Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 10 | Random Walk 2

El baru saja mengambil baju ganti dari apartemennya. Besok hari liburnya di perusahaan, jadi dia punya waktu sampai besok untuk menyelesaikan project Nyonya Crowns. Project ini diminta agar El langsung yang menanganinya, dan El harus bisa menjalankan serta menjaga kepercayaan yang sudah diberikan padanya baik oleh David maupun oleh Nyonya Crowns secara pribadi. Untuk itu, David meminta Sella menemani, dan membantu pekerjaan El.

Sella adalah sekretaris David, ia seumuran dengan David. Pengalaman kerjanya juga sangat baik. Pada kondisi ini, El sangat membutuhkan orang seperti Sella untuk meringankan pekerjaannya. Ian, tentu saja pria itu juga tidak luput dari perintah David agar menemani kedua wanita itu di kantor. Tugas Ian membantu menyiapkan apapun yang diminta oleh keduanya, serta menjaga keduanya selama mereka berada di kantor.

Sella bukan tipe wanita yang suka ikut campur, dan dia tipe orang yang tidak suka mengulik masalah orang lain, jika bukan dari orang itu sendiri yang langsung memberitahunya. Termasuk, masalah cinta segitiga antara El, Evan, dan Laury yang masih hangat diperbincangkan-pun, Sella tidak ingin ikut campur.

"Uruslah masalahmu sendiri, sebelum kamu urusi masalah orang lain." Kalimat pendek itu selalu menjadi pegangan utama bagi Sella, supaya tidak menjadi tukang gosip.

Satu hari berlalu begitu saja, pekerjaan El hampir finish. El melihat ada panggilan masuk dari Nyonya Crowns. Ia segera mengangkat panggilan tersebut, "Iya, Nyonya, ada apa?" tanya El.

Nyonya Crowns tipe wanita yang tidak suka berbasa-basi, jadi dia dengan lugas mengatakn pada El di telepon, "Datanglah ke tempat yang aku share alamatnya lewat pesan. Sebentar lagi orangku akan datang ke tempatmu, ikutlah dengan mereka, El." Setelah kalimat panjang itu, Nyonya Crowns mematikan sambungan teleponnya.

Sebelum jemputannya datang, El terlebih dulu pamit kepada David dan Sella untuk dinas luar bersama dengan Nyonya Crowns. Dengan berat hati, El pamit kepada Ian untuk memenuhi pekerjaannya terkait hubungan bisnis dengan Nyonya Crowns. El berjanji, dia tidak akan lama, dan akan segera kembali ke kantor setelah urusannya dengan Nyonya Crowns sudah selesai.

Jemari El lihai mengetik sebuah pesan kepada Ian.

Anda: [Nanti aku akan belikan kamu oleh-oleh, Ian.]

Setelah mengirim pesan kepada Ian, El lanjut mengirim pesan untuk Sella.

Anda: [Kak Sella, terima kasih atas semuanya. Oh iya, Kakak mau aku bawakan apa nanti?]

Sella: [Tidak masalah, Sayang, tidak usah merepotkan dirimu, pergilah. Ini bagian dari kerjasama perusahaan, jadi jangan kecewakan Nyonya Crowns. Tetap semangat ya, Sayang.]

El membaca pesan balasan dari Sella. Ada rasa hangat yang singgah di dada El, setitik butiran bening muncul di sudut mata El, dia segera mengusapnya. El bersyukur karena masih banyak orang-orang yang sayang padanya, di sisinya, mendukungnya.

Anda: [Terima kasih banyak, Kak Sella.]

Sella: [Sama-sama, Sayang. Take care, Hon.]

Selama seminggu perjalanan bisnisnya bersama Nyonya Crowns, sebelum pesta di kediaman Rivalles karena keberhasilan El menjalin kerjasama dengan Nyonya Crowns, dia sedikit banyak mengenal Nyonya Crowns. Salah satu pemilik perusahaan ternama itu hampir sama gilanya dengan David jika menyangkut tentang pekerjaan. Jadi, El tidak ingin membuang waktunya dalam bergegas menyiapkan barang-barang yang dia butuhkan nantinya.

Tidak lama setelah pesan dari Sella, ponsel milik El kembali berbunyi sebuah notifikasi tanda pesan masuk. El melihat nama Ian pada layar ponselnya.

Ian: [Tidak usah pikirkan oleh-oleh. Cepatlah kembali, Nona El.]

Sebuah bulan sabit terbit di wajahnya yang cantik. Segera El memasukkan ponsel miliknya kedalam tas. Setelah itu, El segera ke tempat parkir di mana orang Nyonya Crowns telah menunggu di sana. Detik berikutnya, El segera di bawa ke suatu tempat. Perjalanannya kurang lebih dua jam, dan itu sangat membosankan, karena orang Nyonya Crowns sangat serius dan tidak dapat diajak bicara, apalagi bercanda. Berkali-kali El mengembuskan napasnya.

Setelah lama menghabiskan waktu pada jalanan yang cukup macet, mobil yang membawa El, berhenti pada sebuah rumah megah yang hampir menyerupai sebuah puri dengan taman yang sangat luas. Taman itu begitu luas seperti lapangan golf, di tengah-tengah taman itu barulah berdiri sebuah rumah serupa puri, dan di belakangnya juga terhampar taman yang luas dengan sebuah labirin. Rumah itu jauh lebih besar dari rumah kediaman Rivalles.

Apakah sekarang aku memasuki negeri dongeng? Batin El, takjub.

Saat ini, El tengah memasuki ruang tamu, dan di sana sudah duduk Nyonya Crowns tengah menyantap makanannya, dan di sampingnya seorang pria tampan yang wajahnya mirip dengan Nyonya Crowns. Pria itu terlihat lebih tua dari El.

Aku yakin, pria itu seumuran dengan David. El membatin, menaksir usia pria itu.

Pria itu juga sama, tengah menyantap makanannya. Nyonya Crowns melirik sebentar ke arah El, mempersilakan tamunya itu untuk ikut bergabung dengannya di meja makan.

"Makanlah, El," ucap Nyonya Crowns, lalu kembali sibuk dengan makanan di hadapannya.

El tahu, bahwa tidak ada penolakan untuk Nyonya Crowns, ditambah lagi dirinya memang lapar. Jadi El mengikuti perintah Nyonya Crowns untuk makan bersama dengan mereka dengan hidangan yang sudah disediakan oleh tuan rumah.

Selama makanan di atas meja belum habis, selama itu pulalah suasana hening. Selang beberapa menit, sesi makan selesai. Seluruh piring, dan teman-temannya diangkut oleh para pelayan ke dapur. El gemas saat melihat ada noda di ujung bibir pria yang duduk bersebelahan dengannya, tangannya refleks mengambil tisu, lalu menyapukan tisu itu pada ujung bibir si pria, setelah sebelumnya ia mengatakan, "Maaf, Tuan, ada sisa makanan di sudut bibirmu." Tangannya mengusap lembut sudut bibir pria itu.

Pria itu nampak terkejut, begitu pula dengan Nyonya Crowns. Setelah El membersihkan noda di ujung bibir pria itu, El berkata, "Nah, sekarang sudah tidak ada lagi noda, sudah bersih," ucap El menyuguhkan senyum.

Pria itu berdeham sebelum berkata, "Te—terima kasih, Nona." Pria itu mengucapkan terima kasih dengan gugup, pandangannya ke depan, tapi bola matanya sama sekali tidak menatap ke arah El yang merupakan lawa bicaranya saat itu. Kali ini giliran Nyonya Crowns yang berdeham, El kemudian mengalihkan pandangannya dari si pria ke Nyonya Crowns.

"Jadi, El. Perkenalkan, pria yang duduk di sampingmu adalah putraku, namanya Maxim Crowns. Kamu boleh memanggilnya, Max."

El mengangguk, ia mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan pria itu, dia lalu berkata, "Namaku El, Tuan Max," kata El dengan penuh rasa bangga memperkenalkan dirinya. Tapi ternyata, uluran tangannya itu tidak disambut oleh pria bernama Max itu. Pria itu hanya tersenyum dengan pandangan lurus ke depan, tapi lagi-lagi tidak menatap El.

Ok, ini sangat menyebalkan, kenapa dia terus-terusan tidak memandangku. Dia pikir aku ini makhluk tak kasat mata, atau bagaimana, sih? Menyebalkan. El membatin, bibirnya mengerucut, dia kesal.

Nyonya Crowns yang melihat reaksi El berkata sambil menghampiri Max, "Dia tidak dapat melihatmu, El, Sayang ... Tidak juga melihatku, dan semua warna yang ada di dunia, kecuali warna hitam. Dia hanya bisa mendengarkanmu, merasakanmu, hanya itu." Satu kalimat itu, seketika membuat El merasa bersalah karena telah salah paham pada pria bernama Max itu.

"Ma—maaf, maafkan aku, Nyonya Crowns. Aku sungguh tidak tahu, maaf."

"Tidak apa, Sayang." Sebuah senyum terpatri pada wajah dengan keriput halus, namun wajah itu tetap terlihat cantik tidak lekang dimakan usia.

Nyonya Crowns menceritakan anak semata-wayangnya itu buta, karena ia mengalami kecelakaan di lokasi proyek. Kecelakaan itu membuat Max kehilangan pengelihatannya. Sejak saat itu, Nyonya Crowns merasa nasib buruk terus-terusan berdatangan terutama pada anaknya yang malang.

Max adalah pria yang mapan tanpa campur tangan Irina Crowns, ibunya. Banyak pihak yang kagum, dan menghormatinya, baik wanita maupun pria. Untung saja, Max bukanlah tipe pria yang memanfaatkan kelebihannya itu untuk sekedar bersenang-senang dengan wanita. Max tipe pria yang akan mencintai seorang wanita yang ia sayang dengan sungguh-sungguh. Karena itulah, Ambrose, mantan kekasih Max, wanita itu merasa menjadi wanita palingberuntung saat Max melamarnya.

Mereka sudah menjadi pasangan kekasih selama tiga tahun, dan pada akhirnya memutuskan untuk menikah. Tapi nahas, pernikahan itu tidak pernah terjadi. Adanya kecelakaan di lokasi proyek—proyek yang diketuai langsung oleh Max—mengakibatkan kebutaan pada diri Max. Hal itu pulalah yang membuat Ambrose melarikan diri, dan memutuskan hubungannya dengan Max serta dengan keluarga Crowns begitu saja, tidak ada kabar hingga sekarang.

"Aku turut prihatin, Nyonya Crowns." El benar-benar iba pada cerita Nyonya Crowns, ia tidak tahu bahwa hubungan percintaan yang terjalin selama tiga tahun dapat kandas begitu saja saat orang lain mengalami musibah, dalam hal ini musibah yang menimpa Max adalah kebutaan.

El menatap Max dengan kedua mata yang berkaca-kaca. "Aku yakin, Tuan Max, yang sebenarnya buta adalah Ambrose. Karena dia tidak dapat melihat ketulusanmu mencintainya, tidak dapat melihat setiap momen yang telah kalian lewati bersama, selama tiga tahun, dan seorang Ambrose juga buta karena dia tidak dapat melihat betapa tampannya dirimu." El selalu berusaha untuk mencari kata, dan kalimat yang baik untuk tidak melukai seseorang. Namun, tentang yang baru saja dia katakan pada Max, hal itu bukanlah sekedar rangkaian kata melainkan ketulusan, dan bukan juga sebuah godaan.

Max, pria itu memang tampan. Ya, walaupun jauh lebih tampan, Ian, memang. Eh tunggu, sejak kapan Ian jadi lebih tampan untukku. Ish, aku sudah tidak waras nampaknya! El membatin.

Pria itu tersenyum, wajahnya memperlihatkan raut senang, dan juga sedih secara bersamaan, dia berkata, "Terima kasih, Nona El."

"El," panggil Nyonya Crowns.

"Aku permisi sebentar," ucap El kepada Max, pria itu mengangguk. Segera El menghampiri Nyonya Crowns.

"Jadi, El, maksudku mengundangmu ke rumahku, tidak lain adalah aku ingin agar kamu menjadi teman putraku, Max. Teman yang dapat membuat Max melupakan Ambrose, dan seorang teman yang dapat membuatnya kembali tersenyum, dan melupakan kesedihannya. Aku mohon, El."

El terkejut melihat air wajah Nyonya Crowns yang penuh pengharapan kepadanya, begitu juga dengan kalimat permohonan yang terlontar dari mulut Nyonya Crowns membuat El tidak habis pikir. "T—tunggu, tunggu dulu, Nyonya Crowns ... jangan memohon padaku. Aku sungguh tidak pantas untuk itu. Aku akan berteman dengan Max, Nyonya Crowns, tanpa perintahmu ataupun permohonanmu, aku akan melakukan hal itu." Sekali lagi, El benar-benar tulus mengatakannya, El bukanlah orang yang pilih-pilih saat berteman.

Selama ini, dalam hidupnya dia selalu menghindari adanya permusuhan, dia selalu memikirkan banyak cara agar dirinya dapat diterima dengan baik, dan mendapatkan banyak teman. Mengingat, hidup sebatangkara itu sangat menyakitkan.

"Terima kasih, El. Aku tahu kamu orang yang seperti itu." Irina Crowns memeluk El.

El hanya tersenyum, ia kehabisan kata-kata. Di hadapannya kini ada dua orang, yang satu adalah seorang Ibu yang sangat mengharapkan agar anaknya dapat melanjutkan hidupnya, dengan penuh keceriaan. Di sisi lain, adalah seorang anak yang mencoba terlihat bahagia untuk ibunya. Juga, sisi seorang pria yang hatinya terluka karena nasib tidak membiarkan wanita yang dicintainya hidup bersama dengannya.

Kesepian. Satu kata itu yang terlintar di benak El saat melihat wajah sendu pria itu.

El merasa saat ini, pria malang itu sama malangnya dengan El yang baru saja dikhianati oleh dua orang yang dia cintai.

Jadi, bagaimanakah cara agar kedua orang patah hati ini dapat ceria kembali? Bagaimana caranya aku mengobati hati orang lain, sedangkan hatiku saja terluka? Tanya El dalam diamnya, ia merasa miris pada dirinya.

***

El baru saja tiba di ruangannya, saat itu ternyata bukan hanya ada Sella, dan Ian, juga Bos David, dan istirnya pun ada di situ. Mereka sedang mengobrol rupanya, tetapi El yakin topiknya bukan obrolan serius, karena saat El masuk tadi, mereka nampak tertawa.

"Ada apa ini, kenapa kalian semua berkumpul dan tertawa?"

Jeda. Semua orang di ruangan terlihat saling pandang. Air wajah mereka berubah menjadi cerah saat mendapati orang yang baru saja bergabung dengan mereka adalah El.

"Hay, El! Sini, Sayang, bergabunglah dengan kami. Kami baru saja membicarakan tentang Sella yang ternyata sedang hamil. Sella merayakan berita gembira ini dengan cemilan dan kue ini, mari bergabung, Sayang." Tamar menjelaskan, sementara Sella tersenyum dengan rona bahagia yang kentara pada wajahnya.

"Ya Tuhan, Kak Sella! Ini sungguh hal yang menyenangkan, selamat, Kak! Aku turut bahagia." El menghambur, dan memeluk Sella. Setelah memeluk Sella, tangan El bergerak dengan sendirinya mengelus perut Sella.

"Halo, Adik bayi, ini Kak El teman Mama," ungkap El seraya mengelus perut Sella dengan sayang.

"Nah, makanlah dulu, El, cicipi kue buatanku," ucap Sella.

Kembali mereka menikmati kudapan yang dibawa Sella, yang merupakan hasil buatan tangannya.

"Jadi, apa tepatnya yang kamu bicarakan dengan Nyonya Crowns?" David to the point.

"Oh, em ... ini tidak ada hubungannya dengan pekerjaan, Bos."

"Jadi, hubungannya dengan apa, Nona El? Kamu sudah diculik sangat lama oleh Nyonya Crowns, sedangkan kami di sini sibuk mengerjakan tugas yang harusnya kamu kerjakan. Lihat!" Ian menunjukkan tumpukan berkas-berkas hasil pekerjaan Sella yang ia bantu.

"Ian, kamu perlu meralat kalimatmu, aku tidak diculik. Jika aku diculik, aku tidak akan ada di sini sekarang, dan aku tidak akan pamit kepada kalian, kan?"

David, Tamar dan Sella cekikikan, entah kenapa melihat El dan Ian seperti melihat dua orang bocah yang sedang berkelahi merebutkan permen. Mereka menghentikan tawanya saat bergantian El dan Ian menatap mereka dengan galak.

"Tidak apa-apa, El, apapun yang kamu lakukan bersama dengan Nyonya Crowns sebagai salah satu bentuk kerja untuk menjalin kepercayaan mereka. Terima kaish," ucap David. El mengangguk, ada kepuasan tersendiri dari ucapan terima kaish yang diutarakan sang bos padanya, bentuk penghargaan atas kerjanya.

"Terima kasih banyak, Kak Sella," ucap El, seraya memberikan sebuah bingkisan yang sengaja El beli sebelum perjalanannya kembali. Dia juga sudah menyiapkan untuk David dan Tamar.

El memeriksa hasil pekerjaan Ian yang rapi. "Kerja bagus, Ian," puji El, dan memberikan senyuman untuk jeripayah Ian.

El merasa takjub karena ternyata seorang OB seperti Ian mengerti banyak hal terkait dengan pekerjaan kantor. Selain itu, Ian juga tinggal di sebuah apartemen kecil, bukan kos-kosan yang biasanya dihuni oleh para OB seperti Kevin. Ah sudahlah, mungkin itu karena Ian adalah pria yang pekerja keras, dan apartemen itu adalah haisl kerjanya. El berusaha untuk berpikiran positif tentang Ian.

"Hanya itu?" tanya Ian.

"Apa?" El pura-pura tidak mengerti, padahal dia juga sudah menyiapkan oleh-oleh untuk Ian.

"Aku sudah bekerja dengan baik, sementara Nona El hanya mengatakan kerja bagus, dan tersenyum?"

"Jadi?" tanya El.

Ian tersenyum lebar, ia menatap El, dan bosnya, secara bergantian. "Bolehkah aku libur?" tanyanya. Ia benar-benar merasa akhir-akhir ini pekerjaannya sungguh aneh, dan melelahkan, menemani wanita yang patah hati adalah hal yang melelahkan, lelah saat dia tidak dapat melakukan apapun, karena, setiap apapun yang dia coba lakukan selalu salah. Belum lagi pekerjaan lain yang dibebankan padanya selama El dinas luar bersama dengan Nyonya Crowns.

"Bagaimana Bos?" El bertanya pada David.

"Tentu saja, Ian, kamu mendapatkan hari liburmu."

"Terima kasih, Bos," kata Ian menatap El, dan David bergantian. Ian segera undur diri.

***

Chris pulang ke rumah, dia tidak melihat Kakak, dan juga Kakak iparnya di rumah. Dia menuju kamarnya untuk tidur. Rasanya baru sebentar matanya terpejam, suara kakaknya membuat Chris segera kembali terjaga.

"Terima kasih sudah menepati perkataanmu, Chris. Tetaplah jaga dia. Jangan merusaknya, seperti wanita-wanitamu yang ada di luar sana, ya?"

"Tentu saja, aku tidak akan begitu, Kak. Tidak akan! Lagi pula, dia bukan wanita tipeku, aku tidak tertarik dengannya. Aku hanya akan memantau, dan menjaganya sesuai perintahmu."

"Bagus, Dik. Aku percaya padamu. Lalu, tentang Aretha, aku berharap kamu bisa sering-sering bertemu dengannya."

"Iya, aku akan. Tapi tidak sekarang, aku sudah sangat mengantuk, aku lelah."

"Besok. Besok kamu temuilah Aretha. Aku akan mengatur tempatnya."

"Iya, iya, baiklah." Chris tidak ingin berdebat dengan kakaknya, dia hanya ingin tidur.

***

Aretha. Kamu terlalu banyak berharap padanya, Kak.

Lamunan Chris buyar, saat teleponnya berbunyi, tanda pesan masuk.

El: [Terima kasih banyak untuk semuanya, aku tidak tahu kalau pria sepertimu bisa sangat perhatian. Dan, maaf karena telah banyak menyita waktumu.]

Chris tidak membalas pesan itu. Pada detik berikutnya pesan lain mausk, dari pengirim yang ama.

El: [Ada sesuatu yang ingin aku berikan padamu, bisa kita bertemu nanti malam?]

El: [Aku tidak memaksa kok, kalau kamu tidak bisa hari ini juga tidak apa-apa. Bisa nanti lagi saat kamu ke kantor. Bukan hal yang mendesak.]

El: [Take your time.]

Chris membuka galeri, dan mencari sebuah foto, jarinya berhenti saat melihat gambar foto seorang wanita. Di dalam foto itu, wanita itu tengah tertidur pulas di ranjangnya. Chris terus memandangi wajah cantik yang ada pada layar ponselnya, wanita itu sangat cantik dengan wajah tidurnya, bulumatanya lentik, hidungnya mancung, dan bibirnya yang berwarna peach alami.

Wajah tanpa make-up nya benar-benar cantik. Chris mengagumi keindahan makhluk Tuhan yang ada pada galerinya. Hari itu, Chris mengambil foto wanita itu tanpa sepengetahuan dari si empunya foto, saat ia tengah tertidur, begitulah cara dia mendapatkan foto wanita itu.

Awalnya aku hanya iseng, siapa tahu foto ini dapat berguna untuk menggodanya saat sedang merajuk. Tapi, siapa sangka aku justru kecanduan saat melihatnya. Aku saat ini tidak yakin, tidak yakin pada diriku, mungkin aku sudah mulai suka, mungkin. Tapi coba saja kita lihat apakah perasaan ini suka sungguhan, atau suka karena kamu begitu seksi saat di foto? Jika perasaan aneh pada diriku tidak juga hilang dalam waktu dekat, maka aku akan menyimpulkan kalau aku mungkin suka padamu.

"Jangan buat aku gila karena dirimu terus saja muncul dalam benakku. Tolong bantu aku, tolong jangan siksa aku, hm?" Chris terus saja berbicara pada dirinya sendiri, sambil memandangi wajah cantik yang tersimpan di galeri ponselnya. Jemarinya refleks meraba wanita cantik pada ponselnya itu, dan seketika ia kesal pada dirinya sendiri. "Agh! Sial!" raungnya.

Sebenarnya dia sangat ingin bertemu dengan wanita itu, tapi kedua kelopak matanya teraa sangat berat. Namun, dia kesulitan untuk tidur. Chris melihat jam pada layar ponselnya, ini sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Dia beranjak dari tempat tidurnya, perutnya terasa lapar, mungkin itu salah satu penyebab yang membuatnya susah tidur. Jadi Chris memutuskan untuk ke dapur.

Saat Chris menuruni anak tangga yang terakhir, Chris terkejut saat melihat Henry, "Oh Ya Tuhan, Henry!" pekiknya, seraya mengelus dadanya.

"Ada yang bisa ku bantu, Tuan?"

"Aku lapar, Henry, bisakah kamu membuatkanku sesuatu?"

"Makanan atau minuman, Tuan?"

"Minuman saja, aku ingin secangkir cokelat panas. Tolong buatkan itu, aku menunggu di kamarku."

"Cokelat panas? Bukan Robusta?" tanya Henry dengan sebelah alisnya yang terangkat.

Chris menggeleng. Entah sejak kapan dia jadi kejanduan rasa cokelat panas. Hanry mengangguk pelan, dia lalu berkata, "Baik, Tuan."

Chris sudah kembali ke kamarnya, menunggu Henry membawakan secangkir cokelat panas untuknya. Tidak lama, Henry datang.

"Terima kasih, Henry."

"Tidak masalah, Tuan."

Henry baru saja akan meninggalkan kamar Chris, namun urung saat majikannya itu memanggilnya.

"Henry."

"Iya, Tuan, ada apa?"

"Aku ingin bertanya satu hal, tapi sebelumnya, tolong berjanji lah satu hal padaku, Henry," ucap Chris.

"Apa itu, Tuan?"

"Berjanjilah tidak akan menertawakanku, dan juga tidak akan memberitahukan kepada siapapun tentang apa yang akan aku katakan padamu, bisa lakukan itu?"

Henry diam sejenak, sejak kapan Chris, tuan mudanya itu sekarang bersikap lebih sopan dengan mengatakan tolong pada setiap perintahnya, merendahkan nada bicaranya yang selalu kasar tempo hari, serta terlihat lebih berhati-hati.

"Iya, Tuan."

Jeda.

"Begini Henry, menurutmu apa itu perasaan su—" Chris menghentikan kalimatnya, ada rasa malu yang tiba-tiba merasuki hatinya. Namun rasa penasarannya jauh lebih besar dari rasa malunya itu. Jadi, Chris kembali melanjutkan pertanyaannya yang belum selesai pada Henry yang tengah menunggunya.

Chris menelan salivanya dengan susah payah sebelum melanjutkan kalimatnya, "Menurutmu apa itu perasaan suka?" Akhirnya Chris berhasil menyelesaikan kalimatnya.

Henry terlihat terkejut, tapi ia berhasil menyikapi keterkejutannya itu dengan baik dan natural. Henry berdeham. "Suka itu ada banyak definisinya, Tuan." Henry, mulai mencoba menjawab pertanyaan dari Chris.

"Ketika kecil, Tuan muda tertawa, dan bahagia karena dibelikan mainan robot oleh almarhum Nyonya Carla, perasaan Tuan itu termasuk pada katagori rasa suka, Tuan. Atau saat Tuan muda diajak ke panti dan Tuan bertemu dengan sorang gadis yang baru kehilangan keluarganya, kemudian Tuan muda merasakan kesedihan yang sama, menaruh rasa simpati, dan Tuan muda rela untuk melakukan segala hal agar gadis kecil itu tertawa, itu juga termasuk definisi suka, Tuan Chris." Henry sengaja memberikan penekanan-penekanan pada kalimatnya saat memberikan penjelasan kepada Chris.

Chris terlihat manggut-manggut. Henry kembali melanjutkan penjelasannya, "Juga apabila, Tuan muda menaruh perasaan kasih pada seseorang, rasa kasih sayang itu juga dapat dikatakan sebagai suka." Henry menjelaskan berdasarkan pengalaman Chris sebagai contoh nyata untuk mendefinisikan kata suka yang ditanyakan oleh tuannya itu.

Setiap kali Henry memberikan contoh untuk mendefinisikan perasaan suka, ia melihat warna lain dari diri Tuan mudanya bukan lagi warna gelap dan abu-abu, karena rasa sedih, duka atau kehilangan sang Tuan. Warna yang sudah lama tidak nampak dari diri Chris, warna-warna itu adalah—malu, tertawa, dan bahkan warna suka itu sendiri. Henry yakin, Tuan mudanya itu tengah jatuh cinta pada seseorang.

Wajah Chris terlihat lebih cerah, ceria dan bahagia. Henry senang, Chris yang penuh warna cerah dalam hidupnya sebelum Nyonya Carla meninggal dunia, mungkin akan segera terlihat lagi pada diri Chris hari ini. Semoga, Tuan muda bisa kembali ceria seperti dulu lagi, Henry membatin memanjatkan doa.

"Kenapa kamu tersenyum, Henry?" Chris mendelik kepada lawan bicaranya. Ada rasa malu sekaligus kesal melihat Henry yang senyum-senyum sendiri.

"Senyum itu tidak ada dalam perjanjian, Tuan Chris." Henry dapat membuat Chris mati gaya, tidak berkutik.

Satu kalimat itu begitu telak, dan itu membuat Chris bebar-benar harus membuat Henry segera keluar dari kamarnya sebelum pria tua itu mengejeknya.

Seolah tahu jalan pikiran tuannya, Henry berkata, "Baiklah, Tuan. Jika tidak ada lagi yang Tuan butuhkan, aku permisi."

Henry baru saja undur diri, dan menutup pintu kamar Chris.

"Apa-apaan tadi itu? Apa mungkin selama ini Henry memiliki kekuatan indra keenam, dan dapat membaca pikiranku yang baru saja ingin mengusirnya?" Chris menggaruk kepalanya meskipun tidak gatal.

Henry, si pria tua itu mengalahkanku 2—0, ini memalukan. Sutau hari aku akan membalasnya. Janji Chris dalam hati, kemudian dia menghabiskan cokelatnya yang sudah mulai dingin.

Mungkin, Henry benar, dan mungkin aku juga benar, mengenai perasaan sukaku padanya. Benar saja, setelah perutnya terisi secangkir cokelat hangat, mata Chris perlahan-lahan terpejam dan dia tertidur.



***

Terima kasih kepada semua yang sudah membaca dan mendukung cerita DBY ini...

Saya berharap, ceritanya tidak membuat kalian bosan... (semoga).

saya juga berharap kalian terus mendukung cerita ini, karena dari dukungan kalian jugalah saya semangat melanjutkan ceritanya. 

terima kasih banyak-banyak semuanya ^^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro