2
"Mending lo semua gak usah nyari tau tentang Satan. Itu di luar nalar manusia."
Yang Jeongin menolehkan kepalanya begitu suara asing terdengar memasuki indera pendengarannya. Kening pemuda pemilik mata setajam rubah itu berkerut heran. Di samping tempat mereka duduku, seorang gadis dengan rambut hitam sepunggung berdiri. Sorot mata sang gadis terlihat sangat tidak bersahabat begitu pandangannya dan Jeongin bertemu. Tanpa berkata banyak, gadis tersebut kembali melangkahkan kakinya menuju bangku di mana tiga orang lain yang tengah menunggu.
Jeongin kian penasaran, terutama saat sang gadis tak memberinya penjelasan mengapa sang gadis tak mengizinkannya untuk mencaritahu tentang satan lebih dari ini.
Benarkah Jeongin harus berhenti? Atau tetap melanjutkan sesuai rasa penasarannya yang semakin terasa di dalam hati? Jika ia berhenti, atas dasar apa ia berhenti disaat hatinya pun enggan melakukannya? Jika tetap berlanjut, akankah nyawa masih mampu ia genggam?
"So?" Olivia membuka suaranya sebagai permulaan. Gadis itu menaikkan sebelah alis, menanti keputusan lanjut yang akan dikeluarkan oleh Jeongin. Mau bagaimanapun, semua ini adalah ide dari pemuda tersebut.
"Kenapa nggak dicoba aja?"
Chenle mendengkus. Ini terasa membuang-buang waktunya. "Coba dalam hal apa? Satan bukan fenomena."
"Hilangnya orang bertahun-tahun yang lalu, bukannya beberapa media juga bilang ada kemungkinan Satan ikut campur dalam hal ini?"
"Je," Guanlin yang duduk di samping Chenle semakin mengeraskan rahangnya. "Otak lo gila gara-gara ditinggal sama sepupu lo? Lo terlalu ke obsesi sama misteri ilangnya sepupu lo."
Oliva menendang kasar tulang kering milik Guanlin. Ditatapnya oleh sang gadis wajah pemuda tersebut yang kini tengah meringis kesakitan. "Jaga ucapan lo ya, Lin. Gue tau lo pun juga gila gara-gara ditinggal Kak Jinyoung."
Guanlin mendelik sesaat setelah rasa nyeri di tulang keringnya menghilang. "How about you, dude? Gak usah munafik kalau lo sendiri juga gila gara-gara kehilangan Kak Hyun."
Sang gadis tak menjawab. Ia malah mengepalkan tangannya guna menahan segala amarah yang kian memuncak saat Guanlin menambahkan bensin pada kobaran apinya.
Tak ada yang berani membuka suara di meja tersebut. Hanya kesunyian yang melingkupi kelimanya. Ditambah dengan tatapan dua insan berbeda gender yang terlihat begitu menusuk, seakan siap mencabik andaikan salah satu dari mereka mengibarkan bendera perang.
Lain hal nya di salah satu meja yang terletak tak jauh dari mereka, empat orang yang sedari memperhatikan hanya menatap mereka semua dengan tatapan datar. Salah satu dari mereka mendengkus.
"Som, gimana menurut lo?"
Jeon Somi, gadis dengan surai sepunggungnya mengalihkan atensi dari kentang goreng yang tengah ia makan. Sebelah alis sang gadis di naikkan, meminta kejelasan atas pertanyaan dari Lee Daehwi.
"Ada kelompok lain yang nyari tau tentang kebenaran tragedi bertahun-tahun yang lalu. Gimana menurut lo?" ulang Park Jisung yang tampak terlihat jengah.
Somi memang selalu seperti itu; mengabaikan atensi dirinya, Daehwi, dan Hueningkai yang selalu bersama sang gadis.
"Lo paham betul bukan kalau hal ini bukan untuk candaan? Mereka bakalan di terror juga kalau nyoba buat selidikin kasus itu."
Somi mengedikkan kedua bahunya saat mendengar penuturan dari Hueningkai. "Udah gue peringatin kok tadi. Diikutin atau nggak, ya itu balik lagi ke diri mereka masing-masing."
"Exorcist ada itu buat bantuin manusia yang diganggu."
"Terus? Lo pikir gue mau nyelidikin kasus 'Satan' cuma karena Shin Ryujin yang berbakat itu juga ikut ilang karena ngebantu manusia sejenis mereka?" Somi mengutip kata 'Satan' sembari merotasikan bola matanya malas.
Ini memang bukan kemauannya, bukan juga kemauan Daehwi, Jisung, dan Hueningkai. Namun, atasan mereka memerintahkan untuk mengatasi kasus tersebut hingga benar-benar terkuak. Jika bisa, Satan pun juga harus dihancurkan.
"Serius, sampe sekarang pun, bahkan gue gak tau cara ngelenyapin Satan."
"Satan itu simbol dari kemarahan dan kebanggaan. Kenapa kita nggak nyoba buat patahin simbol yang udah lama ngelekat di dalam diri dia?"
Jisung menopang pipinya dan melihat Daehwi yang baru saja memberikan saran. "Caranya?"
"Jatuhin harga dirinya."
"Ngawur ya lo?" Satu pukulan Hueningkai berikan pada kepala Daehwi yang kini tengah meringis dengan bibir yang sedikit dimajukan ke depan.
"Cara gampang sih, ya pake alat pengusir yang lo punya."
Ketiganya terdiam. Mereka saling pandang satu sama lain sebelum akhirnya kembali memandang Daehwi yang telah kembali membaca buku kesukaannya.
Daehwi benar-benar serius ingin mereka menggunakan alat pengusir?
:::
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro