Enam
Keyakinan yang sejak tadi Dhormy bangun, entah mengapa tiba-tiba terasa tak lagi seyakin sebelumnya. Dhormy kembali berpikir, apakah benar gadis bernama mentari itu ingin benar-benar menjadi temannya. Tentu Dhormy tak percaya. Sebelumnya sudah dijelaskan bahwa mungkin seluruh sekolah membencinya. Tapi ketika matanya beradu pandang dengan mata cewek itu tadi, Dhormy merasa ada ketulusan di sana.
Dhormy menggeleng di tempat. Ia tak boleh percaya pada siapapun itu. Keyakinannya kembali. Dhormy harus benar-benar bisa mengendalikan dirinya untuk tidak percaya pada siapapun selain keluarganya. Ya, harus.
Gerakan tangan Dhormy yang semula sedang mengaduk cokelat panas, tiba-tiba terhenti. Ia teringat akan ucapan ibu tadi siang ketika cowok itu baru saja sampai di rumah. Ibu bertanya apakah ia mempunyai teman atau tidak. Ibu juga bilang bahwa ia akan memberhentikan Dhormy dan kembali membuatnya homeschooling jika bully-an itu masih menyerangnya.
Dhormy kini dilanda kebingungan. Ia bingung hendak memilih tetap bersekolah umum atau homeschooling. Ayah pernah bilang, jika ia memutuskan untuk sekolah umum, maka ayah tak akan mengeluarkannya sebelum lulus. Ayah ingin Dhormy senang dan juga bahagia. Ayah ingin Dhormy tumbuh dewasa dengan teman-teman yang mengelilinginya. Tapi rupanya ayah salah. Dhormy justru tak mempunyai teman, bahkan setelah setahun ia bersekolah.
Di satu sisi, Dhormy ingin kembali homeschooling dan terbebas dari segala macam bully-an. Tapi di sisi lain, ia masih ingin mencaritahu apakah Mentari benar-benar tulus menjadikannya teman. Diam-diam Dhormy berharap bahwa jawabannya adalah iya.
Dhormy senang sebenarnya ada seseorang yang mempedulikamnya. Ada orang yang berusaha melindungi dirinya. Jelas saja ia senang, bagaimana tidak jika setiap hari yang ada hanya tatapan kebencian? Baik laki-laki maupun perempuan memandangnya seolah ia adalah manusia paling menjijikkan di dunia. Mereka menganggap Dhormy seorang banci hanya karena kulitnya yang terlampau putih.
Jika bisa, Dhormy ingin menjadi orang normal. Orang biasa. Tak peduli akan ada mempedulikannya atau tidak, Dhormy hanya tak ingin tatapan kebencian itu menghantuinya setiap saat. Kakaknya bilang, mereka hanya iri pada bagusnya tubuh Dhormy. Siapapun mau menjadi seperti Dhormy yang mempunyai kulit putih seperti itu.
Dhormy mengembuskan napasnya sembari menyeruput cokelat panasnya pelan. Matanya memandang ke depan. Terlihat sedang menerawang. Bahkan kakaknya yang kini tengah berada persis di depannya ia hiraukan.
"Oi!"
Barulah Dhormy tersadar begitu kakaknya menepuk bahu beberapa kali.
"Lo kenapa sih? Bengong mulu."
"Enggak pa-pa."
"Kek cewek aja enggak pa-pa."
Dhormy mendelik. Menatap kakaknya tajam. Sedangkan Theo hanya terkekeh sembari meminum cokelat panas adiknya sedikit.
"Jangan galau. Percuma kalau lo mikirin mereka semua kalau lo nggak mau ngelawan."
Dhormy terdiam. Teringat akan kejadian tadi pagi. "Gue kemaren udah ngelawan. Sama persis kayak yang lo bilang. Tapi nyatanya apa? Gue nggak bisa, Bang. Gue takut waktu dia mau marah."
Theo membulatkan matanya sejenak, sebelum kembali normal. "Serius? Harusnya lo ngelawan aja, biar mereka tau rasa. Coba kalau gue jadi lo, gue bakal lawan tu orang sampe nggak berani lagi ganggu gue."
"Kita beda, Bang. Lo dan gue beda. Lo normal, gue nggak. Lo sehat, gue nggak."
Theo yang mengerti bahwa ia salah berucap, akhirnya memilih menepuk bahu adiknya berkali-kali sambil bergumam maaf. Sebenarnya Dhormy tidak masalah. Yang ia permasalahkan hanyalah kenapa harus ia? Kenapa harus ia yang menerima itu semua?
Jika boleh memilih, Dhormy ingin menjadi anak normal. Ia ingin menikmati waktunya di siang hari, tanpa takut akan adanya matahari. Dhormy hanya ingin bebas. Itu saja. Tapi sayang, ia tak bisa.
Helaan napas kembali terdengar di keheningan yang sebelumnya menerpa mereka.
"Tidur. Besok sekolah." Theo Bangkit dari duduknya lalu menepuk bahu Dhormy pelan, sebelum akhirnya melangkah.
Meninggalkan Dhormy sendiri.
Dhormy hanya diam beberapa saat, kemudian memutuskan menyusul sang kakak setelah menghabiskan sisa cokelat yang kini telah dingin.
.
Dhormy mendengar suara-suara yang kurang jelas saat hendak melewati toilet. Suaranya terdengar dari toilet sebelah, alias toilet khusus perempuan yang memang jaraknya berdekatan dengan toilet laki-laki. Namun Dhormy memutuskan untuk melaksanakan hasratnya terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk mengecek suara apa itu.
Setelah selesai, Dhormy akhirnya keluar bersamaan dengan helaan napas lega. Untungnya di dalam sedang tidak ada siapa-siapa, jadi Dhormy aman dari cemoohan atau tindakan dari para murid sekolah kali ini.
Sebenarnya Dhormy sudah melupakan suara-suara aneh tadi, ia bahkan berniat ingin langsung kembali ke kelas. Namun, begitu ia melangkah melewati toilet perempuan, suara aneh itu kembali terdengar. Kali ini lebih jelas. Terkesan seperti suara bentakan. Dhormy yang sebelumnya ragu, akhirnya memutuskan untuk masuk. Peduli setan dengan apa pun yang akan terjadi setelah ini, Dhormy hanya akan memastikan jika tak ada tindakan kekerasan di dalam.
Dhormy tak benar-benar langsung masuk, ia mengintip terlebih dahulu. Matanya memicing begitu melihat seseorang yang lumayan familiar. Itu Mentari. Sepertinya ia sedang disudutkan. Terbukti dari dorongan serta jambakan pada rambutnya oleh tiga orang perempuan lainnya yang Dhormy tak tahu mereka siapa.
Tak ingin melewatkan kesempatan, Dhormy segera mengambil ponselnya. Membuka aplikasi kamera dan mulai memvideokan kejadian itu. Ia tahu jelas aksi ini merupakan aksi pembulian. Ia tak ingin seseorang seperti Mentari merasakan hal yang sama seperti yang ia rasakan. Oleh karena itu Dhormy berbuat demikian, hitung-hitung ia membalas budi pada Mentari setelah menyelamatkannya kemarin.
Dhormy segera menyimpan videonya. Ia rasa durasi dua menit saja cukup menggambarkan aksi mereka. Dan tepat ketika Dhormy hendak menyimpan ponselnya, Mentari menyadari keberadaannya. Dengan wajah penuh air mata, Mentari mengucapkan namanya. Sontak membuat ketiga gadis menoleh ke belakang.
Ia akui ketiga gadis itu cantik. Tubuhnya pun proporsional. Tapi sayang, hatinya tak secantik wajahnya. Dhormy jadi meragukan wanita-wanita cantik di dunia ini. Ya, meskipun tak semua wanita cantik seperti tiga gadis di depannya ini, tetap saja Dhormy harus waspada.
"Eh, Mas Vampire," ucap salah seorang gadis itu. "Mau apa lo di sini?"
Dalam hati Dhormy tertawa. Tenyata semua warga sekolah ini telah mengenal namanya dengan baik. Dhormy merapatkan jaket dan memakai tudungnya.
"Gue mau apa? Mau laporin kalianlah." Dhormy memutar ponselnya. Memperlihatkan pada gadis itu bahwa ia memiliki sebuah bukti yang kuat, yang bisa menghancurkan reputasi mereka kapan saja.
"Ja-jangan," cicit salah satunya.
"Gue harus apa biar lo bisa diem?" kata salah seorang dari mereka lagi. Sepertinya pelaku utama alias ketua geng mereka tidak mau mengakui.
"Gampang. Kalian cukup minta maaf sama dia. Dan jangan ulangi apa yang kalian lakuin saat ini sama siapapun itu. Karena kalau gue liat kalian berulah lagi, jangan harap video ini nggak gue sebar. Mengerti?"
Dengan wajah terpaksa, mereka bertiga mengangguk dan berlalu tanpa menoleh ke belakang lagi. Dhormy tersenyum dari tempatnya. Ia berbalik menghadap Mentari.
"Bersihin diri, lo. Lalu keluar. Ini sebagai balas budi dari gue. Terima kasih buat kemarin," ucap Dhormy kemudian hendak berlalu, namun tarikan di tudung jaketnya membuat Dhormy terenti.
"Tunggu."
Bersambung...
170219
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro