Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

DEVASENA | 6. Pagi Sibuk Sena

Tidur,

adalah salah satu cara untuk memperbaiki mood yang buruk. Setidaknya, hal itu berlaku bagi Sena. Maka, jangan heran jika sepagi ini dirinya sudah bernyanyi sebegitu kerasnya.

" BUT EVERYTIME YOU HURT ME THE LESS THAT I CRY!! AND EVERYTIME YOU LEAVE ME THE QUICKER THESE TEARS DRY!! AND EVERYTIME YOU WALK OUT THE LESS I LOVE YOU!!"

Sena bernyanyi mengikuti lirik lagu ketika meloloskan jumper melewati kepalanya. Gadis itu berkaca, melihat refleksi dirinya yang sudah lengkap dengan jumper berwarna merah, celana training hitam dan rambut berkuncir kuda. Tinggal memakai sepatu kets, dirinya siap untuk ikut Car Free Day, aktivitas rutinnya di Minggu pagi.

Sena memastikan keadaan dalam kontrakan sebelum memakai sepatu ketsnya. Gadis itu memasang hoodie-nya dan membuka pintu depan dengan bersemangat.

Tapi seluruh semangatnya harus binasa ketika dilihatnya Dirga tengah duduk di depan tembok kontrakan dalam posisi bersila. Ia menoleh kala Sena keluar.

" Ternyata selama ini kamu tinggal di sini," ucapnya tersenyum lembut sebelum bangkit. Sena tidak perlu bertanya untuk tahu bahwa laki-laki itu tidur di sana semalam penuh. Wajahnya terlihat pucat dan lelah dengan rambut belakang yang mencuat kaku, hasil bersandar di tembok dengan posisi yang tidak nyaman.

Sena memalingkan wajah sebelum berjalan melewati Dirga seolah pemuda itu hanyalah tembok kusam tidak berarti. Didengarnya Dirga berjalan cepat demi mengimbangi langkah Sena, membuat Sena mengepalkan tangan dalam-dalam ke saku jumper.

" Sena, apa kita nggak bisa bicara sebentar saja?" tanya Dirga yang kini berada di sampingnya. " We need to talk, Na. Kamu nggak bisa pergi begitu saja. Aku kangen kamu, Na. Selama ini, aku masih kangen sama kamu."

Sena menahan keinginan untuk mendengus keras-keras. Ck! Dimana Rafi dan yang lain ketika Sena sangat butuh orang untuk menyeret Dirga pergi dari sampingnya?

" Sena... ," panggil Dirga lirih ketika gadis itu tidak juga menggubrisnya. Dirga meraih siku Sena, menghentikan langkah gadis itu.

Dengan cepat, Sena berbalik dan mendorong keras tubuh Dirga hingga tubuh pemuda itu terhuyung. Namun sebuah kardus menghalangi kakinya hingga akhirnya Dirga terjatuh di atas tumpukan kardus yang tertata di depan salah satu kamar.

" Lo mau ngomong apa?" geram Sena menatap nyalang pada Dirga yang berusaha bangun dari kardus-kardus itu. " Berhenti ganggu gue, Ga!"

Sena hendak berbalik, namun Dirga lebih cepat meraih tangannya.

" Sena... ," panggilnya bergetar. Laki-laki itu berlutut di depan Sena seraya menatap Sena dengan penuh penyesalan. " Aku memang brengsek, Na. Aku mengaku semuanya sama kamu. Aku salah karena sudah mengkhianati kamu. Tapi, Na, aku sadar kalau aku nggak bisa kehilangan kamu. Jangan begini, Na. Please, satu kesempatan saja, ayo kita bicara."

Sena memalingkan wajah ketika raut Dirga begitu menyedihkan.

" Maafkan aku, Na. Maaf...Aku masih sayang kamu. Aku bisa mati cari kamu selama dua tahun ini, Na. Ayo kita bicara, Sena. Kita butuh bicara, please..."

Sena mengibaskan tangannya dan berbalik. Sama sekali mengabaikan Dirga.

" Sena, aku nggak akan pulang sebelum kamu mau bicara." Dirga berkata lirih. " It hurts me, Na. Listen to me, I still love you, still miss you. It hurts me, Sena. So please, give me another chance."

Mendengarnya, Sena berhenti. Gadis itu berbalik dan menatap Dirga yang masih berlutut dengan tatapan mematikan.

" Apa yang mau kamu bicarakan?" hujam Sena. " Kamu yang menyesal? Kamu yang meminta maaf? Kamu yang berjanji nggak akan ngulangi itu lagi?"

Dirga menelan ludah. Tidak ada yang dilakukan laki-laki itu selain terpaku pada Sena yang kini terlihat begitu dingin di depannya.

"Selingkuh itu bukan ketidaksengajaan, kekhilafan atau apapun kata yang kamu pakai untuk membela diri. Selingkuh itu pilihan! Berapa kalipun kamu menjelaskannya, Dirga Rajendra, yang aku tahu kamu memilih untuk melakukannya. Jelas bagiku kamu melakukannya dengan kesadaran penuh dan kamu masih berani bilang semua itu di depanku? It's nothing but a trash for me."

Dengan satu pandangan tajam penuh kebencian, gadis itu berbalik dan berjalan menuju gerbang, meninggalkan Dirga yang tergugu dalam posisi berlutut di depan pintu-pintu yang tertutup itu.

**

Sudah putaran ke sepuluh, tapi kaki Sena masih saja berlari di jalan yang melingkari alun-alun kota. Keringat membalut sekujur tubuhnya, hingga Sena yakin kaus yang ia kenakan di dalam lapisan jumper-nya kini mungkin basah kuyup. Tapi gadis itu seolah tidak peduli. Ia masih saja berlari.

Dia membenci Dirga begitu dalam sampai merasa tulang belulangnya ikut meleleh akibat api yang melalapnya. Bagaimana bisa laki-laki itu masih berani menyetor muka di hadapan Sena setelah semua yang terjadi?

" Lima bulan lalu waktu aku ke Sidney. Kita ketemu tanpa sengaja. Waktu itu nggak ada niat apapun, Na. Semuanya mengalir begitu aja. Kita jadi sering ketemu. Sumpah, kita hanya ngobrol biasa. Tapi, Na, Sena, I don't know what I've done, Na. I am sorry!"

" Sena sayang, Sena, maaf!"

" Kamu mau dengerin aku kan, Na? Kemarin aku bohong sama kamu, iya, aku pergi sama Raras! Tapi kamu harus tahu itu untuk apa! Aku memutuskan bilang sama dia kalau hubungan kami nggak bisa diteruskan. Aku sadar udah jahat sama kamu, Sena. Aku terlalu sayang sama kamu, aku nggak mau kehilangan kamu. Tapi tiba-tiba saja tadi pagi dia datang dan...kita khilaf, Na. Sena, Devasena, maaf! Sena, maaf!!"

Sena menyugar rambut di wajahnya dengan kasar. Dua tahun lalu ketika pengkhianatan Dirga terbongkar, Sena tidak pernah mengizinkan Dirga bertemu dengannya. Kehadiran laki-laki itu menjadi sebuah momok dalam kehidupannya. Sena berusaha keras menyelesaikan skripsinya dan lulus dengan baik, kemudian pindah ke sini untuk bekerja di rumah sakit pertama yang menerima lamaran kerjanya.

Sena menelan kembali teriakan frustasi yang nyaris lepas dari ujung lidah, berkonsentrasi pada suara bening dari kabel headset yang terpasang di telinganya.

Hingga tiba-tiba nada panggil mendadak menginterupsi alunan lagu yang tengah didengarnya, Sena berhenti. Nama Danar terpampang di layar ponsel.

" Pagi Pak, ada apa?" tanya Sena duduk di rerumputan seraya mengatur nafasnya.

" Dev, tolong ke rumah sakit sekarang!" perintah Danar tegas.

" Hm? Ada apa?" tanya Sena waspada.

" Pasien Jenny baru saja dinyatakan meninggal karena anafilaksis. Saya baru di luar kota tapi langsung menuju ke rumah sakit. Untuk sementara, kamu ke sana dulu menggantikan saya."

Se-bentar.

" P-Pak, maaf tapi...eh, anafilaksis?" tanya Sena ingin memastikan. Gadis itu berdiri dengan jantung yang mulai berpacu. " Meninggal karena anafilaksis?"

Dengan nanar, gadis itu memastikan kembali apa yang telah didengarnya.

" Iya, Anafilaksis. Itu mengapa saya butuh kamu di sana, Dev. Jenny akan menjelaskan semuanya sama kamu. Saya tutup dulu. Kamu langsung kesana! Ini gawat, bisa jadi dewan rumah sakit ada di sana juga."

Bahkan setelah sambungan terputus, gadis itu masih bergeming dengan ponsel di telinga dan mulut ternganga.

Anafilaksis atau syok anafilaktik adalah reaksi alergi berat yang bisa berujung pada kematian jika terlambat ditangani. Meskipun anafilaksis memang bisa mengakibatkan kematian, namun Insidensi anafilaksis hingga menyebabkan kematian di rumah sakit itu kecil.

Karena apa?

Alergi apa?

Tiba-tiba saja, tubuh Sena merinding. Apa ada informasi pasien yang luput dari pengamatannya? Apa dia mempunyai alergi makanan yang lupa Sena catat?

Dengan jantung berdegup kencang, gadis itu berlari menuju halte bis terdekat.

Sesampainya di rumah sakit, keadaan begitu kacau balau.

Pasien yang awalnya hanya mengeluh pusing hebat kini terbaring tidak bernyawa dengan sanak saudara menangisi kepergiannya yang sangat mendadak. Sena yang masih dalam balutan jumper dan celana training berusaha mencerna pemandangan di depannya.

" Sena, kamu di sini?"

Sena berbalik dan menemukan Jenny berdiri tepat di belakangnya. Wanita itu terlihat begitu lelah dan kalut.

" Danar yang meminta kamu di sini?" tanyanya. Sena mengangguk. Belum sempat ia berkata apa-apa, Jenny sudah meraihnya ke ruangan.

" Itu rekam medisnya," ucap Jenny singkat seraya menutup pintu sehingga hanya ada mereka berdua di ruangan ini. " Ingat lagi, Na. Hari itu kamu yang piket di bangsal ini, kan? Kamu udah tanya semua yang perlu kamu tahu tentang dia?"

Gemetar, Sena membuka rekam medis itu hingga menemukan lembar asuhan gizi yang diterbitkan dari instalasi gizi miliknya. Sena mengangguk.

" Dia alergi seafood dan dia sangat menghindarinya, karena dia mengaku pernah sesak nafas ketika tidak sengaja mengkonsumsi seafood," kata Sena susah payah, " dan kami jelas tidak pernah menggunakan bahan makanan dari laut. Dia tidak alergi telur, tidak alergi kacang-kacangan, tidak ada laporan dia menunjukkan tanda-tanda alergi dari perawat ruangan. Bagaimana dengan komplikasi obat-obatan?"

Jenny menghela nafas, "Dia ada di bawah pengawasan selama satu minggu, Na. Aman."

BLAK

Suara pintu yang membuka tiba-tiba membuat Sena dan Jenny menoleh. Tampak Danar masuk dengan tergesa ditemani seorang laki-laki yang rambutnya sudah mulai memutih.

" Gimana?" tanya Danar berdiri di belakang Sena dan meletakkan kedua tangannya di pundak gadis itu. Sekilas, Jenny memperhatikannya sebelum kembali menatap Danar.

" Sena bilang dia tidak melewatkan apapun," kata Jenny.

Danar mengangguk, " Saya percaya Sena. Dia sangat teliti dalam pekerjaannya," ujar Danar menatap laki-laki tua tadi yang kini mengamati mereka dengan begitu serius.

" Apakah memungkinkan dilakukan autopsi klinik?" Ucap Erwin yang merupakan salah satu dewan tinggi di rumah sakit. " Banyak variabel yang bisa mengakibatkan anafilaksis. Seperti yang Danar katakan, faktor alergi makanan dan obat-obatan jadi dugaan terbesar saat ini. Sampai terjadi kasus seperti ini, kredibilitas rumah sakit bisa dipertaruhkan. Autopsi klinik bisa membantu menegakkan penyebab kematian."

Jenny dan Danar mengangguk, sementara Sena menelan ludah. Kemudian, mata tajam Erwin beralih pada Sena.

" Saya percaya penilaian Danar pada kamu. Tapi ada baiknya kamu tidak memegang rawat inap sementara kasus ini menemukan titik terang," ucapnya serius.

" Maaf, tapi Sena tidak mungkin lalai. Sudah jelas dia mempertimbangkan alergi yang mungkin dialami pasien," kata Danar menatap Erwin dengan tajam.

Erwin menghela nafas dalam. " Saya berusaha melindungi Sena. Sudah tanggungjawabnya untuk melakukan pelayanan yang baik dan aman. Tapi dengan adanya kasus seperti ini, kita tidak bisa mengambil resiko. Kredibilitas rumah sakit dipertaruhkan di sini. Saya bukannya menuduhmu, Sena. Tapi ada baiknya kamu berada di posisi yang aman sebelum semuanya jelas."

" Pak, tapi—"

Sena menepuk tangan Danar yang berada di bahunya, menyuruhnya berhenti bicara. Masih berusaha mencerna keadaan, gadis itu mengangguk pasti.

" Saya sanggupi, Pak," ucap Sena tegas. " Sampai rumah sakit menegakkan penyebab yang pasti, saya keluar dari tanggungjawab gizi klinik."

Erwin mengangguk puas, " Kamu pegang konsultasi saja dulu. Kebanyakan pasien rawat jalan selalu menanyakan kamu."

Sena mengangguk singkat sebelum mata Erwin kini menyapu Jenny.

" Bu Jenny, saya meminta laporan lengkap penggunaan obat pada pasien," ucap Erwin yang diangguki Jenny. Perempuan itu menutup kembali data rekam medis pasien di hadapannya dan menyerahkannya pada Erwin.

" Ini akan jadi kasus yang berat. Seorang pasien meninggal di rumah sakit karena anafilaksis, bukan hanya menarik perhatian atasan dan organisasi kesehatan lain, tapi juga keluarga yang tidak memahami keadaan hingga bisa saja mereka cuap-cuap dimana saja. Oh, dan satu masalah lagi. Suami sang korban adalah pengacara. Dia...sudah mengeluarkan beberapa ancaman verbal tadi. Tapi mari kita tidak terpengaruh tekanan dari luar dan menyelesaikan ini dengan profesional. Kalau memang kesalahan ada di pihak kita, kita akan mengatakannya dengan penuh lapang dada. Selamat siang," ucap Erwin sebelum meninggalkan mereka bertiga dalam satu ruangan.

Keheningan melanda beberapa waktu setelah Erwin keluar dari ruangan. Kemudian tanpa aba-aba, Danar menarik Sena dalam pelukannya.

" Tuhan, ada-ada saja," ucapnya mengusap belakang kepala Sena. " You'll be okay, I promise you."

" Saya yakin sudah mencatat semua riwayat alergi pasien," celetuk Sena pelan. Pikirannya saat ini sedang tidak berada di bumi.

Danar mengangguk. " Kamu nggak salah. Saya bisa jamin itu."

Saat itu, Sena mengerjapkan mata. Ia mulai bisa merasakan sebuah kehangatan yang sangat tidak wajar.

Sena memekik, kemudian mendorong keras Danar dari tubuhnya.

" Nggak perlu nempel-nempel juga, kan?" dengus Sena kesal sebelum menoleh ke arah Jenny yang sedari tadi diam saja. " Bu Jenny, silahkan marahi Pak Danar. Saya bukan orang yang butuh jasa free hug!"

Jenny mengangkat alisnya, kemudian terkekeh pelan. " Untuk masalah ini, kita tunggu keputusan dewan dan dokter yang lain. Maaf mengganggu hari kamu, Na. Kamu boleh pulang."

" Sip! Biar aku antar-"

" Danar, kita perlu bicara," ucap Jenny memotong kalimat Danar.

Sena mengangguk-angguk. " Kalau begitu saya permisi."

" Kamu kesini naik apa?" tanya Danar mencegah Sena berbalik.

Sena memutar bola mata, " Yang pasti nggak naik pesawat," ucapnya singkat sebelum berjalan ke pintu dan menutupnya.

" Aku antar dia dulu, Jen. Dia pasti naik bis kesini," kata Danar tergesa. Namun saat itu, Jenny bangkit dan menahan sikunya.

" Apa harus segitunya kamu bertingkah di depanku, Nar?" ucap Jenny meninggalkan ketenangannya. Entah sejak kapan, mata cantik berbingkai bulu mata lentik itu berkaca. " Aku tunangan kamu. Walaupun kamu sebegitu menolaknya, paling nggak kamu seharusnya bersikap pantas di depanku."

Danar terdiam sejenak, kemudian laki-laki itu menghembuskan nafas panjang.

" Kamu tahu benar pertunangan itu bukan mauku, Jen," kata Danar yang akhirnya berbalik untuk menghadapi Jenny. " Itu hanya untuk menghormati orangtua kita."

Genangan di mata Jenny semakin bertambah.

" Setelah selama ini, Nar?" bisik Jenny. " Sena bahkan nggak sadar sama perasaan kamu."

Mendengarnya, Danar tersenyum samar. Ia melepaskan cengkraman Jenny dari tangannya.

"I do love her. So much. Aku menikmati setiap hariku bersamanya. Nggak perlu tergesa, Jen," ucap Danar. " Kamu sahabat terbaikku. Tapi aku nggak bisa kasih lebih dari itu. Kamu tahu pasti hatiku milik siapa."

Dengan senyum singkat, Danar mengangguk pelan pada Jenny sebelum berbalik. Meninggalkan Jenny yang patah hati entah untuk yang keberapa kali.

" Tega kamu, Nar," bisik Jenny ketika akhirnya air mata mengalir di pipinya. Kedua matanya masih menatap pintu yang tertutup itu.

Dari awal, dia tahu hanya dia yang berjuang di pertunangan ini. Dia tahu sekali Danar tidak pernah menyimpan rasa padanya. Tapi bahkan setelah dia tahu kepada siapa hati Danar diberikan, rasa sakit itu tidak pernah berkurang.

Bukan untuk pertama kalinya ia berfikir untuk mengakhiri saja pertunangan ini, demi mencegah dirinya berharap dengan konyol bahwa suatu hari Danar bisa balas mencintainya. Tapi hal itu terlalu beresiko.

Seperti sebuah kisah klasik, ketika orangtua mereka saling berjanji untuk menikahkan anak mereka atas dasar persahabatan. Tanpa sadar, mereka membuat Jenny dan Danar terluka.

**

Melangkah keluar dari dalam bis, Sena bahkan setengah sadar jika sesuatu telah terjadi di depan kontrakan.

Sena mengerutkan kening kala melihat punggung Rafi, Gagah, Yolla serta Ana berkerumun di depan unitnya. Gadis itu berjalan mendekat, kemudian mencolek punggung Rafi hingga laki-laki itu terlonjak.

" OII, JANTUNGAN GUE!" seru Rafi melotot. Sena memutar bola mata.

" Ada apa, sih?" tanya Sena berusaha ikut melongok ke tengah kerumunan. Setelahnya, ia terbelalak.

" Ini siapa sih, Na? Sedari tadi berlutut kayak orang bego gitu di depan pintu kamu. Eh, waktu aku keluar lagi, dianya udah tepar," ujar Ana cemas yang bersimpuh di samping Dirga dan mencolek pipinya. " Pingsan kayaknya."

" Kurang makan, paling. Pucet banget, gitu," komentar Yolla yang mengamati wajah Dirga.

" Kalau gelandangan, kita harus mempertanyakan Armani sama jam tangan Rolex-nya," tutur Gagah.

" Bisa aja kan itu KW," celetuk Rafi. " Sejak kapan sih dia di sini? Lo berangkat CFD lih—ampun Na, kok lo apek banget? CFD apa guling-guling di kandang ayam, sih?"

Rafi mengernyit seraya menjauh dari Sena. Sena menghela nafas panjang. Paginya memang sangat luar biasa. Sena mendekat dan memeriksa denyut nadinya. Setelahnya, ia menangkupkan tangan di dahi Dirga dan merasakan dingin yang basah di sana.

" Jadi?" tanya Gagah.

Sena kembali bangkit. " Dia temanku. Namanya Dirga."

Yolla mengerucutkan bibir, " Temen?"

Sena meliriknya sejenak, " Mantan."

Seperti sebuah bom yang dijatuhkan tepat di depan wajah mereka, keempat orang itu ternganga.

" MANTAN?? MANTAN APA? BOS? SOPIR? TEMAN TAPI MAU?" serobot Rafi heboh.

Sena berdecak, mengabaikan mata Rafi yang hampir keluar dari rongganya. " Paling dari kemarin nggak makan. Tolong dibawa ke tempat Mas Rafi. Nanti aku bawakan makanan."

" Lhah, kenapa di tempat gue? Dia kan mantan lo!" sergah Rafi tidak terima.

Sena menatap wajah pucat itu dengan datar sebelum melangkah ke arah pintu, " Karena aku nggak mau jadi kriminal pakai pisau dapur. Cubit aja pipinya. Bilang nanti aku bawakan makanan. Kalau nggak siuman juga, tenggelemin di bak mandi."

Semuanya hanya ternganga ketika punggung mungil itu menghilang, kecuali Ana yang menyipit seolah meneliti setiap inchi tubuh lelaki yang terkapar lemas di hadapannya.

" Kok kayaknya aku pernah lihat dia, ya?"

*TBC*

Baby we don't stand a chance...

Footnote :

Syok Anafilaktik/Anafilaksis adalah reaksi alergi yang berbahaya karena bisa menyebabkan kematian beberapa menit atau detik setelah korban terpapar dengan alergen/zat yang menyebabkan alergi. Penyebab bisa makanan, sengatan/gigitan serangga, obat-obatan tertentu dan masih banyak lagi.

Autopsi Klinik : Autopsi yang bertujuan untuk menentukan sebab kematian, menentukan kesesuaian diagnosis klinik selama perawatan dan sebagainya. Mempunyai tujuan yang berbeda dengan autopsi forensik. Lebih jelas silahkan tanya mbak Gugel di website terpercaya.

^^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro