BAB 16 | 5 Cm
Hari itu, salah satu rumah sakit dipenuhi polisi, dan sekelompok orang dari media massa. Rumah sakit itu baru saja membawa satu keluarga yang menjadi korban kecelakaan, dan satu orang pemuda yang menurut saksi mata adalah orang yang telah membuat terjadinya kecelakaan maut tersebut. Seluruh korban kecelakaan berjumlah empat orang, si pengemudi yang diduga sebagai kepala keluarga, dan seorang lagi yang diduga sebagai istri dari pengemudi, mereka telah meninggal dunia di tempat kejadian.
Selain dua orang itu, seorang remaja perempuan yang diduga sebagai anak pertama dari keluarga tersebut, juga meninggal saat sedang dalam perjalanan ke rumah sakit. Orang keempat adalah korban termuda dari seluruh keluarga tersebut yang diduga sebagai anak bungsu, saat ini ia dalam keadaan kritis di salah satu ruang rawat rumah sakit.
Setelah dua minggu insiden kecelakaan maut itu, salah satu korban kecelakaan yang di rawat di rumah sakit mulai siuman, pandangan matanya menjelajah isi kamar rumah sakit. "Dimana ini?" tanya gadis itu pada seorang wanita yang terlihat lebih tua dari ibunya.
Wanita itu mengusap rambutnya dengan sayang. "Ini rumah sakit, Nak."
Gadis itu tidak ingat mengapa dia ada di rumah sakit. Dia bertanya kemana Ayah, Ibu dan kakaknya kepada wanita itu, tetapi wanita itu hanya tersenyum. Gadis itu bangkit dari posisi tidurnya. "Aku sakit apa?"
"Kamu baru saja sadar, Sayang ... dua minggu, selama dua minggu kmau tidak sadarkan diri. Apa kamu merasa sudah baik sekarang?"
Gadis itu mengangguk. "Iya, Nyonya. Apa karena aku sudah merasa baik, aku boleh pulang? Aku rindu orang tua, dan juga kakakku." Dustanya, dia hanya ingin segera bertemu dengan keluarganya.
"Tunggu sebentar di sini ya, Sayang, aku akan bertanya pada perawat, dan dokternya dulu."
"Baik, Nyonya."
Kristen Liani segera meninggalkan ruangan gadis itu, ia bergegas memberitahu Dokter, tentang kondisi pasien korban kecelakaan yang sudah siuman. Ia juga tidak lupa segera memberi tahu kabar gembira ini pada Carla Rivalles.
"Baik, Nyonya Carla, akan aku laksanakan." Sambungan dimatikan.
Kristen Liani segera menemui gadis itu, dia baru saja mendapatkan izin penuh dari Dokter bahwa pasien sudah boleh di bawa pulang. Gadis itu sudah tidak lagi memakai baju pasien, semua alat rumah sakit yang menempel di tubuhnya sudah dicabut. Sesuai dengan perintah nyonyanya, Kristen akan membawa gadis itu ke pemakaman.
"Apakah Nyonya akan mengantarku ke rumahku?" tanya gadis itu senang, karena sebentar lagi ia akan segera bertemu dengan keluarganya.
Wanita itu memandang gadis itu ragu, tapi akhirnya dia berkata, "Aku akan mengantarmu ke tempat orang tua dan kakakmu, tapi bukan di rumahmu."
Mata gadis itu membulat melihat dari jendela mobil, di luar sana adalah area pemakaman.
"Untuk apa kita kemari?"
"Untuk bertemu dengan kedua orang tua, dan juga kakakmu, Sayang."
"Memangnya mereka sedang berziarah?"
"Tidak, Sayang, tapi kamu, dan aku. Kita akan berziarah."
Gadis itu tidak mengerti, tapi ia yakin, Kristen baik. Mungkin saat ini, Nyonya itu mau berziarah terlebih dulu baru mengantarnya pulang, karena saat di rumah sakit ia sudah memberi tahu alamat lengkap pada nyonya itu.
Setelah menepikan mobil, Kristen Liani menggenggam tangan gadis malang itu, mengiringnya pada ketiga makam baru, tempat peristirahatan terakhir keluarga gadis malang itu. Mereka menghentikan langkah pada ketiga makam yang lokasinya beriringan. "Di sini, Sayang, kamu bisa menemui mereka di sini."
Gadis itu belum mengerti maksud ucapan Kristen Liani, kemudian matanya sekali lagi membulat saat melihat nama-nama yang tertera di batu nisan ketiga makam tersebut. Detik berikutnya, gadis itu ingat, ingat saat-saat sebelum sebuah mobil sport mewah tiba-tiba menghantam mobil yang tengah dikendarai ayahnya dari arah berlawanan. Gadis itu ingat, saat mobilnya menghantam pembatas jalan kemudian berguling-guling yang disertai dengan teriakan histeris dari seluruh anggota keluarganya, termasuk dirinya.
Gadis itu juga ingat, saat mobilnya berhenti dalam posisi terbalik, tangan berlumuran darah mengusap pipinya, ia ingat tangan itu adalah tangan kakaknya. "Kamu harus bertahan, Dik." Satu kalimat terakhir yang diucapkan oleh kakaknya. Ia bahkan melihat dua pasang kaki mendekat ke mobilnya, kemudian sayup-sayup ia juga mendengar suara seorang laki-laki yang tengah berdebat dengan seorang perempuan, tetapi tidak jelas apa yang diucapkan oleh keduanya itu, kemudian ia kehilangan kesadarannya.
Air mata mengalir deras membasahi seluruh wajahnya. Ia tidak menyangka liburan untuk mengunjungi pantai adalah hari terakhirnya bersama keluarganya. Kristen Liani mendekap gadis itu, mengusap rambutnya dengan sayang. "Kamu tidak sendiri, Sayang, ada aku."
Gadis itu pingsan. Kristen Liani membawa gadis itu ke panti asuhan, selah satu panti asuhan terbaik yang dikelola oleh keluarga Rivalles. Kristen Liani adalah orang yang menangani langsung panti asuhan itu. Di sana, adalah panti yang khusus menjadi rumah bagi anak-anak seperti gadis itu. Gadis yang telah diketahui bernama Maria Claudia Chellena.
Gadis itu mulai terjaga. Ia merasakan kepalanya sangat sakit. Lagi-lagi, orang pertama yang El jumpai saat membuka matanya adalah Kristen Liani, wanita yang sama yang mengajaknya ke pemakaman, wanita yang sama yang selalu menemaninya saat ia tidak sadarkan diri di rumah sakit, wanita yang sama yang saat ini menceritakan bagaimana gadis itu bisa berakhir di panti asuhan bersama dengannya.
Kristen Liani memberikan tumpukan surat kabar yang memuat berita kecelakaan maut yang menimpa gadis itu. Pada surat kabar itu dijelaskan bahwa, orang yang mengemudikan mobil sport mewah adalah seorang gadis remaja berusia enam belas tahun, dan juga seorang pemuda berusia dua puluh tahun.
Isi koran tersebut menyatakan bahwa pemuda itu tengah dalam masa perawatan sehingga pihak pengadilan memutuskan tidak menghukum pemuda itu ke penjara melainkan ke rumah sakit. Sedangkan gadis remaja itu dianggap belum cukup umur, sehingga mereka tidak dipenjara melainkan hanya sebatas hukuman rumah.
Membaca itu, air mata gadis itu mengalir seketika. Ia merasa Tuhan sudah tidak adil padanya, mengambil seluruh keluarganya, dan membiarkan si pembunuh bebas begitu saja.
"Sayang, dengarkan aku, kamu harus bangkit. Tidak boleh terus-terusan berada dalam kesedihan, bangkitlah, Sayang. Aku di sini akan selalu mendukungmu, kami semua. Mulai sekarang, anggaplah aku sebagai ibumu, dan semua orang yang ada di panti ini, sebagai Kakak, dan juga adikmu. Kita semua keluarga, kamu tidak akan sendirian."
Setelah mengucapkan itu Kristen Liani mencium pucuk kepala El, kemudian anak-anak lain yang ada di ruangan itu berhamburan memeluk gadis malang itu. Sejak saat itu, El memulai kehidupan barunya sebagai anak panti.
Malam itu, El bertemu dengan seorang wanita, yang menurut penjelasan dari Bunda Kristen Liani, dia adalah pemilik perusahaan CR Group, dan juga pemilik dari panti asuhan yang El tempati. Wanita itu sangat cantik, namanya Carla Rivalles. Menurut Bunda Kristen, Nyonya Carla adalah orang yang telah membantu banyak orang-orang seperti El. Nyonya Carla juga yang telah mengusut kasus kecelakaan maut keluarga El, membantu biaya rumah sakit, dan pemakaman keluarganya. Namun sayang, seperti yang telah dimuat di surat kabar, pengadilan tidak memenjarakan penjahatnya.
Setelah dewasa El barulah tahu, untuk sebagian besar orang, mereka akan sangat mengelu-elukan uang, dan kekuasaan. Mungkin itu yang juga membuat penjahat yang telah membunuh keluarganya bebas begitu saja. Ia bertekad, harus menjadi orang yang sukses, dan dapat diandalkan untuk keluarga barunya di panti. Keluarga yang selama ini telah membantunya untuk melawan kesedihan, dan rasa kesendiriannya. Juga untuk Ibu Carla.
***
El baru saja dari kamar lamanya, kamar ia menjalani hari-hari remajanya di panti. Ia tidak sengaja menubruk seseorang, ia mengaduh saat pantatnya sukses mendarat di lantai dengan kasar.
"Maaf, Nona. Maaf, aku tidak sengaja. Anda baik-baik saja?"
Seseorang mengulurkan tangannya membantu El berdiri. El memegangi pantatnya, kemudian mendelik pada seorang pria di hadapannya. Beberapa saat keduanya mematung, saling menatap.
Rasa-rasanya pria ini mirip dengan seseorang. Ah, tapi tidak mungkin. El segera menghilangkan pikiran konyolnya saat melihat pria itu. "Lain kali gunakan kedua matamu saat jalan."
Pria itu tertawa meremehkan. "Anak TK juga tahu, orang berjalan itu menggunakan kedua kakinya, bukan mata. Mata itu untuk melihat, bukan untuk berjalan." Tukas pria itu, memandang El dari ujung kaki hingga ujung kepala dengan tatapan menilai. Kemudian segera meninggalkan El.
Mulut El terbuka lebar. "Orang bodoh mana yang tidak tahu hal itu, hah! Maka, gunakanlah matamu untuk melihat jalan yang kau lalui, dasar sinting!" El memaki orang yang baru saja berjalan melewatinya.
Pria itu tidak menghiraukan El, dan masih saja berjalan menuruni anak tangga.
"Dasar pria menyebalkan!" sekali lagi El memaki.
"Ada apa, Kak? Kenapa kakak marah-marah padanya?" tanya Lyz salah satu penghuni panti.
"Ah, kau Lyz. Tidak, bukan apa-apa. Hanya saja, pria tengil barusan itu menyebalkan sekali." El memandangi punggung pria itu yang baru saja sudah sampai di lantai bawah panti. Di sana, anak-anak panti sudah menyambut pria itu.
Siapa sih dia? Kenapa anak-anak panti terlihat sangat menyukainya? El membatin.
"Memangnya apa yang sudah Kak Chris lakukan pada, Kakak?" tanya Lyz lagi.
Ah ... jadi, namanya Chris.
"Siapa sih, dia?" El balik bertanya pada Lyz.
Mata Lyz menatap El galak.
"Apa? Kenapa kamu menatapku seperti itu, Lyz?"
"Jangan suka padanya, Kak El ... Dia milik kami!" ancam Lyz, gadis remaja berusia lima belas tahun itu sudah menyiapkan kuku-kuku tajamnya untuk mencakar El.
Tiba-tiba saja El bergidik. "Aku tidak akan suka padanya, Lyz. Aku juga tidak akan bersaing dengan kalian para gadis ingusan, apalagi untuk berebut pria tengil sepertinya." El seraya memperlihatkan ekspresi jijik yang dibuat-buat.
Lyz menatap El menyelidik, dan benar apa yang baru saja dikatakan El, karena pada matanya tidak ada cinta, tapi amarah.
"Kak Chris itu salah satu relawan baru di panti, Kak." Akhirnya Lyz menjelaskan kepada El.
"Oh, relawan ...." El manggut-manggut.
"Iya, Kak El. Jadi, sejak Kak Chris datang ke panti, kami para perempuan mulai membuat peraturan untuk tidak berebut, dan tidak bersaing untuk menjadi pacar Kak Chris, karena kami memutuskan Kak Chris adalah milik kami bersama."
"Hah? Apa-apaan peraturan konyol kalian itu?"
"Ish, Kak El buta ya? Tidak kah kakak melihat betapa tampan, dan seksinya Kak Chris, hm?" Lyz benar-benar gagal paham dengan kakaknya yang satu itu. "Ah, maaf ya, Kak El. Maaf aku harus menghina mantanmu, Kak Evan... bahkan Kak Evan tidak setara dengan Kak Chris yang levelnya jauh di atas. JA-UH." Lyz sengaja melafalkan kata jauh dengan intonasi tegas. Ucapan Lyz seketika membuat El teringat pria berengsek bernama Evan itu.
"Ah, tapi menurutku lebih tampan Ian." Spontan El menyebutkan nama Ian.
"Ian? Siapa itu?" Lyz menyelidik.
"Berhenti mewawancaraiku, atau aku akan memintamu mengembalikan baju, dan tas yang—" belum sempat El menyelesaikan kalimatnya, Lyz segera menghilang dari sana. El tertawa menanggapinya.
El menuruni anak tangga. Ia memutuskan untuk ke taman depan panti, sebelum kembali ke apartemennya. Di sana, El tidak sengaja melihat seorang wanita ke luar dari dalam mobil dan berjalan menghampiri pria bernama Chris yang tengah melambai pada wanita itu. El seketika iseng memfotonya, kemudian mengirimkan gambar tersebut kepada Lyz.
Anda: [Pangeranmu ternyata sudah punya kekasih, Lyz.]
Kalimat itu sengaja El tambahkan di bawah gambar yang ia kirim kepada Lyz.
Setelah iseng mengirimi foto itu, El kembali melihat ke arah sepasang kekasih itu. Pria itu tampan, dan wanitanya cantik. Sungguh pasangan yang sempurna. El tiba-tiba teringat Max. Terakhir kali bertemu dengannya adalah saat di acara amal. El menelepon Max,
"Hallo Max. Max, bagaimana harimu?" ucap El saat pria itu mengucapkan Hallo.
"Aku baik, dan hariku menyenangkan El. Sudah tidak ada salah paham lagi di antara aku, dan juga Ibu."
El senang mendengar kabar baik dari Max. Ia tahu, bahwa ada yang tidak beres tengah disembunyikan oleh wanita bernama Ambrose. Tapi syukurlah tidak terjadi sesuatu yang buruk di antara Max, dan Nyonya Crowns.
"Aku senang mendengarnya, Max."
"El, aku merindukanmu."
Satu kalimat itu, sukses membuat El terdiam untuk beberapa detik.
"El, apakah besok kamu ada waktu luang? Aku ingin bertemu denganmu besok, aku rindu."
El tertawa pelan, ia senang seorang pria tampan, dan kaya merindukan dirinya. Rasanya aneh, karena mendambakan seorang pria tampan, kaya raya, dan baik hati hanya ada dalam mimpi masa remajanya saja. El tahu diri, dia bukanlah siapa-siapa, tidak mungkin ada kesempatan baginya untuk mendapatkan seorang pria kaya.
"Kenapa kamu tertawa, El? Apa menurutmu, rasa rinduku ini lelucon, hm?"
"Tidak, bukan begitu, Max. Aku hanya merasa senang, karena seorang pria sepertimu merindukan wanita biasa sepertiku."
"Jangan pernah merasa rendah, El. Kamu itu istimewa, aku tidak suka kamu merendahkan dirimu. Berjanjilah padaku, kamu tidak akan seperti itu."
Sekali lagi satu kalimat Max membuat El terdiam.
"Aku janji, Max. Terima kasih ...."
"Jadi, apa jawabanmu, El?"
"Ah, kamu rupanya rindu berat padaku ya?" goda El. Giliran Max yang tertawa.
"Aku yang akan datang ke rumahmu, Max. Aku juga sudah ada janji dengan ibumu. Jadi, bersabarlah, dan tunggu aku."
"Aku akan, El."
"Baiklah, Max ... sampai jumpa, dan maaf membuat rindumu bertambah."
Setelah mengatakan itu, keduanya tertawa, pada detik berikutnya sambungan telepon dimatikan. El segera menancapkan gas mobilnya.
***
El menjatuhkan tubuhnya ke tempat tidur, ia mengambil ponselnya, memeriksa foto pria bernama Chris yang baru saja ia temui di panti asuhan. El yakin pernah bertemu dengan Chris, tapi ia tidak dapat mengingat di mana. El memandangi wajah Chris hasil fotonya secara diam-diam, nampak dari jauh dan blur. Karena mata El terasa sangat berat, El pun tertidur.
"Jangan menangis, maafkan aku ... aku hanya bercanda, aku bukannya tidak ingat dengan ulang tahunmu, sungguh."
"Kamu pembohong!" El menangis sambil mengucapkan kalimat itu.
Seorang pemuda tampan mendekatinya, menyingkirkan kedua tangan El mengusap-usap kedua pipinya yang basah oleh air mata, lalu pemuda itu menyentuh perlahan kedua pipi El menghilangkan jejak air matanya.
"Aku tidak bohong, lihat ...." pemuda tampan itu mengeluarkan sebuah kalung dengan batu emerald menghiasi kalung tersebut, dari saku celananya. Kalung itu sangat cantik.
"Ini untukmu, hadiah ulang tahunmu," ucap pemuda tampan itu, kemudian memakaikan kalung itu di leher El. Saat pemuda itu memakaikan kalung ke leher El, jarak mereka hanya 5cm.
"Berhentilah menangis, hm." Setelah mengucapkan kalimat itu, pemuda tampan itu mencium El. Ini adalah kali kedua pemuda tampan itu mencium El. Ciumannya lembut.
"Kenapa kamu menciumku?" tanya El, saat bibir pemuda itu menjauh.
"Karena aku tidak ingin kamu menangis."
Detik berikutnya, pemuda tampan itu sekali lagi mencium El. Kali ini ciuman pemuda itu membuat tubuh mereka berguling di rumput.
Tiba-tiba El terbangun, serta-merta ia mengaduh karena tubuhnya jatuh dari tempat tidur.
El segera naik ke atas tempat tidurnya, mengambil ponselnya. Ia yakin, samar-samar pemuda tampan dalam mimpinya itu memiliki rupa yang sama dengan pria bernama Chris yang ia temui di panti.
Mimpi itu, bukanlah mimpi biasa. Melainkan, cuplikan masa lalu El saat di panti. Hanya saja, ia tidak benar-benar mengingat tentang pemuda itu, juga tidak benar-benar ingat mengapa ia tidak dapat mengingat pemuda itu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro