BAB 11 | Masalah
Hari ini sesuai dengan instruksi David, Chris pergi menemui Aretha. Chris, dan Aretha saat ini sedang duduk di sebuah kafe, tengah menunggu pesanannya datang.
"Apa kamu tidak masalah bertemu denganku?" tanya Chris membuka pembicaraan.
"Maksudmu?"
"Kekasaihmu, tentu saja."
"Oh ... itu tidak masalah, aku sudah mengatakan padanya ini bagian dari perjanjian yang harus siap aku, dan kamu lalui sebelum mengeksekusi perjodohoan konyol ini, dia maklum. Tidak masalah."
Chris mengangguk, mengiyakan.
"Kamu sendiri, apakah wanita-wanitamu itu tidak keberatan kamu pergi dengaku?"
Chris spontan tertawa, kalimat Aretha seolah mengejeknya. "Tentu saja, tidak. Aku tidak pernah mengikat mereka pada sebuah hubungan. Jadi, tidak masalah selama mereka mendapatkan kesenangan, dan dibayar."
Aretha menaikkan satu alisnya, kalimat terakhir Chris membuat Aretha tidak suka. Entah kenapa sebagai seorang wanita, kalimat Chris itu begitu kasar. "Memangnya hanya mereka yang merasa senang? Kamu tidak senang setelah menikmati tubuh mereka, huh?" cibir Aretha, ia jelas tidak suka dengan pilihan kata yang diucapkan oleh Chris.
"Aku senang tentu saja. Aku tidak mungkin mencari para wanita itu untuk kubayar semalam jika aku tidak senang. Kamu puas?"
Aretha mengerling. "See? Inilah yang membuatku tidak akan jatuh cinta, dan tidak akan cocok denganmu, Chris."
"Begitupun denganku, Aretha. Kamu sebagai seorang wanita terlalu keras kepala, juga bermulut pedas," ucap Chris jujur.
Pria itu mengakui Aretha cantik dan seksi, tapi tidak untuk mulutnya yang membuat Chris merasa jengkel setiap saat.
Untunglah perdebatan di antara keduanya segera mereda saat pelayan membawakan makanan pesanan mereka. Kini baik Chris maupun Aretha sibuk dengan hidangannya masing-masing. Saat sedang menikmati hidangan dari kafe, tiba-tiba saja Aretha muntah.
"Ar, kamu baik-baik saja?" tanya Chris panik, ia refleks menepuk-nepuk pundak Aretha pelan.
"A—aku tidak apa, Chris." Aretha terbata, wajahnya seketika pucat.
"Pelayan!" seru Chris memanggil seorang pelayan untuk segera datang dan membersihkan muntahan Aretha. Segera setelah seorang pelayan datang, dia meminta tagihan yang harus dia bayar atas makanan mereka.
"Aretha, bertahanlah," ucap Chris masihmemberikan tepukan-tepukan di punggung wanita itu. Tidak lama pelayan lain datang memberikan tagihan kepada Chris. Segera membawa Aretha setelah sebelumnya meletakkan uang yang cukup banyak pada meja tempat mereka duduk tadi. Chris tidak ingin mengambil resiko, dia terlalu takut pada Aretha yang saat ini terlihat sangat pucat, dan tubuhnya bahkan keringat-dingin.
Chris menggotong tubuh Aretha ke mobilnya. Jika dalam keadaan normal, Chris yakin wanita itu akan segera membunuhnya dan menghujaninya dengan kalimat-kalimat pedas seperti biasanya. Tetapi kali ini Aretha diam saja, wanita itu begitu menurut saat Chris menggotong tubuhnya. Aretha benar-benar tanpa perlawanan, bahkan saat Chris menyeka keringat pada dahinya, serta saat pria itu meremas pelan telapak tangannya yang dingin. Tangan Chris gemetaran saat menyalakan mesin mobilnya.
"Jangan membuatku takut, Aretha!"
"Aretha, kamu masih bisa mendengarku kan?" tanya Chris memastikan kalau wanita itu tetap dalam keadaan sadar.
"Diamlah Chris ... teruslah menyetir."
Syukurlah kamu masih bersamaku, Ar.
Chris membagi fokus konsentrasinya, menyetir, dan melihat panik ke arah Aretha yang terbaring lemah di kursi sebelah kemudinya. Chris menancap gas, dan segera membawa Aretha ke rumah sakit. Setibanya di rumah sakit, Chris segera meminta perawat membawa Aretha agar segera ditangani oleh ahlinya.
Chris lupa bahwa seharusnya dalam keadaan genting seperti ini, ia harus segera menghubungi keluarganya, dan orang tua Aretha. Tapi, pria itu terlalu panik. Ini adalah kali kepanikan kedua saat sebelumnya sang Ibu tercinta juga mendadak lemah dengan wajah memucat, dan tubuh yang mendingin. Namun sudah terlambat, saat Chris, David, dan Tamar sampai ke rumah sakit, dokter menyatakan bahwa Carla Rivalles telah meninggal.
"Ya Tuhan, kumohon ... buat Aretha baik-baik saja. Kumohon, Tuhan." Chris terus saja berdoa.
Doanya tulus, dia benar-benar tidak ingin melihat orang kehilangan nyawa tepat di hadapannya lagi. Jadi, yang saat ini terus Chris lakukan adalah berdoa pada Tuhan untuk kesembuhan Aretha.
Tidak lama setelah tindakan, akhirnya pintu ruangan di mana Aretha berada terbuka. Seorang perawat meminta Chris untuk masuk ke dalam.
"Bagaimana Dokter, apa temanku, apa dia baik-baik saja?"
Chris masih terlihat panik, dia sungguh berharap mendengar jawaban yang menyenangkan dari dokter. Dokter itu tersenyum. "Anda tidak perlu khawatir, dia baik-baik saja," tutur dokter itu, Chris seketika dapat bernapas lega saat mendengarnya.
"O iya, Tuan ini siapanya pasien?"
"Aku temannya, Dok. Untuk biaya administrasi biar aku yang akan mengurusnya, karena aku yang bertanggungjawab."
Dokter itu tersenyum. "Bukan begitu maksud saya, Tuan. Pasien ini tengah mengandung, usia kandungannya diperkirakan baru empat minggu."
"APA?"
Hanya satu kata itu yang keluar dari mulut Chris, saat kata hamil terngiang di telinganya.
Tidak mungkin! Sejak kapan tepatnya aku ena-ena dengan Aretha? Bahkan membayangkannya saja, belum pernah. Jadi, mana mungkin Aretha hamil, iya kan? Itu tidak mungkin. Sederet kalimat pembelaan tercetus di benak Chris. Pria itu bingung bukan main dengan kalimat yang baru saja didengarnya dari Dokter.
Seperti orang bodoh, Chris terus saja berpikir, dan mengingat kapan tepatnya dia dan Aretha melakukan hubungan. Namun, tetap saja otak, dan memorinya tidak dapat memberikan jawabannya.
Chris masuk ke dalam ruangan Aretha, melihat wanita itu terbaring lemah di sana, tapi dia tidak pingsan, mata bulatnya itu menatap lekat ke arah Chris.
"Aku hamil, ya?" ucap wanita itu datar.
"Iya, kamu hamil, Ar. Tapi, aku sungguh yakin aku tidak pernah melakukan hubungan denganmu, tapi kenapa kamu bisa hamil?" Chris mengacak rambutku.
Aretha tertawa. Dia menertawai kepanikan yang kentara pada wajah tampan pria dengan iris mata cantik seperti langit cerah dengan dominasi biru yang indah.
"Kenapa kamu tertawa, Aretha?" celetuk Chris gemas dengan wanita yang terlihat tanpa daya pada ranjang rumah sakit. "Aku sungguh bingung, Ya Tuhan ... bagaimana mungkin kamu hamil, padahal aku belum melakukan ena-ena denganmu!" pekiknya kesal, dia bahkan mengayunkan tinjunya ke udara sambil lalu.
Aretha melempar bantal tepat mengenai wajah Chris.
"Berhentilah mengatakan hal-hal vulgar, Chris."
Chris sungguh marah, dia menatap Aretha dengan tatapan menghujam. Chris ingin mencekiknya, tapi ini rumah sakit, pasti ada banyak CCTV. Chris sudah cukup terkenal, bahkan sebelum masuk CCTV rumah sakit ini. Chris hanya dapat menggeram menahan luapan amarahnya.
"Tenang, Chris ... Dasar bodoh! Aku tidak akan sudi hamil denganmu, janin bayi yang kukandung bukan berasal darimu, tapi Justin."
Aretha baru saja menyebutkan nama, Justin. Seketika akal sehat Chris mencerna satu hal, Chris ingat Aretha pernah mengatakan bahwa dirinya tidak akan tertarik pada Chris karena sudah memiliki kekasih. Jadi, mungkinkah Justin adalah orang yang telah membuat Aretha hamil, kekasihnya?
"Justin, dia adalah ayah dari janin bayi yang kukandung, Chris." Aretha mengaku pada pria yang sudah menghujaninya banyak sekali perhatian yang tidak pernah dia sangka-sangka. Mungkin saja aku akan bergantung pada pria ini suatu hari nanti, aku yakin ada pria baik di balik wajahnya yang terlihat berengsek. Batin Aretha.
Chris duduk, dia ingin mendapatkan penjelasan langsung dari Aretha. Chris hanya ingin tahu kebenarannya, dia tidak ingin suatu hari Aretha, atau keluarga Forman menuntutnya atas tuduhan menghamili anak orang, dan tidak bertanggungjawab.
Aretha menceritakan, bahwa sudah satu tahun dia menjalin hubungan rahasia dengan Justin. Justin adalah pelayan di kediaman keluarga Forman, Justin adalah teman bermain Aretha semasa kecil. Diam-diam keduanya memiliki rasa suka, dan suatu hari Justin mengungkapkan perasannya pada Nyonya muda itu. Karena menganggap perasaan Aretha berbalas, dan tidak bertepuk sebelah tangan dengan Justin, akhirnya Aretha menerimanya.
Hubungan pertemanan antara Aretha, dan Justin berubah menjadi hubungan kekasih, yang tidak tiketahui oleh siapapun, hingga saat ini. Suatu hari, Aretha menyerahkan dirinya kepada kekaishnya itu. Pada hari berikutnya, kedua insan yang tengah dimabuk cinta itupun terus melakukan hal itu. Aretha bahkan tidak ingat apakah saat melakukannya dengan Justin, pria itu mengenakan alat pengaman atau tidak.
Tetapi, beberapa minggu lalu Aretha merasakan mual-mual, dia bahkan tidak juga mendapatkan haid. Aretha sudah menduga, mungkin dia hamil. Namun, dia tidak berani memeriksakannya ke rumah sakit.
"Wow, kamu luar biasa pintar, Areth," sindir Chris seraya bertepuk tangan.
Aretha tidak menjawab, dia tahu menjawab ucapan Chris hanya membuang-buang energinya. Pria di hadapannya itu sungguh bukan tipe pria yang mau mengalah terhadap seorang wanita, dia keras kepala.
"Jadi, apakah Justin sudah tahu kalau kamu hamil?"
Aretha menggeleng. "Saat aku muntah-muntah tempo hari, dan saat aku menduga aku hamil, aku belum memberi tahunya. Aku ingin kehamilanku dapat menyelamatkanku dari perjodohan kita, Chris."
Chris mengangguk, Aretha benar. Siapa tahu, dengan kehamilannya tersebut Kakak, dan juga Kakak iparnya tidak melanjutkan perjodohan dengan Aretha, dan membiarkan Aretha menikah dengan ayah si cabang bayi.
Semoga. Chris mendoa dalam hati.
"Terima kasih, Chris," ucap Aretha.
Chris hanya tersenyum. "Jangan berterima kasih padaku Aretha. Kamu berhutang padaku," celetuknya.
Aretha tertawa, melihat sisi lain pria arogan di hadapannya. "Aku baru tahu ada sisi malaikat pada dirimu, Chris," gumamnya.
"Apa? Kamu barusan bilang apa, Ar?"
Aretha menggeleng, dia lalu tersenyum. "Tidak ada. Aku lapar, boleh minta tolong belikan aku rujak buah, Chris?"
Chris mendengkus, dia kesal menghadapi perempuan hamil. Dia tahu kalau sebagian perempuan akan mengalami masa ngidam saat hamil, dia bahkan pernah dibuat repot oleh Sella saat wanita itu memintanya membelikan tahu gejrot pada jam sepuluh malam. Dia sampai dibuat mengelilingi kota untuk mencari makanan khas dari kota udang itu. Sella sampai menangis sesenggukan saat melihat Chris kembali ke kantor dalam keadaan tangan kosong dan kata maaf.
"Please, Chris."
"Iya, iya, baiklah." Akhirnya Chris mengalah.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro