Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

DEVASENA | 5. Kembali

Oka melangkahkan kakinya menyusuri lorong rumah sakit menuju parkir sepeda motor. Sebentar lagi, dia akan melewati ruangan Sena. Dia harus memasang tampang yang bagaimana? Baik-baik saja? Merasa terluka? Ah, itu tidak dewasa.

Tapi nyatanya, dia masih merasa sangat tidak terima. Padahal dia tahu ada dua kemungkinan ketika dia menyatakan perasaannya kepada Sena dan ditolak adalah salah satunya. Tapi bukan seperti itu, seolah pernyataannya tidak layak dipikirkan oleh Sena. Juga, gadis itu sama sekali tidak memberikan alasan apa-apa selain 'belum siap'.

Oka menghela nafas dalam dan menunduk untuk mengamati kakinya. Yah, dia tidak pantas menyalahkan Sena. Walau bagaimanapun, dia tetap harus menghormati Sena. Tapi tolong, setelah hari itu dia merasa amat sangat tersiksa.

Langkah Oka terhenti kala ia berbelok. Oka mengerutkan kening. Pasalnya tepat beberapa langkah di depannya, delapan orang sedang berjongkok dan berjejalan sembari menempelkan telinga pada tembok maupun daun pintu yang diketahui Oka sebagai ruang kepala Instalasi Gizi, Danar Prasetya.

" Kenapa?" tanya Oka mendekat setelah memastikan tidak ada Sena di sana.

Kanya langsung menempelkan ibu jari ke depan mulutnya, menyuruh Oka diam.

" Ada apa sih?" Oka ikut menurunkan suaranya. Tanpa sadar laki-laki itu ikut berjongkok.

" Ada mantannya Sena di dalam," sahut Rudi, salah satu teman perawatnya. Laki-laki itu semakin merapatkan telinganya pada daun pintu.

" Hah?" seru Oka yang langsung disekap Farida.

" Dibilangin suruh diem! Berisik lo!" omel Farida dalam bisikan.

"Pacarnya Sena ada di dalem?" tanya Oka melotot begitu Farida melepaskan tangannya. " Sena punya pacar?! Sejak kapan? Ngapain pacarnya di sini? Mau ngelamar juga? Emang kita buka lowongan?"

Kanya memutar bola mata. " Panjang ceritanya. Yang jelas, baru kali ini gue lihat Sena seliar itu. Lagipula lo kira Sena seunyu itu apa? Dan please, ini udah jadi mantan, ya. Lo bakal kaget siapa mantannya Sena. Pantes aja dia nolak semua cowok, mantannya aja ngeri gitu."

Oka mengerutkan kening. " Siapa mantannya? Kok lo bisa tahu?"

Kanya menunjuk dada Oka dengan angkuh. " Lo juga kenal kali, Ka. Mantannya Sena namanya Dirga. Dirga Rajendra. Putra bungsu dari Shahrul Rajendra yang ketua parpol itu."

Tentu saja, Oka butuh waktu untuk mencerna semua ini. Rajendra. Iya, nama itu sangat familier di telinganya saking seringnya pembawa berita menyebut Rajendra bahkan hanya dalam waktu satu jam.

" Gue nggak pernah dengar nama Dirga Rajendra. Gue dengernya Nadhif Rajendra, anaknya yang juga ikut dunia politik," sahut Oka. " Yakin dia Rajendra yang itu?"

Bima, salah satu teman perawatnya menatap Oka malas. " Nadhif kakak sulungnya yang emang terjun ke politik. Si Dirga itu nggak terjun ke politik. Dia lebih ke bisnis. Lo nggak pernah nonton berita kali, ya? Dia yang punya jaringan TeraMart!"

" Nggak mungkin!" terpis Oka cepat membuat yang lain mendengus. Pacarnya Sena orang yang punya TeraMart? Jaringan mall modern yang kini tengah merajai dan mulai merambah ke kota-kota besar lainnya? Seluruh bulu di tengkuk Oka langsung berdiri saat itu juga.

" Pikiran lo sama kayak pikiran kita. Tapi Kanya udah browsing dan itu emang Dirga yang sama. Mampus kalau mantannya Sena selevel itu. Masih muda, belum lulus S2 aja rekening udah kemana-mana. Apa kabar gue yang anak ayam gini?" ujar Bima pelan.

" Pantesan gue ditolak," gumam Rudi.

" Dih langsung kempes semua. Mana yang katanya mau memperjuangkan Sena sampai titik darah penghabisan?" kekeh Kanya menjewer telinga Rudi hingga laki-laki jangkung itu meringis.

Oka menatap mereka yang masih saja berebut untuk mencuri dengar lewat lubang kunci. Agaknya, tidak ada yang tahu bahwa dia pun telah menyatakan perasaannya pada Sena. Kemudian, pemuda itu menegakkan diri dan berjalan pergi.

" Lhoh Ka? Nggak penasaran? Anda butuh tahu bagaimana mantan Sena agar bisa menjadi lebih super, Saudara Oka!" sahut Bima serius. Oka hanya mendengus kecil sembari menyusupkan kedua tangannya ke dalam saku, sama sekali tidak berminat untuk menjawab.

Belum siap atau belum move on?

**

" Jadi, ada yang mau menjelaskan?"

Saat itu juga, Sena membuang muka.

Danar menghela nafas panjang. Dirinya baru saja selesai mengikuti rapat yang diadakan oleh Riskesdas. Bahkan sebelum sempat menghabiskan minumannya, pria itu mendapat telfon dari rumah sakit bahwa anak buahnya melakukan pelanggaran etika.

Danar tentu saja langsung bergegas menuju rumah sakit sore itu juga, hanya untuk mendapati seorang mahasiswa pascasarjana bernama Dirga baru saja selesai mendapatkan perawatan akibat cidera pada hidungnya. Menurut laporan yang diterima, anak buahnya yang bernama Devasena Gayatri-lah yang menyebabkan laki-laki tinggi itu babak belur.

Danar kesulitan menerima fakta ini. Tentu saja dia kesulitan. Meskipun Sena bisa menjadi partner debat yang sangat kompetitif untuknya, dia tidak yakin calon istrinya yang bertubuh mungil itu mampu bersikap begitu bar-bar. Tapi kini setelah dia menghadapi Sena, dia bisa melihat kemungkinan itu kala mendapati tatapan benci Sena pada laki-laki yang duduk di sebelahnya.

" Pihak rumah sakit sudah melakukan pemeriksaan, dan tidak ada video amatiran dalam bentuk apapun yang menjadi bukti adegan lucu tadi. Syukurlah teman-teman sejawat kita tidak bertingkah begitu kekanakan dan mengabadikan apapun itu untuk diunggah di media sosial. Jadi, saya tidak tahu apa yang sudah dilakukan Dirga sampai kamu melukainya." Ucap Danar yang lagi-lagi diabaikan Sena. Danar berdehem, mengerling ke arah pintu yang tertutup dimana dia yakin, berpasang telinga sudah menempel di daun pintu maupun di tembok depan ruangannya.

" Karena tidak berpotensi menjadi kasus pencemaran nama baik, untungnya, atasan hanya menyuruh saya memberi kamu surat peringatan, Dev," sambung Danar dengan suara yang lebih pelan. " Jadi tolong, jelaskan pada saya apa yang sebenarnya terjadi. Karena menurut Kanya, kamu tiba-tiba saja menyerang Dirga. Ada apa? Kalian saling kenal? Ada masalah pribadi?"

Sungguh, jika ada tombol mute, Sena rela melakukan apa saja untuk mengaktifkan tombol itu demi satu nama.

Berdehem, Sena berusaha untuk bersikap tenang. Gadis itu menatap Danar dengan pandangan datar.

" Bukan apa-apa. Kami hanya pernah kenal di masa lalu."

Masa lalu yang sangat kurang ajar.

Danar mengangkat alis. Dia memang sudah mendengar itu dari Kanya. Tapi mendengarnya dari mulut Sena sendiri tentu terdengar lebih serius. Tidak bisa ia pungkiri, ia tahu siapa Dirga yang sedang duduk di depannya.

" Mau diselesaikan di sini? Agaknya kalian perlu mediator. Jangan sampai saya kehilangan salah satu Dietitian terbaik saya hanya karena masa lalu," ucap Danar tenang.

" Tidak perlu."

" Ya."

Sena dan Dirga mengatakan sesuatu yang berbeda dalam waktu bersamaan, membuat Sena menoleh pada Dirga.

Gerakan yang salah, karena tiba-tiba saja dirinya terlempar di masa lalu, ketika rasa sakit itu masih baru dan berdarah.

Sena menghirup nafas dengan susah payah.

" Nggak. Kita udah nggak ada masalah lagi," ucap Sena datar. " Tadi hanya respon impulsif dari kenangan buruk. Saya cuma perlu menandatangani surat permintaan maaf, kan? Sini saya tandatangani."

Sena mengulurkan tangan ke arah kertas di hadapan Danar, namun Danar menjauhkannya.

" Kamu tidak benar-benar tulus untuk meminta maaf, Dev," ucap Danar.

Tangan Sena terkepal di pangkuan.

" Sena, we need to talk." Dirga mengerling ke arah Danar yang jadi sibuk membaca surat pernyataan. " Seperti kata beliau ini, kita perlu mediator. Karena kamu pasti akan menghilang kalau kita bicara berdua saja."

Sena tidak akan pernah bisa melupakan warna suara Dirga. Berat, penuh kekuatan sekaligus lembut di waktu yang sama. Sebuah suara yang sayangnya kini jadi begitu menakutkan untuknya.

Hening sejenak, akhirnya Sena berdiri dan membungkuk hormat pada Danar.

" Saya permisi," ucap Sena berpaling dan melangkah ke arah pintu. Lagi, sebuah tangan menahannya.

" LO BENERAN MAU GUE HAJAR LAGI APA GIMANA?"

" Easy, Dev, easy!" ujar Danar cemas pada Sena yang menatap Dirga dengan tajam. Laki-laki itu dengan cepat berdiri di antara Dirga dan Sena. Kali ini, dia percaya sepenuhnya bahwa Sena yang ini sangat berbahaya.

Sena menghembuskan nafas keras, kemudian berjalan cepat ke arah meja Danar. Tanpa sempat dicegah Danar, Sena meraih sebuah pulpen dari meja Danar dan membubuhkan tanda tangannya dengan cepat ke sebuah lembar di atas meja.

" Sebentar Dev, ini belum selesai!" Danar menyambanginya begitu sadar apa yang tengah dilakukan Sena. Sena tidak menggubris. Ia selesai menandatangani tiga lembar surat permintaan maaf sebelum membanting pulpen itu ke atas meja.

" Nggak ada yang perlu diselesaikan," tukas Sena meraih tasnya dan berjalan menuju pintu. Namun demikian, gadis itu berhenti kala tangannya sudah meraih kenop pintu.

" Urusanmu sama saya. Tidak perlu mediator segala. Kekanakan!" ujar Sena tajam sebelum membuka kunci dan menarik keras daun pintu, hanya untuk menemukan wajah-wajah melongo di sana.

Sena mengabaikannya. Dengan langkah pasti, seorang Devasena Gayatri membelah kerumunan dan pergi sejauh mungkin dari eksistensi yang dibencinya setengah mati.

Danar menahan Dirga tepat waktu.

" Maaf, tapi saya harus mengklarifikasi apakah kamu akan menuntut kami atau tidak. Lebih tepatnya, Dev-Sena," ujar Danar mengedik ke arah kursinya sebelum menutup kembali pintu kantor, mengabaikan wajah-wajah konyol dan bersalah yang kini berpura-pura membersihkan kaca jendela.

" Tidak," jawab Dirga pasti. " Ini salah saya. Saya tidak akan menuntut Sena."

Danar sedikit menelengkan kepala demi mengamati pemuda di depannya. Seorang laki-laki yang masih muda dengan pencapaian tidak biasa. Danar suka cara berbicara Dirga. Tapi kenyataan bahwa dia dan Sena pernah mempunyai masa lalu cukup mengganggunya.

" Kalau begitu, silahkan tanda tangan di sini," ujarnya mengulurkan selembar kertas ke depan Dirga. " Saya tahu ini bukan urusan saya, tapi saya penasaran. Kamu orang bisnis. Kenapa datang ke seminar gizi? Setahu saya, seminar tadi tidak membahas kewirausahaan."

Dirga mengangguk singkat, " Saya juga ada seminar di lantai yang berbeda. Waktu mau pulang, saya melihat Sena sekilas." Laki-laki itu tersenyum samar, " Selama dua tahun saya mencarinya, ternyata kali ini dia benar-benar ada di sini."

" Devasena, dia tidak pernah bertingkah seperti itu. Dia memang kadang kejam dengan pasien-pasien yang menurutnya keterlaluan, tapi dia selalu punya kontrol diri," ucap Danar beberapa saat setelah urusan mereka berdua selesai. Ia mengamati Dirga lekat-lekat. " Apapun urusan kalian, selesaikan dengan baik. Karena Dev sudah menolak mediasi, saya hanya bisa berdoa semoga kamu selamat."

" Sena memang tidak pernah bertingkah seperti itu. Dulu, dia manis sekali," ucap Dirga tersenyum tipis seolah sedang mengingat sesuatu di masa lalu. "Saya yang masih punya urusan dengannya, bukan sebaliknya.Dia berhak untuk menolak, dan dengan alasan yang bagus.

Danar mengangkat alis. " Dosa abadi kaum laki-laki?"

Dirga tergelak sedih, kemudian mengangguk. " Dosa abadi kaum laki-laki."

**

" Lima bulan lalu waktu aku ke Sidney. Kita ketemu tanpa sengaja. Waktu itu nggak ada niat apapun, Na. Semuanya mengalir begitu aja. Kita jadi sering ketemu. Sumpah, kita hanya ngobrol biasa. Tapi, Na, Sena, I don't know what I've done, Na. We've gone too far. I am sorry!"

" Sena sayang, Sena, maaf!"

" Kamu mau dengerin aku kan, Na? Kemarin aku bohong sama kamu, iya, aku pergi sama Raras! Tapi kamu harus tahu itu untuk apa! Aku memutuskan bilang sama dia kalau hubungan kami nggak bisa diteruskan. Aku sadar udah jahat sama kamu, Sena. Aku terlalu sayang sama kamu, aku nggak mau kehilangan kamu. Tapi tiba-tiba saja tadi pagi dia datang dan...kita khilaf, Na. Sena, Devasena, maaf! Sena, maaf!!"

" Na!"

Seruan tepat di telinganya membuat gadis itu terlonjak. Segelas coklat panas tumpah hingga gadis itu memekik kala panas menyengat tangannya.

" Ck! Ini anak dari tadi kemana, sih?" Gerutu Rafi menjambret tisu di sampingnya dengan cekatan dan mengelap tangan Sena. Sena mengerucutkan bibir, mengamati Rafi yang membersihkan coklat panas di tangannya dengan telaten.

" Duduh..." keluh Sena ketika ruam kemerahan tercipta samar di punggung samarnya. Pikirannya benar-benar tidak mau diajak kompromi. Sena mencoba menarik fokusnya, mengingatkan diri bahwa dia tengah menikmati malam minggu bersama dengan anggota kontrakan Kenanga yang lain. Di bawah taburan bintang langit malam, Yolla berbaik hati menggelar sebuah tikar luas untuk mereka berkumpul sembari menikmati secangkir coklat panas yang dibawa Gagah sebagai oleh-oleh serta tiga piring berisi pisang goreng kipas buatan Ana.

" Jadi gimana kemarin kencannya?" tanya Yolla penasaran.

Tentu saja, Sena mengerutkan kening. " Kencan apa?"

Serempak, lima orang di sekitarnya berdecak.

" Beneran, perlu di-ruqyah biar jinnya pergi," komentar Rafi membuang tisu tepat ke tempat sampah. " Lo beneran nggak denger tadi mas Gagah bilang apa?"

Sena mengerjap, kemudian menatap seorang laki-laki berperawakan kekar –Sena seolah melihat Ade Ray dalam versi rambut cepak- di samping Yolla, sedang meringkuk di dalam satu selimut yang sama bersama sang istri. Gagah tertawa.

" Kemarin kamu ke kampung laut kan, Na? Kebetulan aku juga ke sana sebelum pulang," ucap Gagah enteng menyeruput coklat panasnya.

" HA? KOK BISA?" seru Sena melotot.

" Jadi, ceritanya kemarin Devasena Gayatri dapat pernyataan cinta lagi." Celetuk Arga datar duduk di samping istrinya. " Ini udah keberapa, Na? Tiga kali di bulan ini kalau nggak salah."

" Penting banget situ ngitung!" Desis Sena yang dijawab Arga dengan mengangkat bahu. Laki-laki itu membenahi lipatan selendang yang menutupi perut Ana agar lebih hangat. " Jangan kedinginan."

Sungguh, pengantin baru memang punya efek mengerikan. Sena menggosok hidungnya dan mengambil pisang goreng, amat sangat berharap pisang itu bisa menghangatkan hatinya yang dingin.

" Kenalin dong, Na. Siapa tahu dia bisa jadi anggota baru kontrakan Kenanga," kata Ana melingkarkan lengannya pada Arga.

" Hm? Emang lo terima, Na?" Rafi menatapnya sembari berebut pisang goreng dengan Yolla. " Ck ini lagi apa sih? Aku duluan yang lihat! Sana tuh masih banyak mbak!"

Yolla tidak menggubrisnya. Dengan cekatan, ia berhasil memenangkan satu buah kipas goreng paling besar di hadapannya. Membuat Rafi menekuk mukanya dalam-dalam.

Menahan geli, Sena menggeleng. " Nggak."

Serentak, kelima orang itu mengeluarkan desah kecewa.

" Kamu beneran nggak mau sama sepupuku itu, Na? Dia masih kosong lho sampai sekarang," ujar Ana menatap Sena dengan prihatin, " Dia masih nanyain kamu itu. Katanya kalau kamu bersedia, dia mau langsung nyeriusin kamu."

Sena menggeleng lagi dan menyeruput coklat panasnya dengan penuh syukur.

" Kamu cari calon suami yang gimana sih, Na?" tanya Yolla penasaran. " Satu tahun lebih kita kenal kamu, nggak ada pernah lihat kamu nge-date atau ngenalin cowok gitu."

Sena memutar bola mata, " Duh Mbak, masalahnya dimana, coba? Aku emang belum kepingin aja."

" Fix. Lo nggak doyan cowok," celetuk Rafi mengunyah pisang gorengnya.

" Ini rahang enteng amat, ya." Sena menepuk-nepuk dagu Rafi yang sedang mengunyah. " Dan Mbak Ana, Sena belum minat. Masih kepingin sendiri dulu. Jadi nggak perlu bawa-bawa sepupu kesini cuma buat dikenalin ke aku."

Arga dan Ana saling lirik, sementara Yolla dan yang lain terkekeh.

" Ya gimana, makin tambah umur, jumlah mangsa makin sedikit, sih." Ana membela diri. " Itu kenapa mereka ngebet sama kamu, Na. Di usia kamu, cewek yang masih jomblo itu dikit, hampir punah. Makanya buat para perjaka yang udah masuk usia serius buat berumah tangga, kamu kandidat. Apalagi kamu cantik, udah punya kerjaan pula. Mereka ngeliat kamu kayak ngeliat berlian. Bling-bling gitu."

" He'em, kayak bibirnya Anniesa Hasibuan," celetuk Rafi membuat Arga mendengus.

" Berita jaman kapan juga kamu inget, Fi," kekeh Gagah.

Sena menyeruput habis coklat panasnya selagi yang lain masih bertukar canda.

" Apa itu alasan orang buat menjalin hubungan serius?" ujar Sena menerawang ke sebuah titik di tikar, membuat yang lain terdiam dan menatap ke arahnya. Sena menghirup nafas dalam-dalam kala sesak melingkupi dadanya.

" Umur. Usia yang matang. Apa itu alasan seseorang buat menjalin hubungan?" ulang Sena tak lebih dari sebuah bisikan, seolah gadis itu bicara pada dirinya sendiri.

" Sena, are you okay?" tanya Ana mulai cemas ketika Sena mencengkram cangkirnya dengan kedua tangan.

Terdiam sejenak, akhirnya Sena menatap Ana dan tersenyum.

" Udah jam berapa coba? Keseringan begadang nggak bagus buat kulit, lho. Bikin cepet keriput." kekeh Sena bangkit sembari mencomot pisang goreng. " Aku duluan, ya. Besok mau CFD-an. Dadaah!"

Dengan lambaian singkat, gadis itu berbalik dan masuk ke ruangannya sendiri. Bukan sekali dua kali Sena dicerca oleh pertanyaan yang sama dari para penghuni kontrakan lain. Biasanya, dia bisa menanggapinya dengan enteng, karena dirinya tahu mereka tidak akan bisa memahami ketakutannya dalam menjalin hubungan.

Tapi malam ini, pembicaraan menjadi begitu berat dengan kembalinya Dirga di hidupnya.

Laki-laki itu menghancurkan dunia baru yang susah payah Sena bangun setelah dilanda supernova.

Bukan hal yang mudah ketika mencoba menyatukan retakan jiwanya yang hancur terberai. Tidak mudah ketika dia harus berdiri di atas kaki yang tengah rapuh. Selama dua tahun ini, dia berjuang untuk pergi dari kenangan yang sangat ia benci. Dia butuh bangkit, butuh tetap berlari di tengah godaan untuk berhenti agar tidak terpuruk dalam duka yang tidak pantas lagi ia tangisi.

Luka itu memang sudah tertutup, namun sakitnya masih terasa kapanpun Sena mengingatnya. Membuat rasa marah, kecewa dan tidak dihargai menguasainya seperti sebuah parasit. Dan ketika ia melihat Dirga lagi, rasanya seperti sebuah planet ditimpakan di atas tubuh Sena hingga gadis itu tidak mampu bergerak.

Ayahnya yang menodai pernikahan karena menemukan orang yang lebih cocok, kakaknya yang memandang wanita sebagai barang mainan, Dirga yang membohonginya setelah berkata bahwa Sena adalah satu-satunya.

Apakah hubungan memang serapuh itu? Apakah manusia setidakmampu itu untuk melawan sesuatu yang salah?

Sena menghirup nafas dalam, berusaha melepas tali yang mengikat dadanya. Tapi tetap, air mata bergulir tipis di ujung mata Sena yang terpejam.

*TBC*

Selamat malam semuanya, hope you enjoy ^^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro