BAB 6 | Berbagi
El terbangun saat hidungnya mengendus aroma cokelat panas yang begitu menggoda. Ia membuka matanya perlahan, bersamaan dengan itu El teringat kejadian semalam di mana dia bersama dengan kedua sahabat, dan juga Ian. Mereka menghabiskan banyak waktu menyenangkan, bahkan sampai mabuk. Ia ingat saat ia mengeluarkan isi perutnya tepat di wajah Ian sang OB baru di CR Group. El juga ingat kalau dia muntah sangat banyak hingga ke baju pria malang itu.
Parahnya, El ingat sempat menggoda pria malang itu tepat saat Ian membuka pintu apartemennya, dan hal terburuk adalah dia berkata, "Ian, kamu itu tampan, sanggat malah. Aku senang memerhatikanmu saat kamu tidur, dan aku suka saat melihat senyum mengembang di wajahmu. Senyummu indah Ian, teruslah tersenyum, aku suka," ucap El sambil menarik lengan pria itu masuk ke dalam apartemennya.
"Mungkin, aku bisa saja jatuh cinta kalau kamu terus memperlihatkanku muka tertawamu itu, Ian."
Sederet kalimat memuji keluar begitu saja dari bibir El, dan setelah itu dia muntah. Setelah memuntahkan semua isi perutnya, ia tidak ingat apapun lagi, semuanya gelap. Ia merasa tubuhnya melayang, pria itu menggedongnya hingga ke tempat tidur. Lalu, di sinilah El sekarang, di atas tempat tidurnya yang empuk, berselimut, dan dengan hanya mengenakan bra juga celana dalam, yang persis sama seperti kemarin yang ia kenakan.
Ingin rasanya El memutilasi OBnya itu, karena telah lancang kepadanya. Namun, ia urungkan karena El tahu bahwa Ian tidak akan melakukan hal lebih terhadap wanita mabuk yang tidak dicintainya, tidak mungkin Ian begitu, karena aku pun juga tidak akan begitu. Aku hanya akan menyerahkan diriku kepada pria yang aku cintai dan mencintaiku. EL berucap dalam hati.
El bangun dari tempat tidur, ia menyingkap selimut, dan memerhatikan seprai putih miliknya masih bersih, juga tidak meninggalkan noda merah atau bahkan bercak merah di sana. El mengembuskan napas, ia lega seketika.
"Oh, kamu sudah bangun." Terdengar suara berat nan seksi dari arah belakang El.
Tunggu, sejak kapan suara Ian terdengar seksi? Abaikan.
El refleks mengambil selimut, dan segera menutupi bagian tubuhnya. El berbalik ke arah Ian, yang ternyata dengan romantisnya membawakan nampan berisi piring dengan roti bakar di atasnya plus dua cangkir yang El yakini masing-masing cangkir itu adalah kopi dan cokelat.
"Wanginya sangat menggoda, Ian. Itu sarapan untukku?"
"Untuk kita tepatnya, Nona. Karena bukan hanya kau yang lapar."
Pria itu mendekati El yang duduk di atas tempat tidur. Ian menyimpan nampan di dekat meja yang ada di samping tempat tidur, dia lalu berucap, "Makanlah, mengingat semalam kamu muntah banyak. Jadi, makanlah selagi hangat," tambah pria itu.
***
Entah sejak kapan Ian tertidur, saat dia membuka kedua matanya, dia melihat sekeliling, dan ingat sedang tidak berada di tempatnya. Hal itu nampak semakin jelas, ketika Ian mendapati seorang wanita yang tengah tertidur pulas di sampingnya. Wanita itu adalah wanita yang sama dengan wanita semalam yang muntah di wajahnya, wanita sama yang mengatakan senyumnya indah, dan dia juga yang bilang suka saat Ian tertawa.
Apa-apaan dia mengatakan hal-hal seperti itu padaku? Dia pikir siapa dia, berani-beraninya membuatku merasa senang namun sedih di saat yang bersamaan. Karena Ian tahu kalau El hanya mabuk, dan mungkin saja wanita itu akan lupa begitu netra cantiknya itu terbuka.
Dia adalah wanita yang sama, yang menangis saat Ian tidak sengaja melihat tubuh polosnya, wanita yang dengan menyebalkannya meminta pria seksi super tampan sepertinya berakhir membelikannya pembalut. Wanita yang membuatnya menyukai benda bulat hijau lezat bernama petai, dan wanita yang sama, yang telah dengan seenaknya membuat Ian tidak tega meninggalkannya, serta memeluknya agar ia berhenti bermimpi buruk.
Ian mengutuk dirinya sekali lagi, dia kesal karena rasanya sangat lemah terhadap wanita yang satu ini.
Mereka baru saja menghabiskan sarapan. Setelah isi piring habis, Ian ke dapur untuk mencuci piring kotor tadi. El mengekor, dia berdiri tepat di sampingnya, untungnya dia sudah mengenakan pakaian. Biar bagaimanapun Ian tetap merasa was-was, sebagai seorang pria tulen, wanita itu selalu berhasil menguji imannya.
"Kalau tidak keberatan, bolehkah aku bertanya?" Ian penasaran, dia ingin tahu alasan dibalik tangis wanita itu semalam. El mengangguk.
"Pertanyaan pertamaku, apa kamu dan Evan sudah berpacaran?"
Jeda agak lama dari El, wanita itu mengembuskan napasnya, kemudian dia membuka mulutnya dan berkata, "Sebenarnya belum ada kalimat maukah kamu berkencan dan menjadi pacarku, dari Evan. Tapi, dia selalu mengatatakan I love you, dan kalimat yang sejenis dengan itu, atau kalimat yang menyatakan aku adalah wanitanya." El menjelaskan.
"Tapi, setiap dia meminta jawabanku, aku tidak mengatakan apapun, hanya tersenyum saja."
Ia baru saja menjawab pertanyaan pertama dari Ian, ia mengangguk mengerti. Pantas saja pria tengik itu tidak merasa sungkan saat menunjukkan kemesraannya dengan Laury.
"Lalu, pertanyaanku berikutnya. Ini menyangkut hal yang lebih pribadi, boleh?"
Manik cantiknya menatap lurus kearah mata Ian. Dia lalu bertanya, "Tentang apa tepatnya?"
Ian terdiam sejenak. Dia sebenarnya bukan tipe pria yang ingin ikut campur. Namun kejadian yang semalam itu membuatnya penasaran.
"Keluargamu," ucap Ian akhirnya.
Air wajah El seketika berubah. Dia mengalihkan pandangannya cepat ke arah bawah, dan terpejam untuk beberapa saat. Jeda lagi.
El masih menutup mata, sampai Ian melihat dari sudut matanya mengalir air mata. Aku benci melihat benda cair itu di sana, pada wajah ayunya, aku benci.
"Kalau kamu merasa keberatan, aku tidak jadi bertanya, Nona El. Anggap saja aku tidak pernah menanyakan hal ini, maaf karena aku sudah lancang," kataku menyesal.
Kini posisi mereka tidak lagi saling menyamping, tetapi berhadapan. Tangan Ian refleks mengusap air mata yang membasahi wajah ayu El, pada detik berikutnya matanya yang basah itu terbuka, menatap Ian dengan sayu. Ian menyingkirkan tangan dari wajah El. Ada rasa pedih pada kilat mata El yang lembab sehabis menangis.
"Saat itu aku masih kecil, remaja tepatnya." Tiba-tiba saja El berkata, dia mulai bercerita.
"Aku, Kakak, Ibu dan ayahku akan melakukan perjalanan ke pantai. Tapi nahas, kami tidak pernah sampai ke pantai yang kami tuju. Mobil yang dikemudikan oleh ayahku mengalami kecelakaan, dan sialnya hanya aku yang selamat dari kecelakaan maut yang tengah mengambil seluruh keluargaku dariku."
Air mata sialan itu kembali mengalir dan membasahi wajah El, Ian diam terus menyimak penjelasannya. Wanita itu mengusap pipinya yang basah kiri dan kanan bergantian, dia lalu berkata, "Apa itu cukup?" tanyanya.
Ian mengangguk. Ian tahu ini sangat menyakitkan baginya. Ian ingin menghiburnya, tapi tidak tahu caranya. Jadi sekali lagi dia hanya bisa terdiam.
Hening untuk beberapa saat.
El berjalan menuju ruang tamu, dan duduk. Ian mengikutinya.
"Jadi Ian, apa kamu sudah punya kekasih?" tanya El mencoba mengalihkan topik pembicaraan.
"Saat ini, tidak punya."
"Oooo ... jadi, apa kamu berencana untuk punya kekasih?"
Apa-apaan pertanyaannya itu. "Tentu saja, Nona El. Jadi, apa kamu bertanya karena kamu ingin aku menjadi kekasihmu?" tanya Ian menggodanya, El memukul lengan pria itu gemas.
"Tidak Ian, terima kasih," katanya, dan dia tertawa. Ian ikut tertawa. Ian senang, pada akhirnya air mata pada wajah ayu El lenyap dan berganti tawa.
"Aku ingin mengetahui lebih banyak tentangmu, Ian. Boleh?"
Ian mengangguk, mengiyakan.
"Jadi, kamu itu berapa bersaudara?"
"Hanya dua, Nona."
Dia manggut-manggut, lalu bertanya lagi, "Maaf, jika pertanyaanku kasar. Tapi, apakah orang tuamu masih hidup?" tanyanya. Sebenarnya El tidak enak bertanya seperti itu kepada Ian, tapi dia penasaran dengan keluarga Ian.
Dengan cepat Ian menjawab, "Tidak ada, orang tuaku sudah meninggal karena sakit."
El menutup mulut dengan telapak tangannya. "Oh ya Tuhan ... Ian, maafkan aku telah bertanya," ucapnya kemudian memelukku, dan mengusap punggungku.
Aku rasa, aku jatuh cinta pada wanita ini, aku rasa. Wanita ini, satu-satunya wanita yang kukenal, yang memperlakukanku seperti manusia. Dia hangat. Maksudku bukan tubuhnya, karena aku belum pernah melakukannya dengan dia, hanya sebatas peluk. Tetapi, hangat dalam arti yang berbeda, hangat yang menyenangkan, jauh di dalam hatiku.
Bunyi telepon membuat Ian sadar, dan kembali pada realita. El benar mengenai hidup seperti cokelat, realita itu tidak selalu terasa manis. Bisa saja merasakan manis, dan pahit secara bersamaan di satu waktu, begitulah hidup. El segera berlari menuju kamar saat mengetahui dering ponselnya yang nyaring.
"Ian, aku akan ke kantor satu jam lagi dari sekarang. Kamu boleh pulang dan istirahatlah, Ian," ucap wanita itu, setelah mematikan ponselnya.
El memintaku untuk beristirahat. Bukankah itu sebuah perhatian? Ian bertanya pada batinnya, tapi tak ada jawaban.
"Baik, Nona El."
"Oh iya. Terima kasih banyak, Ian. Kamu tahu, kamu adalah orang ketiga yang aku ceritakan tentang keluargaku."
"Tentu saja, Nona, setelah Evan dan Laury," ucap Ian, entah mengapa kalimat itu terdengar begitu sinis di telinganya.
El menaikkan satu alisnya. "Kamu tidak senang?" tanyanya.
"Tentu saja aku senang, Nona El. Terima kasih, karena anda percaya padaku dengan menceritakannya."
"Tentu saja, Ian. Aku percaya padamu, setelah kematian keluargaku, tempatku mengadu selain pada Tuhan, pada sahabatku, dan padamu temanku, iya kan?" katanya.
Ian tetap saja tidak senang karena dua posisi lagi di tempati oleh Evan dan Laury, dua orang yang sebentar lagi cepat atau lambat akan menjadi alasan wanita itu menitikkan air matanya lagi, dan itu membuat Ian tidak suka.
"Apakah jabatanku naik sekarang, Nona? Menjadi asistenmu bukan OB lagi?" tanya Ian berusaha untuk tidak terdengar sinis karena kesal mengingat sosok bernama Evan. Ian bahkan ingat OB seharusnya melakukan tugas-tugas umum dan jasanya berlaku untuk semua karyawan, tapi sejak hari pertama El selalu memintanya untuk stand by di sampingnya.
Tawa El berderai memenuhi ruangan. "Bagiku, kamu bukan OB dari perusahaan, Ian. Kamu adalah asistenku yang dikhususkan oleh Bos David," ujarnya. "Ah, maaf, aku ralat. Kamu adalah temanku, sekarang," katanya dengan senang.
"Setelah aku kehilangan orang tuaku pada kecelakaan, aku hidup sebatangkara di panti asuhan, Ian. Dulu, aku punya orang yang sangat menyayangiku seperti keluarga kandungku, dia adalah Ibu Carla Rivalles, dan Bunda Kristen Liani yang sudah kuanggap sebagai orang tuaku. Lalu Laury tentu saja, dia sudah kuanggap sebagai kakakku."
Dia bercerita lagi, aku sedikit terkejut mendengar nama Carla Rivalles pemilik terdahulu sebelum David yang memegang alih CR Group di sebut-sebut oleh El. Tapi aku tidak heran, karena beliau adalah wanita hebat yang sangat mendedikasikan kepentingan orang banyak, salah satunya adalah dengan mendirikan yayasan dan panti asuhan.
Aku menyakini, Bunda Kristen adalah pengurus panti tempat El tumbuh.
"Selain Bu Carla dan Bunda Kristen, kamu adalah orang ketiga yang aku ceritakan mengenai kisah keluargaku."
Sederet kalimat terakhirnya itu membuatku bertanya, apakah aku termask orang yang spesial baginya? Kenapa El tidak cerita pada Laury dan Evan? Ok, aku sungguh tidak peduli, yang terpenting adalah dia menganggapku penting, dan dia percaya padaku.
Sebuah garis lengkung bertengger di wajah tampan Ian. Meskipun Ian hanya dianggap sebatas seorang teman baru bagi wanita itu. Lagi-lagi El berhasil membuat senyum mengembang seketika, dan tanpa kompromi Ian merasakan dadanya berdesir hangat, perutnya penuh seolah berjubal kupu-kupu warna-warni yang mendesak ingin keluar dari tubuhnya.
"Datanglah padaku saat aku membutuhkanmu, Ian." El membukakan pintu untukku.
"Baik, Nona."
***
Ian meninggalkan apartemen El. Ian tidak sadar ada yang mengikutinya sejak kemarin, seorang gadis. Wajahnya nampak tidak suka dengan kedekatan antara Ian, dan El. Gadis itu telah merencanakan hal busuk yang tidak akan pernah Ian, dan El ketahui.
"Dasar jalang! Kamu berani membuat priaku bermalam di tempatmu? Tunggu apa yang akan aku lakukan padamu nanti." Segera dia meninggalkan apartemen El, dan mengikuti mobil Ian.
Baru update lagi nih, mohon maaf ya...
dan terima kasih banyak-banyak bagi yang sudah membaca,
semoga kalian suka... ^^
O iya, Selamat Natal bagi yang merayakannya... :)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro