Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 8

"Oke Re. Aku akan menghubungi bu Baskoro dan pak Restu untuk konsultasi berikutnya, kau urus saja sisanya ya. Aku tidak lama, hanya makan siang bersama kawan setelah itu aku akan kembali ke kantor."

Marsa menatap lurus ke kebun samping rumahnya, yah sekarng dia berada di teras, mengurus sedikit agenda yang berganti karena sebuah pesan.

"Kamu gila ya, apa sih yang ada di pikiranmu sekarang. Batalkan sekarang juga!" Nada suara tinggi Theo menyita perhatian iris mata Marsa. Dia berjalan masuk disambut tatapan kaget dari sang suami.

"Kenapa sayang? Kok tumben marah-marah? Siapa tadi yang telepon?"

"Bukan siapa-siapa kok, hanya urusan kerjaan, biasalah pasti ada saja yang gak sesuai kemauan," jawab Theo singkat sesekali matanya melirik ke kiri. Marsa sadar ada yang tidak beres dengan suaminya, dia hafal betul kebiasaan Theo jika berbohong.

"Oh," selidik Marsa.

"Jangan cemas berlebihan nanti keriputnya nambah lho," lelaki itu pengecup dahi Marsa berusaha menarik perhatian istrinya kembali, dia sunggu tidak ingin Marsa tahu dia ada main di belakangnya. Marsa itu istri sahnya, dan Calista hanya kesenangan sesaat, dia tidak mungkin membuang Marsa begitu saja.

Sebenarnya telepon yang Theo terima tadi berasal dari Calista. Wanita itu ingin mengakhiri pernikahannya dan dia ingin Theo bertanggung jawab untuk menikahinya setelah dia resmi bercerai. Jelas, Theo menolak hal itu mentah-mentah.

"Dinginkan dulu kepalamu. Sampai kapanpun aku tidak bisa mengabulkan permintaanmu. Semua imej yang aku bangun di sosial media akan hancur berantakan kalau hal itu sampai tejadi. Karirku bakal hancur, apa kau sadar?" Sebuah pesan singkat meluncur cepat ke ponsel Calista. Wanita itu menerimanya dengan perasaan kecewa. Dia berfikir Theo benar-benar peduli padanya tapi apa ini.

"Aku tidak peduli, aku punya banyak uang jadi ayo kita menikah," balas Calista, sambil mengirmkan juga foto dirinya menggunakan Lingerie warna hitam, kontras dengan kulit putihnya. Sungguh penampilan yang membuat mata lelaki manapun tak berkedip.

"Shit, dia gila, tapi sangat menggoda," gerutu Theo "Agh, aku menginginkannya"

"Sudah mau berangkat sayang?" Marsa sibuk mematut diri dengan kemeja putih bermotif bunga dibalut rok hitam selutut. Penampilan formalnya saat bekerja.

"Iya, bagaimana denganmu?"

"Masih jam sembilan, mungkin aku akan menemui bu Baskoro dahulu," jawab Marsa. Bu Baskoro merupakan salah satu client pentingnya. Wanita paruh baya yang menggugat cerai suaminya. Padahal menurut Marsa kehidupan bu Baskoro sudah sempurna dengan anak-anak yang sudah bekerja dibidangnya masing-masing.

"Aku duluan ya Yang, tiba-tiba ada panggilan penting. Kamu semangat kerjanya. Oh iya kamu janjian dengan Calista saat makan siang kan. Titip salam ya buat dia." Dengan sigap Theo mengambil kunci mobil dari tempatnya, bergegas melajukan mobil menuju The Hermitage, a tribute portofolio hotel.

Hotel mewah itu menjadi saksi kesenangan sesaat Theo dan Calista. Mereka bercumbu mesra, sama sekali tidak berfikir bahwa ada suami dan istri masing-masing yang setia menunggu.

"Kau itu sungguh keterlaluan. Bisa-bisanya menggodaku saat ku bersama Marsa. Lalu apa-apaan keinginan berceraimu itu?"

"Sudahlah Theo, lupakan semua hal itu. Ayo puaskan aku dulu. Aku juga pasti akan membuatmu puas." Calista memangut bibir Theo, lelaki itu juga tidak mau kalah, permainan baru aja dimulai bagi Theo.

Tak terasa waktu singkat mereka lalui dengan sangat menyenangkan. Setelah membersihkan diri di kamar mandi Calista berjalan menuju lemari di samping ranjang. Dia mengambil cambuk. Sebenarnya ini bukanlah cambuk untuk mencampuk kuda atau emacamnya. Lebih tepatnya cambuk yang digunakan untuk kenikmatan.

"Ngapain kau membawa benda itu Cal? Masih belum puas?" tanya Theo, alis matanya berkerut. "Mau mencoba permainan ekstrem?"

"Hahaha, bukan begitu," gelak tawa tumpah di ruangan 5x5 meter itu.

"Bisa kau membantuku, cambuk aku sekeras mungkin hinga meninggalkan bekas."

"Hah yang benar aja, mana mungkin aku melakukan hal absurb seperti itu. Kulit putih mu begitu berharga sayang." Theo mulai mencium tengkuk Calista kembali, namun garis itu kali ini tidak memperdulikannya. Dia bersikeras meminta Theo mencambuknya. Dengan berbagai rayuan mautnya, Calista sudah pasti dapat  membuat lelaki itu melakukan apapun yang dia inginkan.

Theo yang masih bingung dengan tindakan Calista ini hanya pasrah mencambuk Calista beberapa kali. Memar biru mulai terlihat di punggung serta tangan kanan Calista.

Senyum merekah menandakan wanita itu sangat puas dengan tindakan pasangannya itu. Setelah dirasa cukup, Calista mulai mengenakan baju casual dengan jaket yang bisa menutupi memar di tubuhnya.

"Kau tidak apa apa?"

"Tentu saja, sayang. Aku pergi dulu menemui istri tercintamu. Aku akan menghubungimu lagi nanti. Lalu terimakasih ya tadi itu sangat nikmat." Calista berjalan meninggalkan hotel menuju resto yang di janjikan Marsa. Kurang lebih lima belas menit perjalanan akhirnya dia tiba di tempat makan hits itu.

"Hai Sa. Sudah lama? Maaf macet," sapa Calista. Marsa sudah tiba kurang lebih sepuluh menit yang lalu, di hadapannya sudah tersedia minuman dan beberapa makanan.

"Gak masalah kok. Ayo pesen dulu aja. Mbak..." Wanita berkemeja putih itu melambai ke arah pelayan ta jauh dari tempatnya duduk. Seorang wanita tergopoh-gopoh berjalan menuju tempatnya lalu menyodorkan buku menu dan siap untuk menulis bebebrapa pesanan. Calista menerimanya dengan enang hati membolak-balik beberapa halama lalu menyebutkan nama makanan dan minuman yang dia inginkan.

"Jadi?"

"Em, bagaimana ya memulainya? Aku sendiri bingun mau cerita dari mana," Calista tampak sedih, kekecewaan terpancar jelas di wajahnya.

"Coba ceritakan dulu mengapa kau ingin bercerai dari Deren. Bukankah kalian ini sangat harmonis?"

"Yah, mungkin orang melihat hubungan kami itu tidak bermasalah, bahkan lebih condong ke arah bahagia. Tapi tidak dengan ku. Kau tahu Deren itu memiliki sisi yang kasar Sa. Aku tidak tahan. Bertahun-tahun aku menyimpannya sendirian. Tapi kali ini dia benar-benar udah melewati batas," ungkap Calista, airmatanya mulai menetes membasahi pipinya yang kemerah-merahan.

Marsa mencoba menenangkannya, memberinya saputangan dan menepuk bahunya beberapa kali.

"Ach..."

"Cal? Apa aku terlalu keras menepukmu?"

"Ah bukan itu Sa. Apa kau mau aku tunjukkan sesuatu? Tapi janji kamu jangan marah ya dan jangan pula menemui Deren. Aku tidak mau kau datang menemui Deren sebagai sahabatku. Tapi temuilah dia nanti sebagai kuasa hukum ku.

Marsa tidak habis pikir apa sebenarnya yang ingin Calista tunjukkan. 'Sesuatu yang menurutnya akan membuatnya marah besar pada Deren. Apa itu mungkin?' Batin Marsa.

"Baiklah aku berjanji."

Calista menarik lengan Marsa dan berjalan menuju toilet wanita tidak jauh dari tempat duduknya. Mulai dari jaket, Calista melepasnya satu persatu. Luka lebam mulai nampak di tangan Calista. Tidak sampai disana saja, wanita itu lalu menarik bagian belakan kaos yang ia kenakan membuat semakin banyak luka lebam terpampang jelas di mata Marsa

"Apa ini?" Marsa mulai naik pitam melihat hal-hal tidak manusiawi di hadapannya itu. Matanya membulat marah.

"De...Deren yang melakukannya Sa. Tapi please jangan marah dulu ke Deren."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro