Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

16

Sepanjang lorong yang Jeongin lewati hanya ada kabut dan beberapa cahaya dari lampu yang menggantung di setiap kamar yang ia lewati. Dibanding dengan dunia arwah, tempat itu lebih mirip dengan labirin. Jalan di sana cukup sulit untuk Jeongin tempuh. Sekalipun ada Yuna yang membantunya.

Percuma saja, Yuna sendiri tak begitu paham dengan tempat yang mereka pijaki sekarang. Katanya, ini kali pertama Yuna menjejakan diri di tempat sesulit ini saat membantu jiwa tersesat yang raganya sedang dalam kondisi kritis. Tetapi jiwa-jiwa tersebut bisa dengan begitu mudah menemukan jalan keluar untuk kembali pada tubuhnya yang membutuhkan. Yuna hanya perlu membantunya sedikit, dan pekerjaannya bisa selesai. Namun kali ini sungguh berbeda. Jalan keluar yang ia maksud tak pernah ditemukan. Banyak pintu pengecoh yang ada dimana-mana, membuat kebingungan itu tak kunjung hilang.

Jika salah memasuki pintu, mereka akan tersesat lebih jauh dengan tempat yang juga berbeda. Sehingga keduanya harus mulai mengulang kembali dari awal. Terhitung sepuluh kali mereka mengulang, dan itu benar-benar membuang waktu. Yuna jadi jengah sendiri. Kekuatan miliknya sama sekali tak memberikan petunjuk untuk keluat dari sini. Sebanyak apapun Yuna berusaha mencari titik terang dengan kekuatannya, yang muncul hanyalah gelap gulita.

"Lo ini sebenernya niat bantu atau enggak?" Jeongin pun tak kalah jengah. Ia melirik Yuna yang berjalan disampingnya dengan sinis, membuat gadis itu merengut sebal.

"Harusnya gue yang marah! Alam bawah sadar lo ini ada masalah apa sih? Kenapa mirip labirin gini? Pikiran lo sebelumnya lagi kusut ya?"

Jeongin tak menjawab. Pertanyaan Yuna tak salah. Sebelum tersesat di sini, Jeongin mengalami pikiran yang kusut. Tentang sosok Hwang Hyunjin yang mendorongnya dan tentang menghilangnya pemuda itu. Masih menjadi misteri karena Hyunjin tak pernah kembali ke rumah. Kabar kematiannya pun tak diumumkan oleh kepolisian. Tahu-tahu makamnya sudah didirikan, membuat Jeongin begitu lelah memikirkan kemungkinan yang terjadi.

Langkah Jeongin terhenti. Begitupula dengan Yuna yang turut menghentikan langkah kala pemuda itu diam menatap sebuah pintu. Yuna alihkan pandangannya dari Jeongin, ikut tertuju pada arah pandang si pemuda.

Jalannya berhenti di sana. Ada ruangan di depan dengan pintu merah sebagai jalur lewatnya. Mungkin keduanya harus melewati pintu itu, tetapi bisa mereka rasakan ada suasana mencengkam di dalam sana seolah ada sesuatu yang sedang menunggu. Jeongin jadi ragu untuk kembali melangkah. Ingin berbalik, tetapi ia tak tahu arah tujuan yang pasti.

"Gak apa-apa." Yuna menepuk pundak Jeongin untuk mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Senyumnya pun turut ia lukiskan. "Ada gue kok di sini."

Jeongin melirik si gadis dengan ekor matanya. "Emagnya lo bisa apa?"

"Jangan kurang ajar sama gue!" protes Yuna tak terima.

Saat hendak kembali mengeluarkan omelan tak berarti, pintu merah itu perlahan terbuka seolah meminta keduanya untuk masuk. Jeongin meneguk saliva-nya seraya menatap lorong gelap dengan pencahayaan minim dari lampu di ujung ruangan.

Suasana saat itu terasa begitu mencengkam. Bahkan Jeongin bisa merasakan bulu kuduknya meremang. Angin berhembus membelai kulit, kian membuat tubuh itu gemetar.

"Harus banget lewat sini?" Jeongin berujar. Takut-takut ia mulai mendekat ke pintu itu dan berditi di ambangnya. "Yuna?"

Namun Yuna tak menjawab. Saat Jeongin menolehkan kepala, tak ada siapapun di belakangnya. Soskk Yuna menghilang bagai di telan bumi. Tak ada tanda-tanda kehadirannya di sana. Jeongin kembali meringis. Hatinya mengumpat tanpa henti.

"Jeongin." Bisikan itu menyapa indera pendengaran. Suara bariton dari sosok yang Jeongin kenal.

Si pemuda menolehkan kepalanya ke sekeliling. Lagi, tak ada siapapun di sana. Ia hanya seorang diri. Meskipun begitu, bisikan tersebut masih bisa Jeongin dengar.

"Jeongin...."

"La... Ri."

"H-hah?"

Srak... Srak...

Kakinya enggan berpindah dari sana. Sekalipun ia lihat sosok hitam merangkak di belakangnya. Matanya merah, rambutnya panjang, dan kedua sudut bibirnya robek. Membuat sosok itu terlihat seperti menyeringai. Ia merangkak pelan menghampiri Jeongin dengan gerakan terpatah.

"LARI, JE!"

Jeongin terlonjak kaget. Saat sosok menyeramkan itu hampir menyentuh pergelangan kakinya, ia sontak berlari masuk ke dalam ruangan berpintu merah.

Si pemuda terus berlari, menyusuri lorong panjang yang terasa tak ada ujungnya dengan sosok itu masih merangkak di belakangnya, mengejar. Gerakannya perlahan-lahan menjadi cepat. Sesekali ia berteriak nyaring, membuat Jeongin ketakutan bukan main. Sesekali ia menoleh ke belakang untuk memastikan jarak di antara mereka.

Cukup dekat.

Ia beberapa kali berbelok, masuk ke dalam ruangan, keluar, dan kembali berlari di lorong gelap itu. Tetapi makhluk menyeramkan tersebut sama sekali tak menyerah untuk mengejarnya. Alih-alih menyerah, justru makhluk itu kian gencar merangkak cepat untuk meraih kaki si pemuda.

Nafas Jeongin terputus. Pasokan udara di paru-parunya berkurang secara drastis. Langkah larinya mulai melambat dan jarak mereka mulai dekat.

Sialan.

BRAK!

"Bangsat--"

Jeongin kembali panik saat pergelangan tangannya ditarik begitu saja untuk masuk ke salah satu ruangan yang ia lewati. Telapak tangan seseorang menutup mulutnya hingga membuat si pemuda tak bisa mengeluarkan suara apapun.

"Ssstt." Sosok yang menariknya itu meletakan jari telunjuk di depan bibir, beri pertanda agar Jeongin tetap diam hingga sosok makhluk menyeramkan tersebut pergi dari sana.

Begitu mereka tak lagi mendengar suara yang ditimbulkan oleh makhluk tersebut, sosok itu segera melepaskan tangannya dari bibir Jeongin. Ia tersenyum hingga lesung pipinya muncul.

"Long time no see you, Jeje."

"K-kak... Hyunjin?" suara Jeongin tercekat, masih terkejut dengan penampakkan yang ada di depannya tersebut.

Hyunjin ada di depannya.

Hwang Hyunjin, sosok yang selama ini selalu memenuhi pikirannya.

Kakak sepupu yang paling Jeongin nantikan kehadirannya, yang tidak bisa Jeongin relakan kepergiannya.

"Ini beneran lo, kan?" Jeongin bertanya hati-hati. Digenggam olehnya jemari tangan Hyunjin yang dingin. "Bukan yang gue temui di kamar waktu itu?"

Hyunjin memiringkan kepalanya bingung. "Ini pertama kali kita ketemu."

Kali ini Jeongin menghela nafasnya lega. Di dalam hati, ia bersyukur karena yang mendorongnya hingga jatuh dari lantai dua bukanlah Hyunjin yang ia kenal. Setidaknya, Hyunjin tak pernah melakukan itu padanya.

"Tapi kenapa lo bisa ada di sini?"

Pemuda Hwang itu mengangkat kedua bahunya tanda tak tahu. "Tiba-tiba gue ditarik buat ke sini."

"Hah? Siapa yang narik lo?"

"Tuh." Hyunjin menunjuk sosok di belakang Jeongin dengan dagunya. Terlihat begitu jelas ia jengkel karena hal tersebut. "Gak sopan main tarik-tarik."

Shin Yuna, sosok yang dimaksud Hyunjin tadi hanya melebarkan senyumannya.

"Bisa-bisanya lo kabur ninggalin gue." Jeongin mengerling sebal pada Yuna yang kini telah mengubah ekspresinya.

"Harusnya lo bilang makasih ke gue karena bawa Hyunjin ke sini! Lo gak tau sesusah apa gue tarik jiwa dia dan ngehubungin sama alam bawah sadar lo."

"Bilang-bilang dulu--"

"Hey, udah." Hyunjin memutus perdebatan mereka. Helaan nafas ia hembuskan. "Pertama-tama, Je, lo harus cepet balik ke badan lo. Ini karena Satan, kan?" ia tatap lamat-lamat wajah adik sepupunya tersebut. "Gue gak tau pasti, tapi ada yang berbeda dengan lo. Mungkin lo adalah kunci yang bisa musnahin keberadaan dia. Itulah kenapa Satan berusaha sekuat tenaga untuk celakain lo."

"Kakak sepupu lo ini pinter juga, Je." Yuna mendelik pada Jeongin. "Gak kayak lo."

"Kurang ajar."

:::

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro