DEVASENA | 8. Tetangga Berkacamata
I'm holding on your rope, got me ten feet off the ground
And I'm hearing what you say, but I just can't make a sound
You tell me that you need me then you go and cut me down, but wait
You tell me that you're sorry, didn't think I'd turn around, and say
" IT'S TOO LATE TO APOLOGIZE, IT'S TOO LATEE! I SAID IT'S TOO LATEE TO APOLOGIZE, IT'S TOO LATEE!"
Dengan segenap jiwa, Sena mengimbangi suara vokalis sembari menahan hidungnya agar tidak menghirup aroma bawang merah yang sedang ia iris.
Paginya masih muda. Namun seperti biasa, gadis itu sudah berkutat di dapur ditemani radio yang ia letakkan di atas tempat penyimpanan beras. Sementara tangan sibuk mengiris bumbu untuk tumis kangkungnya, gadis yang hanya memakai piyama tidur dengan rambut diikat ke atas itu berlenggak-lenggok dengan bersemangat.
" I LOVE YOU WITH THE FIRE RED, NOW IT'S TURNING BLUE, AND YOU SAY SORRY LIKE AN ANGEL HEAVEN THINK THAT IT WAS YOU, BUT I'M AFRAID, IT'S TOO LATE-"
Tok tok tok...
Sena mengatupkan mulutnya, merasa mendengar sesuatu.
Tok tok tok...
Sena memutar bola mata. Sepagi ini dan Rafi sudah mengganggunya. Masakannya bahkan belum jadi. Gadis itu berjalan ke arah pintu dan membuka pintunya dengan malas.
"Duh Mas Rafi, masakannya belum mat-AAHHH MALING!"
Karena begitu Sena membuka pintu, di depannya berdiri sosok yang menjulang tinggi. Sosok itu terbalut sarung dari puncak kepala hingga atas lututnya, membuat celana kain panjangnya terlihat hingga mata kaki. Tapi bukan, bukan itu yang jadi perhatian Sena.
Gadis itu tidak bisa melihat dengan jelas wajah si makhluk asing ini karena sinar temaram lampu teras terhalang sarungnya yang terjuntai di sisi kanan dan kiri wajahnya seperti dementor. Membuat sebagian wajahnya tersembunyi dalam bayang-bayang hingga tampak begitu mengerikan.
Dengan piyama yang kedodoran dan cepol rambut yang acak-acakan, gadis itu langsung mengacungkan pisau dengan kedua tangannya sembari terbelalak. Jantungnya berdentum kencang. Kalau dia berteriak, akankah tetangganya ada yang mendengar?
"J-Jangan dekat-dekat! Saya bersenjata!" Sena berusaha bersuara segarang mungkin pada makhluk asing itu karena dia yakin, dia bukan salah satu tetangga Kenanga-nya.
" Saya-"
"Jangan mendekat atau saya teriak!" jerit Sena membelah pagi sembari mempertahankan tangannya agar tidak lemas dan terkulai.
Sosok itu bergeming beberapa saat, hanya menatap Sena dengan sebelah mata yang tidak ternaungi kegelapan hingga terlihat lebih jelas. Datar dan sayu.
" Kalau saya maling, lebih efisien kamu langsung nutup pintu ketimbang ngacungin pisau kayak gini," katanya dengan suara yang sangat asing bagi Sena. " Saya kesini mau bilang, tolong jangan berisik. Suara kamu bisa kedengaran sampai satu kilometer jauhnya. Saya butuh istirahat. Jadi kalau kamu nggak keberatan, berhenti teriak-teriak."
Sena melongo. Si maling -atau begitulah dugaan Sena- melirik sekilas pada ujung pisau Sena yang berkilat tertimpa cahaya lampu. Kemudian tanpa kata, sosok bersarung itu berputar.
Beberapa detik kemudian, Sena tersadar dari sebuah sihir yang memerangkap kesadarannya.
" Hah?" Sena mengerjap. Ia memberanikan diri melangkah keluar dan terkejut sendiri ketika sosok bersarung tadi masuk ke ruang sampingnya.
Tanpa aba, seluruh tubuhnya merinding.
Sebentar.
Jika dia tidak salah ingat, kemarin ada kardus-kardus di depan unit nomor empat. Sena tidak begitu memperhatikan karena fokusnya saat itu adalah pada Dirga. Tapi dia yakin sekali kardus-kardus itu ada di depan unit nomor empat. Jadi seharusnya kalau ada penghuni baru, dia menempati nomor empat, kan? Bukan unit nomor lima, kan? Lalu apa-apaan dengan penampilan yang hampir menutupi seluruh tubuhnya? Apa-apaan dengan wajahnya yang tertutupi sarung itu? Dia bukan dementor, kan? Karena dia yakin makhluk ini punya mata manusia.
Sena menutup pintunya keras-keras ketika seluruh tubuhnya merinding hebat. Untuk pertama kalinya, dia ingin Rafi segera mengganggunya.
**
" Na, pagi-pagi melamun apa?"
Pikiran Sena tentang kejadian tadi pagi disela oleh Galuh yang duduk di hadapannya.
" Duh wajahnya bikin gue silau," komentar Sena kala Galuh duduk di depannya.
" Ini undangan nikahan. Datang ya," ucap Galuh malu-malu sembari memberikan selembar undangan berbungkus plastik ke arah Sena. Sena mengangkat alis.
" Wah, sukses dong lamarannya. Selamat ya," ujar Sena meraih undangan.
Galuh mengangguk. " Lo juga cepetan nyusul, gih. Ntar gue kasih bunga kanthilnya," kata Galuh tertawa.
Sena tersenyum kecil. Ia meletakkan undangan kembali ke meja.
" Lo berani banget, ya,"celetuk Sena pelan. " Nikah, berkomitmen."
Galuh tertawa pelan. " Apa itu yang bikin lo nolak cowok-cowok yang kepingin serius sama lo? Lo takut berkomitmen?"
" Gue juga nggak paham," jawab Sena enggan. " Gue cuma nggak bisa percaya aja."
Galuh mengamati Sena sejenak. " Lo itu cerewet, Na. Tapi lo nggak pernah sekalipun cerita tentang kehidupan pribadi lo. Bahkan gue, yang udah kenal lo sejak diklat pertama kita jadi AG di sini. Nggak ada yang tahu tipe cowok seorang Devasena Gayatri itu seperti apa. Nggak kayak Farida, Kanya, gue yang brusting di grup tentang dokter-dokter hawt atau sekedar ngecengin perawat kece di paviliun. Dan kemarin, tiba-tiba aja Instalasi kita heboh karena kemunculan mendadak mantan lo. Bukan mantan biasa, tapi Dirga Rajendra, pemilik jaringan TeraMart."
Sena mendengus. " Itu bukan hal yang perlu dibahas lagi."
" Dia yang bikin lo nggak bisa percaya sama hubungan?" tanya Galuh tiba-tiba. " Lo nggak bisa memukul rata semua cowok, Na."
Sena tersenyum samar. " Gue punya pertanyaan, Luh. Pertanyaan yang bikin gue selalu takut berkomitmen."
Galuh mengerutkan kening.
" Apa kita bisa yakin mereka akan seterusnya setia sama kita?" lanjut Sena pahit.
Tentu saja, Galuh terdiam.
" Kok lo mikirnya gitu sih, Na?" celetuknya kemudian. " Cukup percaya aja jika pasangan kita akan setia."
" Lo nggak paham pertanyaan gue, Luh. Orang bisa berubah seiring waktu. Mereka yang bilang cinta sama kita hari ini nyatanya bisa bilang cinta sama orang lain di kemudian hari. Gue tahu banyak orang bilang cinta itu suci dan abadi. Tapi kalau suatu saat cinta itu nggak lagi buat kita, apa kita masih menganggapnya suci dan abadi? Kalau hati bisa semudah itu dibolak-balik, gimana bisa gue percaya sama pasangan gue?"
Galuh tiba-tiba berdiri.
" Entah kenapa, omongan lo harusnya nggak pantes gue dengerin, Na," ucap Galuh pelan. Dengan wajah gelisah, gadis itu keluar dari bilik Sena.
Sena menatap punggung Galuh yang menghilang dari pandangan. Reaksi Galuh bukan satu-satunya. Bagi sebagian besar perempuan, pertanyaannya pasti menyebalkan.
Tapi tolong, setelah sekian banyak pengkhianatan yang ia saksikan, ketakutan itu timbul tanpa bisa dicegah di dalam dirinya. Dia pernah memberikan hatinya pada seseorang, hanya untuk dicabik dengan parang. Dia pernah percaya pada seseorang, hanya untuk dikhianati dan merasa bodoh. Dia tidak bisa percaya pada sebuah hubungan. Dia takut untuk kembali tersakiti.
Bukannya Sena tidak pernah berdiskusi tentang hal ini. Dia pernah bertanya pada teman-temannya, dulu. Hanya untuk mendapatkan reaksi yang tidak jauh berbeda dari Galuh. Menganggap pertanyaan Sena konyol dan tidak perlu dibahas lebih jauh. Setelahnya, Sena memilih diam. Dia tidak pernah lagi mengungkit kegelisahannya. Tapi sekarang, entah mengapa dia mengungkitnya di depan Galuh. Mungkin dia menganggap Galuh bisa memberikan jawaban yang memuaskan karena perempuan itu berani memutuskan untuk menikah di usia yang sama dengan Sena.
Bagi Sena, menikah adalah hubungan yang sakral. Tapi Sena cukup tahu bahwa dalam pernikahan pun, sesuatu bernama pengkhianatan bisa tetap ada.
Sena memejamkan mata. Dia tidak bermaksud menakuti Galuh. Dia tidak bermaksud membuat Galuh bimbang. Dia hanya sedang mencari jawaban saja.
" DEV!!"
Sena menyurukkan kepalanya ke lipatan lengan dan merengek. Bagaimana bisa ia lupa tentang masalah krusial itu?!
" Dev? Ada apa denganmu?" Danar mengerutkan kening kala melihat Sena.
Tanpa mengangkat wajah, Sena menjentikkan tangan kanannya.
" Kutanya malam, dapatkah kaulihatnya perbedaan, yang tak terungkapkan tapi mengapa, kau tak berubah, ada apa denganmu-aduh!" Sena menyentakkan kepala kala merasakan cubitan kecil di jemarinya.
" Nggak perlu stres gara-gara kasus yang kemarin," tukas Danar meraih kebab di atas meja Sena. " Kemarin akhirnya dilaksanakan autopsi klinik."
" Woah, tumben keluarganya mengizinkan! Lalu hasilnya bagai-Pak Danar, itu kebab saya!" Kata Sena begitu menyadari apa yang sedang dikunyah laki-laki itu. Danar mengangkat tangan, menyuruh Sena menahan diri sementara dirinya mengunyah sepotong besar kebab di mulutnya.
" Saya lapar. Kamu makan jatah saya saja. Adil, kan?" kata Danar enteng sebelum meneruskan. " Keluarga juga bisa menjadi pihak yang dicurigai, jadi mereka tidak punya pilihan. Yah, sebenarnya si pengacara juga minta disunat. Dia mendukung autopsi klinik karena dia butuh semua bukti untuk menjerat kita di persidangan."
Danar mengamati Sena yang terperangah, kemudian tersenyum menenangkan. " Jangan terlalu dipikirkan. Dia juga nggak bisa nuntut semaunya sendiri. Coba saya dengar apa yang ada di otak kamu tentang kasus ini. Bisa jadi kita satu pemikiran."
Sena mengerjap, " Ng...eh-mendengar bapak bilang kalau keluarganya juga bisa jadi pihak yang dicurigai, saya jadi merasa kita satu pemikiran." Sena berdehem. " Zat alergen pasien sudah teridentifikasi waktu saya screening. Lagipula dari segi makanan, kita tidak pernah menggunakan seafood karena itu terlalu riskan. Bisa jadi, anafilaksis muncul karena obat-obatan yang dikonsumsi pasien. Tapi dokter Jenny menjamin bahwa itu tidak mungkin mengingat pasien sudah berada di sini hampir satu minggu, itu artinya keadaan pasien terpantau. Yah, anafilaksis juga bisa karena sengatan serangga juga. Tapi karena ini rumah sakit, saya akan menganggap lingkungannya sangat aman. Lagipula kalau serangga, pasti jejaknya bisa ditemukan lewat autopsi klinik. Jadi, kecurigaan selanjutnya bisa jadi keluarga korban yang membawa makanan dari luar...dan entah bagaimana caranya, terjadi seperti ini."
Danar mengangguk-angguk sembari menatap Sena dengan berbinar.
" Cocok, kan? Gimana kalau kita nikah aja?" ucap Danar serius yang ditanggapi Sena dengan tatapan datar.
" Nggak mau," celetuk Sena langsung. " Lalu hasilnya apa?"
Danar tergelak. Ia meraih tisu di ujung meja Sena untuk membersihkan jemarinya.
" Ada daging ikan tuna yang belum tercerna sempurna di lambung pasien," jawab Danar. " Menurutmu itu darimana?"
Tentu saja, mulut Sena terbuka lebar.
"Seafood?" ujar Sena tidak percaya. " Darimana? Keluarga pasien sudah saya edukasi sebelumnya!"
" Itu yang masih berusaha kita telaah, Dev. Bersyukur juga karena itu, keluarga mau bekerja sama. Jadi masalah ini tidak perlu membesar. Pihak IT rumah sakit juga mengusulkan untuk memeriksa CCTV."
" Saya boleh minta kopiannya?" tanya Sena segera.
Danar mengangguk. " Kamu berhak mendapat itu."
Sena mengerjap, kemudian ia menyadari posisinya yang tanpa sadar telah condong ke arah Danar. Berdehem, gadis itu menempelkan kembali pantatnya ke kursi.
" Oh, kamu dapat undangan juga," ucap Danar meraih undangan dari Galuh. " Bagaimana kalau kita berangkat bersama?"
" Pak, harusnya bapak ngajak Bu Jenny. Bukan saya," celetuk Sena.
" Jenny ada acara hari itu. Lagipula, kita berdua sama-sama diundang. Apa masalahnya?" Danar menaikkan alis.
" Saya bareng anak-anak lain saja."
" Siapa? Setahu saya, di instalasi gizi yang nggak punya gandengan cuma kamu. Jadi karena kita berdua nggak punya pasangan di hari itu, nggak ada salahnya kita pergi bersama."
Dan mengapa status jomblo harus ternistakan ketika manusia menginjak usia matang?
Sena menatap Danar yang mengetuk-ngetukkan jemarinya ke meja, menunggu Sena dengan tenang. Akhirnya, Sena mengangguk.
Danar tersenyum. " Deal. Saya permisi dulu. Kamu nggak perlu stres, nanti tambah kecil."
Sena memutar bola mata, membuat Danar tergelak sebelum keluar dari ruangannya.
**
Sena baru saja hendak membuka gerbang kontrakan ketika ponselnya berbunyi nyaring. Gadis itu buru-buru merogoh tas ranselnya dan mengerutkan kening ketika sederetan nomor tidak dikenal tertera di layar ponselnya.
" Halo?" sapa Sena sopan.
" Sena?"
Mengetatkan rahang, gadis itu memutuskan sambungan dengan geram. Tidak perlu banyak berpikir, suara Dirga melekat terlalu dalam di tempurung kepalanya. Apa sekarang? Menyadari dirinya tidak bisa kemari setiap hari maka dia memutuskan mengganggu Sena lewat ponsel?
" Na, ngapain di situ?"
Sena menoleh ke belakang, hanya untuk menemukan Ana dan Yolla membawa tiga kantung besar berisi jagung. Sena mengerutkan kening.
" Party. Tradisi menyambut anggota baru," kata Ana memainkan alis sementara Yolla menuntun motornya memasuki halaman.
" Oh...Jadi beneran ada anggota baru? Kok aku baru tahu? Tahu nggak, Mbak? Tadi pagi hampir aja aku jadi kriminal gegara pisau dapur!"
" Pisau dapur?" sahut Yolla bingung.
Sena mendengus, namun ia tidak berkomentar.
" Iya, aku juga baru tahu sore ini. Tadi Bu Diana ke sini, ngasih tahu kalau ada anggota baru. Pas ada Yolla juga, jadi kita langsung keluar," jawab Ana yang langsung sumringah kala dilihatnya Arga duduk di halaman bersama seseorang, sibuk mempersiapkan arang dan sebagainya.
Langkah Sena terhenti saat orang asing itu menoleh ke arahnya. Sebuah kacamata oversized berbentuk bundar dengan bingkai tipis berwarna emas bertengger di hidungnya. Tapi dia yakin dari cara orang asing itu menatapnya, dia adalah si dementor-wannabe tadi pagi.
" Sini, Na. Kenalan dulu." Arga melambaikan tangan meminta Sena untuk mendekat.
Sena mengerjap dan mematuhi Arga. Laki-laki itu juga mengamati Sena yang mendekat, membuat Sena berkesempatan menelusuri orang asing ini lebih lama. Ia memakai kaus dan celana hitam selutut. Rambutnya sedikit berombak, terlihat acak namun tidak terkesan berantakan. Laki-laki itu menepuk kedua telapak tangannya, berusaha mengusir debu arang yang sedikit menempel di sana. Kemudian ketika Sena sudah berada cukup dekat, ia berdiri.
" Ng..." Sena mengambil satu langkah ke belakang. Demi apa, dia ternyata tinggi sekali. Yah, meskipun Gagah tetap menyandang gelar sang tiang listrik sejati. Dia harus menjauh demi menyelamatkan lehernya.
Tidak salah lagi. Dari perbandingan tinggi mereka, Sena sudah bisa memastikan bahwa dia adalah laki-laki yang tadi pagi menginterupsi konser tunggal Sena. Sena berusaha memahami seperti apa tetangga baru mereka lewat tatapan yang diberikan laki-laki itu. Namun dia hanya menatap Sena dengan pandangan tidak terbaca.
" Maaf untuk yang tadi pagi," ucapnya membuka suara, membuat Sena menelengkan kepala karena warna suara asing yang membelai gendang telinganya. Laki-laki itu menarik ujung bibirnya. Sedikit, hanya sedikit hingga Sena mengerjap.
" Oh, nggak papa. Santai saja," kata Sena sembari mengibaskan telapak tangan dengan asal sebelum memperkenalkan diri. "Devasena Gayatri. Panggil Sena saja. Jangan Dev atau Sen, karena saya bukan pemeran film India atau bagian dari pantat motor."
Arga terbatuk dengan keras. Namun sepertinya laki-laki itu mengabaikannya. Dengan senyum samar yang kini sedikit lebih lebar, ia berkata.
" Sakti," ucapnya ringan. " Sakti Samudra."
**
" Dua puluh sembilan?"
Rafi melongo kala mendengar jawaban Sakti atas pertanyaan Yolla yang menanyakan umurnya.
Sakti, yang malam itu tengah memakai kaus polos berwarna biru dibalut dengan jumper hitam mengangguk. Dia melepas kacamatanya ketika pesta bakar jagung berlangsung. Membuat Sena seketika mengenalinya dengan pasti sebagai makhluk yang menyapanya tadi pagi.
" Ada apa dengan dua puluh sembilan?" timpal Sakti dengan suara yang segera saja familier bagi Sena.
Rafi mengangkat bahu. " Aku kira lebih muda daripada itu. Oke, mulai sekarang satu lagi yang harus aku panggil pakai embel-embel 'Mas'." Ia menoleh ke arah Sena yang asik menggerigiti jagung bakarnya.
" Apa?" Sena mengerutkan kening karena Rafi yang memandangnya penuh makna.
" Kita tetap yang paling bontot di sini, Na. Jadi jangan pergi dulu. Gue masih pingin punya adek," celetuk Rafi membuat Sena mendengus.
Seperti kata Ana, mereka mengadakan pesta jagung bakar di halaman. Kata Gagah, ini sudah menjadi tradisi turun temurun di kontrakan Kenanga. Pesta penerimaan terakhir adalah ketika Sena bergabung dengan mereka. Saat itu, Sena menganggap hal ini menggelikan. Namun lambat laun Sena menyadari, itu cara mereka menyambutnya menjadi salah satu keluarga mereka dengan tangan terbuka. Karena toh, mereka semua adalah pendatang baru di kota yang asing ini, tidak punya siapa-siapa selain tetangga yang bisa dijadikan keluarga.
Sembari menikmati jagung bakarnya yang ketiga, pikiran gadis itu kembali melayang pada masalah di rumah sakit. Hal itu cukup mengganggunya hingga ia terlambat menyadari seseorang memanggil namanya dari tadi.
" Sena!"
Sena menoleh ke arah Yolla.
" Apa?"
Yolla mengedik ke arah pintu gerbang. Sena mengikuti arah pandangnya, kemudian dagunya jatuh ke tanah. Dengan segera, gadis itu bangkit dan berjalan cepat menyambangi tamu tak diundang.
" Katanya atasan lo di RS, Na?" tanya Rafi yang membukakan pintu gerbang bagi Danar.
Sena mengangguk. Gadis itu tidak melepaskan pandangannya dari Danar. Jelas dia baru saja pulang dari rumah sakit karena ia masih mengenakan pakaian kerja. Belum lagi rambut acak-acakan dan wajah yang kusut. Namun bibirnya menyunggingkan senyum.
" Gue tinggal dulu. Kalau udah selesai, ajak pesta sekalian gih," ucap Rafi sebelum berbalik ke arah kerumunan.
" Bapak kenapa di sini?" desis Sena cemas. " Ada apa? Gimana? Mereka bilang apa?"
Danar menatap Sena sejenak, kemudian berdecak.
" Sudah dibilang nggak perlu khawatir," celetuknya menjentikkan telunjuk ke dahi Sena hingga gadis itu mengaduh. " Saya ke sini mau ngantar rekaman CCTV. Katanya kamu minta."
Sena memandangi sebuah flashdisk merah yang diulurkan Danar. Ia meraihnya dan mengangguk.
" Pihak IT bilang apa? Ada yang ditemukan, nggak?" tanya Sena lagi.
" Untuk sementara ini, belum. Mereka baru mulai sore tadi, soalnya," ucap Danar memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. " Kalian pesta apa?"
" Ha? Eh-jagung bakar. Biasa, tradisi menyambut anggota baru." Sena mengerling ke kerumunan di belakangnya. " Ng...Bapak mau ikut? Maksud saya, kan tadi Mas Rafi menawarkan, jadi-itu, kalau bapak harus buru-buru-"
" Boleh."
Sena mengerjap. " Eh?"
" Kenapa? Kan tadi saya ditawari," ucap Danar mengerutkan kening.
" Ng...Dokter Jenny nggak ikut?" Sena melongokkan leher ke arah mobil Danar yang terparkir di depan gerbang, mencari-cari sosok Jenny yang biasanya memang pulang bersama Danar. Namun Danar menggeleng.
" Jenny ada panggilan darurat." jawabnya singkat. " Jadi?"
" Oh...ya sudah, kalau Bapak nggak keberatan. Cuma pesta jagung bakar, sih," ucap Sena. Danar tertawa pelan dan mengikuti langkah Sena menuju kerumunan.
Sena duduk di samping Yolla, dan dia sadar sekali bagaimana yang lain mencuri pandang ke arahnya ketika Danar mengambil tempat di sebelah Sakti.
" Dia Pak Danar, atasanku di RS," ucap Sena meraih satu jagung manis yang belum dibakar. " Bapak mau rasa apa?"
" Terserah kamu saja. Terima kasih sudah diundang ke sini. Saya atasan Sena di RS," jelas Danar memperkenalkan diri, yang disambut baik oleh yang lain.
" Malam-malam kemari, ada masalah apa?" tanya Gagah. " Apa Sena bikin ulah di sana sampai bosnya datang ke sini?"
" Mas Gagah, pertanyaanmu itu kayak orangtua yang dapat laporan anaknya bikin onar di sekolah," ketus Sena.
Danar tertawa lagi. " Nggak, saya cuma kangen Dev saja."
Gagah dan Arga terbatuk, Yolla tersedak, Rafi ternganga dan jagung bakar terlepas dari jemari Ana.
" Dev?" Rafi mengernyit.
" Kangen?" Ana memekik.
Sena menghembuskan nafas panjang sembari membalik jagung di atas bara api.
" Silahkan tanya sama Pak Danar. Sudah dibilang jangan panggil saya Dev juga," sergah Sena kesal. " Padahal baru aja tadi sore saya bilang sama Mas Sakti jangan panggil saya Dev. Gimana kalau setelah ini Mas Sakti juga ikutan manggil Dev? Berasa cowok aja. Dan jangan ngomong yang aneh-aneh, Pak Danar."
" Hm? Bilang sama siapa?" tanya Danar mengerutkan kening. Sena memutar bola mata dan mengedik pada Sakti yang sedari tadi anteng melahap jagung bakarnya.
" Mas Sakti. Dia anggota baru kita," celetuk Sena. " Umurnya hampir sama lho, tapi kok kelihatan mudaan Mas Sakti, ya?"
" Ck! Bocah satu ini kalau ngomong emang ceplas-ceplos," gerutu Rafi menjitak kepala Sena, yang dibalas Sena dengan penuh nafsu hingga Yolla terpaksa menengahi sementara Rafi tertawa keras.
Danar melirik Sakti yang duduk tenang di sampingnya. Kalau Sena tidak bilang, dia juga akan mengira Sakti berumur jauh lebih muda darinya. Tapi agaknya laki-laki ber-jumper hitam ini sama sekali tidak terganggu dengan perkataan gadis manis yang kini tengah bergulat dengan Rafi di seberang sana.
Apa benar dia kelihatan setua itu?
Danar berdehem, " Dev, dari namanya, Devasena. Saya memanggilnya begitu karena di rumah sakit banyak nama yang mirip dengannya. Jadi, sebenarnya itu hanya tergantung keadaan."
Apa alasannya Danar mengatakan ini pada Sakti yang jelas-jelas tidak peduli? Yang dia tahu, dia tiba-tiba saja tidak suka dengan gagasan orang lain akan memanggil Sena dengan sebutan Dev. Sebutan itu hanya boleh dimilikinya, untuk gadisnya.
Devasena-nya.
*TBC*
Jadi, sudah tahu ya prolog nyambungnya dimana? Huehehe...
Selamat malam semuanya, semoga berbahagia.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro