Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 4 | Pembalut VS Petai

El terjaga, membuka laptop dan dengan segera menyelesaikan tugas dari David yang semalam sempat ia tinggalkan karena matanya sulit untuk diajak berdamai.

Matahari baru saja naik ke peraduannya, dan laporan El akhirnya telah siap. Perut El seketika melilit, dan dia merasakan pegal diseluruh tubuh, bahkan dadanya terasa nyeri. Segera ia melihat kalender yang ada di atas meja kerja, Sepertinya aku akan segera kedatangan tamu tak diundang.

El mencari keberadaan ponselnya, dan segera mengetik pesan pada si Bos.

Anda: [Bos maaf, tubuhku seperti remuk rasanya. Aku izin, laporan sudah kukirim emailmu. Trims, Bos.]

Segera wanita bertubuh tinggi bak model itu melenggang ke tempat parkir, bersiap mengemudikan mobil ke apartemen tempat tinggalnya. Setelah sekian lama berkutat dengan jalanan yang padat, akhirnya El tiba pada sebuah apartemen sederhana yang ia peroleh dari hasil kerja kerasnya selama ini. Langkahnya gontai menuju kasur yang rasanya sungguh sangat ia rindukan. Suara pesan masuk menginterupsi dirinya. El merogoh tas untuk mendapatkan ponsel, ada pesan masuk dari David.

David: [Istirahatlah, El. Terima kasih, kamu yang terbaik!]

Anda: [Tentu saja Bos.]

El baru saja akan menghamburkan diri ke atas kasurnya yang empuk. Namun ia urung, dia lebih tertarik saat melihat lemari es. El berjalan dengan langkah jecil, tiba-tiba saja rasanya sangat lapar. "Mari kita lihat apa yang bisa dimasak di sini?" tanya El sambil membuka kulkas.

Syukurlah ada beberapa bahan makanan untuk dimasak. Segera El mengeksekusi isi kulkasnya, membuat makanan dari bahan-bahan tersebut. Tidak berapa lama jadilah masakan ala El, dengan bangga wanita itu berkata, "Taraaaang ... nasi goreng petai spesial ala Chef El sudah jadi!"

Entah kenapa wanita dengan lesung pipi setiap kali ia tersenyum itu selalu menyukai sayuran kecil berbau menyengat, petai. "Si kecil petai itu kecil tapi sungguh nikmat," ungkapnya seraya meresapi aroma perpaduan bumbu ulek yang ditumis hingga harum ditambah sedikit guyuran kecap manis, sosis goreng yang matang sempurna bersama dengan petai, aromanya benar-benar membuat air liur El menetes.

El selalu memasak dengan porsi cukup banyak, karena dia sangat suka makan ketimbang belanja, atau menghabiskan uang tabungan hanya untuk barang-barang yang menjadi kesenangan sesaat. Rasanya sayang bagi El, jika membeli barang dan hanya digunakan sebentar. Selebihnya biasanya, dan bagi beberapa orang, akan menyimpan barang tersebut dengan alasan bosan. El hanya tidak habis pikir, beberapa orang tersebut akan mengulangi hal yang serupa lagi, dan lagi.

"Ya. Mungkin itu adalah bentuk orang-orang menghargai diri sendiri, dan bagiku, makan adalah salah satu caraku memanjakan diriku yang lelah bekerja," celetuk El seraya menyimpan sendok di atas piringnya yang sudah penuh oleh nasi goreng.

El melenggang kearah meja makan yang terletak tidak jauh dari sana. Duduk lalu berdoa, dia menyantap nasi gorengnya dengan lahap. Lagi-lagi El merasakan perutnya melilit lagi. Setelah ia menghabiskan isi piring, langsung El beranjak dan mengecek isi lacinya. Dia yakin hari ini adalah harinya si merah datang. Sayangnya, dia tidak melihat benda yang sedari tadi ia cari. Dia menggumam, "Sial!"

Benar saja, ia merasakan ada yang keluar dan menjalar di antara pahanya. Buru-buru ia berlari menuju kamar, mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja di dekat tempat tidur, detik berikutnya ia berlari menuju kamar mandi sambil menunggu panggilannya diangkat.

"Halo, Ian? Ini El. Ian tolong, bisakah kamu ke tempatku sekarang?" ucapku, setelah menunggu jawaban cukup lama dari seberang sana.

El menghubungi Ian, karena saat itu Ian-lah satu-satunya orang yang dapat aku mintai pertolongan, dan hanya Ian yang terlintas di benaknya.

El mendengar Ian mendengkus kesal. El sangat yakin pria itu pasti kesal karena masih sangat pagi, dia membangunkannya lewat telepon hanya untuk membelikan pembalut. El tidak ingin ada penolakan dari Ian, tidak sekarang.

"Aku akan mengirimkan alamatku segera," tambahnya, setelah itu dia mengakhiri sambungannya.

Sambil menunggu kedatangan Ian, El berganti pakaian yang kemarin seharian ia kenakan dengan kaus oblong yang lebih nyaman. El lalu duduk pada kloset, memegangi perutnya yang masih terasa nyeri.

Kenapa bagi beberapa wanita, termasuk dirinya, datang bulan itu begitu menyiksa. Rasanya, sangat tidak adil, karena setiap bulan para wanita akan mengalami hari yang sulit karena mens, kau tahu, sebagian besar para wanita akan menjadi lebih ganas, dan sensitif.

El melupakan sesuatu yang justru menjadi hal yang paling ia butuhkan bersamaan dengan kedatangan Ian segera. El mengirimkan pesan pada Ian.

Anda: [Ian, tolong mampirlah sebentar ke toko atau minimarket, belikan pembalut, please, dan Trims.]

Hampir dua puluh menit El menunggunya, rasa melilit di perutnya benar-benar membuatnya tersiksa, gadis itu bermonolog dengan kesal, "Ian sialan, kenapa lama sekali dia ... Apa sih, kendaraan yang ia gunakan untuk ke sini? Siput? Ah, Ian, tidak bisakah kamu menggunakan pintu kemana sajanya Doraemon?" Wanita dengan rambut panjang berwarna cokelat gelap itu terus merancu sambil menahan nyeri perutnya.

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Ian meneleponnya.

"Iya Ian, halo?"

"..."

"Yang tanpa gel."

"..."

Ian baru saja menanyakan satu hal, dan diakhir kalimatnya membuat El merasa geli sendiri. Jika dia ada di depanku sekarang, aku mungkin sudah menjitak kepalanya. Pria bodoh mana yang mengucapkan pembalut untuk dada, dasar gila.

"Beli keduanya saja, Ian, aku membutuhkan keduanya."

"..."

"Terserah Ian, merek apa pun, beli saja."

"..."

"Iya Ian, terima kasih, dan tolong segeralah ke sini." Setelah itu panggilan diakhiri bunyi BIP.

***

Di lain tempat.

"Kamu tahu, El, kamu adalah wanita yang menyebalkan! Apa-apaan aku seorang pria tampan malah kamu mintai tolong membeli pembalut? Memangnya kamu pikir kamu siapa?"

Ian sangat marah pada wanita itu. Ok, dia adalah bosnya, tapi bukan dia yang memberinya gaji. Jadi, kenapa juga Ian harus menuruti perintah El yang sangat tidak ber-pri-kepriaan. Setidaknya itu yang Ian pikirkan. Apalah dayaku pria tampan ini, dia adalah kesayangan bos. Jika aku masih ingin tetap bekerja, maka, di sinilah aku sekarang, minimarket, membeli pembalut.

"Selamat datang. Ada yang bisa dibantu, Kak?" ucap seorang pegawai minimarket, dan dia seorang gadis belia, mungkin baru lulus sekolah.

Satu garis lengkung bertengger di wajahnya yang tampan sebagai bentuk sapanya pada pegawai minimarket. Dengan harapan kalau pegawai itu tidak mengikutinya.

Ian menahan emosinya mati-matian, dia sangat malu, karena pegawai minimarket itu terus memerhatikan saat Ian mondar-mandir dari satu rak ke rak lain. Sampai akhirnya dia berhenti saat menemukan deretan barang yang ia cari. Pegawai minimarket itu masih saja memerhatikan gelagat Ian yang terlihat cukup mencurigakan, ah, atau bisa jadi karena makhluk itu begitu tampan. Sekarang Ian sedang memilih pembalut. Aku janji, aku tidak akan pernah mampir ke minimarket ini lagi, itu janjiku.

"A—" Rasanya sangat malu, tapi Ian harus segera menyelesaikan penderitaannya itu, membeli pembalut.

"Aku diminta tolong pacarku, membeli ini," ucapnya menunjuk asal salah satu merek pembalut saat pegawai yang dari tadi memerhatikan dirinya menghampiri Ian terang-terangan.

Pegawai minimarket itu mengangguk. "Kakak manis sekali. Jarang loh ada laki-laki yang mau membelikan pembalut untuk pacarnya," ucapnya sambil tersenyum.

Aku tidak mengerti senyumannya, tapi terserahlah.

"Jadi pembalut tanpa gel, atau dengan gel, Kak?"

Itu adalah pertanyaan aneh yang Ian tidak mengerti. Tidak ingin ambil pusing, akhirnya Ian menanyakan apa maksud si pegawai minimarket itu dengan segera menelepon El.

"Iya, Ian, halo?"

"Pembalut tanpa gel, atau dengan gel?" tanya Ian tanpa basa-basi begitu sambungan diangkat.

"Yang tanpa gel." Ian mengulang apa yang diucapkan El pada si pegawai minimarket, dia mengangguk.

"Yang bersayap atau tidak?"

Ian sungguh merasa seperti pria paling bodoh sedunia. Ian sama sekali tidak mengerti apa yang sedang dia lakukan di minimarket itu, karena dia baru saja mengetahui spesies aneh bernama pembalut yang ternyata adalah jenis spesies lain selain burung dan sebangsanya, yang memiliki sayap?

Aku bisa gila jika aku terus saja mendengar hal-hal aneh tentang benda bernama pembalut ini. Ian yakin El mendengar apa yang diucapkan si pegawai minimarket, tapi Ian tetap menanyakan ulang kepada El.

"Bersayap atau tidak? Karena aku tidak suka sayap, aku lebih suka dada," ucap Ian melantur.

"Beli keduanya saja, aku membutuhkan keduanya."

Ian kembali menyampaikan pada pegawai itu, si pegawai kembali mengangguk.

Aku bingung, sebenarnya apa arti dari anggukan kepalanya? Kenapa dia mengangguk, tapi terus saja bertanya? Dan pertanyaan macam apa yang ia tanyakan padaku? Aku ini 100% pria tulen, bukan wanita. Tidakkah kau melihat betapa gagahnya pria ini.

Aku curiga, pegawai ini bukan dari bumi, karena dengan tololnya dia menanyakan perihal kepembalutan pada seorang pria? Ian mulai menanyakan kewarasan si pegawai minimarket.

"Biasa pakai merek apa pembalutnya, Kak?"

See? Aku segera yakin, dia bukan berasal dari planet bumi. Dia baru saja mengatakan biasa pakai pada awal kalimatnya. Mamangnya dia pikir, aku sering menggunakan pembalut? Ah, sungguh ingin rasanya kuhajar pegawai ini! Tapi itu tidak mungkin.

Ian mendengkus, mencoba tetap sabar, dan tetap tersenyum walau dengan perasaan terpaksa. Ian tidak menyampaikan ulang pertanyaan dari si pegawai minimarket, karena El segera memberikan jawabannya dari seberang telepon.

"Terserah Ian, merek apa pun, beli saja."

"Ok, karena kamu bilang terserah—jadi apapun itu, sesampainya di sana, aku tidak menerima penolakan apalagi makian, deal?"

" Iya Ian, terima kasih, dan tolong segeralah ke sini."

BIP. Sambungan telepon dimatikan. Tidak ingin berlama-lama lagi, Ian menaruh semua merek pembalut yang ada di minimarket tersebut pada keranjang belanjanya, dan segera menuju kasir.

"Terima kasih atas kunjungannya, Kak. Silakan datang kembali," ucap si pegawai dengan riang.

Seperti yang sudah aku janjikan, aku tidak akan pernah kembali lagi. Dasar pegawai aneh!

***

Ian baru saja sampai di depan pintu apartemen milik El. Pria jangkung itu kembali menelepon El.

"Nona, aku sudah di depan pintu apartemenmu. Haruskah aku menyimpan pembalutnya di sini?" Pertanyaan bodoh yang keluar dari mulut Ian dan segera ia sesali. Seharusnya tadi aku simpan pembalut sialan itu di depan pintu apartemennya, dan mengirim pesan pada El, lalu segera pergi. Gerutunya dalam hati.

"Tunggu aku di depan, Ian ...." Ada rasa sakit yang tertahan terdengar dari suaranya di telepon.

Ian terpaksa menunggu beberapa menit, dan pintu akhirnya terbuka. Manik cokelat milik Ian melihat penampilan El dari ujung rambut hingga kaki. Wanita itu terlihat sedikit pucat, dan berdarah.

"Ya Tuhan, Nona!" Ian sangat terkejut melihat darah di kaki El. Apa dia baru saja mengalami pendarahan, atau keguguran?

"Aku baik-baik saja, Ian. Duduklah dulu," ucap El, seolah menjawab pertanyaan aneh yang muncul di kepala Ian.

"Oh, Ian, berapa banyak pembalut yang kamu beli?" El memekik saat melihat empat kantong plastik berukuran besar yang dijinjing di kedua tangan pria itu.

Ian menatapnya marah, dia berkata, "Tidakkah kamu ingat perjanjian kita di telepon?"

El diam, Ian yakin kalau El mengingatnya. El baru saja mengambil salah satu merek pembalut dari dalam plastik, dan segera menuju kamar mandi. Dia menyuruh Ian untuk masuk dan duduk menunggunya.

Tidak berapa lama, El keluar. "Kau sudah sarapan?"

Ian menggeleng. El tersenyum, dia meminta Ian mengikutinya ke arah meja makan yang tidak jauh dari dapurnya. El mengikat rambut panjangnya menjadi ekor kuda. Dia lalu mengambil piring, dan mengisi piring itu dengan nasi goreng.

WOW, nasi goreng! Sudah lama sekali aku tidak makan nasi goreng. Ian senang, itu adalah salah satu makanan kesukaannya. El memberikan satu piring penuh nasi goreng kepada Ian.

Eh, tunggu —"Apa ini?" tanya Ian saat melihat benda bulat hijau aneh yang tercampur pada nasi goreng yang terlihat lezat, dengan bau yang sangat menggoda selera itu.

"Petai."

"Petai?" tanya Ian mengulang perkataan El, dia mengangguk.

"Apa ini dapat dimakan?" Ian kembali melontarkan pertanyaan.

Tawa El pecah. Ian masih membutuhkan jawabannya. Ian menatap kearah manik biji kopi milik El, menunggu wanita cantik itu berhenti tertawa. Ian tidak percaya, El tertawa hingga terdapat titik air mata pada kedua ujung matanya. Memangnya pertanyaanku lucu?

"Tentu saja bisa dimakan, Ian ... memangnya kamu itu makhluk dari luar planet bumi, apa? Sampai-sampai tidak tahu kalau petai itu dapat dimakan?" El mengajukan pertanyaan yang membuat Ian ingin menghajarnya.

Sabar, sabar. Ucap Ian dalam diam seraya mengurut dadanya.

"Ian, Ian, orang bule pun tahu petai, Ian ... Ini enak loh, cobalah!"

"Jadi, ini bisa dimakan?"

Tawa El kembali pecah. El lalu mengangguk, buru-buru ia sudahi tawanya saat melihat air wajah Ian yang kesal. "Tentu saja bisa, Ian. Makanlah, aku yakin kamu akan suka rasanya."

Kapan ya terakhir kali aku menghabiskan waktu dengan suasana hati yang membuatku nyaman seperti ini? Bahkan dengan Laury dan Evan punaku tidak merasakan perasaan ini. Aneh. El memerhatikan air wajah Ian yang penuh binar menerima sepiring nasi goreng darinya.

"Ian," panggil El.

"Hm," sahut lawan bicaranya dengan mulut penuh.

"Makannya jangan buru-buru, di wajan masih ada kok," ucap El dengan senyum yang tidak luntur dari wajahnya.

"Entah kenapa, terkadang, orang baru terasa begitu dekat," gumam El dengan nada suara yang nyaris seperti bisikan sambil lalu, dia menyanggah wajahnya dengan kedua telapak tangan di atas meja memandangi wajah Ian yang masih asyik menyantap nasi goreng. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro