Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 13 | Rahasia 2

Halo, apa kabar???

Sebelumnya maaf ya, baru up lagi, semoga kalian suka ^^

***

Sudah dua minggu El, dan Max dekat, dan menjalin hubungan pertemanan. Selama itu pulalah, El mulai mengetahui sedikit tentang pria itu. Max adalah pria yang baik, sosoknya dewasa, dan mengayomi. Berada di dekat Max membuat El merasa nyaman. El belajar banyak hal dari pria itu, terutama tentang cara berbagi.

Max, dengan kekuragannya tetapi memiliki kelebihan pada suaranya yang sangat indah, dan merdu. Max, pria itu berkata, "Jika kamu tidak memiliki uang, atau harta untuk kamu bagi dengan yang membutuhkan, kamu bisa berbagi hal lain yang kamu miliki untuk membuat mereka yang membutuhkan merasa bahagia, El." Seperti dirinya, dengan suaranya.

Max, pria itu hebat dengan caranya sendiri. Ia secara fisik tidak sempurna, bahkan tidak lagi mampu bekerja, dan mengendalikan perusahaan besar yang telah ia bangun tanpa melibatkan keuangan, dan nama besar keluarganya. Tetapi, bukan berarti dia tidak dapat melakukan hal lain untuk tetap bekerja.

Saat ini, pekerjaan yang ia lakukan tidak lagi berhubungan dengan perusahaan, melainkan menjadi guru musik privat untuk anak-anak. Max juga menjadi relawan yang menyumbangkan suaranya untuk sekedar menghibur anak-anak di panti asuhan, maupun di rumah sakit. Bukanlah hal mahal yang dia lakukan untuk menghibur, dan membuat anak-anak itu bahagia, cukuplah dengan musik, dan suaranya saat bernyanyi.

Sayang sekali bukan, pria baik sepertinya justru ditinggalkan oleh calon istrinya hanya karena dia buta? El tersenyum miris saat melihat wajah bahagia Max yang kini sedang berada dikerumunan anak-anak saat ia selesai dengan lagunya.

Sore ini, El bersama Max pergi ke acara amal yang dilakukan oleh perusahaan CR Group yang bekerjasama dengan perusahaan milik keluarga Crowns. El diutus oleh David sebagai perwakilan perusahaannya, sedangkan Max adalah perwakilan dari rekan bisnis CR Group yang juga ikut menjadi pengisi acara dalam amal tersebut.

El tidak dapat berhenti mengambil foto Max yang tengah berbahagia bersama anak-anak. El yakin, pria itu pasti menyukai anak-anak, dan pria sepertinya tentu akan sangat mencintai keluarganya kelak.

"Anda baik-baik saja, Nona El?" Suara Ian seketika membawa El kembali sadar bahwa, kenyataan kadang kala tidaklah seindah apa yang diharapkan, begitulah setidaknya perjalanan cinta pertama dirinya yang kandas begitu saja dengan Evan, yang ternyata juga menimpa pria buta malang bernama Max.

"Kamu tidak jatuh cinta padanya kan, Nona?"

Jeda. Saat Ian mengucapkan kalimat itu, El memandang lurus ke mata Ian. "Max itu pria yang baik, Ian. Bukanlah suatu hal yang mungkin, jika seorang wanita jatuh cinta padanya."

Ian mengangguk.

"Tunggu dulu, jangan-jangan kamu ...." El tiba-tiba berpikir untuk menggoda Ian, "Kamu tidak cemburu kan, Ian?"

Perkataan spontan El yang disambut ekspresi tidak terbaca di wajah Ian.

"Ah, atau mungkin kau kecewa, karena aku mungkin akan jatuh cinta pada Max, dan bukan padamu, ya?" El masih saja menggoda Ian. Namun segera El hentikan, saat El melihat Max akan menuruni tangga. Dia segera menghambur ke arah pria itu untuk menolongnya.

"Biar kubantu, Max," ucap El, melingkarkan tangan pada lengan Max.

"Terima kasih, El." Pria itu tersenyum.

"Max," sapa seorang wanita menghampiri mereka.

El menatap wanita itu. "Siapa, ya?" tanya El, karena sepertinya El tidak pernah bertemu dengan wanita itu sebelumnya, saat di rumah Nyonya Crowns, saat ia diperkenalkan pada semua kerabat baik itu bibi, paman maupun saudaranya Max. Karena, jika wanita itu kerabat Nyonya Crowns, pastilah El mengenalnya.

Wanita itu tidak menjawab. Wanita itu justru berjalan perlahan mendekati mereka.

"Max, kamu masih ingat padaku, kan?" tanya wanita itu saat jarak mereka mulai terkikis.

El merasakan tubuh Max seketika kaku, tangan pria itu mencengkram tangannya.

"Ambrose," ucap Max lirih.

Wanita itu tiba-tiba datang dalam hidup Max, tepat saat pria itu baru saja akan memulai lembaran baru. Mencoba mengisi hatinya yang telah lama kosong dengan seorang wanita yang selama empat belas hari terakhir ini selalu ada di sampingnya, membuat Max merasa hidupnya penuh tawa dengan aroma cokelat manis yang mengisi indra penciumannya, mengganti aroma kopi hitam, yang pahitnya begitu gentar di lidah.

Max, yang mulai melupakan kelamnya masa lalu, saat hari-harinya hanya dihiasi oleh warna hitam, saat ia kehilangan pengelihatannya, juga rasa sakit saat wanita yang akan menjadi istrinya—wanita yang ia yakini akan terus menemani, dan mendukungnya saat suka maupun duka—wanita itu justru meninggalkannya tanpa kabar.

Waktu seakan mempermainkan Max. Pria malang itu tidak pernah tahu bahwa, perjalanan waktu akan membawa wanita masa lalunya itu kembali padanya seperti sekarang.

El, Max, dan Ambrose telah berada pada satu ruangan, ruangan yang terpisah tapi masih satu tempat yang sama dengan acara amal. El mengirim pesan pada Ian, supaya Ian tetap di acara amal sampai acara itu selesai.

Anda: [Ian, jangan pulang dulu, tolong tetap di sini sampai amal selesai. Aku ada keperluan bersama, Max. Aku akan menghubungimu lagi nanti.]

Lima belas menit sudah, tapi tidak ada satu katapun yang ke luar dari mulut mereka. Sampai akhirnya wanita bernama Ambrose itu menatap El, dia lalu berkata, "Bisakah, Nona meninggalkan kami berdua dulu?" Pinta wanita itu.

El mengangguk. "Tidak masalah." El baru saja melangkahkan kakinya, tapi pada detik berikutnya suara Max menghentikan langkahnya.

"Tetaplah bersamaku, El."

"Tapi, Max. Aku benar-benar harus bicara dengamu hanya kamu dan aku!" sergah wanita itu seraya menyentuh telapak tangan Max. Dia tidak ingin waktu pribadinya dengan Max terganggu oleh wanita yang bahkan dia tidak ketahui siapa.

"Aku tidak ingin, dia pergi. Kalau kamu tetap ingin bicara denganku, bicaralah, Am."

Jeda. Situasi ini benar-benar membuat El merasa sangat tidak nyaman.

"Max, aku ... Aku benar-benar minta maaf karena telah meninggalkanmu sebelum hari pernikahan kita. Aku ...." Wanita itu menatap El, dan Max bergantian. "Aku saat itu merasa terpuruk saat mengetahui kebutaanmu, dan saat keluarga korban menuntutmu atas kematian salah satu pegawaimu. Aku, aku benar-benar takut kalau kamu akan dipenjara, dan meninggalkanku sendiri."

Wanita itu menarik napas panjang kemudian mengembuskannya perlahan. "Sebelum itu terjadi, sebelum kamu dipenjara, dan meninggalkanku. Aku memutuskan untuk pergi. Aku, mencintaimu Max, tapi aku tidak ingin anakku lahir, dan mengetahui bahwa ayahnya adalah seorang narapidana."

"Tunggu, apa katamu tadi, Am? Anak? Anak siapa?" Max benar-benar terkejut saat Ambrose mengatakan anak. El sama terkejutnya dengan kalimat terakhir wanita itu tentang anak, tetapi dia tidak sepenuhnya mengerti permasalahan, yang dibicarakan oleh Max, dan wanita bernama Ambrose. Detik berikutnya wanita itu terisak.

Max secara spontan memeluk wanita itu, membiarkan wanita itu menangis dalam dekapannya, mengelus lembut rambut panjang wanita itu. Max yakin ada sebuah rahasia yang tidak pernah diketahuinya tentang Ambrose, karena biar bagaimanapun Max sangat mencintai wanita itu, cinta yang sama besarnya dengan wanita itu mencintai Max. Jadi, saat Ambrose menghilang dari hidupnya, itu adalah satu hal yang tidak mungkin, kecuali terjadi satu hal yang tidak diketahuinya.

El benar-benar kebingungan, dia hanya mematung di tempatnya, seolah menjadi seorang penonton dari film romantis yang mengandung bawang. Tangis Ambrose mulai reda, ia mulai bercerita kembali.

"Iya Max, anak ... Saat itu, aku sebenarnya ingin memberitahukan tentang kehamilanku padamu. Tapi, aku sangat ketakutan saat keluarga pegawaimu yang menjadi korban kecelakaan di lokasi proyek, menuntut keadilan. Aku sangat takut kamu akan dipenjara. Aku saat itu sedang hamil, Max ...." Kalimat wanita itu menggantung, belum tuntas. Max, dan El masih menyimaknya.

"Selain itu, ibumu, saat tahu aku hamil, dia memintaku untuk meninggalkanmu. Ibumu memberiku uang, dia memintaku untuk menggugurkan kandunganku, dan supaya aku pergi dari hidupmu."

"Tunggu, a—apa maksudmu?" El memutus penjelasan Ambrose. El sangat yakin, Nyonya Crowns tidak mungkin melakukan hal sekeji itu, tidak mungkin Nyonya Crowns tega meminta pada seorang calon Ibu, yang merupakan calon menantunya untuk membunuh janin tidak bersalah.

"Jika kamu tidak percaya, kamu bisa bertanya langsung pada ibumu, Max."

"El, tolong telepon ibuku. Jika sudah tersambung, tolong berikan padaku," pinta Max.

El segera melakukan apa yang baru saja Max minta padanya, El yakin Ambrose pasti berbohong. El sangat percaya pada Nyonya Crowns, wanita tua malang itu pasti namanya sedang digunakan oleh Ambrose untuk mengambil simpati Max. El yakin Ambrose sedang memperdaya Max untuk satu tujuan.

"Halo, Nyonya Crowns, ini El. Max ingin berbicara denganmu, Nyonya."

"Ibu, aku ingin bertanya satu hal padamu, aku ingin jawaban jujur darimu. Jadi, tolong jawab aku dengan jujur, dan cepat, Bu. Aku tidak ingin Ibu merekayasa jawabannya."

"Ada apa, Sayang?"

Max baru saja menghela napas sebelum ia kembali berkata, "Apa benar sebelum Am pergi, Ibu memberikannya uang?" tanya Max, nada suaranya terdengar bergetar.

Max hanya ingin tahu kebenarannya, Max yakin, ibunya tidak mungkin sampai hati melakukan hal keji seperti itu, mengingat dari ibunyalah ia belajar berbagi dengan orang-orang yang membutuhkan. Jadi, jika apa yang dikatakan Ambrose ternyata terbukti salah, maka Max ingin wanita itu benar-benar pergi dari hidupnya, dan terutama supaya wanita itu meminta maaf pada ibunya karena telah mencemarkan nama baiknya.

"Jika kamu bertanya, apakah Ibu memberikan uang pada Ambrose sebelum dia pergi maka ...." Sebelum melanjutkan kalimatnya, Nyonya Crowns mengembuskan napas berat, dan suaranya terdengar jelas di genderang telinga Max.

"Iya, Max, Ibu memberinya sejumlah uang."

Jawaban yang sangat tidak ingin Max dengar dari ibunya. Detik berikutnya, kentara sekali ada kemaraan pada air wajah Max, satu telapak tangan memegang ponsel El, satunya lagi terlihat terkepal kencang menahan amarah. Seketika sambungan dimatikan oleh Max.

Ujung kalimat Nyonya Crowns itu sukses membuat Max terluka sangat parah, luka yang bahkan tidak akan terdeteksi oleh peralatan canggih di dunia kedokteran manapun. Luka sayatan yang sangat dalam tepat di tengah hatinya, dan sayang sekali luka itu dibuat oleh Ibu Max sendiri. Luka yang belum lama ini terobati, meski belum benar-benar sembuh, justru kembali merekah menambah dalam luka lama yang telah dibuat Ambrose dulu, dan menambah luka baru yang membuatnya semakin besar.

Max benar-benar tidak menyangka bahwa ibunya tega berbuat hal keji. Max, pria itu meninggalkan ruangan, setelah minta maaf kepada Ambrose terlebih dahulu. El tidak mengerti kenapa, tapi dia mengikuti Max, dan mengejar pria itu. El yakin, satu hal buruk baru saja terjadi, dan akan ada hal buruk lain yang akan terjadi.

"El, bisakah kamu mengantarku ke atap gedung ini?"

"A—apa? Untuk apa, Max? Jangan macam-macam! Kamu mau apa di atap gedung?" El sungguh takut, El takut pria malang itu melompat dari atas gedung. Karena bair bagaimanapun, kondisi Max saat ini sangat depresi karena mengetahui secara bertubi-tubi, tentang seorang anak yang dikandung Ambrose, tentang alasan kenapa wanita yang sangat ia cintai meninggalkannya, juga tentang kondisinya yang menjadi buta dan tidak berdaya.

"Aku tidak akan melakukan apapun, El. Hanya, tolong antar aku ke sana."

El tahu, pria itu sungguh-sungguh. Jadi, El mengantarnya, membawa Max ke atap.

***

Kali pertama aku melihat seorang pria menangis, dia adalah Maxim Crowns. Aku tidak sepenuhnya mengerti, tapi yang aku tahu, dia adalah pria malang yang baru saja bertemu kembali dengan mantan tunangannya, calon istirnya yang pergi meninggalkannya saat ia sedang dalam kondisi terpuruk.

Wanita itu, baru saja mengatakan sebuah fakta yang mengejutkan, yang sekali lagi membuat Max jatuh dalam sebuah laut tanpa dasar, membiarkan pria malang itu terus tenggelam hingga kadar oksigen dalam tubuhnya menipis, dan perlahan-lahan membunuhnya.

Mengkin itulah sebuah kalimat yang tepat untuk menggambarkan kondisi menyedihkan, Max. Memangnya apa yang bisa dilakukan dua orang yang patah hati karena rasa kecewa?

Aku tidak yakin dengan apa yang tengah kulakukan saat ini, yang jelas aku mengambil posisi tepat di hadapannya, berjinjit, kemudian kedua telapak tanganku merangkum wajahnya, kuhapus jejak airmatanya dengan kedua ibujariku, dan pada detik berikutnya aku menciumnya.

Max diam saja saat aku menciumnya, tapi aku merasakan bibirnya mulai bergerak, dan entah sejak kapan kami berciuman, hingga aku sadar atas perbutanku. Aku melepaskan bibirku, membuat sedikit jarak darinya. Tanganku turun dari wajah ke dadanya. "Semuanya akan baik-baik saja, Max." Satu kalimat pendek yang aku ucapkan, lalu Max berlutut memeluk perutku. Aku membiarkannya.

Aku merasakan baju yang kukenakan basah, Max, dia menangis lagi. Dia bukan pria yang cengeng, aku tahu itu. Dia hanya terluka lebih banyak dari sebelumnya.




Terima kasih untuk yang sudah baca, memberikan komentar dan juga untuk yang sudah kasih bintang ^^

tetap dukung DBY ini ya, 

terima kasih banyak-banyak semuanyaaa...  ^^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro