BAB 24 | Sesuatu Tentang Harapan
Aku tidak akan menyerah
- Chris –
El, dan Max tengah berada di sebuah kafe dekat CR Group, sudah tiga puluh menit mereka hanya terdiam. El tahu, kecelakaan yang menimpa dirinya, dan keluarganya adalah sebuah takdir. Marah, dan kecewa adalah hal yang wajar, tetapi El tahu dia tidak mungkin menyalahkan Max atas kematian seluruh anggota keluarganya. El tidak dapat membenci pria itu. Membenci Max bukanlah sebuah pilihan yang tepat, karena biar bagaimanapun orang tua, dan kakaknya tidak akan hidup lagi.
"Max, maafkan aku. Maaf karena aku tidak dapat melanjutkan pertunangan kita hingga pernikahan."
"Aku tahu, El. Sudah sepantasnya kau tidak melanjutkan pertunangan kita, maafkan aku. Maaf atas kecelakaan yang ...." Belum sempat Max melanjutkan kalimatnya, El sudah terlebih dulu memutusnya.
"Lupakan saja, Max. Lagi pula, hal itu sudah lama, aku juga sudah memaafkanmu. Aku tahu semuanya adalah takdir, jadi aku mohon jangan menyalahkan dirimu, Max. Sungguh, aku sudah memaafkanmu."
"Max, berjanjilah, jangan salahkan dirimu. Percayalah, aku benar-benar tulus sudah memaafkanmu. Lanjutkan hidupmu, Max. Aku ingin minta maaf padamu tidak dapat melanjutkan pertunangan kita, Max ... maaf aku tidak berterus-terang padamu."
"Tentang apa, El?"
"Ini tentang ... perasaanku, Max. Aku baru tahu tentang perasaanku, saat jarak memisahkan aku dengannya, saat dia menghilang dari hidupku. Aku baru tahu, kalau, aku mencintainya."
Jeda.
"Ian?" tanya Max. El mengangguk mengiyakan, tapi Max tidak melihatnya.
Tidak ada jawaban, berarti dia benar. Setidaknya, itu yang dipikirkan oleh Max. Pria itu meraba wajah wanita di hadapannya, merasakan setiap lekuknya untuk Max ingat. Jemari Max menyentuh dari ujung rambut hingga leher, lalu turun ke tangan El, berusaha untuk memasukan kedalam memorinya tentang betapa indah wanita yang ia cintai, seorang wanita yang hanya dapat ia rasakan hangat, dan lembutnya, namun tidak bisa ia miliki. Aku mencintaimu, El. Max membatin getir.
"Max, maaf aku tidak dapat memakainya lagi," kata El sembari melepas cincin yang sebelumnya tersemat cantik pada jari manisnya, ia letakkan pada telapak tangan Max, dan Max menerimanya mau tak mau. Dalam sedetik, sentuhan tangan El yang hangat pada telapak tangannya sukses membuat sesuatu dalam dadanya terasa nyeri bukan kepalang. Tetapi, sekali lagi, Max hanya dapat tersenyum untuk menyembunyikan lukanya itu.
"Terima kasih karena kau telah memaafkanku, El. Aku janji, aku akan melanjutkan hidupku walaupun sangat berat melepaskanmu. Aku yakin, Ian adalah pria yang baik. Semoga kamu berbahagia, El. Aku akan selalu menyayangimu dan mendukungmu."
Sebuah kecupan singkat mendarat di bibir El. El berulang kali mengerjapkan matanya, ia tidak siap dengan tindakan Max yang tiba-tiba seperti itu. Max bangkit, lalu ia mengulurkan tangan kanannya. "Teman?" ucap pria itu.
Mendengar kata itu, El senang bukan main, ia segera beranjak dari duduknya, "Teman." El menimpali sambil menjabat tangan Max. El senang karena pada akhirnya ia, dan Max masih dapat saling berhubungan, bahkan tetap berteman. Pada detik berikutnya keduanya tertawa bersamaan.
"Kalau begitu, aku duluan ya, Max. Aku akan kembali ke kantor. Kamu tidak keberatan aku tinggal di sini?" tanya El, saat mendapati waktu makan siangnya sudah lewat sepuluh sepuluh menit.
Pria itu mengangguk mengiyakan. "Pergilah, El," ucapnya.
Saat Max yakin El pergi, pria itu terduduk, rasanya seluruh tulang kakinya lumpuh seketika.
Konyol bukan? Menjabat tangan seseorang yang sangat kau cintai, seseorang yang beberapa hari lalu masih menjadi tunanganmu, dalam sekejap berubah menjadi hanya sebatas seorang teman.
***
Sudah lebih dari satu bulan, El melalui hari-harinya dengan menyibukan diri di kantor, hal yang sudah biasa ia lakukan sebelum ia mengenal Chris. El adalah wanita yang selalu suka dengan pekerjaan, bahkan bagi rekan kerjanya tidak heran saat El menjadikan kantor sebagai rumah keduanya. El bukan orang yang suka menunda-nunda, apapun yang bisa ia kerjakan, maka ia akan mengerjakan, dan menyelesikannya saat itu juga.
Hari ini sesuai perintah David, El berangkat ke panti-panti untuk memberikan santunan, termasuk pada panti tempatnya tumbuh besar. David, bosnya itu selalu saja sibuk, sehingga El bekerja bersama dengan istri David untuk jadwal kunjungan panti tersebut.
"Ah, rasanya menyenangkan sekali bukan, saat kita dapat berbagi bersama mereka, sayang?" ucap Tamar.
"Iya, Kak."
El nampak tidak bersemangat seperti biasanya, ia merasa akhir-akhir ini perutnya sedang bermasalah, nafsu makan berkurang, perutnya kerap kali terasa mual, dan kepalanya sering pusing. Tamar bingung, ia yakin El sedang tidak enak badan, karena sejak tadi, wanita itu terus saja meminta izin kekamar mandi untuk muntah.
"Kamu pucat, El. Kamu sedang tidak enak badan, Sayang?"
"Iya, Kak, sedikit."
"Kalau begitu, kita sudahi saja pekerjaan kita. Aku ingin kau istirahat."
"Tidak perlu, Kak Tamar, lagi pula tinggal satu panti lagi, bukan?"
"Iya, Sayang, panti tempatmu tinggal. Tapi, apa kamu yakin tidak ingin istirahat?"
El menggeleng. "Tidak usah, Kak Tamar. Aku tidak apa-apa, hanya masuk angin."
"Baiklah kalau begitu, ayo kita ke panti terakhir menyelesaikan misi sosial kita, hm?"
El tersenyum, ia berpikir akan istirahat saat sudah sampai panti nanti. Tetapi, tiba-tiba kepalanya lagi-lagi terasa pusing, Tamar yang melihat El sempoyongan dengan sigap memapah tubuh El, dibantu pengelola panti. Benar saja, pada detik berikutnya tubuh El limbung. El pingsan.
***
El baru saja siuman, ia terkejut saat dirinya sudah berada pada salah satu kamar yang ia yakini sebagai kamar rumah sakit, dengan keadaan tangan terinfus. El bukan kali pertama menjadi pasien rumah sakit, jadi ia tahu betul bagaimana penampakan kamar rumah sakit. El melihat Tamar dengan senyum menghias paras ayunya, wanita itu mengusap rambut El dengan sayang. El tersenyum menanggapinya.
"Sayang, selamat ... kamu hamil!" ucap Tamar dengan binar senang yang kentara pada matanya.
El memperlihatkan air muka yang tidak dapat dibaca, tapi pada detik berikutnya, El menangis. Tamar mencoba menenangkan wanita itu, Tamar tahu, El pasti sangat terkejut sekaligus terpukul dengan kabar kehamilannya. Bagi Tamar, setegar apapun seorang wanita yang hidup sebatang kara, saat mengetahui ia hamil, tapi ia baru saja gagal menikah, pastilah bukan hal yang mudah untuk dilalui.
Kasian sekali kamu, El. Kamu hamil, tapi di satu sisi, kamu baru saja putus dengan Max. Tamar membatin.
Aku tahu, aku hamil ... yang aku tidak tahu adalah keberadaanmu, Chris. Aku mohon, kembali lah, Chris. Aku merindukanmu. El membatin, dengan butiran bening yang terus mengalir membasahi pipinya. Rasanya berat sekali, sampai-sampai entah sejak kapan El tertidur.
Tamar ke luar dari kamar rawat El, sekali lagi ia berusaha untuk menghubungi suaminya, karena sejak tadi panggilannya tidak mendapatkan jawaban dari David. Tapi syukurlah kali ini David menjawab panggilannya, karena terlalu kesal Tamar segera nyerocos tidak peduli telinga orang di sebrang yang tengah menerima telepon darinya menjadi panas seketika. Setelah Tamar selesai meluapkan rasa kesalnya pada David, Tamar mulai menceritakan tentang El yang harus dilarikan ke rumah sakit, juga tentang kehamilan wanita itu.
"Sayang, seperti yang sudah aku beritahukan padamu di pesan, El masuk rumah sakit, dia pingsan."
Tidak mendengar jawaban dari David, Tamar melanjutkan ucapannya, "El, dia ... dia tengah mengandung. Menurut dokter, usia kandungannya sudah jalan enam minggu. Cepatlah pulang, Sayang ... kita harus bicara. Ini tentang Chris, aku rasa, Chris berhak tahu yang sebenarnya tentang kecelakaan yang menimpa El beberapa tahun lalu. Percayalah, Sayang, aku yakin Chris akan mengerti situasinya. Aku mencintaimu, cepatlah pulang." Sambungan dimatikan.
Di lain tempat, Chris baru saja mematikan sebuah panggilan masuk pada ponsel kakaknya. Bukan salahnya jika ponsel kakaknya itu terus saja berbunyi dari orang yang sama, dan memaksanya mengangkat panggilan masuk tersebut. Bukan salahnya saat Tamar terus saja berbicara tanpa jeda pada Chris, dan tidak juga memberikan kesempatan padanya untuk berucap, barang sepatah katapun. Juga, bukan salahnya saat mengetahui ada fakta lain yang disembunyikan darinya tentang El, dan masa lalunya.
"Ya Tuhan ... El hamil. Aku harus menemuinya." Chris bertekad.
Pria itu tahu, waktu kehamilan El sama dengan waktu terakhir kali saat ia melakukan secara maraton pada wanitanya itu. Saat itu, dia bahkan memang sudah berencana untuk membuat wanitanya hamil, dia belajar dari Aretha dan Justin, siapa tahu dengan membuat El hamil, Dewi Fortuna dapat berpihak kepadanya.
"Aku tidak akan menyerah, lihat saja!"
Mungkin ini terdengar picik, tapi Chris berpikir membuat El hamil adalah satu-satunya cara untuk membuat kakaknya berhenti menghalangi jalannya untuk bersatu dengan El-nya. Satu-satunya wanita dalam hidupnya, calon istri, dan juga ibu dari anak-anaknya.
Malam itu, Chris memesan tiket untuk perjalanan pulang menemui El, yang tengah terbaring di rumah sakit.
"Tetaplah sehat, Sayang. Tunggu aku. Aku akan segera menemuimu," janjinya.
***
Siang itu, sesuai rencana Tamar, ia bertemu dengan Max yang sedang mengisi salah satu acara amal yang dilakukan oleh Irina Crown. Tamar sengaja meminta waktu Max untuk berbicara empat mata saja dengan pria itu. Sebenarnya, Tamar tidak yakin dengan apa yang akan ia lakukan. Namun, berhubung kehamilan El sudah enam minggu, Tamar tidak ingin wanita yang sudah ia anggap sebagai adiknya sendiri itu, akan menjalani hari-hari kehamilannya seorang diri.
"Jadi, Max. Sebelumnya aku ingin minta maaf, mungkin ini terdengar konyol mengingat hubunganmu dengan El. Tapi, aku hanya ingin kau tahu, bahwa mantan tunanganmu itu tengah mengandung, Max."
Jeda.
Max tidak habis pikir dengan Tamar, wanita itu tiba-tiba menghubunginya tengah malam, dan meminta berbicara dengannya, ia pikir Tamar akan membicarakan tentang kegiatan acara amal perusahaan, dan memintanya untuk menghibur para tamu dalam acara amal tersebut seperti tempo hari, acara amal CR Group yang pernah melibatkannya saat masih bersama dengan El.
"El, dia mengandung anakmu."
"APA?"
"Iya, Max benar. Sekarang, El masih di rumah sakit, tubuhnya terlalu lemah sehingga El masih harus dirawat."
Max tiba-tiba saja tertawa. Tamar bingun dengan sikap Max yang menertawakan ucapannya, wanita itu menghujani Max dengan tatapan galak. "Kenapa kamu tertawa?"
Mengetahui ada nada marah dari suara Tamar, Max menghentikan tawanya. "Ah, maafkan aku, Nyonya. Begini, aku sudah bukan lagi kekasihnya. Aku bahkan tidak yakin bahwa akulah ayah dari bayi yang El kandung."
"Kamu bicara apa? Dasar kurangajar!"
PLAK!
Tamar menampar pipi Max, ia tidak habis pikir dengan pria di hadapannya itu. Tega betul pria itu,sampai hati tidak mengakui anak dalam kandungan El. Max mengusap pipinya yang masih panas akibat tamparan keras dari Tamar. Akhirnya, Max menceritakan tentang Ian, dan El pada Tamar, supaya wanita itu tidak salah paham lagi padanya.
"Cobalah, Nyonya tanyakan pada El, aku yakin pasti ayah dari bayi yang dikandungnya adalah Ian. Ah, atau mungkin kau bisa tanyakan langsung pada Ian, karena dia juga bekerja di CR Group."
"IAN?" Seolah tidak memercayai pendengarannya, sekali lagi Tamar mengucapkan nama Ian. Tamar tahu betul siapa Ian di perusahaan CR Group. Ian, dia adalah Chris Rivalles adik iparnya. Bagai mendengar petir di siang bolong, seolah Tamar merasakan amukan amarah Dewa Langit Zeus, ia merasa benar-benar tersambar petir saat mengetahui fakta, ayah dari bayi yang kini tengah dikandung El adalah Chris.
Terima kasih banyak-banyak yang sudah setia menunggu cerita ni ^^
Tetap dukung ya,,, love u all :*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro