Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 21 | Merindukanmu

Halo ... terima kasih sudah mampir ^^


Hari ini genap sebulan cincin indah pemberian Max tersemat di jari manis El, setelah pernyataan lamaran Max pada wanita itu. Mereka tidak langsung menikah karena keduanya telah sepakat akan mengenal keluarga masing-masing terlibih dulu. El berjanji akan membawa Max ke panti, dan mengenalkannya pada seluruh keluarga panti, dan di sinilah mereka sekarang, panti.

Max sedang beristiahat di salah satu kamar tamu yang telah disiapkan oleh penghuni panti selama Max menginap. Saat ini El tengah berada di kamarnya bersama Lyz, gadis itu sudah punya seratus pertanyaan untuk El, dan seluruh pertanyaan Lyz dari mulai kenal dimana, apa makanan kesukaan pria itu, sampai bagaimana pada akhirnya El menerima pria itu, adalah pertanyaan Lyz yang ke sembilan puluh enam.

"Aku pikir pacarmu adalah pria bernama Ian. Ternyata bukan ya?"

El terdiam saat tiba-tiba Lyz menyebutkan nama pria itu, pria yang sudah lebih dari sebulan ini tidak terlihat batang hidungnya, pria yang telah membuat El menjadi wanita dewasa seutuhnya, pria yang selama ini selalu ada di sisinya, melakukan semua hal yang El minta, tidak peduli sekonyol apapun permintaan El, pria itu akan melakukannya. Seorang pria yang El kira akan menjai pengganti Evan, seorang pria yang namanya telah berhasil memenuhi seluruh ruang pada otaknya, juga pria yang sama yang telah membuatnya sukses kehilangan fokus saat bekerja, bahkan saat bersama Max.

Butiran bening menetes seketika dari sudut mata El, susah payah ia menahan gejolak dalam dadanya, susah payah El mengatakan pada dirinya bahwa, pria itu bukanlah siapa-siapa. Dia bahkan berusaha mati-matian meyakinkan pada diri, dan hatinya bahwa Max-lah pria yang ia cintai. Tapi semudah apapun bibirnya menyangkal satu rasa yang membuncah dalam hatinya, pada akhirnya dia tahu semua itu sia-sia, sertamerta seluruh pertahanannya untuk tidak memikirkan pria itu hancur sudah.

Lyz memeluk tubuh El yang berguncang saat tangis wanita itu tertahan. El tidak ingin suara tangisnya pecah, dan membuat orang di luar kamarnya berhamburan, lalu menanyakannya. "Maafkan aku, Kak. Aku hanya ingin memastikan saja. Biar bagaimanapun, Kakak pernah menyinggung tentang Ian padaku. Jika Kakak tidak memiliki perasaan apapun padanya, Kakak tidak mungkin menyerahkan seutuhnya pada dia, kan, Kak?"

El terkesiap mendengar pernyataan Lyz barusan. "Tunggu dulu, bagaimana mungkin kamu tahu aku, dan Ian ... kami, melakukan itu?"

Mulut Lyz terbuka lebar, bukan hanya El yang terkejut, ia sendiri juga terkejut karena dengan bodohnya keceplosan begitu saja. Akhirnya setelah dipelototi El, Lyz menceritakan bahwa ia secara tidak sengaja mendengarkan percakapan El, dan Ian tempo hari. Seketika wajah El memerah, ia teringat hari itu, seluruh kejadiaan malam itu silih berganti berdatangan, dan segera memenuhi otaknya. Sekali lagi air mata membasahi pipi El, pada detik itu pula Lyz yakin, kakaknya itu sedang jatuh cinta.

"Kenapa Kak El menerima lamaran Kak Max, kalau begitu?"

"Aku ...." Ditanya pertanyaan itu sungguh membuat El merasa bersalah kepada Max sekaligus pada dirinya sendiri. "Aku hanya tidak yakin dengan perasaanku, Lyz. Aku pikir, apa yang telah terjadi malam itu antara aku, dan Ian hanyalah sebatas hasrat yang timbul karena alkohol semata, tanpa melibatkan perasaan." El mengembuskan napasnya perlahan, berusaha tetap menennagkan debaran di dadanya.

"Tapi, setelah hari itu, Ian menghilang. Aku tidak tahu kapan tepatnya, aku mulai mencari keberadaannya, dia yang selalu ada untukku tiba-tiba saja tidak ada kabar. Aku bahkan tidak melihatnya di kantor. Satu minggu tanpa dirinya, aku pikir, mungkin perasaan yang aku rasakan hanya akan bertahan sementara, perasaan kehilangan Ian. Tapi, minggu kedua, dan ketiga bahkan minggu keempat, aku mencarinya ke apartemennya. Aku terus saja mencoba menghubungi ponselnya, mengirimnya pesan menanyakan keberadaannya, kabarnya, dan bahkan memintanya untuk datang menemaniku di kantor. Tapi, apapun yang aku lakukan, aku tidak dapat bertemu dengannya." El menatap langit-langit, berusaha untuk tidak menangis. Sekali lagi dia mengembuskan napasnya.

"Aku masih tidak mengerti, tapi aku meyakinkan pada diriku selama sebulan itu, aku hanya membutuhkan dirinya sebagaimana aku membutuhkan Kevin, OB di kantor sekaligus teman yang akan senantiasa dapat kuandalkan."

"Tunggu, OB? Maksud Kakak, Kak Ian itu OB di CR Group tempat Kakak bekerja, gitu?" Lyz merasa tidak memercayai pendengarannya, jadi ia memutus penjelasan dari El.

El mengangguk mengiakan.

"Oh Ya Tuhan! Aku sungguh tidak percaya, kakak bercinta dengan seorang OB di kantor?"

El diam tidak menanggapi ucapan Lyz, karena ia juga tidak mengerti dengan dirinya sendiri. Tidak mengerti karena dirinya begitu terpana dengan sosok Ian, OB super tampan yang pernah ia lihat, dan yang pernah ada sealam jagat raya. Ia yakin di seluruh perusahaan manapun, ia tidak pernah menemukan seorang OB perusahaan yang tampannya setara dengan dewa yunani dengan iris mata Ian yang unik, berwarna cokelat hazel, bukan biru, atau hijau savana. Tubuhnya jangkung, atletis, matanya indah, rahangnya tegas, dengan rambut gondrong.

Sekali lagi, El terkejut karena dengan seenaknya otak sialannya itu justru dengan jelas menampakkan sosok Ian, dan pada detik berikutnya debar jantungnya berdetak cepat dan tidak beraturan. Lyz dapat melihat dengan jelas betapa sosok OB bernama Ian dari perusahaan CR Group itu, telah berhasil membuat kakaknya menjadi tidak waras.

Kak El benar-benar mencintai pria itu rupanya. Lyz membatin.

"Jadi, kenapa dengan Ian-mu itu, kenapa sekarang Kakak justru menjadi tunangan Kak Max?"

Air wajah El berubah menjadi murung lagi. Ah ... Lyz sungguh tidak suka dengan raut wajah kakaknya yang seperti itu.

"Aku mungkin frustrasi, karena pria itu meninggalkanku."

Sekali lagi pernyataan El membuat Lyz tercengang, seorang OB meninggalkan kakaknya, dan sampai membuat kakaknya itu frustrasi, bagaimana mungkin. Lyz hanya menyimpan pertanyaan itu untuk dirinya sendiri, ia bermaksud untuk mendengarkan cerita kakaknya itu sampai selesai.

"Sampai akhirnya, Max, sekali lagi memintaku untuk menjadi istrinya. Saat itu aku merasa senang, aku tidak pernah menyangka seorang pria tampan dari keluarga kaya raya menginginkanku menjadi pendamping hidupnya."

"Tunggu, jadi maksud Kakak ... Kakak tidak benar-benar mencintai Kak Max?"

"Bukan begitu, Lyz ... Mungkin, aku tidak mencintainya saat ini. Tapi, mungkin juga suatu saat nanti aku akan mencintainya. Mungkin, cinta akan datang padaku dengan terbiasa setelah kami menikah nanti. Saat aku mulai terbiasa melihat sosok Max pada hari-hariku, mungkin sosok Max akan membuatku lupa akan sosok Ian."

"Terlalu banyak kata mungkin dalam hidupmu untuk Kak Max, kak. Aku tidak yakin, kemungkinan yang kau bicaraan akan membuat kalian bahagia pada akhirnya atau justru malah menjadi petaka. Jangan siksa dirimu, jangan juga sisksa Kak Max. Penyiksaan yang kau lakukan, akan membuat Kak Max tersakiti. Pria malang itu akan sakit hati saat mengetahui bahwa Kakak hanya memanfaatkannya, dia akan terluka karena cinta palsumu padanya, Kak." Lyz menatap El dengan pandangan iba, entah kenapa Lyz merasa kasihan kepada kakaknya itu.

"Jangan membohongi dirimu, Kak, aku tahu Kakak sangat mencintai Kak Ian."

Jeda.

"Maafkan aku karena aku lancang mengatakan ini padamu, Kak El. Tapi sebelum melangkah lebih jauh lagi, lebih baik Kakak mengakhiri semuanya, agar tidak ada hati yang tersakiti lebih dari ini."

Lyz benar, semua yang dikatakan gadis itu benar. Kata-kata Lyz membuat El mengingat sosok Ambrose, dan sekarang apalah bedanya El dengan wanita kejam itu kalau El tetap memaksakan kehendaknya pada Max, pria itu akan terluka sekali lagi karena penghianatan. Jika itu benar, maka El yakin, Max mungkin tidak akan sembuh dari lukanya karena seorang wanita. El menyayangi pria itu, dia tidak ingin melukai pria baik seperti Max. Tapi, El sungguh tidak tahu bagaimana cara untuk mengakhirinya.

"Lakukanlah di waktu yang tepat, Kak. Jangan gegabah, pikirkanlah sebuah cara, dan kalimat yang tepat, supaya Kak Max mengerti, dan mau menerimanya."

"Kamu benar, Lyz. Terima kasih ...."

El memeluk Lyz. El tidak menyangka karena seratus pertanyaan yang Lyz berikan padanya, berakhir dengan jawaban yang selama ini menjadi buah pertanyaan pikirannya tentang apa yang ia rasakan pada Ian.

"Kak, pertanyaanku yang terakhir, apa kamu merindukannya? Ian, apa kamu merindukannya?"

"Aku merindukannya, Lyz ... sangat."

***

Di lain tempat.

Seorang pria baru saja meletakkan bingkisan yang dibungkus dengan kertas kado di depan pintu apartemen El, setelah memastikan tidak ada seorang pun yang melihat aksinya. Setelah itu, pria itu segera bergegas menuju mobilnya, lalu sebelum ia pergi dari temat itu, ia mengetikkan sebuah pesan lalu mengirimnya.

Anda: [Aku sakit, maaf baru menghubungimu. Jika kau tidak keberatan datanglah, aku merindukanmu.]

***

Aku segera berangkat menancap gas mobilku menuju suatu tempat yang baru saja aku terima pada pesan ponselku. Aku pamit pada Lyz, aku katakan padanya priaku membutuhkanku, dia sedang sakit, aku harus menemuinya malam ini juga. Aku bahkan sudah meminta Lyz untuk menemani Max besok saat aku pergi.

Satu pesan, dan itu sukses membuatku ketakutan. Bagaimana mungkin pria itu baru menghubungiku setelah menghilang lebih dari satu bulan? Dan apa katanya tadi, sakit? Oh ya Tuhan ... itukah alasan yang membuatnya tidak masuk ke kantor? Tapi kenapa dia susah sekali dihubungi? Aku bahkan ke apartemennya, ternyata dia pindah. Menyebalkan.

Seperti orang kesetanan karena takut terjadi hal buruk yang tidak diinginkan, aku mengemudikan mobilku secepat yang aku bisa. Aku tiba di sebuah rumah sederhana, rumah itu penuh dengan tumbuhan yang menyejukkan dipandang mata, meskipun hari gelap tapi indahnya jelas terlihat karena dibantu penerangan lampu-lampu taman yang cantik. Aku memarkirkan mobilku pada halaman rumah itu. Hujan deras sudah mengguyur menemani perjalananku hingga ke tempat ini, dengan berlari aku mencapai pintu rumah, hujan membuat rambut, dan pakaian atasku basah.

Aku mengetuk pintunya, tapi tidak ada jawaban, aku memanggil nama Ian tapi tetap tidak ada jawaban, kesunyian malam, dan suasana senyap dari dalam rumah membuatku panik. Saat kugerakkan gagang pintu, pintu terbuka. Aku mendapati suasana gelap, aku meraba dinding, dan kutemukan sakelar, mataku membelalak saat mendapati tubuh Ian tersungkur di lantai.

"Ya Tuhan, IAN ...!"

Aku menghampiri tubuhnya, dingin. Pakaiannya basah, aku yakin dia sempat kehujanan di luar sana. Aku tidak tahu sejak kapan tubuhnya berada di lantai, dengan susah payah aku membaringkan kepalanya di pangkuanku dengan kedua paha sebagai bantalannya. "Ian, Ian, Ya Tuhan ... Ian kumohon, sadarlah. Ian, kamu bisa dengarku?"

Dia benar-benar sakit, tubuhnya menggigil, bibirnya membiru, pernapasannya pendek, dan pelan. Hipotermia, satu kata yang dapat menjelaskan kondisi Ian saat ini.

Aku terus memanggil namanya. Perlahan aku buka kancing kemejanya, menanggalkan kemeja basah itu ke lantai.

"El, kamu kah itu?" Suara berat itu membuatku tersenyum senang, dia sadar.

"Iya, Ian, ini aku. Ian, kamu bisa menggerakkan tubuhmu? Aku akan membantu ke tempat tidur, ayo."

"Apa ini khayalanku?"

"Kenapa kamu basah, El?" tanya pria itu, saat aku berhasil memapahnya hingga ke tempat tidur.

"Aku kehujanan."

"Gantilah pakaianmu El, jika tidak, kamu akan masuk angin. Aku tidak mau kamu sakit."

"Jangan khawatirkan aku, Ian ... aku akan baik-baik saja. Aku akan mengganti pakaianku dengan bajumu, tapi setelah aku memastikan kamu memakan ini."

Mata cokelat hazelnya itu nampak sayu, menatapku, dia lalu berkata, "Apa itu nasi goreng petai?" tanyanya, aku tertawa.

Kubaringkan tubuhnya, menyelimutinya. "Ini bubur, Ian. Kamu sedang sakit, jadi aku hanya akan membuatkanmu bubur. Saat kamu sembuh, aku janji akan memasakkan nasi goreng petai untukmu. Jadi, ayo buka mulutmu dan katakan—A ...."

Aku baru saja selesai menyuapinya, lalu perlahan aku menaikkan selimut yang menutupi tubuhnya, membuka perlahan celana panjang setelah melepas ikat pinggangnya. Aku melihat garis senyum pada wajahnya, dia bergumam tidak jelas.

Aku memintanya untuk meminum obat, tapi sepertinya itu tidak mungkin. Jadi aku membantunya meminum obat, aku mebuka mulutnya, menyimpan obat dalam rongga mulutnya. Kutenggak segelas air mineral, dan menahannya dalam mulutku, lalu aku membuka mulutnya, kudekatkan dengan mulutku. Detik berikutnya, aku membantunya menenggak air mineral itu.

Sambil membantunya meminum obat, aku berhasil menanggalkan seluruh pakaiannya. Aku terpana, tubuhnya masih seksi seperti biasa, hanya saja badannya terlihat sedikit kurus. Gerakan Ian yang tiba-tiba membuatku terkesiap, ia memelukku, menenggelamkan tubuhku dalam dekapannya yang erat.

"Kamu yang menyerangku lebih dulu, Sayang, jadi jangan salahkan aku."

Entah tenaga dari mana, Ian membalik tubuhku, menciumku, dan aku mulai hanyut dalam ciumannya.

"Peluk aku, Sayang, aku kedinginan."

"Aku akan Ian, tanpa kamu mintapun, aku akan memelukmu."

"Aku merindukanmu ... tetaplah seperti ini, jangan biarkan aku terjaga." Setelah mengucapkan kalimat itu, Ian terlelap. Aku yakin obat yang baru saja ditelannya sudah menunjukkan reaksinya.

"Aku juga merindukanmu Ian, sangat."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro