DEVASENA | 46. Menyembuhkan : Berbagi di Malam Hari
Sena sudah berhasil menyingkirkan hal yang berpotensi membuatnya sakit hati. Dia jelas berhasil.
Tapi mengapa dia tidak kunjung lega? Bukannya merasa bebas dan aman, gadis itu justru merasa sangat terluka.
Sakti Samudra adalah laki-laki paling kejam yang pernah dikenal Sena.
Laki-laki itu tidak pernah menghubungi Sena lagi. Tidak pernah muncul di kontrakan lagi, dan yang terakhir, laki-laki itu keluar dari grup chat Kenanga.
Dan ketika Sakti memutuskan untuk melepaskan, dia juga nggak akan pernah main-main.
Ini jelas tidak seperti luka yang ditinggalkan oleh Dirga. Ini luka yang lebih dalam, lebih sakit dan lebih susah diperbaiki sampai rasanya Sena sedih setiap hari. Dia kehilangan sesuatu, dia jelas-jelas kehilangan sesuatu. Sena harus menyibukkan diri karena jika dia melamun sebentar saja, hal yang ia lakukan adalah menangis.
Dan tetap, dia tidak mengerti mengapa dia merasa begitu kehilangan ketika logikanya berkata bahwa apa yang dia lakukan sudah benar.
" Na?"
Sena yang sedang duduk sendirian di bangku kayu di halaman menoleh pada Yolla yang keluar dari unitnya. Sena menghapus apapun yang ada di wajah meskipun saat ini tidak ada apa-apa di sana. Itu hanya sebuah kebiasaan yang terbentuk sejak empat hari lalu. Tepatnya, sejak Sakti pergi.
Yolla berjalan mendekatinya dengan dua buah cangkir di tangan. Ia duduk di sebelah Sena dan memberikan satu cangkir berisi coklat hangat untuknya.
" Kenapa di sini sendirian?" tanya Yolla membenahi selimutnya sendiri.
" Nggak papa. Suntuk di dalam." ucap Sena berdehem saat menyadari suaranya parau. " Mas Gagah kemana?"
" Biasa, lembur. Paling pulang satu jam lagi. Ana sama Arga biasalah, jalan-jalan. Rafi kencan. Kamu percaya kalau dia punya gebetan sekarang?"
Sena terkekeh lemah. " Dia nggak bilang siapa. Tapi statusnya flamboyan banget belakangan ini."
Yolla tertawa pelan. " Aneh ya. Padahal sama-sama cinta. Tapi yang satu bahagia, yang lain nangis sesenggukan gini."
Yolla tertawa lagi ketika Sena mendengus.
" Kenapa Na? Sedih ditinggal Sakti? Suruh siapa mutusin."
" Mbak, tolong," tukas Sena kesal.
" Kalau kata Rafi sih, kamu takut berkomitmen. Emang bener? Kamu setakut itu menjalin hubungan sama orang lain? Itu akan menjelaskan sikap kamu yang nggak pernah punya hubungan apapun sama laki-laki sebelum Sakti. Yah, kecuali sama Dirga tapi orang itu nggak waras. Jadi out!"
Yolla menyabetkan jari telunjuknya ke leher seolah sedang memenggal kepala.
" Ini cuma trauma," katanya pelan.
" Trauma yang membahayakan kelangsungan hidup kamu." Yolla menyeruput coklatnya. " Dari Raras, kita tahu masa lalu kamu. Dengan Sakti, kita tahu seperti apa kamu ketika menjalin hubungan dan sekarang, kita tahu bahwa kalian sudah putus. Dia hanya bilang kalian udahan, gitu. Nggak bilang apa-apa. Tapi Na, barusan kamu bilang kalau ini masalah trauma. Jadi aku bisa menyimpulkan kalau masa lalu kamu sangat membuat luka."
Sesederhana itu, dan tiba-tiba saja Sena ingin menangis. Seluruh rasa ini membuat dadanya sesak, membuatnya seperti balon yang ditiup hingga kulitnya setipis rambut. Dia ini kenapa, sih? Sudah jelas ini yang dia mau. Sendiri tanpa ada hal yang berpotensi membuatnya sakit. Lalu kenapa dia menderita begini?
" Aku punya ayah yang nggak bisa menjaga pernikahannya karena tergoda perempuan lain. Aku punya kakak yang senang sekali bermain perempuan, aku pernah punya orang yang aku sayang dan dia berkhianat dengan temanku sendiri." Sena terjeda kala isakan muncul di kerongkongannya. " Dan aku punya teman yang ditinggal pergi karena si lelaki mementingkan cinta masa lalunya. Pada nyatanya, berpaling hati memang semudah itu. Aku takut, Mbak."
Yolla manggut-manggut. Wanita itu mengelus punggung Sena meskipun matanya berkelana di angkasa.
" Terus kenapa kamu mau sama Sakti? Kamu selalu menolak laki-laki yang mendekati kamu karena alasan itu. Lalu kenapa kamu kasih Sakti kesempatan?"
" Karena dia bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan bodohku tadi. Mas Sakti nggak kayak laki-laki lain yang berkata ' Kamu satu-satunya, Na', atau ' Aku janji aku akan setia sama kamu' atau kalimat-kalimat lain yang terdengar omong kosong di telingaku. Nggak, dia kasih aku sebuah fakta yang selalu dihindari laki-laki lain, tapi justru itu yang bikin aku akhirnya kasih dia kesempatan."
Yolla mengerutkan kening.
" Terus kenapa kamu minta putus?"
Sena mengusap kasar pipinya. " Karena aku nggak yakin dia bisa setia di masa depan. Karena...dia pernah panggil Nath dalam tidurnya. Karena...dia pernah terlihat begitu sigap waktu nolong Nath. Karena...aku nemuin bekas lipstik Nath di lehernya."
Lekukan di kening Yolla tambah mengerut.
" Kamu udah bicarakan bekas lipstik itu sama dia?" tanyanya kemudian, " Kamu...beneran kepikiran sama igauan itu atau cara dia memperlakukan Nath?"
Sena mendesah, marah dengan dirinya sendiri. Kemudian didengarnya Yolla terkekeh dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Kamu memang belum siap nikah, Na." kekehnya sebelum menyeruput minumannya lagi. "Padahal menurut Mbak, kamu orangnya nggak bakal keganggu sama hal-hal seperti itu. Tapi, ya mungkin ini ada hubungannya sama faktor trauma tadi."
" Prasangka tentang igauan. Aku kemakan itu," celetuk Sena pelan. " Padahal yang namanya mimpi itu salah satu hal paling random di dunia. Mas Sakti cuma panggil nama Mbak Nath. Cuma itu saja dan pikiranku kemana-mana. Padahal bisa jadi banyak kemungkinan, kan?"
Yolla manggut-manggut, mendengarkan racauan Sena dengan seksama.
"Dulu waktu Mbak Nath mabuk, dia bahkan ngajak aku agar aku nggak salah paham. Kalau ada telfon dari Mbak Nath, dia loudspeaker biar aku denger. Dia juga pernah nawarin aku buat pasang aplikasi agar aku bisa lihat setiap pesan masuk di ponselnya dia. Terus kenapa memangnya kalau Mas Sakti bantu Mbak Nath? Waktu itu jelas sekali dia kesakitan gara-gara stiletto-nya meleset. Memangnya Mas Sakti berhati batu?" Sena mengurut dadanya yang sesak. " Itu berarti, aku nggak bisa punya suami dokter ya, Mbak?"
Yolla terkekeh pelan mendengar gerutuan Sena. Namun Sena mengabaikannya.
" Tapi tetap, Mbak Yolla, aku nggak bisa percaya. Siapa yang tahu kalau dari seribu kemungkinan, dia memang memimpikan Nath? Siapa yang tahu kalau dari seribu kemungkinan, dia memang masih ada rasa sama Mbak Nath sampai begitu refleks nolong dia?"
" Memangnya selama ini Sakti ada tanda-tanda gagal move on?" tanya Yolla mengerutkan kening, " Atau itu hanya asumsi kamu saja karena hal-hal ambigu seperti tadi?"
Dan Sena terdiam, membuat Yolla menghembuskan nafas sabar.
" Siapa yang tahu apa yang ada di dalam hati? Siapa yang tahu kalau di masa depan nanti dia masih tetap setia? Setakut itu aku sama masa depan, Mbak. Setakut itu aku percaya sama dia. Aku takut jatuh lagi, aku takut sakit lagi. Aku takut kalau aku kacau ditinggal dia setelah aku menyerahkan seluruh kepercayaanku buat dia. Itu tuh...sesuatu yang menakutkan."
" Tapi kamu semerana ini ditinggal dia."
" Iya kan? Begonya aku nangis kayak gini!" desah Sena putus asa. " Aku nggak mau dia pergi, Mbak. Tapi nanti waktu kita kembali bersama, aku bisa pastikan penyakitku ini kambuh lagi. Memang siapa sih yang bisa menjamin masa depan? Orang yang tadinya baik aja bisa sampai berkhianat! Siapa yang bisa memastikan kalau kita bisa bersama selamanya?"
" Gitu, dan tetep sengsara."
" Iya kan aku udah bilang aku sebego itu." Sena terisak. " Apapun tentang dia selalu bikin aku curiga, selalu bikin aku insecure! Aku tuh emang sejahat itu tapi tetap, aku nggak bisa yakin sama dia, sama siapapun!"
" Karena, Devasena Gayatri, nggak pernah ada orang yang tahu masa depan. Masa depan itu rahasia Tuhan."
" Iya kan! Terus kalau Tuhan menakdirkan kita pisah, aku harus apa? Harus gimana? Kalau suatu saat dia jatuh cinta sama perempuan lain, aku harus apa?"
Yolla terlihat sabar sekali menghadapi adik kecilnya. Perempuan itu mengusap-usap punggung Sena, membiarkan Sena menumpahkan segala sesak di hati sampai wajahnya jadi sembab sekali.
" Kamu itu kurang piknik."
" Mbak Yolla!" seru Sena kesal setengah mati. Namun Yolla hanya tertawa.
" Sena, pikiran kamu ini keburu diisi sama asumsi-asumsi negatif sampai kamu nggak bisa lihat kemungkinan positif yang udah terbukti di sekitar kamu," ucap Yolla lembut. " Kamu terlalu dikelilingi sama hal-hal buruk sampai kamu lupa kalau di dunia ini, banyak pasangan yang bisa bertahan sampai ajal menjemput. Malah, keduanya meninggal sama-sama."
Mendengarnya, Sena jadi teringat orangtua Sakti.
" Kamu nggak akan pernah menemukan orang yang bikin kamu puas dengan jawaban-jawabannya. Kamu nggak akan pernah menemukan orang yang bisa bikin kamu yakin dengan dia, karena kepercayaan itu masalah yang ada dalam diri kamu. Cuma kamu yang bisa memutuskan untuk percaya atau tidak percaya. Cuma kamu yang bisa meredakan kekacauan yang ada di dalam diri kamu. Orang lain, bahkan Sakti atau siapapun pasangan kamu nanti, mereka hanya mendukung kamu dengan caranya. Cuma kamu yang bisa membuat diri kamu yakin sepenuhnya. Ini pikiran kita, ini logika kita dan ini penilaian kita. Bukan orang lain."
Yolla tersenyum pada Sena yang menatapnya dengan pandangan merana.
" Sekarang, sebentar saja, kamu diam," pintanya. " Renungkan semua yang sudah kamu alami. Masa lalu kamu, ketakutan-ketakutanmu, dan apa yang kamu harapkan ke depannya. Karena Na, kamu nggak bisa seperti ini terus. Kamu hanya akan kehilangan banyak kesempatan untuk bahagia karena masa lalu dan asumsi-asumsi negatif yang bahkan cuma hidup di pikiran kamu. Dan pada waktunya nanti, kamu pasti akan menyesal."
Yolla terdiam, memberi Sena kesempatan untuk memikirkan ulang seluruh histori kehidupan yang membawanya jadi seperti ini. Ayahnya, Wira, Dirga, Galang, mereka adalah orang-orang yang tidak bisa menjaga hubungan. Kalau kata Sakti, mereka adalah orang yang tidak mau memelihara hubungan sehingga hubungan itu rapuh.
Sakti tahu itu. Sakti-nya paham. Dengan kalimat-kalimatnya, Sakti menepis setiap sulur kecurigaan Sena. Laki-laki itu pernah terluka. Karenanya, dia bisa memandang sebuah hubungan dari sudut yang berbeda. Dia memahami ketakutan Sena karena dia juga punya ketakutan yang sama. Tapi tidak seperti Sena, laki-laki itu paham bahwa ada bahagia selain luka.
Sakti bisa mengalahkan ketakutannya.
Sesuatu yang berusaha ia sampaikan pada Sena. Sesuatu yang berusaha ia tawarkan pada Sena. Sesuatu yang dihancurkan oleh Sena sendiri.
Sena mengerjap, kemudian sepasti lilin yang meleleh karena api, air mata meleleh di mata Sena ketika kata-kata Yolla menghantamnya dengan keras.
" T-tapi Mbak...kita nggak pernah tahu masa depan," bisik Sena. " Jatuh cinta itu ibarat bunuh diri. Aku pernah mati gara-gara jatuh cinta sama orang yang nggak pantas aku cintai sedalam itu. Aku nggak mau, aku nggak bisa."
" Sena, Sena, denger nggak sih dari tadi Mbak ngomong?" tukas Yolla gemas. "Kita wajib jatuh cinta dengan pasangan kita, Na. Tapi bukan berarti kita harus buta. Dan, ya. Kita memang nggak pernah tahu masa depan. Tapi kita nggak mungkin sebodoh itu sampai nggak bisa memprediksi masa depan dengan apa yang kita punya sekarang."
Tentu saja, Sena mengerutkan dahi. Yolla mengedikkan bahu, namun kemudian dia mendongak ke langit.
" Mendung, Na," celetuknya di luar dugaan, membuat Sena melongo.
" Menurut kamu nanti bakal hujan nggak?"
" Ha?"
Yolla terkekeh.
"Karena, Na. Masa depan itu sepenuhnya adalah prediksi, bukan sebuah pasti sementara kita masih ada di saat ini. Sama seperti kita yang bisa menilai hujan dari mendung, kita bisa menilai orang dari perangainya. Karena setiap orang pasti punya perangai yang berbeda. Apa selama ini Sakti sepayah itu sampai nggak berkesan buat kamu? Sampai kamu nggak bisa baca kepribadiannya dia? Sampai kamu masih saja nggak percaya dia?"
Sena mengedip pada Yolla, sementara memorinya mulai memilah masa lalu.
" Karena pembelaanku memang hanya satu, aku bukan ayah kamu, bukan Wira, bukan Dirga. Aku Sakti Samudra, yang berusaha meyakinkan seorang Devasena Gayatri untuk menciptakan sebuah hubungan dan menjaganya bersama."
Awal pertemuannya dengan Sakti di pagi hari itu,
Sakti yang menawarkan bantuan di malam hari itu,
Kata-katanya ketika Car Free Day mereka yang pertama kali,
Kesigapannya ketika Ana pingsan di depan mereka,
Sikap tenangnya yang selalu mengundang Sena untuk bercerita,
Pendapatnya tentang membuang benci,
Alasannya mengajak Sena ketika mengantar Nath pulang,
Pendapatnya tentang melepaskan,
Caranya menjawab seluruh pertanyaan bodoh Sena di malam itu,
Alasannya menyertakan keterangan tentang pixel mati,
Dirinya yang menjadi tameng Sena dari bola basket,
Permintaannya agar Sena mengatakan apapun padanya,
Kemarahannya, masa lalunya, keinginannya untuk bersama,
Sena menelan ludah.
Igauan, yang bisa ditepis oleh akal sehatnya.
Pandangan, yang bisa ditepis oleh akal sehatnya.
Ketiduran, yang sekarang dia tahu itu benar adanya.
Lipstik, yang sekarang dia tahu jika dia salah paham.
Sena mengusap pipinya dengan cepat. " Nggak juga. Orang baik sekalipun bisa selingkuh."
" Dibandingkan sama begundal yang sering mabuk-mabukan? Dibandingkan cowok-cowok yang hobi ONS-an? Dibandingkan sama mereka yang suka berbohong?" sahut Yolla. " Selingkuh itu pilihan, katamu. Menurutmu dari sekian banyak perangai orang, perangai seperti apa yang lebih bisa mengendalikan diri?"
Sena tidak menjawab, namun dia mengerti apa yang sedang dicoba untuk disampaikan Yolla.
" Gimana dengan Dirga? Dulu, aku percaya sama dia. Dia memang sebaik itu. Dulu."
" Mungkin karena dia pacar pertama kamu. Kamu juga masih muda saat itu. Jadi kamu masih unyu-unyu kalau pacaran. Dikasih bunga melting, dibaikin jantungan, diantar kemana-mana udah baper. Mungkin waktu itu, kamu belum tahu dunia seperti sekarang, makanya kamu melewatkan perangai-perangai Dirga yang bisa jadi petunjuk bahwa dia bukan laki-laki yang baik. "
Iya, dia memang segeli itu dulunya. Dulu, dengan pengetahuan bahwa rasa cinta itu menerima segala kekurangan dan kelebihan, dia tidak pernah pusing dengan tingkah posesif Dirga meskipun dia tidak pernah suka jika Dirga sudah di luar kendali. Dulu, dia berpendapat bahwa cinta selalu membawa bahagia, sehingga Dirga juga pasti bahagia bersama Sena. Dulu, Sena merasa bahwa Dirga adalah dunianya.
Tapi kini dia juga sadar, bahwa dulu ada banyak hal tentang Dirga yang sering menarik rasa penasarannya. Rasa curiga yang tidak Sena pedulikan karena Sena percaya padanya. Karena jika dipikirkan lagi, laki-laki itu selalu merasa tidak nyaman jika Sena meminjam ponselnya. Tapi dulu, Sena menganggapnya wajar karena itu adalah privasi. Dulu, Dirga juga sering sekali membatalkan janji kencan secara mendadak. Atau pulang dari Australia lebih lama daripada yang ia katakan pada Sena. Dulu, ketika Sena masih sebodoh dan sepolos itu.
" Di lain kesempatan nantinya, kamu perlu menilai bagaimana calon pasangan kamu. Apakah dia orang yang terbuka atau cenderung menyembunyikan sesuatu. Apakah dia orang yang jujur atau orang yang menganggap berbohong itu biasa. Bagaimana prinsip hidupnya, bagaimana cara dia dalam menghadapi sebuah permasalahan, bagaimana cara dia memperlakukan kamu. Kamu bisa menilainya dari sana. Karena kamu harus ingat, kalau orang yang kamu pilih itu adalah orang yang akan menemani kamu sampai akhir hayat. Satu-satunya orang yang menjadi sauhmu setelah orangtua kamu tiada. Orang yang akan kamu bagi separo hidupmu. Orang yang kamu percayai sebagai suami, ayah dan guru bagi anak cucumu nanti. Memilih pasangan hidup memang nggak sebercanda itu."
Yolla terdiam sejenak sebelum melanjutkan.
"Kalau kamu curiga, kamu berhak tanya, Na. Itu normal, wajib malah. Agar kamu nggak termakan kecurigaanmu sendiri. Justru, seperti itulah sebuah hubungan yang sehat. Karena jika dia nggak menyembunyikan apapun dari kamu, dia pasti akan menjawabnya dengan jujur. Kamu berhak menyelidiki lebih lanjut kalau kamu merasa dia berbohong. Itu, juga benar. Tapi, jangan sampai asumsi-asumsi negatif itu memakan kamu. Justru di titik itulah, kelihaian kamu dalam mempertahankan hubungan akan diuji. Apakah kamu akan seenaknya saja memutuskan sesuatu, atau berkepala dingin hingga bisa menyimpulkan dengan jelas. Maka, otak sama hati itu harus sejalan. Karena kita bukan robot yang hanya pakai logika saja, dan kita bukan orang bodoh yang hanya pakai hati saja."
Oh, jadi Yolla baru saja bilang jika Sena orang bodoh. Tapi sungguh, dia tidak keberatan.
Karena dia memang sebodoh itu hingga membiarkan ketakutan melahapnya bulat-bulat.
Dia punya mulut. Dia juga punya akal.
Lalu mengapa,
dia tidak mau sejenak saja berusaha menepikan seluruh pikiran buruknya dan menerima tawaran Sakti untuk bicara?
Alasannya karena dia takut.
Lalu seandainya di masa depan dia dihadapkan pada ujian itu lagi, bisakah dia menjamin bahwa ketakutan itu tidak melandanya?
Nyatanya seperti benci, dia membiarkan ketakutan itu merusaknya dari dalam.
Dan sekarang, rasa kehilangan itu jadi tiga kali lebih berat.
*TBC*
Selamat beraktivitas, semoga berbahagia ❤❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro