagi, Dhormy menghakimi dirinya sendiri. Di belakangnya, Toni terlihat tertawa bersama teman-temannya. Seolah merasa puas telah membuatnya kesusahan. Memang dasarnya mereka manusia tak punya kepedulian. Puas menindas kaum yang lemah.

Andai saja Dhormy bukan seorang pengidap Actinic Prurigo, penyakit alergi matahari turunan, sudah jelas ia akan membasmi pem-bully seperti yang dilakukan Toni. Ia bisa mengadu, bahkan lebih parahnya, ia akan menghajar Toni. Manusia yang tidak mempunyai rasa itu.

Andai saja semua bisa terwujud, Dhormy pasti sudah berbahagia. Ya, jika kata andai itu mudah ia gapai, pastilah Dhormy tak akan pernah mengalami ini semua.

"Kerjain! Bukan malah bengong kek gitu."

"Andai gue bisa laporin ini, gue bisa laporin secepatnya," gumamnya pelan. Tapi Toni bisa mendengarnya meskipun tak jelas.

"Lo bilang apa? Mau laporin? Oh ... silakan. Tapi jangan harap hidup lo masih panjang."

Dhormy mendengkus kasar. Inilah akibatnya berurusan dengan Toni. Ia akui, ia takut padanya. Seperti tipe-tipe anak yang sering di-bully pada umumnya. Tapi Dhormy terkadang mempunyai kekuatan untuk membalas perkataannya. Ya, meski tak berani melaporkannya.

Tanpa mereka sadari, seorang gadis memperhatikan sejak tadi. Bukan mereka yang diperhatikan, tapi Dhormy. Diam-diam gadis ini memang sering memperhatikannya dari kejauhan. Entah apa alasannya, Mentari, gadis yang terlihat cupu ini selalu tertarik begitu melihat Dhormy.

Dhormy yang sering menjadi bahan olok-olok, membuatnya seakan bercermin. Ia juga begitu. Sering dicerca. Dikata cupu hanya karena kacamata tebalnya. Tapi sebenarnya mereka saja yang tak begitu mempedulikan, bagaimana bisa ia melihat dengan jelas tanpa sebuah kacamata?

Ia paham apa yang Dhormy rasakan. Merasa diri sendiri begitu buruk hingga di-bully orang-orang. Ia paham bagaimana rasanya. Karena ia pun sering berada di posisi itu.

Memberanikan diri, Mentari maju. Membuat tawa yang tadinya mengembang, tiba-tiba terhenti. Senyap. Bahkan Dhormy pun yang sejak tadi sibuk dengan pekerjaan sekaligus pikirannya itu ikut terhenti. Ia pun menatap gadis berpenampilan cupu itu dalam diam.

"Saya tahu kakak-kakak ini sedang ngerjain dia, kan? Asal kakak tau, guru BK bentar lagi datang, ngecek anak yang sedang dihukum. Kalau sampai kakak ketahuan manfaatin dia, guru BK nggak akan segan-segan ngasih kakak hukuman yang lebih berat." Toni dan teman-temannya terhenyak dengan penuturan gadis ini.

Seolah enggan ditanya mengapa ia berkata demikian, Mentari segera berkata, "saya sering diminta datang ke ruang BK buat ngurus absensi. Dan saya juga nemu banyak kasus yang seperti ini. Makanya saya peringatkan dari awal."

Toni dan teman-temannya terdiam sebentar. Sebelum akhirnya mendorong bahu Dhormy hingga cowok itu terhuyung sampai pel yang ia pegang terjatuh.

"Sana pergi! Gue nggak mau nambah hukuman."

Dhormy mengembuskan napas lega. Ia bisa bebas dari jeratan Toni berkat gadis itu. Dhormy menggeleng. Tidak. Bukan gadis itu yang membantunya. Melainkan keberuntungan. Ya, Dhormy rasa Tuhan mengirimkan keberuntungan padanya kali ini.

Cowok yang jaketnya masih melekat di tubuhnya itu segera melangkah. Bahkan melewati Mentari yang sedari tadi berharap rasa terima kasih Dhormy padanya. Namun nihil. Mentari tak mendapat apa-apa.

Sedikit banyak, gadis itu mengetahui watak Dhormy. Pemuda yang mempunyai kulit putih pucat yang juga terlihat angkuh. Ya, angkuh. Kali ini Mentari menyimpulkan bahwa Dhormy itu angkuh. Bersikap seenaknya begitu. Tapi Mentari tak akan menyerah. Ia tahu Dhormy mempunyai masalah yang berhubungan dengan mentalnya.

Cowok itu pasti enggan menerima bantuan apa pun dari siapapun. Mentari paham, Dhormy pasti tengah melakukan perlindungan terhadap dirinya sendiri.

"Dhormy...," panggil Mentari begitu hampir mendekati Dhormy.

Gadis itu memang mengikutinya sejak tadi. Berharap bisa berkenalan dengannya atau bahkan bisa berteman. Mengaku bahwa ia adalah korban bully juga dan mereka bisa bertukar pikiran.

Dhormy yang sejak tadi tahu sedang diikuti, berhenti berjalan sesaat setelah Mentari memanggil. Ia risih sebenarnya. Tapi lebih ke dugaan-dugaan negatif. Ia sedari tadi mengira, bahwa Mentari akan memanggilnya cowok lemah yang mau-mau saja disuruh orang lain. Dhormy sudah bersiap memasang telinga. Maksudnya menulikan telinga.

"Jangan lupa berterima kasih setelah ditolong," kata Mentari. Dhormy mengangkat sebelah alis, buru-buru Mentari melanjutkan. "Kenalin ... Saya Mentari." Ia menjulurkan tangan.

"Gue rasa, lo tau nama gue." Setelahnya Dhormy kembali melanjutkan langkah.

Mentari termenung. Menurunkan perlahan tangannya.

"Ternyata bener, lo itu angkuh. Pantes buat di-bully. Tapi gue lebih penasaran sama, lo. Percayalah. Gue enggak akan nyerah buat temenan sama lo gitu aja." Mentari tersenyum sebelum melanjutkan langkahnya kembali ke kelas. Sembari tertawa pelan, karena ia berhasil membuat Toni tertipu akan perkataan bohongnya.

.

Dhormy termenung begitu sampai di mejanya. Keadaan kelas yang ramai karena jamkos, tak membuat Dhormy mengalihkan fokusnya. Ia masih memikirkan gadis itu. Siapa namanya? Ah, iya. Mentari. Dhormy bisa mengingat wajah oval dengan kacamata bertengger di hidungnya, membantunya terbebas dari kukungan Toni.

Wajah ovalnya entah mengapa mencuri perhatian Dhormy. Bukan. Bukan karena ia tertarik atau merasa jatuh hati. Tapi karena kalimatnya yang terakhir. Dhormy pikir gadis itu mau mencercanya dengan kalimat-kalimat menyakitkan seperti yang lain. Tapi salah. Ternyata ia malah memperkenalkan dirinya.

Jelas ini aneh bagi Dhormy. Ia rasa semua murid di sekolah ini membencinya. Bukan, lebih tepatnya membenci kulitnya yang terlampau putih. Namun ternyata, lagi-lagi salah. Mentari, mendekatinya dan menolongnya seperti seorang teman. Dhormy tak yakin, tapi itulah yang ia rasa saat ini.

Dhormy tak akan mudah percaya saat ini. Ia tak bisa mempercayai gadis itu hanya karena menolongnya sekali. Dhormy meyakinkan diri. Ia tak boleh percaya. Sama sekali tak boleh. Karena dengan percaya, Dhormy takut membuat hatinya lebih sakit.

Jadi, tetaplah seperti ini. Tetaplah menjadi Dhormy yang tak peduli pada siapapun. Tetaplah jadi Dhormy yang mendadak tuli begitu mereka mencaci. Tetap jadi Dhormy dengan prinsipnya itu. Dhormy tak boleh percaya. Sama sekali tak boleh. Pada siapapun itu.

Ya, Dhormy tak boleh percaya pada satu kebaikan Mentari.

Bersambung...

100219

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro