Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1

Tuk Tuk Tuk

Yang Jeongin mengetuk-ngetukkan jemari tangannya pada permukaan meja. Sorot mata pemuda itu tampak terlihat begitu bosan karena teman-temannya tak kunjung datang ke tempat pertemuan walau jam telah menunjukkan pukul dua belas siang.

Sudah dua jam lamanya ia duduk di sini seorang diri, menatap ramainya orang-orang di caffe yang berlalu lalang melewatinya. Dan sekarang Jeongin merasa bosan.

Seharusnya sekarang mereka telah membahas masalah tugas kelompok yang memang seharusnya mereka selesaikan hari ini juga. Mengingat tugas tersebut akan dikumpulkan dan dipersentasikan dua hari lagi.

Jeongin mendecakkan lidahnya kasar. Jemari lentiknya mengotak-atik ponsel di dalam genggaman. Pemuda itu tampak merengut kesal, sesekali sedikit memajukan bibirnya kala tak ada satupun penghuni grup yang membalas pesannya.

Ah, ini menyebalkan.

Bahkan Jeongin rela mengurungkan niatnya pergi mengunjungi makam sang saudara sepupu hanya karena ini. Jika tahu seperti ini jadinya, lebih baik ia menemui makam Hwang Hyunjin--yang sebenarnya bukan benar-benar makam--untuk bertukar rindu.

Sesaat sorot sebal itu menyendu seiring memori tentang dirinya bersama Hyunjin yang mulai terputar di kepala bagaikan kaset rusak. Terputar berulang kali, membawa kesesakan tersendiri di dalam dada. Terasa pening, sangat. Namun tak dapat Jeongin pungkiri, bahwa ia benar-benar merindukan sosok saudara sepupu yang sampai saat ini, tubuhnya tak pernah ditemukan.

"Je, sorry telat. Tadi Mama nyuruh gue pergi ke rumah mbak dulu."

Sebuah tepukan pada pundak Jeongin membuat pemuda tersebut sedikit terhentak. Jeongin menoleh, mendapatkan Jang Wonyoung berdiri tak jauh darinya dengan senyum manis khas yang memang selalu gadis itu perlihatkan.

Jeongin mengangguk sesaat. Ia mempersilahkan Wonyoung untuk duduk dan di lakukan oleh gadis itu. Kecanggungan mulai melanda. Jeongin sedikit melirik ke arah Wonyoung yang telah memainkan jemari tangannya dengan gugup.

Kayak kencan.

Wonyoung berani bersumpah, ia tidak akan berduaan lagi dengan Jeongin nanti. Kalaupun keadaan memaksa, gadis itu akan memilih untuk menunggu yang lain datang daripada harus berduaan seperti ini dan membuat jantungnya terpompa tak karuan.

"Y-yang lain kemana?"

Jeongin tampak acuh mengedikkan kedua bahunya. Jemari lentiknya mengambil satu kentang goreng dari atas piring sebelum akhirnya memakan kentang tersebut dengan pelan. Pandangan Jeongin tak pernah beralih pada suasana ramai di luar caffe.

Tak berselang lama, seseorang gadis datang; menarik kasar bangku di samping Jeongin dan duduk di sana dengan wajah yang tampak begitu kesal. Kening Jeongin berkerut, mengalihkan pandangan ke arah gadis itu dan memandangnya dengan sorot mata bingung.

"Kenapa, Liv?"

Olivia Hye mendengkus kasar. Mata setajam elangnya melirik sinis ke arah Jeongin. "Lo tau, akhir-akhir ini gue selalu mimpiin kak Hyunjin."

"Hyunjin? Hwang?"

Si gadis merotasikan bola matanya. "Kim. Kim Hyunjin."

Kepala Jeongin mengangguk-angguk dengan bibir yang sedikit membentuk huruf o.

"Di mimpi itu, Kak Hyunjin seolah-olah minta tolong ke gue." Olivia membuka topi yang ia kenakan seraya merapikan rambut yang berantakkan. Helaan nafas ia hembuskan untuk mengurangi rasa pening pada kepalanya, sekaligus mendinginkan kepalanya yang terasa hampir meledak. "Dia bilang, gue harus--"

"Udah lama?"

Belum sempat Olivia menyelesaikan ucapannya, Guanlin datang bersamaan dengan Chenle memasuki caffe yang kini telah cukup padat oleh pengunjung. Keduanya lantas mengambil duduk di bangku yang telah tersedia di sana.

"Lama ya lo." Jeongin mendelik. Bibirnya bergerak kecil mencibir kedua teman laki-lakinya yang telah telat selama dua puluh menit lamanya.

Kadang Jeongin bingung, bagaimana mungkin orang yang tidak tepat waktu seperti mereka berdua mampu masuk ke dalam kelas teladan di sekolahnya?

Ada yang salah dengan otak kepala sekolah mereka, pikir Jeongin.

"Ya maaf, gue ada urusan bentar. Ye gak, Le?"

Jeongin memutar bola matanya malas. Tanpa ditanya pun, dirinya tahu apa 'urusan' yang Guanlin katakan barusan. Maka dari itu, pemuda pemilik manik rubah itu segera mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya; sebuah map merah yang diyakini adalah rencana dari tugas mereka.

Ia mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya di atas map tersebut, meminta agar keempatnya melihat isi dari map tersebut. Tanpa menunggu waktu lama, Olivia segera mengambil map tersebut dan mengeluarkan isinya. Kening si gadis berkerut heran, menatap lembaran beserta beberapa foto yang ada di dalamnya. Sang gadis menoleh ke arah Jeongin, meminta penjelasan akan sesuatu yang tidak ia mengerti.

Jeongin terkekeh. Ia kembali mengambil alih kertas-kertas tersebut dari dalam genggaman Olivia, lantas meletakkan semuanya di atas meja.

"Bu Suzy minta kita buat selidikin fenomena yang terjadi beberapa tahun terakhir ini, kan?"

Kening Wonyoung berkerut. "Dan?"

"Gue mau selidikkin tentang Satan."

"Lo percaya hal gituan?" kini giliran Chenle yang membuka suaranya. Sorot mata pemuda itu tampak terlihat begitu keberatan dengan usul yang Jeongin berikan.

"Satan bukan fenomena, Je."

"Satan bukan hal ilmiah. Nggak usah ngaco gitu, ah." Olivia ikut menimpali. Namun entah kenapa, di dalam relung hatinya ada rasa penasaran yang begitu kentara terhadap Satan.

Karena pada kenyataannya, Kim Hyunjin yang ada di dalam mimpi gadis itu pun menyebut tentang Satan.

"Mending lo semua gak usah nyari tau tentang Satan. Itu di luar nalar manusia."

:::

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro