Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 17 | Dilema

"Tolong berikan berkas-berkas itu kepada Nyonya Crowns, dan sampaikan maafku karena aku tidak dapat menemuinya secara langsung."

"Baik, Bos."

El mematikan teleponnya. Wanita cantik dengan rambut panjang sepunggung yang ia ikat menyerupai ekor kuda itu ada janji dengan Nyonya Crowns untuk menyerahkan berkas-berkas terbaru pengembangan proyek kerja sama dengan CR Group. Selain dengan Nyonya Crowns, El juga sudah berjanji dengan Max. El tertawa sendiri saat mengingat semalam pria itu mengatakan rindu, dan dengan konyolnya El mengatakan tunggulah, hingga rindu itu bertambah.

Wanita dengan setelan baju kemeja putih berbahan halus lengkap dengan sebuah blezer berwarna dongker itu, dia baru saja tiba di kediaman keluarga Crowns, dan segera disambut oleh para pelayan. El melihat Nyonya Crowns sudah duduk di ruang tamu.

"Ah, ini dia!" ucap Nyonya Crowns, saat melihat El berdiri di ambang pintu ruang tamunya. "Kemarilah, Sayang," tambahnya.

El menghampiri Nyonya Crowns, dan duduk di dekatnya.

"Nyonya, sebelumnya aku ingin menyampaikan permintaan maaf dari Bos David karena beliau tidak dapat menemui anda ... dan ini berkas yang dititipkan oleh Bos David untuk anda, Nyonya." El menyerahkan berkas kepada Nyonya Crowns, dan wanita tua itu mengambilnya.

"Bu, apakah El sudah di sini?"

Max memasuki ruangan, dia tidak melihat bahwa wanita yang ia tanyakan pada ibunya itu sudah berdiri tepat di hadapannya. Nyonya Crowns tersenyum. "Dia sudah di sini, Sayang." Nyonya Crowns membantu anaknya duduk tepat di depan El.

"Dia dimana, Bu?" tanya Max panik, suaranya pelan. Max tidak ingin El mengetahui betapa malunya dia saat ini.

El menyentuh punggung tangan Max lembut seraya berkata, "Aku di sini, Max. Tepat di hadapanmu."

Reaksi Max selanjutnya membuat El gemas, karena Max seperti seorang remaja yang tengah dimabuk cinta. Nyonya Crowns tersenyum. "Kalian berdua bicaralah, aku tidak akan menahan dua insan yang tengah dilanda rindu terlalu lama," ucap Nyonya Crowns, lalu meninggalkan El beserta putranya berdua. Nyonya Crowns bahkan meminta kepada semua pelayan di rungan tersebut untuk pergi.

"El." Max memanggil nama wanita itu, meraba wajahnya, menyentuh bibir wanita itu dengan ibu jarinya. Lalu tangan Max bergerak menyusuri pipi kemudian ke telinga El.

Tiba-tiba diperlakukan seperti itu, membuat El menelan salivanya. Max mendekat, "Aku sangat merindukanmu," bisik Max tepat di daun telinga El, dan itu membuat El meremang.

"Kamu wangi sekali, El." Max sekali lagi berucap tepat di daun telinganya, naluri prianya membuat Max mencium singkat ujung telinga El, lalu turun ke leher El yang jenjang, dan meninggalkan jejak merah di sana. Pria itu bahkan tidak sadar, bahwa sedari tadi El tengah memanggil namanya.

"Max!"

Pria itu sadar, ia baru saja kehilangan kendali dirinya.

"Ma—maafkan aku, El." Max segera mengambil jarak menjauhi El.

Hening sesaat.

"Max," panggil El, setelah ia berhasil menenangkan gemuruh dadanya atas perlakuan tiba-tiba yang dilakukan oleh pria itu, barusan.

"El ... jangan pergi," lirih Max. Pria itu merasakan El bergerak gelisah di sofanya. Max sungguh tidak ingin El pergi, dia masih merindukan wanita itu, dia lalu melanjutkan, "Maafkan aku, El. Aku hilang kendali. Aku janji, aku tidak akan melakukan hal seperti itu lagi, kecuali saat kamu juga menginginkannya. Maaf." Max mengulang kata maaf kepada El, berharap kalau wanita dengan wangi lembut yang khas itu memberikannya maaf.

Hening lagi.

"El... boleh aku mendekat?" tanya Max hati-hati. El mengangguk mengiyakan, tapi bahkan El pun lupa, kalau Max tidak mungkin melihat gerakannya.

Jadi pria itu tetap di tempatnya. "El, aku bukanlah pria yang mudah jatuh cinta, bukan pria yang romantis, dan aku adalah tipe pria yang akan sangat posesif kepada pasanganku, pada wanita yang aku cintai. Karena, aku tidak ingin kehilangan lagi. Aku mencintaimu, El." Max baru saja mengungkapkan perasannya.

El terdiam, ini adalah pernyataan cinta yang terkesan buru-buru. El, dan Max baru beberapa waktu lalu bertemu, dan dekat sebagai seorang teman. Jadi, ketika pria itu menyatakan perasaannya, El bingung.

"Kamu tidak perlu menjawab sekarang, El. Tidak usah terburu-buru." Pria itu tersenyum, tangannya meraba sofa, dan menemukan tangan El di sana, ia mengusap lembut punggung tangan wanita itu.

Gemetaran. El yakin kalau tadi tangan pria dengan alis tebal itu baru saja gemetaran.

Suara dehaman terdengar, Max segera menjauhkan tangannya dari tangan El.

"Maafkan aku sudah lancang, Tuan. Aku diminta untuk memanggil Nona El segera, Nyonya besar sudah menunggu di ruang kerjanya." Seorang pelayan mendatangi Max, dan El. Seketika itu membuat, Max salah tingkah.

"Temuilah ibuku, El. Aku akan menunggu di sini."

"Aku akan kembali." Setelah mengatakan itu, El segera menuju ruang kerja Nyonya Crowns dengan di antar oleh pelayan.

***

El baru saja sampai di kantor, dia baru saja akan memberikan berkas yang sudah ditandatangani oleh Nyonya Crowns kepada David. Namun ternyata, sosok yang dicarinya itu sudah tidak di kantor. El kembali ke ruangannya, dia membutuhkan seorang teman untuk dimintai pendapat yang terlintas dalam benaknya adalah Ian, tapi saat El melewati dapur, dia tidak melihat Ian. Jemari El lihai mengetik pesan untuk Ian.

Anda: [Ian, kamu tidak ke kantor?]

El baru saja mengirim sebuah pesan pada Ian. Pria itu tidak membalas pesan El.

Anda: [Aku tidak ada lembur, Bos David juga tidak memberikanku tugas tambahan. Tapi, jika kamu tidak keberatan, aku ingin bertemu. Aku akan menginap di kantor.]

El mengirim pesan itu pada Ian. Tapi pria itu tidak juga membalas pesannya.

Anda: [Aku dilamar, Ian. Menurutmu, aku harus bagaimana?]

El mengirim pesan lagi pada Ian, El menunggu, tidak lama Ian menelepon ponselnya.

"Iya, hallo."

"..."

"Iya, Ian. Aku akan menunggumu." Panggilan dimatikan, setelah menerima panggilan dari Ian, sebuah bulan sabit muncul di wajahnya. Segera wanita itu ke ruangan Sella.

El sedang membantu Sella mengerjakan berkas-berkas laporannya. El tidak ingin mati bosan menunggu Ian, jadi membantu Sella adalah salah satu cara untuk membunuh waktunya. Sudah hampir satu jam El menunggu Ian, tapi pria itu masih belum nampak batang hidungnya. Sella melihat El yang terus-menerus melihat ke arah jam tangan dan jam ponsel secara bergantian dengan gelisah.

"Ah, akhirnya selesai," ucapan Sella membuat El terkejut, karena tanpa El sadari bahwa sedari tadi dia sebenarnya tidak menyelesaikan apapun, dia terus-terusan bengong, dan sesekali terlihat melihat jam.

"Sudah selesai? Benarkah?"

"Iya, Sayang, ini sudah selesai. Terima kasih ya, kamu sudah banyak membantu."

Sebenarnya saat Sella berkata begitu, El merasa tidak enak hati, karena dia hanya duduk di situ tanpa mengerjakan apapun. El tersenyum malu, dia menggaruk ujung dagunya sambil lalu. "Maaf ya, Kak Sella," katanya merasa tidak enak hati.

Sella hanya tersenyum memakluminya. "Ah ... yang ditunggu akhirnya datang juga!" ucap Sella, sambil melambai ke arah pintu masuk. Di sana ada Ian tengah melenggang ke arah mereka.

"Karena sudah ada Ian, aku pulang dulu ya, Sayang."

"Ah, iya, Kak Sella, hati-hati."

Sella baru saja pergi, meninggalkan El, dan Ian berdua di kantor.

"Maafkan keterlambatanku, Nona." Pria yang biasanya mengikat rambut gondrongnya itu, hari ini membiarkan rambutnya tergerai, lengkap dengan pakaian santai yang ia kenakan, entah kenapa di mata El, pria itu terlihat lebih keren dari biasanya.

"Tidak apa, Ian."

Hening sesaat.

"Apa ...." Ian baru saja membuka suara menghilangkan keheningan di antara keduanya. Pria itu mengembuskan napasnya perlahan sebelum kembali melanjutkan kalimatnya, "Apa, Max, pria yang sudah melamar, Nona?" tanya Ian.

El menatap Ian, seketika wajahnya bersemu merah muda, tebakan Ian tepat. Kemudian El menceritakan saat Max menyatakan perasaannya, dan Nyonya Crowns yang mengutarakan keinginannya untuk menjadikan El sebagai pendamping hidup putranya.

"Apa ...." Ian ragu untuk meneruskan kalimatnya, tetapi di lain sisi Ian sangat penasaran. "Apa, Nona El juga mencintai pria itu?"

Kalimat tanya Ian diakhir cerita El, membuat wanita itu diam seribu bahasa. El, belum mengerti perasaan yang sesungguhnya kepada Max. Jika dia ditanya, apakah dia merasa nyaman saat bersama pria itu, jawabannya sudah pasti iya. Tapi apakah perasaan nyaman itu bisa disebut cinta? Maka hati El belum menemukan jawabannya.

"Aku tidak tahu, Ian. Tapi, saat Max menyentuhku, mencium cuping telingaku, lalu dia menggigit leher—"

El belum sempat melanjutkan kalimatnya, Ian sudah mengambil posisi tepat di depan El, dan membuat jarak menipis dengan wanita itu. "Di mana dia melakukannya?" Air wajah pria itu nampak tidak dapat dibaca, namun ada amarah yang terpancar pada kedua matanya.

Ditanya seperti itu tangan El refleks menunjukkan bekas merah dari Max pada leher kirinya. Pada detik berikutnya, Ian mendaratkan ciuman di leher El secara perlahan, dari daerah cuping telingga, hingga pada titik merah tanda dari Max. Saat kejadian itu berlangsung, bibir El tidak henti-hentinya menyebut nama Ian, El ingin agar Ian menghentikan perbuatannya itu. Namun, Ian tidak berhenti. Pria itu justru bertindak lebih jauh lagi, satu tangannya memegangi kepala El, menarik ikat rambutnya. Ian terus mendaratkan menciumnya dari leher turun ke pundak wanita itu.

El merasakan berat tubuh Ian pada tubuhnya, pria itu membuat tubuhnya terbaring di atas meja kerjanya. Ian menghentikan ciuman pada leher, dan pundak El untuk menatap kedua bola mata wanita itu. Napas El tidak beraturan, begitupun dirinya. El menggigit bibir bawahnya, gerakan itu membuat Ian makin tak terkendali. Ian meraba bibir El, bibir itu terbuka, dan Ian mulai menciumnya lagi.

Manis. Pria itu membatin.

El membuka matanya bingung dengan tindakan tak diduga dari Ian. Ian menggiring tangan El menyentuh dadanya, dan El dapat merasakan debaran kencang pria itu. El dapat merasakan napas Ian yang panas di dekat telingganya.

"Kamu berdebar-debar Ian, kenapa?"

"Menurut Nona kenapa?" tanya Ian, yang disambut gelengan lemah dari lawan bicaranya itu.

"Jangan menyiksaku lebih dari ini, Nona," bisik pria itu, lalu beranjak dari posisinya. Membiarkan El membatu pada posisinya di atas meja kerjanya.

"Aku akan kembali," ucap pria itu, lalu pergi.

El memegangi jantungnya yang ternyata berdetak sama kencangnya dengan Ian. Aku tidak pernah tahu kalau jantungku bisa berdetak dengan sangat cepat seperti ini, mau gila rasanya! El membatin. "Tenanglah," ucapnya seraya mengurut dadanya perlahan.

El menunggu Ian, El sungguh tidak mengerti maksud kalimat Ian sebelum pria itu pergi meninggalkannya dengan keadaan compang-camping. El segera membenahi pakaian dan rambutnya, dia kembali mengikat rambutnya yang tadi sempat dilepas Ian. Betapa terkejutnya El saat mendapati bayangan dirinya pada cermin yang tergantung di dinding. El menyentuh bekas merah yang ditinggalkan Ian, El bahkan lupa dimana bekas merah yang ditinggalkan Max sebelumnya.

Ian datang ke ruangan kerja El dengan membawa dua cangkir cokelat panas. El merasa harus menjaga jarak dari pria itu. El takut dia akan kehilangan akal sehatnya saat berada di dekat Ian, juga takut dirinya akan dengan mudahnya hanyut oleh pria itu.

"Mengenai lamaran pria itu, aku hanya berpendapat, jangan terima dia jika Nona El tidak cinta padanya."

"Ah ...I--iya, tentu saja." El gelagapan. Wanita itu seketika merasa canggung, dia bahkan dengan cerobohnya menumpahkan cokelat panas ke atas rok spannya. Detik berikutnya El mengaduh, karena panas cokelat itu merembas dengan cepat ke kulit pahanya.

"Lepas rokmu sekarang!" Perintah itu keluar begitu saja dari mulut Ian.

"APA? Bagaimana mungkin?"

"Lakukan itu sekarang, Nona. Atau, kamu sungguh ingin kulit pahamu terbakar?"

Ingin gila rasanya, jika terus berada di dekat pria ini. El membatin.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro