Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

DEVASENA | 47. Menyembuhkan : Berbagi di Malam Hari (2)

Konfirmasi

/kon.fir.ma.si/ n

penegasan ; pengesahan; pembenaran

--

Stereotip

/ste.re.o.tip/ n

Konsepsi mengenai sifat suatu golongan berdasarkan prasangka yang subyektif dan tidak tepat

Sumber.KBBI

Happy Reading ^^

=====

" Kamu nggak pernah ngomong lagi sama Sakti semenjak putus?"

Itu adalah celetuk Yolla setelah kebisuan menguasai selama beberapa saat lamanya.

Sena mengerjap cepat kala percakapan terakhirnya dengan Sakti terputar di otaknya. Membuat dadanya sesak tanpa ampun hingga Sena menangis lagi. Dan dengan begitu, ia menceritakan semuanya pada Yolla.

Sesaat setelah Sena menceritakan kronologi dari bekas lipstik hingga kata-kata terakhir Sakti, Yolla menepuk pelan kepala Sena.

" Terlepas dari trauma kamu, kamu menyakitinya," celetuk Yolla simpati, semakin membuat Sena merasa bersalah saja. " Mas Gagah pernah bilang kalau nggak percaya sama pasangan adalah salah satu bukti kalau kita nggak bisa menghargainya sebagai pasangan kita. Itu sama saja nggak memberikan mereka kesempatan untuk menjadi bagian dari hidup kita. Kita...merendahkannya, jika kita nggak mau berusaha percaya, Na. Apalagi jika nyatanya mereka memang pantas dipercaya."

" Jadi, serendah itu aku di mata kamu."

Sena memejamkan mata ketika mengingat ekspresi Sakti saat mengatakannya.

" Apa kamu menyalahkan Sakti karena melepas kamu semudah ini?"

Sena tergugu. Ada kalanya dia menyalahkan Sakti yang terkesan mudah sekali melepaskan Sena. Tapi beberapa saat yang lalu sebelum Yolla datang, bukankah dirinya merasa jika apa yang ia lakukan sudah berdasar logika? Sena sudah menyingkirkan hal yang berpotensi membuatnya luka.

" Aku nggak ngerti jalan pikiran dia sih, Na. Maksudku, yang cerita kali ini adalah kamu. Paling nggak, aku bisa tahu situasinya dari sudut pandang kamu," ucap Yolla lembut. " Tapi Na, pernahkah terpikir sama kamu jika kamu mencoreng kepercayaan dirinya sebagai orang yang seharusnya kamu percaya? Pernahkah terpikir sama kamu jika kamu juga mencoreng kepercayaannya sama kamu? Karena berulang kali dia minta kamu berbagi, kamu nggak bersedia sampai akhirnya jatuh dalam kondisi seperti ini. Bahkan ketika dia bertanya sewaktu kamu mengajak putus saja, kamu nggak mau cerita. Masihkah dia melihat hubungan yang sehat tentang kalian di masa depan?"

" Tapi, Mbak...waktu itu aku nggak bisa kepikiran apa-apa. Aku terlalu takut sama traumaku," gugu Sena lemah.

Yolla menghembuskan nafas panjang. " Dan masih, kamu cari pembenaran di balik rasa takut kamu, Na. Kalau memang rasa takut kamu sedemikian dalam, gimana kalau kamu terapi dulu saja? Mbak takut kamu hanya akan sembunyi di balik rasa takut kamu setiap kali kamu menyalahpahami pasangan kamu, soalnya. Tindakan kamu kemarin, itu nggak serta merta kamu putuskan begitu saja, kan? Pasti diawali oleh rasa curiga, nggak percaya dan nggak nyaman. Padahal kalau kita mau mengkonfirmasikan semuanya, kesalahpahaman itu bisa dibunuh dari awal. Sakti bukan laki-laki super yang nggak punya rasa insecure di dalam dirinya. Sakti bukan manusia yang akan paham kamu tanpa kamu mau cerita. Bagaimana dia bisa memahami situasi kamu jika setiap kali dia minta kamu cerita, kamu nggak mau?"

Dan Sena terdiam.

"Beneran nggak mau terapi? Ini bukan perkara sepele, karena hubungan nggak cuma melibatkan kamu saja. Siapapun orangnya, sesabar apapun dia, pasti nggak akan merasa baik-baik saja jika terus nggak dipercaya sama pasangan. Tidak dipercaya itu menyakitkan lho, Na. Bayangkan saja ketika kamu yang seorang dietitian, yang seharusnya capable ngurusi diet orang, tahu-tahu saja nggak dipercaya ngurusi diet lagi. Rasanya tuh, rada nylekit. Atau aku yang seorang guru olahraga, tapi nggak dipercaya bikin soal ujian mata pelajaran olahraga. Sementara Sakti yang adalah kekasih kamu, nggak kamu percaya karena termakan ketakutan kamu sampai kamu menyingkirkan akal sehat kamu. Terlepas dari trauma kamu, itu agak...menyakitkan."

" Tapi Mbak Yolla, apa dia nggak ngerti situasiku?"

" Hmm...Kamu cerita semua hal yang kamu bilang sama Mbak tadi? Tentang keluarga kamu dan orang-orang sakit di sekitar kamu?"

Sena mengangguk. " Dulu."

" Dan Sakti gimana responnya?"

" Mas Sakti...bisa jawab dengan bagus sekali. Aku suka jawabannya dia."

" Dan apakah selama ini dia dukung kamu? Berusaha menjaga kepercayaan kamu?"

Sena menelan ludah, dan mengangguk. " Dia ajak aku waktu Mbak Nath mabuk. Dia loudspeaker telfon dari Mbak Nath. Dia...minta aku cerita semuanya sama dia."

Sena mengerjapkan mata ketika kedua matanya memanas. " Dia ajak aku ketemu ayah ibunya. Dia ajak aku ketemu Mbak Nala. Dia...juga selalu ngubah topik waktu aku diem aja jika ditanya tentang pernikahan."

" Hmm...kamu cerita tentang igauan itu?"

Sena menelan ludah, kemudian menggeleng.

" Kamu cerita tentang bekas lipstik itu?"

Sena menggeleng.

" Kamu cerita tentang masalah kamu di rumah?"

Sena menggeleng lagi.

Dan Yolla memejamkan mata ketika rasa gemasnya memuncak.

" Kalau kamu nggak cerita, Na, mana bisa dia menolong kamu dengan cara yang tepat? Ibaratnya kamu tersesat di pulau nggak berpenghuni yang nggak ada sinyal, apa yang kamu lakukan agar orang lain bisa notice kamu? Apa kamu bakal duduk aja, nunggu orang nemuin kamu lewat google maps? Nggak, kan? Kamu bisa bikin tanda SOS, misalnya," balik Yolla. " Terlepas dari situasi kamu, Sakti tahu ada kalanya sebuah situasi mengarahkan kamu, mengarahkan kalian dalam sebuah kesalahpahaman. Sakti mengajak kamu membunuh bibit-bibit itu dengan berbagi, mengkonfirmasi, hal paling awal untuk menepis kesalahpahaman. Tapi berkaca dari hal kemarin, kamu nggak mau membunuh bibit-bibit itu, lalu akhirnya kamu salah paham sampai memutuskan hubungan kalian tanpa mau bicara apapun. Darimana Sakti punya celah bantu kamu kalau dia bahkan nggak tahu kamu sedang salah paham? Mbak nggak bilang kamu nggak bisa membunuh bibit-bibit itu lho, ya. Karena nyatanya baru saja kamu bisa menepis sendiri pikiran-pikiran negatif kamu."

Terus, Sena hanya memilin ujung selimutnya dengan air mata yang menetes.

" Aku tahu rasanya, Na. Bagi orang yang pernah terluka, dia nggak akan mudah untuk percaya. Tapi itu bukan alasan untuk menepikan akal sehat dan kembali jatuh dalam ketakutan yang sama," ujar Yolla lembut. " Daripada sibuk menyalahkan orang lain, mengapa kita nggak berusaha bercermin dan memperbaiki diri lebih dulu? Karena memang nyatanya, menjadi lebih baik adalah tanggung jawab kita sendiri. Cuma kita yang pegang kendali diri sendiri, apakah kita mau berusaha berubah atau nggak. Apakah kita tetap mau berada pada keadaan yang sama atau berusaha melangkah."

"...tapi dengan melangkah, kita punya dua kemungkinan. Kecewa, atau bahagia."

Sena mengerjap kuat-kuat ketika menyadari jika Yolla benar. Yolla terkekeh meskipun wanita itu terus mengelus punggung Sena dengan simpati.

" Perempuan itu punya kekurangan lho, Na. Tapi kadang, kita suka sekali dengan kekurangan itu. Kamu mau tahu apa?"

Sena menoleh pada Yolla dengan pandangan yang sangat kabur.

" Ingin diperjuangkan dan ingin dipahami," jawab Yolla. " Padahal, laki-laki juga manusia biasa yang nggak bisa baca pikiran dan hati perempuan. 'Laki-laki nggak peka', terus kita ngambeknya kebangetan. Kalau sudah menikah, bisa saja kita malah pergi dari rumah. Atau buat yang LDR-an, menarik perhatiannya dia dengan mengancam akan berselingkuh. Pertanyaannya adalah, sudahkah kita mengutarakan keinginan kita dengan baik? Laki-laki bukan makhluk super yang punya kekuatan baca pikiran. Jangan termakan stereotip gender yang mengatakan jika laki-laki yang harus berjuang dalam suatu hubungan karena nyatanya, kalian memang harus bekerjasama. Dalam konteks hubungan, stereotip gender itu justru membawa masalah karena hubungan nggak sebercanda itu. Mereka butuh kamu dan butuh dia agar keseimbangan itu terjaga. Jadi akan konyol sekali kalau menuntut mereka memahami kita padahal kita sendiri nggak membuka diri pada mereka. Mana ada reaksi kalau nggak ada aksi? Mana bisa kita menuntut pasangan agar cerdas memahami jika kita sendiri tidak mau berusaha cerdas memahami mereka? Mana bisa kita menuntut pasangan agar cerdas mempertahankan hubungan jika kita sendiri tidak mau berusaha cerdas mempertahankannya? Karena tidak perlu dipertanyakan sekalipun, pasangan yang baik akan selalu berusaha mempertahankan hubungan. Pertanyaannya adalah, bisakah kita melakukan hal yang sama? Karena, akan percuma jika yang satu berusaha sementara yang lain seenaknya saja. Hubungan itu pasti akan lemah, dan hubungan yang lemah sangat rawan akan potensi perselingkuhan. Karena poin-poin penting yang seharusnya menguatkan nyatanya nggak ada."

Jika Sena adalah samsak tinju, maka dia sudah rusak terkoyak karena tinju Yolla berkali-kali. Karena saat ini dia bisa berpikir lebih jernih berkat bantuan Yolla.

Hubungan itu interaksi. Dia butuh dijaga, dia butuh dipelihara agar tetap ada. Dia adalah sebuah keadaan yang butuh subyek untuk tercipta dan berdiri. Maka seharusnya bukan hubungan yang kamu beri label rapuh, tapi orang-orang yang terlibat dengan keberadaan suatu hubungan itu sendiri. Mereka yang harus dipertanyakan daya dan upayanya demi menjaga hubungan itu tetap ada.

Suara tenang Sakti terngiang kembali di telinga Sena.

Jadi, selama ini Sena yang tidak menjaganya karena membiarkan dirinya termakan asumsi-asumsi negatif. Selama ini, dia yang rapuh karena ketakutan yang menenggelamkan akal sehatnya.

Sebuah hubungan hanya akan ada kalau dua pihak tetap mempertahankannya. Jika mereka rapuh, yang salah adalah pihak-pihak yang seharusnya menjaga dia untuk tetap utuh.

Sena tahu. Justru, Sena hafal kalimat itu di luar kepala. Tapi sekarang dia menyadari jika 'tahu' dan 'paham' adalah dua hal yang berbeda. Karena meskipun dia tahu hal itu, dia tetap gagal ketika 'ujian'itu tiba.

Nggak, mungkin kita yang punya pandangan berbeda tentang berjuang. Dalam konteks hubungan seperti ini, bagiku berjuang adalah berusaha menjadi yang terbaik bagi pasangan. Jika dia memutuskan pergi karena tidak mau lagi bahagia bersamaku, aku tidak akan menahannya, Sena. Perjuanganku berhenti.

Karena, Sena sendiri yang memutuskan untuk berhenti hingga tidak memberi kesempatan pada Sakti untuk menolongnya lagi.

Butuh jatuh cinta untuk memilih kamu. Tapi butuh lebih dari cinta agar kita bisa meneruskan hubungan.

Bukan berarti Sakti tidak menyayanginya. Tapi, karena laki-laki itu merasa akan percuma saja dengan Sena yang tidak pernah mau berusaha percaya padanya.

" Na, di dalam sini," ucap Sakti sembari memutar lembut ujung jemarinya di dahi Sena. " adalah pusat kesehatan jiwa kamu. Jadi kamu harus mengisinya dengan hal-hal yang baik, termasuk prasangka-prasangka yang baik. Karena seperti yang kamu tahu, kalau selain luka, akan selalu ada bahagia. Paham?"

" Tapi kamu masih menyimpan rasa benci, Sena. Kalau kamu belum tahu, benci itu rasa yang kuat, jahat dan destruktif."

Dan begitu saja, tangis Sena kembali pecah. Karena dia sadar jika dia tidak pernah mau mencoba perkataan Sakti. Dia masih saja menyimpan benci. Dia masih saja tidak mau memaafkan. Memangnya dengan tidak memaafkan, keadaan akan membaik? Yang ada, dendam itu justru merusak pikirannya. Menahannya pada ketakutan di masa lalu.

Ya Tuhan. Sudah dari dulu Sakti berusaha menolongnya. Sudah dari dulu Sakti berusaha membimbingnya. Mengapa dengan bodohnya dia masih tidak mengerti? Mengapa dia masih saja membiarkan dirinya tenggelam dalam asumsi-asumsi negatif hingga terjebak dalam keadaan yang menyusahkan diri sendiri?

" Ada syaratnya. Aku minta semua cerita kamu hari ini. Gimana?"

Dan tetap, dia tidak mau cerita.

" Aku bukan laki-laki yang bisa baca pikiran kamu, yang bisa tahu seluruh hal yang kamu lakukan, yang kamu rasakan, aku nggak bisa. Aku butuh kamu bercerita semuanya sama aku, Na."

Dan tetap, dia tidak mau cerita.

" Maaf, Na. Maaf. Sudah, jangan nangis lagi. Suatu saat kalau kamu juga merasa kecewa sama aku, bilang Na. Jangan asal pergi. Aku mungkin tanpa sadar bikin kamu kecewa."

Sena menghirup nafas dengan susah payah. Apa dia sudah menyakiti Sakti karena nyatanya dia yang asal pergi?

"Aku baru tahu kamu pulang karena baca chat dari Rafi. Aku tanya alasannya sama dia dan yang lain, mereka hanya bilang kamu pulang tanpa bilang alasannya. Lalu waktu aku pulang dari London, aku ketemu Danar, Na. Dia cari kamu dan dari dia, aku baru tahu alasan kamu pulang. Jadi, sepertinya aku nggak selayak itu untuk bisa kamu percaya."

Apa dia sudah menyakitinya dengan tidak memberi kepercayaan pada Sakti?

" Karena...bisa jadi jawaban Mas Sakti juga kebohongan. Karena pencuri nggak pernah ngaku kalau dirinya seorang pencuri."

" Jadi, serendah itu aku di mata kamu."

Sena menggigit bibir bawahnya kuat-kuat kala air mata mengalir kembali dengan deras.

" Harusnya aku ngobrol sama Mbak Yolla tentang ini dari dulu-dulu," isak Sena ketika dadanya terasa sangat sesak hingga Sena memukulnya. " Tapi dulu, memikirkannya saja aku takut."

" Karena, musuh terbesar manusia adalah dirinya sendiri. Mudah sekali bagi kita untuk tenggelam pada asumsi-asumsi negatif, Na. Tapi untuk cerdas melihat sesuatu dari setiap sudut pandang, itu yang sulit. Padahal, itu penting sekali bukan hanya dalam sebuah hubungan, tapi memahami peristiwa yang ada di sekitar kita." Yolla tersenyum sembari merapatkan selimutnya. " Sejujurnya, Na, aku juga masih belajar. Apa yang aku katakan sama kamu, itu adalah apa yang aku pelajari selama ini."

Tentu saja, Sena mengerutkan kening. Yolla menatapnya, menangkap keraguan Sena dengan senyum ramah.

" Ada alasan kenapa setelah tiga tahun menikah, kami belum punya anak. Ada alasan kenapa kita sering pergi berdua, Na. Itu karena aku." Yolla menjeda kalimatnya seraya menatap langit. " Genophobia."

Melihat bagaimana jemari Sena mendadak mencengkram gelasnya dengan erat, Yolla tahu jika Sena paham perkataannya. Namun Yolla hanya terkekeh menanggapi wajah terkejut Sena.

" Dulu, waktu SMA. Jadi korban pacar pertamaku dan teman-temannya. Trauma itu sampai bikin aku pernah mau bunuh diri. Sampai Mas Gagah saja kewalahan. Karena ketika fobia itu datang, dia jadi orang asing yang bener-bener bikin aku jijik sampai nggak mau lihat dia, Na. Dia cuma minta satu hal, Na, percaya padanya bahwa dia nggak pernah berniat menyakitiku. Dan untuk orang semanis Gagah, aku harus berusaha sembuh, kan?"

Tangis merebak kembali dari wajah Sena. Gadis itu merengkuh Yolla dalam pelukannya.

" Terus ini gimana Mbak?"

Yolla tersenyum penuh pengertian dan membelai lembut punggung Sena. " Lepaskan semua, Na. Malam ini, kalau perlu. Karena besok, kamu harus mulai melangkah lagi. Hidup nggak pernah nunggu kamu sembuh dari luka."

Dan Sena menyadari bahwa dirinya sudah menjadi begitu egois. Sakti juga pernah terluka. Dia juga mengalami banyak kehilangan. Tapi Sena tidak pernah mau memahaminya. Sena sibuk dengan lukanya sendiri tanpa menyadari bahwa Sakti juga butuh dia agar 'mereka' menjadi kuat.

Jadi, yang Sena harus lakukan adalah melepaskan Sakti. Karena toh, mereka tidak akan pernah bertemu lagi. Sakti memilih pergi. Memilih menganggap Sena sebagai masa lalunya. Mungkin Yolla benar, kalau Sakti datang hanya untuk memberitahu pada Sena arti kehilangan yang sesungguhnya. Agar nanti ketika datang orang lain yang menyayangi Sena setulus hati, Sena tidak menyia-nyiakannya seperti ia menyia-nyiakan Sakti.

" Sudah, sudah...sekarang tetangga Mbak yang mungil ini sudah tahu apa-apa yang perlu dipikirkan. Jadi nanti kalau ada cowok baik-baik yang datang buat minta izin jaga hati kamu, kamu bisa mengalahkan ketakutanmu dan menilainya dengan baik. Atau, perlu ke terapis? Mbak bisa carikan lewat terapisnya Mbak."

Namun Sena menggeleng. " Aku...tahu. Sekarang aku tahu."

Yolla mengamati Sena, kemudian tertawa pelan. " Kalau begitu, sini peluk dulu! Katanya, villain just need a hug."

Mendengarnya, isakan Sena tercampur dengan dengusan. Namun belum sempat gadis itu menenangkan diri, dering ponsel menyelanya. Mengurai pelukannya, gadis itu mengangkatnya tanpa minat.

" Apa?"

" Na, kamu nangis?" Dirga di sana berseru panik. " Aku ada di TeraMart dekat situ. Kamu mau aku ke sana? Kamu mau dibawakan apa?"

" Nggak perlu. Aku mau tidur," ucap Sena menahan isakannya.

" Kalau begitu, kita ketemu besok, gimana? Aku jemput kamu di rumah sakit."

" Hm."

Hening sejenak, mungkin laki-laki itu tidak percaya Sena tidak segalak singa seperti biasanya.

" Oke, see you tomorrow. Selamat tidur, Sena." ucap Dirga lembut.

" Hm." Dan dengan itu, Sena menutup sambungan. Ia mendapati Yolla mengangkat alis. Sena menengadah ke langit dan mengeratkan selimutnya.

" Benci lama-lama itu nggak enak. Bikin hati sempit," bisiknya terisak lagi kala mengingat siapa yang mengatakan itu pada Sena. Gadis itu membelai dadanya ketika merasa nyeri di sana. " Sakit Mbak. Aku mau coklat lagi."

*TBC*

Footnote :

Genophobia : Perasaan takut melakukan hubungan seksual

Selamat siang semuanya, semoga berbahagia ❤❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro