DEVASENA | 7. Sebuah Usaha
Bagi para anggota kontrakan Kenanga, Sena ibarat seorang adik paling bontot setelah Rafi. Karenanya, semua yang ada di sana bertingkah seperti kakak-kakak yang baik dan kadang, sedikit protektif. Maka ketika Sena yang cuek setengah mati jika ditanya tentang kekasih mengatakan dia mempunyai mantan kekasih, seluruh anggota kontrakan tidak percaya.
Oke, jangan salahkan Rafi yang berpikiran seperti itu. Yang jelas, saat ini ia tidak berhenti melotot pada pemuda yang bersandar di dinding kontrakannya.
Sesaat setelah digotong Gagah dengan mudah, laki-laki itu siuman meskipun sepertinya masih setengah sadar.
Sena benar-benar datang dengan membawa senampan penuh makanan yang masih mengepul lengkap dengan jus berwarna oranye. Gadis itu sudah rapi dan harum. Melihatnya, perut Rafi jadi keroncongan. Ia menatap sayur bayam wortel yang masih mengepul dengan penuh kerinduan.
" Sana ambil! Kasihan amat," tukas Sena melihat ekspresi Rafi. Dengan semangat membumbung, Rafi bergegas keluar.
" Nggak papa ditinggal sendiri, Na? Kita mau keluar ini," ucap Yolla dan Gagah yang melongok dari ambang pintu. Sena mengangguk.
" Mbak Ana mana?"
Yolla dan Gagah saling lirik. "Arga barusan pulang, jadi..."
Sena mengangkat telapak tangannya. " Stop! Oke, aku ngerti."
Yolla nyengir. " Nitip apa?"
" Salad buah aja, dua. Daripada harus dibagi sama Mas Rafi," tukas Sena.
Gagah tergelak geli. Ia melambai pada Sena sebelum meraih lembut jemari Yolla dan pergi dari hadapan Sena.
Selepas perginya Yolla dan Gagah, Sena kembali menatap pada Dirga yang terlihat masih sangat lemas. Sena meletakkan baki makanan di depannya.
" Dimakan," ucap Sena singkat. " Setelah itu pergi dari sini."
Sena bangkit dan berbalik, tapi Dirga lebih dulu menahan tangannya.
" Di sini aja. Kalau nggak, aku nggak makan."
" Dimakan atau nggak, itu bukan urusanku," Sena menghentakkan tangannya. " Aku nggak peduli kamu mau pingsan berapa kali, tapi kamu cuma bikin yang lain repot. Jadi mending setelah ini kamu pergi. Nggak perlu kesini lagi."
Sena menatap Dirga dengan dingin, kemudian segera berbalik. Namun langkahnya kembali behenti ketika suara benda pecah terdengar nyaring di belakangnya.
" KAMU ITU MAUNYA APA?" hujam Sena ketika dilihatnya gelas yang tadinya terisi jus kini pecah terberai di dinding.
Dirga meremat dadanya sembari meringkuk. " Stay here, Na. Please! Stay here!"
Tangan Sena terkepal erat di sisi tubuh. Ia menatap Dirga setajam parang seolah ingin mencincangnya menjadi serpihan kecil tidak berarti.
" Sini, duduk sini Na. Nanti aku makan," bisik Dirga menepuk tempat di hadapannya, " Aku janji, aku makan kalau kamu duduk di sini. Aku janji..."
Gemetar, pecah dan rentan. Itu yang Sena tangkap pada nada suara Dirga. Dirga yang ada di depan Sena saat ini terlihat sangat menyedihkan. Sena seakan tidak mengenali Dirga yang ini. Dirga yang dulu dikenalnya selalu penuh dengan percaya diri.
Terlalu percaya diri.
Dengan keengganan besar, Sena akhirnya duduk bersimpuh di hadapan Dirga hingga membuat laki-laki itu tersenyum.
" Kamu selalu cantik, Sena," katanya menatap Sena dengan lembut. Tangannya terulur di mangkuk sayur, namun ia kesulitan menggenggam sendok sayur karena tangan itu gemetar begitu hebat.
Sena hanya menatapnya datar, sama sekali tidak berminat untuk membantunya. Bahkan ketika sebagian besar sayur tercecer di nampan, gadis itu bergeming.
" Ini kamu yang masak kan, Na?" tanyanya setelah menelan suapan yang pertama. " Enak."
Sena masih bergeming. Ia mengawasi Dirga yang menyantap makanannya seperti orang kepalaran. Saking cepatnya ia melahap, laki-laki itu tersedak.
" Ma-mau kemhana??" tahan Dirga ketika Sena bangkit.
" Ambil minum. Habiskan!" ujar Sena dingin seraya menepis tangan Dirga yang hendak menahan tangannya. Sena melangkah ke kontrakannya, hanya untuk menemukan Rafi berguling di lantai sembari membaca majalah dengan piring kotor tergeletak begitu saja.
" Udah selesai, Na?" tanya Rafi ketika Sena masuk. Sena menggeleng singkat. Gadis itu berjalan ke dapur, mengambil segelas jus mangga yang ia buat seteko penuh dan kembali ke kontrakan Rafi.
Sesampainya di sana, ia menemukan Dirga sedang berjongkok sembari membersihkan dinding dan lantai yang terkena tumpahan jus menggunakan tisu. Pecahan kaca sudah ia kumpulkan di salah satu sudut.
Pemuda itu masih cegukan, namun ia menyambut kedatangan Sena dengan senyum lembut dan tatapan yang penuh kerinduan. Laki-laki itu bergegas kembali di tempat duduknya semula.
" Diminum," ujar Sena merapikan nampan yang sudah kosong dan berdiri. " Setelah itu pergi."
" Jangan..."
Sekali lagi, langkah Sena berhenti. Ia berbalik dan dilihatnya Dirga menunduk sembari mencengkram gelas kuat-kuat. Memejamkan matanya sesaat, dengan penuh kendali diri gadis itu memaksa tubuhnya berjalan ke hadapan Dirga dan bersimpuh kembali di sana hanya agar Dirga tidak melemparkan gelasnya lagi.
Dirga masih menunduk dalam, namun Sena bisa melihat sesuatu menetes dari ujung hidungnya.
Hening. Gadis itu hanya menatap Dirga. Bahkan ketika isakan laki-laki itu semakin keras, Sena hanya menatapnya dengan datar.
Dirga meletakkan gelasnya dengan gemetar di samping tubuhnya. Setelahnya, laki-laki itu menatap Sena.
" Devasena, kembali sama aku, Na," ucapnya bergetar. " Aku minta maaf. Aku bersalah sama kamu. Jangan pergi dariku, Na. Aku bisa mati."
Sedetik, dua detik, Sena memalingkan wajahnya ketika matanya memanas.
" Memalukan sekali seorang Dirga Rajendra sampai memohon begini," celetuk Sena berusaha meredam getar dalam suaranya. " Sebenarnya kamu itu ngapain, Ga? Kita sudah selesai."
Dirga menggeleng. " Aku nggak mau. Aku nggak mau sama yang lain selain kamu, Na."
" Kamu bisa sama yang lain. Kenapa repot-repot mohon sama aku? Hm?"
Sekujur tubuh laki-laki itu gemetar, Sena bisa melihatnya. Wajahnya memerah, dengan mata yang juga memerah. Ia menatap Sena dengan pandangan yang tidak pernah Sena kira bisa ada di wajah seorang Dirga Rajendra. Mata itu menatapnya dengan penuh rasa sesal, namun Sena hanya membalasnya dengan datar meski dengan berkaca.
" Berhenti, Dirga," ucap Sena memelankan suaranya. " Berhenti. Kamu cuma bikin aku semakin benci kamu."
Dirga menelan ludah. " Aku nggak mau pisah sama kamu, Na. Selama dua tahun ini aku cari kamu. Aku bahagia sekali ketemu kamu lagi."
Sena mengepalkan tangannya. " Kamu berharap apa? Kita udah selesai."
" Nggak, Na. Please, please jangan. Maaf. Maaf Sena..." Dirga hendak meraih tangan Sena, namun Sena menjauhkannya.
" Tolong, Na. Apa kamu nggak ingat masa-masa kita pernah bahagia? Apa kenangan itu terlalu nggak berharga buat kamu? Sekali saja, cuma sekali, kasih aku kesempatan. Aku janji nggak akan pernah membuat kamu kecewa lagi, aku bersum-"
" Stop, Ga," kata Sena memotong kata-kata Dirga. " Jangan pernah mengumbar sumpah. Itu cuma bikin kamu semakin nggak bisa dipercaya."
Sekali lagi, Dirga hanya bisa menatap Sena. Lidahnya kelu. Bagaimana bisa Sena yang manis dan lembut itu kini menatapnya dengan begitu datar dan dingin?
Sena menatap laki-laki di depannya tanpa emosi apapun selain rasa benci yang memuncak.
" Lima bulan, Ga." Bisik Sena gemetar. " Lima bulan kamu membiarkan Raras ada di antara kita. Lima bulan kamu membiarkan dia hidup semakin kuat di hati kamu. Apa kamu masih mau bilang nggak bisa dengan perempuan selain aku? Apa kamu lupa bagaimana kamu menyentuhnya dengan penuh kelembutan? Hm?"
Dirga bungkam. Laki-laki itu mati-matian menatap Sena, mendengarkan Sena kembali mengungkit dosa-dosanya seperti terdakwa di tengah ruang pengadilan.
" Setelah semua yang kamu lakukan, kamu masih punya muka meminta kita balikan? Apa kamu segila itu?"
Dirga buru-buru mengangguk, " Iya, aku gila waktu kamu pergi, Na." Laki-laki itu mengangkat jari telunjuknya ke dada Sena. " Di sana, aku yakin masih ada kita. Aku berjuang untuk itu, Na."
" Nggak pernah ada kita lagi, Ga. Kamu menghancurkannya di detik pertama kamu selingkuh," ucap Sena. Setitik rasa perih menyayat ulu hatinya ketika memori itu terulang lagi. "Kamu melakukannya dengan sangat sempurna. Jadi apa yang kamu harapkan setelah semuanya? Bodoh kalau kamu mengira aku masih cinta sama kamu."
Sena menatap laki-laki yang terpaku itu beberapa saat, kemudian bangkit sambil membawa nampannya.
" Pulang." ucap Sena singkat. " Kalau kamu nggak pergi dalam satu jam, aku telfon Mas Nadhif."
" Sena!" Dirga berlari mengikutinya keluar dan meraih siku Sena, membuat nampan dan isinya jatuh bergelontangan ke lantai.
" YA TUHAN!!" Sena meraung dengan frustasi dan mendorong Dirga hingga laki-laki itu menubruk kardus yang entah mengapa masih ada di depan kontrakan unit empat. " PERGI, GA! JANGAN GANGGU GUE LAGI!"
Namun Dirga justru kembali mencengkram pergelangan tangan Sena. " Nggak! Aku nggak akan pergi sebelum kamu memaafkan aku, Na."
Sena sudah akan membalas lagi ketika dering ponsel di saku kemeja Dirga menginterupsi. Tanpa melepaskan cengkraman maupun pandangan dari Sena, Dirga meraihnya.
Beberapa menit kemudian, raut wajahnya berubah.
" Aku kesana. Jangan sampai mereka pulang," ucap Dirga singkat sebelum menyimpan ponselnya lagi ke saku.
" Maaf," ucap Dirga lirih sembari melepas pergelangan tangan Sena. Laki-laki itu kembali menatap Sena dengan lembut. Ketika raut emosi menghilang dari wajahnya, Dirga kembali terlihat pucat, lelah dan begitu berantakan. Tangannya terulur hendak meraih rambut Sena, tapi Sena mengambil satu langkah ke belakang.
Melihatnya, Dirga terpaku. Laki-laki itu tersenyum sedih dan menyimpan kedua tangannya ke dalam saku.
" Sebegini dekat dan aku nggak bisa menyentuh kamu," sesal Dirga dengan suara bergetar. Ia mengerjapkan mata sekali demi mengurai air mata yang mulai mengumpul di pelupuk mata. Ia menatap Sena dengan mata memerah penuh penyesalan dan senyum yang mengisyaratkan luka.
. " Aku menyesal, Na. Sangat menyesal. Sekali saja, tolong kasih aku kesempatan. Karena aku masih Dirga milik kamu. Masih Dirga yang begitu mencintai Sena-nya."
Gadis bisa merasakan nada lembut pada kalimat Dirga. Namun dia tetap menatap Dirga dengan datar.
"Aku sampai lupa kalau masakan kamu bisa seenak ini, Na."
Dirga menunggu, namun Sena tidak mengucapkan apapun selain menatapnya dengan wajah sedingin salju. Akhirnya dengan senyum kecut, laki-laki itu mengambil satu langkah ke belakang.
" I love you, still love you, Devasena Gayatri." Katanya menatap Sena dengan kedua tangan di dalam saku. Sejenak, ia menahan pandangan mereka sebelum berbalik dan menuju gerbang dengan kepala menunduk dalam.
Manik mata Sena mengawasi sosok itu hingga menghilang dari balik gerbang, kemudian mengerjapkan matanya berulang kali dan menghirup nafas dalam.
Apa yang dilihat oleh Dirga tentang mereka berdua? Sena dengan jelas memutuskan hubungan mereka dua tahun lalu. Apa laki-laki itu tidak paham jika pengkhianatannya menghapus seluruh rasa Sena untuknya?
Tidak. Tentu saja Dirga tidak paham.
Bagi Dirga, itu semua adalah kekhilafan.
Selingkuh adalah pilihan, bukan karena ada kesempatan. Kesempatan selalu bisa diciptakan tergantung niat seseorang. Jadi tidak, selingkuh bukan kesempatan, tapi pilihan. Seluruh rasa itu sudah rusak pada detik ketika Dirga mengakui semuanya pada Sena. menggelung rambutnya, Sena berbalik untuk membersihkan kepingan mangkuk dan piring yang berserakan di lantai.
Diskors dari pelayanan gizi klinik, bertemu Dirga dan mendapat kekacauan bahkan ketika matahari masih ceria di angkasa. Sena menghembuskan nafas pasrah. Hari Minggu itu seharusnya hari yang membahagiakan, kan?
Sepertinya, Dirga memang senang melihatnya menderita. Siang-siang begini, dia harus mengepel ruangan Rafi dan beranda dimana Dirga memecahkan mangkuknya. Padahal ia belum sempat bersih-bersih di ruangannya sendiri, mengingat dari pagi gadis itu sudah begitu sibuk. Rasanya nyaris mustahil bahwa ia tadi sempat mandi sementara kini ia sudah berkeringat lagi.
Satu jam kemudian, gadis itu berkacak pinggang dengan peluh mengalir di pelipisnya. Ruangan Rafi sudah wangi, begitu juga keramik beranda yang akan membuat semut tergelincir saking licinnya Sena mengepel. Sena melihat hasil kerjanya dengan puas sebelum kembali ke ruangannya sendiri.
Rafi tidur telentang dengan kepala berada di atas majalah yang terbuka. Tangan dan kakinya membuka lebar. Tampak nyenyak sekali dengan mulut terbuka. Ketika pandangan Sena terjatuh di piring kotor yang masih ada di samping kaki Rafi, pelipis gadis itu kembali berdenyut.
Menyeretnya keluar dengan paksa?
Mengguyur dengan seember air?
Membiarkan laba-laba masuk ke mulutnya?
Mana pilihan Sena untuk membangunkan tetangga konyolnya yang satu ini?
*TBC*
😤😤😤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro