Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

DEVASENA | 9. Awal dan Akhir

Hari-hari berlalu dengan sedikit ketegangan di instalasi gizi. Berita menyebar dengan cepat, sedikit dibumbui hingga menimbulkan efek dramatisasi. Siapa bilang orang berpendidikan lepas dari dosa yang satu itu? When it comes to society, everything is possible. Mereka yang berpendidikan hanya membuatnya tampak elegan.

Sena mengira dengan dia yang memiliki rekaman CCTV itu, dia akan mendapatkan sesuatu yang mungkin dilewatkan pihak IT. Tapi ternyata, laptopnya sendiri berkhianat.

Laptop itu laptop tua. Peninggalan dari Wira yang sekarang berumur tujuh tahun. Bagi sebuah laptop, dia bisa disebut kakek buyut karena bertahan selama ini. Sena tidak pernah mempermasalahkan dia yang sering mati sendiri atau blank space berwarna hitam mendatar dengan lebar dua sentimeter yang melintang di layar bagian bawah. Dia juga tidak mempermasalahkan betapa lemotnya si laptop jika harus membuka suatu aplikasi. Baginya, laptop yang ia punyai masih bisa ia andalkan jika ada tugas.

Tapi kini, dia baru menyadari jika laptopnya memang sudah tua dan sakit-sakitan.

Bagaimana Sena bisa fokus jika tiba-tiba saja, si laptop mati sendiri? Bagaimana Sena bisa memeriksa setiap gerak gerik jika ada blank space yang mengganggu di layar bawah?

" Duh..." Sena menyurukkan kepala di lipatan lengan.

Sudah waktunya untuk mempersiapkan sarapan. Tapi malangnya Sena, dia lupa membeli gas. Maka praktis, dia tidak bisa memasak. Jika sudah begini, Sena tidak punya pilihan lain selain berangkat lebih awal agar bisa membeli sebungkus nasi kuning legendaris di depan rumah sakit, yang sudah pasti akan habis sebelum jam tujuh pagi.

Gadis itu menghela nafas dalam. Tidak, dia tidak boleh mengumpat. Tapi itu sesuatu yang sulit, mengingat pagi ini diawali dengan panggilan dari Dirga tepat satu menit setelah alarm berbunyi, yang membuat suasana hati Sena langsung memburuk. Ada apa dengan hari ini? Mengapa tidak ada satupun yang berjalan semestinya?

Sena mengira sesuatu yang paling buruk adalah keadaan laptopnya. Tapi ketika ia mengeluarkan sepeda dari carport dan mendapati roda depannya kempes, gadis itu merasa rusuknya patah saking kuatnya ia menahan diri agar tidak berteriak.

Sena mengerling jam tangannya. Masih ada waktu untuk pergi ke halte bus terdekat. Tanpa membuang waktu lagi, gadis itu berbalik dan mulai berlari.

Lalu ketika sesuatu menghalangi jalannya hingga Sena terpental, dia yakin sekali dirinya perlu ruwatan.

" Maaf."

Sena yang memejamkan mata akibat rasa perih di wajah kini membuka mata kala mendengar suara itu. Di depannya, Sakti terlihat mengulurkan tangan dengan posisi sedikit membungkuk. Laki-laki itu menatapnya dengan pandangan khawatir.

" Maaf, kamu nggak papa?"

Sena tidak menjawab. Ia meraih tangan Sakti, yang seketika itu juga langsung membantunya berdiri. Setelah kemunculan perdana tetangga barunya beberapa hari lalu, unit Sakti selalu terlihat kosong. Sekarang, laki-laki itu muncul di saat yang sangat tidak tepat.

" Nggak, nggak papa. Makasih," jawab Sena setelah memastikan pakaiannya baik-baik saja. " Maaf Mas, saya duluan."

Tanpa banyak kata, gadis itu berlari meninggalkan tetangga barunya. Masih ada beberapa menit sebelum bis berhenti di halte terdekat, maka Sena mempercepat larinya. Dia harus segera sampai di rumah sakit. Ada banyak hal yang perlu ia lakukan hari ini.

Suara klakson membuat Sena menepi meskipun tidak memelankan larinya. Tapi mobil itu justru melambat dan terus mendempetnya. Sebelum Sena menyemprotnya dengan sadis, kaca mobil terbuka. Menampakkan wajah berkacamata oversized yang dikenal Sena.

" Mau saya antar? Kebetulan rumah sakit kamu searah dengan kantor saya."

Tentu saja, gadis itu langsung menelengkan kepala.

" Kenapa Mas Sakti bisa tahu?" Selidik Sena curiga.

Laki-laki itu mengedikkan bahu. "Arga cerita semuanya tentang anggota kontrakan satu per satu. Termasuk kamu."

Sena mengernyit, " Iya?"

Cengiran muncul di wajah itu, membuat Sena mengerjap kala sebuah gingsul mengintip pada gigi taring sebelah kiri.

"Dia jadi guide tour saya selama satu jam tadi malam," ucap Sakti, " Jadi, gimana kalau saya antar? Sekalian meminta maaf karena hal tadi."

Sakti membukakan pintu untuk Sena dari dalam. Namun Sena bergeming. Well, dia orang asing, kenapa mudah sekali menawarkan bantuan seperti ini?

" Maaf Mas, tapi saya—"

Suara Dering ponsel menyadarkan Sena.

Kanya

Na, orang atas nyariin lo. Tanya berkas-berkas kasus kemarin ini gue kudu jawab gimana??!

Dengan cepat, Sena melemparkan ponsel ke tasnya dan melangkah masuk ke mobil Sakti.

" Permisi," ujar Sena pelan ketika ia akhirnya duduk di samping Sakti dengan sedikit gugup. Segera saja, aroma mint yang memenuhi ruangan mobil terhirup oleh Sena.

" Nggak perlu sungkan. Anggap saja ini permintaan maaf saya," sahut Sakti ringan.

" Duh Mas, namanya juga nggak sengaja," celetuk Sena meminta Sakti melupakan insiden memalukan yang baru saja terjadi. Sakti tertawa pelan.

" Untuk yang pagi itu juga. Tapi saya benar-benar butuh istirahat."

" Eung...oke, nggak papa sih. Aku juga kadang ngerasa nggak enak sama yang lain. Tapi mas mbak yang lain nggak pernah denger kalau aku nyanyi lho, Mas. Itu aneh." Sungut Sena. " Ngomong-ngomong, Mas Sakti kerja di mana? Tadi bilangnya kita satu arah."

Sakti tidak langsung menjawab. Laki-laki itu sibuk memperhatikan jalan sebelum melajukan mobilnya.

" Kamu orang terakhir yang tanya itu," ujar Sakti menatap ke depan. " Aztec."

Mata Sena sedikit membulat kala mendengarnya.

" Aztec? Aztec perusahaan developer software yang gedungnya warna biru semua itu?" Sena memastikan. Sakti mengangguk.

" Rumah sakit pernah memakai jasa Aztec satu tahun lalu," ucap Sena berbinar.

Sakti tersenyum, " Terima kasih. Tapi kalau kamu tanya, saya kurang tahu. Sepertinya itu bukan project divisi saya."

Sena sudah akan bertanya seputar pekerjaan Sakti ketika tiba-tiba saja, ponsel Sakti yang berada di dashboard berbunyi.

" Maaf," kata Sakti ketika meraih ponselnya. Sena mempersilahkan. Lagipula, ini mobilnya. Mengapa harus meminta izin pada Sena, coba?

Sementara Sakti menerima telfon, Sena mengamati Sakti. Untuk ukuran seseorang yang akan berangkat kerja, Sakti sangat santai. Laki-laki itu hanya mengenakan celana kain dipadu dengan kaus hitam polos dan ditutup oleh kemeja berwarna biru tua. Dan jangan lupakan kacamata oversized yang membuat wajah laki-laki itu terkesan eksentrik, apalagi dipadu dengan rambut berombaknya yang sedikit acak.

Sena beralih pada pemandangan di luar mobil. Pikirannya langsung tergantikan dengan kasus di rumah sakit meskipun sejauh ini ketakutan mereka tidak terbukti. Meskipun demikian, Sena yang bertanggungjawab langsung atas makanan yang dikonsumsi pasien tetap saja memikirkan itu lebih daripada teman-temannya. Dia benar-benar merasa kecolongan.

Fokusnya teralih ketika merasakan getaran di saku. Sena merogoh sakunya dan memeriksa, kemudian menghembuskan nafas panjang sebelum menekan tombol merah. Dia belum memblokir nomor Dirga, karena dia yakin hal itu tidak akan berpengaruh banyak. Dia cukup mengenal Dirga untuk bisa tahu bahwa Dirga terkadang bisa bertindak melampaui batas. Jangan lupakan Rajendra dan TeraMart-nya.

" Nggak diangkat?" Sakti bertanya basa-basi.

Sena yang me-reject panggilan untuk yang kedua kali menoleh. Rupanya Sakti sudah selesai menelfon. Sena tersenyum tipis dan menggeleng.

" Makasih Mas." Sena melepaskan seatbelt ketika Sakti berhenti di depan rumah sakit. Sakti hanya tersenyum samar dan mengangguk. Sayang sekali, padahal Sena ingin melihat senyum dengan gingsul itu. Tapi sepertinya, Sakti lebih suka tersenyum tanpa menampakkan giginya.

" Have a good day, Devasena," ucap Sakti ketika Sena melangkah keluar dari mobil.

Sena balas tersenyum. " Have a good day, Mas Sakti," ucapnya sebelum menutup pintu mobil. Sena menatap mobil berwarna silver itu hingga ia menghilang di antara ratusan mobil yang lain.

" Siapa?"

Sena berbalik dan menemukan Oka telah berdiri tepat di belakangnya.

" Hm?"

Oka mengedik asal ke arah jalan raya.

" Itu tadi siapa? Mantan pacarmu? Si Rajendra itu?" tanyanya lagi.

Sena mengerutkan kening. " Mas Oka sampai kenal Dirga segala?"

Oka menarik sedikit ujung bibirnya. Untuk sesaat, mereka berjalan beriringan dalam diam.

" Jadi obrolan cowok-cowok," jawab Oka singkat. Sena memutar bola mata.

" Bukan. Itu tadi tetanggaku. Sepedaku bocor, jadi dia nawarin tumpangan," ujar Sena enteng.

" Nikahan Galuh, gimana kalau kita pergi bareng?" Tanya Oka tiba-tiba, " Sebagai teman kerja."

Namun Sena menggeleng, " Nggak bisa, Mas. Aku udah ada janji sama yang lain."

" Siapa?"

" Pak Danar."

Saat itu, langkah Oka terhenti. Ia menghadapi Sena dengan kening mengkerut dan tatapan tidak terima.

" Na, kamu tahu pasti Pak Danar udah punya tunangan, kan?" Tanyanya sedemikian rupa hingga Sena tidak mengerti.

" Iya, lalu kenapa? Seperti kata kamu tadi, kita ke sana sebatas teman kerja. Bukan apapun yang ada di pikiran Mas Oka." Sena berkata tegas.

Namun, Oka tetap tidak mengurai kerutan di dahinya. Laki-laki itu menatap Sena beberapa saat.

" Kenapa kamu nolak aku?" tanya Oka tanpa bisa menahannya lebih lama. " Apa kamu belum bisa move on dari mantan kamu yang somehow, looks gorgeous itu? Atau jangan-jangan, kamu suka Pak Danar? Karena banyak orang yang jadi saksi kedekatan kamu sama dia."

Tentu saja, Sena berhenti.

" Darimana Mas Oka bisa menyimpulkan itu?" tanya Sena menatap Oka tanpa senyum hingga Oka mendadak terdiam, " Hati-hati sama bibir, Mas. Kamu bisa memulai fitnah yang nggak penting di tempat kerja."

Nyatanya, sekarang dia percaya jika Devasena Gayatri bisa meninju laki-laki.

" Maaf," ucap Oka akhirnya. Yah, dia juga langsung menyadari jika celetukannya tadi lebih diakibatkan karena rasa cemburu.

Sena menatapnya sejenak, kemudian menghembuskan nafas dan meneruskan berjalan.

" Aku udah kasih jawaban kenapa aku nggak bisa menerima kamu. Bukan karena belum bisa move on. Dan apa hubungannya Dirga dengan 'looks gorgeous ' ?"

Oka melirik Sena. " Dia Rajendra. Anak petinggi parpol, kakaknya politikus, berkuasa di sana sini, dan dia punya jaringan TeraMart. Agaknya move on dari orang seperti itu sedikit susah," jawab Oka dengan secercah nada dingin di suaranya.

Sena balas menatap laki-laki itu beberapa saat, meyakinkan diri sendiri bahwa nada menuduh itu memang berasal dari Oka.

" Nggak juga." Sena menempelkan jempolnya ke mesin fingerprint. Kemudian ia menatap pada Oka lagi. " Aku punya alasanku sendiri. Tapi apapun itu, bukan seperti yang kamu pikirkan. Selamat pagi."

" Kalau begitu apa?" seru Oka menarik siku Sena dan menatap Sena dengan tidak puas.

Sena menatapnya beberapa saat, kemudian berkata, " Karena sepertinya, kamu nggak akan pernah bisa kasih jawaban."

**

" Jadi gimana kemarin seminggu di Jepun?"

Suara Bayu terdengar kala dirinya menyambangi meja Sakti. Laki-laki berkacamata tebal itu menatap Sakti dengan penasaran. Namun Sakti hanya mengedikkan bahu.

" Materi diklat biasa," jawab Sakti singkat. Laki-laki itu menghadap setumpuk map dan meraih map paling atas, membuka-bukanya. " Lancar?"

" Hmm..." Bayu mengangguk sembari mengikuti arah pandang Sakti, " Tinggal testing beberapa yang masuk platinum project. Tirta mau nggak mau harus nunggu lo. Noh yang kanan di map item."

Sakti mengangguk singkat, meraihnya dan membacanya dengan cepat. Lelahnya belum hilang. Lalu ketika dirinya kembali, ada setumpuk proposal new project di meja yang bahkan lebih tinggi dibanding kepalanya.

" Rapat ruangan ntar aja. Gue laper banget." Tukas Sakti akhirnya bangkit. Membuat Bayu terkekeh dan mengikuti langkahnya.

" Dude, lo beneran keluar dari GG?" celetuk Bayu tiba-tiba ketika mereka sampai di kantin kantor.

GG alias Grey Garden Land, adalah salah satu kawasan apartemen mewah yang berfasilitas lengkap. Kabar mengejutkan bagi Bayu jika tiba-tiba saja Sakti lebih memilih kontrakan kecil dan sempit bila dibandingkan satu unit apartemen di GG, yang bisa dibeli Sakti semudah membeli permen lolipop.

" Hm. Teknisnya, gue nggak keluar. Unitnya nggak gue jual," jawab Sakti yang langsung mengambil antrian di depan pantry. Suasana kantin tidak ramai mengingat ini bukan jam istirahat. Sakti butuh makan karena pagi tadi, dirinya sedikit buru-buru.

" Kalau gitu kenapa musti keluar segala? Pakai acara pindah ke kontrakan pula? Segitunya lo ngehindar dari Nath," komentar Bayu mengikuti Sakti. Sakti hanya mendengus sebelum terdiam sembari memilih menu. Setelahnya, ia duduk di salah satu meja yang kosong.

" Really, after a year?" bisik Bayu.

" Gue pindah bukan karena Nath," jawab Sakti. " Setelah gue pikir-pikir, apartemen itu bikin hidup gue hedon."

Bayu terkekeh. " Lah, baru sadar! Lo juga dulu pilih apartemen itu gara-gara ngikutin maunya Nath. Tahu sendiri Nath gimana. Kempes-kempes deh dompet lo," ucap Bayu tertawa. " Tapi kenapa malah milih kontrakan? Bukan apartemen lagi aja? Banyak apartemen yang bagus dan lebih bisa diterima nurani, yah...meskipun kalah saing kalau dibanding GG. Halid, man!"

Sakti mengambil pangsit kukus dengan sumpitnya dan melahapnya.

" Sepi," ucap Sakti.

Bayu memandangi Sakti, teman seperjuangannya semenjak mengikuti pelatihan pegawai baru di induk perusahaan Aztec yang berada di Singapura. Sebuah alasan yang cukup bisa dipahami Bayu karena sebelum ini, selalu ada Nathalie yang mengusir sepi di apartemen Sakti yang luasnya minta dihujat itu.

Nathalie Diomira, batin Bayu getir. Dia teringat masa ketika Sakti begitu menganggap Nathalie adalah dunianya. Saat itu, bahkan Bayu selalu tertawa melihat bagaimana Sakti memperlakukan Nathalie bagai ratu.

Dulu, sebelum Nathalie menambah panjang rentetan daftar kehilangan Sakti di hidupnya.

" Jadi, gimana tentang hidup baru lo? udah dapat pengalaman yang berbeda dan lebih seru dibanding tinggal di apartemen mewah?" ledek bayu.

Mendadak, Sakti mendengus geli. " Gue hampir nggak bisa tidur seharian gegara apapun suara yang tetangga gue lakuin, gue bisa denger."

Mata Bayu melebar. " Seriusan?"

Sakti mengangguk. " Hari pertama gue pindah ke situ, tetangga samping gue hobi bikin suara aneh selepas jam delapan malam. Gue pindah ke satu-satunya unit kosong lain, dan tetangga samping gue yang ini mirip radio berjalan. Lo pikirin sendiri betapa stresnya gue."

Bayu tertawa. " Kapan-kapan jadi pengin nginep tempat lo. Kayaknya asik gitu, hahaha!!"

" Kalau mau pindah nemenin gue, masih ada satu kamar kosong," ucap Sakti menyumpit baksonya dengan antusias. " Kita bakal ngadain pesta selamat datang buat lo."

" Hah? Seriusan? Lo kemarin disambut sama pesta? Asik bener!" Bayu terkagum.

" Hmm, pesta jagung bakar. Sampai malem," celetuk Sakti membuat Bayu tertawa lagi. " Tapi percaya sama gue, it's not something you can laugh at, Bay."

Dan Bayu langsung bungkam.

" Kalau boleh jujur, gue sedikit kecewa nggak keluar apartemen dari dulu-dulu," ucap Sakti. " Sekali lagi, ini bukan tentang Nath. Ini tentang gue. Selama beberapa tahun belakangan, sesuatu berubah dan gue bahkan nggak sadar sejak kapan perubahan itu ada. Seharusnya, it's not something new. Tapi tetap aja gue menemukan suasana baru."

Bayu mengangkat alis, " Hmm...sounds interesting. Gue perlu tahu alamat kontrakan lo kalau sewaktu-waktu gue diusir adek gue dari rumah."

Sakti tertawa, " Gimana kalau nanti lo mam—"

" Jadi kamu benar-benar keluar dari apartemen?"

" Upss!!" Bayu buru-buru mengangkat nampannya dan pindah ke meja di belakang Sakti. Seorang wanita yang tadi menginterupsi mereka berterima masih padanya.

Dengan anggun, wanita itu meletakkan nampan di meja dan merapikan roknya sebelum duduk di hadapan Sakti. Wanita itu mengenakan casual dress berwarna merah marun hingga sebatas lutut yang dibalut blazer berwarna abu-abu muda. Kini ketika ia duduk sembari menyilangkan kaki, dress itu tertarik hingga sebatas pahanya.

" Sekarang kamu tinggal di mana?" tanyanya menyuapkan makanan ke sepasang bibir berlipstik merah itu.

Nathalie Diomira adalah tipe perempuan yang mampu mencuri perhatian orang hanya dalam sekali langkah anggun miliknya. Perempuan berusia dua puluh sembilan tahun itu menatap Sakti sekilas, seakan pertanyaannya adalah basa-basi.

" Kontrakan," jawab Sakti masih setia menunduk untuk melahap makanannya.

Nathalie menghirup nafas panjang.

" Really? Sampai kapan kamu bertingkah kekanakan seperti ini?" tanyanya lelah. " Kita hanya menyudahi hubungan, bukan berarti harus bermusuhan satu sama lain. Aneh sekali kalau kamu menghindariku hanya karena hubungan kita tidak seperti dulu."

" Aku nggak memusuhi kamu," celetuk Sakti. Akhirnya laki-laki itu mengangkat wajahnya demi menatap Nathalie, " dan jelas aku bukannya menghindari kamu. Darimana kamu berpikiran seperti itu?"

Nathalie masih melahap makanannya dengan anggun. Bibirnya mengatup elegan sementara geliginya menggilas makanan dengan ketenangan selevel puteri raja.

" Kamu menolak gantiin aku di konferensi. Kamu menolak waktu aku minta tolong bawakan jaketku yang tertinggal dan yang paling jelas, kamu keluar dari apartemen. Masih mau bilang itu cuma perasaanku?"

Terdiam sejenak, keheningan dipenuhi oleh Sakti yang mengambil suapan terakhir.

" Aku sibuk mempersiapkan materi untuk ke Jepang dan Tirta masih ada di kantor sewaktu kamu minta tolong," ucap Sakti bangkit sembari membawa nampannya, " Jadi, ya. Itu cuma perasaan kamu saja."

" Please, Sakti. Kita sedang bicara," ucap Nathalie sedikit tajam kala Sakti hendak berlalu. " Sebagai teman kerja, temani aku makan siang."

Sakti bergeming beberapa saat, memandangi Nathalie yang masih menyantap makan siangnya seperti menikmati sepiring foie gras di tengah perjamuan makan. Terlalu anggun dan tanpa cela.

" Maaf, aku banyak kerjaan, Nath." Sakti melangkah melewati Nathalie.

" You're indeed avoiding me, aren't you?"

Celetukan itu menghentikan langkah Sakti sekali lagi.

" Kalau kamu benar-benar menjaga Tirta, berhenti bersikap seperti ini."

" Tirta orang yang dewasa. Bukan seperti seseorang yang terlalu childish bahkan untuk menerima keadaan." Nathalie membalas tanpa perubahan ekspresi.

Bibir Sakti sedikit terangkat saat dirinya melihat seseorang melangkah memasuki kantin. Namun langkah laki-laki itu terhenti kala melihatnya dan melihat punggung wanita yang dikenalnya.

" Try me then, Nath," ucap Sakti pelan tanpa melepaskan pandangan pada Tirta yang kini melangkah ke arah mereka dengan cepat.

" Ternyata kamu di sini," ucapnya berhenti di hadapan Sakti meskipun matanya melirik ke arah Nathalie, yang tetap tidak berbalik. " Proposal yang masuk dua hari lalu, itu masuk platinum project kita. Kenapa belum selesai?"

Sakti menatapnya sejenak, kemudian menjawab, " Tinggal testing. Tunggu aja di meja."

Tirta mengangguk. Ia melirik kembali pada Nathalie sebelum menepuk pundak Sakti. " ASAP."

Sakti tidak menjawab. Laki-laki itu melangkah menuju pantry dan meletakkan nampan kosongnya di sana, sama sekali tidak berminat untuk menoleh ke belakang.

" What's with that shitty, chilly chitchat over there just a moment ago?" Gumam Bayu yang mengikuti langkah Sakti.

" Lo nggak dengar? Kita disuruh ASAP," timpal Sakti kalem.

" Ouch!" Bayu meremat dadanya dengan ekspresi kesakitan, " Nyesek!"

Sakti mendengus geli. Nyatanya, rasa itu tidak lagi menyesakkan.

" Someone feels insecure, bro," kekeh Bayu melirik ke belakang.

Sakti mengetatkan kacamatanya, sama sekali tidak peduli. Memeriksa jam tangannya, laki-laki jangkung itu melangkah pasti menuju ruangan dengan pikiran penuh dengan rencana kerja untuk hari ini.

*TBC*

Footnote :

Huehehe...selamat malam semuanya ^^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro