4
"Kenapa, To?"
Lamunan Watanabe Haruto buyar begitu saja saat mendengar teman masa kecilnya, Choi Yerim, bertanya. Haruto menggeleng ribut, seolah apa yang baru saja ia lihat bukanlah sesuatu yang harus dipikirkan oleh Yerim. Senyum canggung ia tunjukkan, membuat Yerim lagi-lagi harus penasaran akan tingkah Haruto yang kerapkali terasa janggal di indera penglihatannya.
Memutuskan untuk tidak membuat Haruto semakin panik, Yerim menganggukkan kepalanya paham. Jemari lentik sang gadis memberikan sebungkus permen cokelat yang memang selalu ia bawa untuk menenangkan Haruto disaat-saat seperti ini.
Seperti yang diketahui, Choi Yerim atau yang biasa dipanggil Choerry tersebut merupakan sahabat kecil Haruto. Ia benar-benar tahu apa yang bisa membuat pemuda tampan ini kembali tenang.
"Dua kali dalam sehari lo kayak gini. Gue harap kemampuan lo itu bener-bener udah ilang."
Mendengarnya hanya membuat senyum miris di wajah Haruto mengembang.
Tidak.
Ia tidak benar-benar kehilangan kemampuannya.
Semuanya semakin terasa merepotkan kala lagi-lagi ia harus semakin jelas melihat penampakan yang tak ingin ia lihat selama pemuda itu menjalankan hidupnya.
Haruto berharap bahwa kemampuannya untuk melihat makhluk tak kasat mata dapat hilang.
Sudah beberapa kali pemuda tersebut pergi ke suatu tempat untuk menghilangkan kemampuannya. Namun sayang, kemampuan tersebut akan kembali muncul tanpa diminta, seakan Haruto memang ditakdirkan untuk mampu melihat sosok yang tak hidup di dunia yang sama dengannya.
"Kalau gue bilang, ada sosok yang ngikutin anak kelas IPA 1, lo bakalan percaya?"
Choerry hanya diam, seakan enggan untuk menjawab pernyataan mustahil yang dikatakan oleh pemuda tersebut.
:::
Loh? Emangnya gue perlu ngasih tau lo semua?
Si sialan Jisung, benar-benar membuat amarah Somi memuncak. Beberapa hari yang lalu, pemuda jangkung tersebut mengatakan sesuatu yang sampai saat ini mampu membuat amarahnya terpicu hingga ubun-ubun. Somi mengepalkan tangannya dengan kuat, hingga buku-buku jari sang gadis terlihat memutih.
Bagaimana mungkin atasannya memasukkan seseorang yang bahkan tidak bisa bekerja sama ke dalam kelompoknya?
Bahkan Somi pun merasa enggan bekerjasama dengan Jisung begitu pandangan mereka pertama kali saling bertemu. Melihat sorot mata dingin dan penuh ambisius itu membuat Somi muak.
Kebencian yang selalu Jisung perlihatkan melalui sorot matanya seolah memberitahu Somi bahwa ia akan menyelesaikan semua ini dengan cepat, tanpa menunggu yang lain untuk mengejar ketertinggalan mereka.
Somi muak, sangat.
Ia tahu, masing-masing dari mereka memiliki masalah dengan Satan, terutama Park Jisung yang sepupunya hilang tanpa kabar beberapa tahun yang lalu. Tapi bukan karena itu, Jisung bisa bertindak seenaknya; meninggalkan Somi, Daehwi, dan Hueningkai di belakang tanpa berniat membantu. Mau bagaimanapun, mereka ditugaskan secara berkelompok, bukan sebagai individu yang hanya mementingkan masalah pribadi mereka sendiri.
"Muka lo jelek."
Somi mendengkus. Ia mengambil kasar susu kotak rasa strawberry yang disodorkan oleh Daehwi sebelum akhirnya menancapkan sedotan pada lubang yang memang telah di sediakan di sana dan meminum isinya hingga tandas.
Susu kotak sama sekali tak memperbaiki mood-nya. Ini adalah yang pertama kali bagi Somi. Biasanya, mood gadis itu akan membaik begitu meneguk sedikit susu kesukaannya.
Mungkin semua ini efek dari perkataan Park Jisung yang sering terngiang di indera pendengarannya.
"Gue tau omongan Jisung ngeselin, tapi lo harus tau, kalau dia kayak gitu cuma buat nutupin luka yang ada di dalem hatinya."
"Gak harus sampe gitu juga, kan?!" Somi mengerang marah. Sesekali tangannya memukul permukaan meja dengan cukup keras. "Emangnya kehilangan sepupu yang bahkan gak pernah nganggap dia ada itu berpengaruh bagi dia?!"
"Lo bahkan belum kenal Jisung dengan bener, gimana mungkin lo bisa beranggapan kayak gitu?"
Somi tersenyum sinis. "Emangnya lo pikir gue jadi Exorcist karena apa?"
Karena kemampuannya yang hampir serupa dengan Shin Ryujin.
:::
Deru nafas gadis tersebut terdengar tak beraturan. Dadanya naik-turun, tampak tengah mencari pasokan oksigen untuk paru-parunya. Keringat dingin mengucur begitu deras dari pelipis sang gadis, menandakan bahwa ia baru saja melakukan aktivitas yang snagat melelahkan.
Olivia Hye, bersumpah tidak akan pergi ke pemakaman Kim Hyunjin lagi.
Ia tidak akan sudi untuk kembali menginjakkan kaki di tanah pemakaman sang kakak tiri jika sosok itu masih saja menganggunya.
Olivia tidak pernah tahu bahwa dirinya akan kembali dihadapkan oleh sosok tak kasat mata yang begitu menyeramkan. Sudah enam tahun lamanya kemampuan itu telah hilang, dan sekarang kemampuan tersebut harus kembali hadir di dalam dirinya.
Ia merutuk. Bagaimana bisa?
Apakah interaksinya bersama Kim Hyunjin di dalam mimpilah yang memicu kemampuan itu untuk kembali ke dalam diri sang gadis?
"Kemampuan lo muncul lagi, ya?"
Olivia bisa merasakan bahwa jantungnya berhenti berdetak sesaat begitu mendengar suara yang cukup familliar di indera pendengarannya. Kedua netra gadis itu sukses membesar begitu melihat sosok transparant yang berdiri begitu anggun di hadapannya.
"Kak Hyunjin...."
Dan saat itu pula, Olivia bisa merasakan kedua pipinya mulai basah.
:::
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro