Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

DEVASENA | 45. Titik Cerah

Silahkan dibaca ketika sudah santai, ya

Happy reading ^^

=====

" Lho, kenapa dikeluarin?"

Bayu memprotes untuk kesekian kali ketika Sena mengeluarkan paprika dari troli.

" Mas Bayu, mana pernah bakar jagung butuh paprika?"

Bayu mengerjap, kemudian menurunkan tangannya yang berkacak pinggang.

" Oh iya gue lupa kalau kita mau bakar-bakar," ucapnya mengangguk-angguk. " Habisnya kebiasaan kalau ke supermarket beli paprika."

Lagi-lagi, laki-laki itu menaruh sesuatu ke troli dengan antusias hingga Sena mengelus dahinya.

" Margarin Mas, bukan mentega."

Bayu mengerutkan kening. " Bedanya apa?"

" Margarin itu dari tumbuhan, mentega itu dari minyak hewan. Paham? Mbak Ana sama Mas Gagah agak sensitif sama mentega. Udah sana dibalikin lagi!" ucap Sena mengulurkan dua batang mentega pada Bayu.

" Sori, Na. Gue jarang masak. Yang masak adek gue soalnya," cengir Bayu.

Sena manggut-manggut, tidak terlalu mempermasalahkannya. Gadis itu kembali mendorong troli dengan pandangan menyisir bumbu-bumbu di rak.

" Gue jadi tahu kenapa Sakti nyaman sama lo. Lo sepeduli itu sama orang lain," celetuk Bayu memasukkan bumbu ke troli." Dulu waktu Sakti sama Nath, gue mana berani belanja beginian bareng Nath."

" Ngapain juga Mas Bayu belanja sama Mbak Nath?" dengus Sena.

" Hm...good point. Iya juga," kekeh Bayu menyebalkan. " Lo kenapa sih putus sama Sakti?"

Sena berhenti, kemudian menghadapi Bayu.

" Apa kita bakal ngomong tentang Mas Sakti di sini?" tukas Sena, yang diangguki Bayu dengan serius. Sena memutar bola mata dan kembali mendorong troli.

" Lo mutusin dia bukan gara-gara foto di instagram, kan?" tanya Bayu lagi.

Sena menggeleng, " Tentang foto sama cincin itu? Nggak. Bukan gara-gara itu."

Dan Sena tidak berniat menjelaskan lebih lanjut tentang igauan dan bekas lipstik itu. Dia merasa, urusannya dengan Sakti sudah selesai dan Sena lebih nyaman dengan keputusannya. Meskipun tidak bisa ia pungkiri, Sakti masih menggenggam rindunya. Yah, untung saja dia masih bisa berenang ke permukaan, jadi penderitaannya tidak terlalu dalam.

" Bukan foto yang itu! Itu mah foto jaman batu! Tapi ya wajar, sih. Cuma di-share di grup divisi soalnya," tukas Bayu mengeluarkan ponselnya dan sibuk di sana. " Lo nggak pernah tahu kalau divisi kita lagi heboh gegara skandal ini, kan? Gue sampai harus ngejauhin dia dari gadget apapun setelah lihat mukanya dia yang sedatar meja kantor gue. Bisa-bisa Nath hancur cuma dalam sekali 'enter', even though I think she deserves, sih. Cuma yah...itu nggak ada gunanya. Sakti paling anti bikin gara-gara sama orang yang nggak penting, soalnya."

Bayu mengulurkan ponselnya, yang diterima Sena.

Di layar itu, terpampang sebuah foto yang langsung Sena kenali sebagai salah satu cuplikan dari CCTV. Diambil dari sudut atas sebuah ruangan, tampak Sakti sedang tertidur di kursi kerjanya dengan wajah meneleng ke kanan dan kedua tangan menangkup sebuah map terbuka di atas perutnya. Nath membungkuk di depan wajahnya, menyila rambutnya ke belakang telinga dengan satu tangan dan mencium sisi wajah Sakti yang tengah terlelap.

Laki-laki itu tampak terusik, namun tidak terbangun. Sakti hanya ganti meneleng ke kiri untuk kemudian diam tak bergerak.

Adegan yang hanya berdurasi beberapa detik itu diberik efek boomerang oleh sang peng-upload.

97 suka

WildanR Pingin diginiin sama yayang Humaira

Laputt Ini...pas kemarin katanya mau ngebut project biar bisa cepet pulang itu? Lah, ko malah bubu sampe jam segitu? Ih Pak Sakti, makanya jangan keseringan sendiri di ruangan sampe malam. Diganggu mba kunti, kan!

TrishaHa Gosh Pak Bos, tidur aja seksi. Gimana Nona Nath nggak khilap? @Laputt tiati sama yang situ sebut kunti, lho.

Laputt @TrishaH Biar eh, keburu kesel akunya. Ngga ridho kalau balikan walo disogok pizza dobel deluxe!

Nianna Whoa...ini, beneran balikan lagi, kah? Terus yang Mbak SMA cantik kemarin gimana? PJ-nya @SaktiS! Jangan Resto Permadani kayak yg dulu lah, BR segentong yes?

Ludilaru Gila lo Suketi. Kenapa perut lo nggak buncit-buncit??!

Troya @WildanR, lo nggak takut ketauan engkong Tirta mata air pegunungan? Main sharing pidio aja! Eh btw, lo ngapain ke ruang cicitipi?

WildanR @Troya nemuin yayang Humaira mo ambil sampel undangan. Kita butuh bukti hakiki buat morotin Pak Bos, huehehe. Etapi jan sampe keluar grup ye?

Ludilaru Nona emang pawangnya cuma Pak Bos, biar ngga menclok sana menclok sini bikin anak buah jadi ikutan ngga fokus. Dulu waktu sama si Bos kan dia kalem, ngga macem-macem kek uler kena garem ye kan bos @SaktiS Selamat ye!

Xchsanya Err...guys, popcorn please. The third world war is coming >.< @WildanR lo END!

BayuW ITU APA??! HAPUS DAN!! LO NGGAK NGERTI WAJAHNYA PAK BOS DI SAMPING GUE!! @WildanR AZTEC SINGAPURA JUGA BISA END WOYYYY!

@WildanR @BayuW kenapa Pak Bos ngamuk? OH GUE TAU! PAK BOS NIKUNG BALIK PAK TIRTA JADI HARUSNYA INI RAHASIA YA?! KITA HARUS DUKUNG PAK BOS!!

BayuW Ck! CTRL-Z cepetan! Undo! Reset memori! Instal ulang otak lo lo pada!

Xchsanya @WildanR @BayuW Geblek

" Divisi kita lagi hectic banget pas itu. Ada supervisi dari pusat juga, jadi numpuk-numpuk kerjaannya Suketi. Dia bahkan sampai skip makan siang biar kerjaan cepet kelar."

" Sena?"

" Udah makan?"

" Mau makan sama-sama?"

Sena menyerahkan ponsel kepada Bayu dan mendorong trolinya lagi.

" Jadi, bukan ini?" tanya Bayu mengerutkan kening. " Tapi ya gimana caranya lo tau ya? Ini kan postingan grup kantor. Cuma, nggak menutup kemungkinan lo tau ini, secara dunia maya emang nggak terbatas-"

" Itu rekaman kapan?" tanya Sena memunggungi Bayu ketika dirinya meraih sesuatu dari rak.

" Hm, sekitar semingguan lalu. Well, Sakti Nathalie itu semacam legend, gitu. Nggak ada yang nggak tahu romansa mereka dan nggak ada satupun umat manusia yang lepas dari rasa kepo dan naluri bergosip. Jadi apapun tingkah polah mereka, selalu direspon ramai sama anak-anak lain."

" Mas Sakti tahu?"

" Pastinya. Gue udah bilang ini grup kantor. Videonya di-upload sama Wildan sore hari setelahnya, sih. Jadi Suketi lihatnya juga sehari setelahnya waktu dia udah di London. Lo mau ambil apa sih? Sini gue am-Gosh Na!"

Karena begitu Bayu menghadap Sena, dilihatnya gadis itu sedang menangis tanpa suara. Sena cepat-cepat memunggungi Bayu dan menghapus apapun di wajahnya. Namun, sepasang kaki panjang milik Bayu kini ada di depannya.

" Jadi, tebakan gue bener kalau ada sesuatu sama foto tadi dan harusnya lo bisa langsung tahu kalau Sakti nggak ngerti apa-apa. Dia emang lagi hectic banget pas itu. Cuma yang gue herankan adalah, lo dapat foto itu darimana?"

Sena menggeleng. Gadis itu mendorong troli lagi, namun Bayu memotong di depannya.

" Kalau ini cuma salah paham, it's so chessy. Kalian udah sama-sama dewasa," ujar Bayu menatap lekat pada Sena.

" Kenapa kamu yang ribut, Mas? Mas Sakti aja biasa sama hubungan kita," ujar Sena membelokkan troli.

" Hm? Nggak, nggak. Gue berani jamin dia nggak biasa saja. Tapi Sakti emang orangnya setenang itu. Bahkan dulu waktu kedok Nath kebuka semua di depannya," tepis Bayu dengan cepat. " Tapi satu hal yang gue tahu pasti tentang dia, ketika Sakti memutuskan sesuatu, dia selalu punya alasan. Karena, yah...dia Sakti Samudra. Dia nggak pernah ngebiarin logikanya mati. Itu yang bikin dia bisa survive selama ini dan punya achievement sedemikian besar."

Bayu meraih bahunya, memaksa gadis itu melihat padanya.

" Apa yang lo lihat? Bilang sama gue darimana lo dapet foto itu?" tanya Bayu cepat. " Dari Nath? Dia ngomong apa sama lo?"

Sena menyingkirkan tangan Bayu dari dirinya.

" Bekas lipstik," jawab Sena pelan. " Malamnya, Mas Sakti pulang telat."

Bayu mengumpat hingga beberapa pengunjung lain menoleh ke arahnya dengan terkejut.

" Woman and her head!" desisnya gemas sebelum mengambil alih troli Sena dan berjalan mendahului Sena.

"Ada alasannya mengapa divisi gaming selalu outstanding di bawah kepemimpinan Sakti. Dia salah satu decision maker terbaik kami. Well, a whole algorithm for us but still, he is the best. Dalam mengambil keputusan, Sakti nggak pernah main-main. Dia selalu serius mempertimbangkan segala kemungkinan dan resikonya. That's why, setiap project yang ada di bawah pengawasannya selalu sempurna. That's why, keputusannya selalu menjadi yang terbaik. That's why, dia jadi orang kepercayaan Aztec. That's why, banyak klien yang nggak rela dia keluar dari divisi gaming. That's why, dia jadi supervisor kita. Begitu dia yakin dengan keputusannya, anak itu bakal terus maju. Jadi Na, ketika dia memutuskan ngajak lo berkomitmen, gue yakin dia nggak pernah main-main,"

Bayu mengerling pada Sena yang masih saja menolak memandangnya. Kemudian, laki-laki itu menghela nafas.

" dan ketika Sakti memutuskan untuk melepaskan, dia juga nggak akan pernah main-main, Na. Untuk ukuran orang yang pernah punya hubungan, Sakti bener-bener membuang Nath jauh dari hidupnya. Lo nggak tahu seberapa cueknya Sakti sama Nath kalau di kantor sampai gue merinding sendiri. Bahkan sebelum dia sama lo, cara Sakti memperlakukan Nath bikin gue percaya kalau Nath udah hilang dari hatinya, pikirannya, hidupnya. Bagi dia, Nath cuma seorang rekan kerja, bukan lagi wanita istimewa. Dia, kadang emang sekejam itu. Tapi ya gimana, Bos gue emang gitu."

Dalam kabut yang menderanya, Sena sama sekali tidak memahami apa tujuan Bayu mengatakan ini. Namun Bayu hanya tersenyum kecut. "Lo perlu ngomong, berdua sama Sakti. Gue...agak takut aja."

**

Selepas mengantar Bayu, Sena bergelung di atas kasur. Lelahnya belum hilang, kini sebuah kenyataan menghantamnya.

" Na, kamu nggak ikut keluar?" Suara Gagah masuk melalui celah pintu kamarnya. Perempuan itu menggeleng dan menarik selimut hingga menutupi kepalanya. Dia perlu waktu mencerna semuanya. Dia perlu waktu memikirkan apa yang sudah berlalu.

" Seharian ini masih belum sembuh? Udah minum obat? Mau jagung rasa apa?"

" Manis," jawab Sena parau. " Udah minum obat."

" Ck! Sakit banget, Na?" kekeh Gagah menyebalkan sebelum menghilang.

Sena hanya mendengus kecil. Iya, mengapa rasanya sakit sekali? Kata-kata Bayu masih menguasai pemikirannya.

Sebuah ketukan di pintu membuyarkan lamunan Sena. Sebenarnya, dia sangat malas turun dari kasur empuk ini. Tapi dia juga kepingin makan jagung bakar karena aromanya menggelitik hidung Sena sedari tadi, seolah ingin mengejek Sena yang tidak bisa keluar karena kedinginan. Untung Gagah pengertian.

Terseok, gadis itu memaksa bangkit. Karena jika tidak, bisa dipastikan malam ini dia akan tidur dengan perut kosong. Dia perlu dua tiga jagung bakar agar bisa tidur dengan nyenyak atau asam lambungnya yang belum sembuh benar bisa semakin parah.

Tapi alih-alih melihat Gagah, ia justru melihat Sakti berdiri di ambang pintu kamarnya dengan membawa piring berisi tiga jagung bakar.

" Gagah bilang kamu minta tolong," ucapnya mengulurkan piring dari ambang pintu.

" Ah...iya," Jawab Sena tersadar. Gadis itu melangkah ke arah Sakti dan menerimanya.

" Apa itu cukup? Perlu dibelikan yang lain?"

Begini! Persis seperti ini cara Sakti membunuh Sena pelan-pelan. Sena menggeleng.

" Ya sudah, get well soon."

Ketika sepasang kaki itu berputar, tangan Sena menyahut tepian kaos Sakti hingga laki-laki itu berhenti.

Apa Sakti tidak melihat Sena menangis?

" Mas Bayu udah cerita," ucap Sena berusaha sekuat tenaga melawan cekikan di lehernya. " Dia kasih tahu tentang foto CCTV itu."

Sakti berputar untuk menghadapi Sena.

" Ada apa dengan foto CCTV?" tanya Sakti.

Dan Sena sadar jika Sakti tidak pernah tahu tentang Sena yang melihat cap lipstik itu.

Maka dengan mengerahkan seluruh tenaga agar kakinya kuat berdiri, Sena berkata.

" Malam waktu kamu pulang larut, aku lihat bekas lipstik di leher kamu," kata Sena pelan. " Samar sekali. Tapi itu bekas lipstik Nathalie, karena aku pernah lihat hal yang sama."

Sena bisa melihat keterkejutan melintas di wajah Sakti hingga laki-laki itu sedikit mengerutkan kening. Sekejap, hanya sekejap sebelum raut tenang itu kembali lagi.

" Jadi, itu yang bikin kamu langsung pergi. Lalu?"

" Aku...udah salah paham. Maaf." Sena menunduk.

Hening sejenak, kemudian dilihatnya sepasang kaki itu berjalan mendekat. Sakti menepuk puncak kepala Sena dengan pelan.

" Aku nggak tahu ada sesuatu di sana, Na. Aku sama sekali nggak punya kaca, kamu tahu itu. Waktu kamu nggak keluar juga, aku mandi dulu sebelum pergi beli makan buat kita," ucapnya tenang. "Kalau memang itu yang kamu lihat, aku minta maaf."

" Maaf." Sena mengusap dadanya. " Aku kacau, Mas. Kamu pernah nyebut Nath di tidurmu."

Sakti masih memandanginya.

"Kapan, Na?"

" Waktu kamu demam," ucap Sena terbata. " Kamu...panggil dia."

" Aku nggak ingat, Na. Kalau kamu pernah dengar, aku minta maaf," ucap Sakti. " Terakhir aku mimpi tentang Nath, ketika luka itu masih ada dan itu jauh sebelum kita bertemu. Karena setelah kita bertemu, mimpi yang aku ingat sebagian besar berisi tentang kita."

Mendengarnya, Sena mendongak cepat. Hanya untuk menemukan wajah teduh tanpa gejolak sedang menunduk untuk menatapnya. Sakti menarik tangannya dari kepala Sena dan memasukkannya ke dalam saku.

Sena menelan ludah.

Apa dia...sudah termakan pandangan awam tentang igauan?

Tatapan tenang Sakti mengurai sedikit kekusutan dalam pikirannya.

Hanya gara-gara igauan, Sena sampai berpikir begitu bodoh tentang Sakti. Memangnya kenapa kalau Sakti mengigau tentang Nath? Ada begitu banyak kemungkinan dalam mimpi itu. Apa Sena berani menjamin jika dalam hidupnya, dia tidak pernah mengigau tentang Dirga setelah mereka putus? Hanya karena sesuatu yang tidak mampu ia lihat, Sena sudah termakan prasangka negatif tentang igauan.

" Maaf," bisik Sena parau dengan air mata yang mulai turun. " Maaf, Mas."

" Sudah aku maafkan, jangan nangis," ucap Sakti menyeka cepat pipi gadis itu, mengirimkan gelayar hangat dan rindu yang tak tertahankan hingga Sena ingin memeluk laki-laki itu sekarang juga.

" Yakin nggak mau makan yang lain?" tanyanya dengan seulas senyum samar di ujung bibirnya.

Sena menggeleng. Gadis itu tersenyum canggung.

" Aku makan ini saja. Malas keluar."

Bagaimana Sena bilang pada Sakti bahwa saat ini dia ingin memeluknya? Persetan dengan jagung, dia sudah kenyang.

" Ya sudah," Sakti menyisipkan kedua tangannya. " Sekalian pamit, kalau besok pagi-pagi sekali aku pindah ke rumah Bayu."

Ah, iya. Pindah.

" Beneran jadi pindah?" tanya Sena berat hati.

Sakti mengangguk. " Keputusan atasan."

" Terus kita gimana?" tanpa sadar pertanyaan itu meluncur dari bibir Sena.

" Memangnya kita kenapa?"

" LDR, Mas Sakti."

" Untuk apa? Bukannya kita udah selesai?"

Jantung Sena berhenti saat itu juga.

" Kita belum selesai!" seru Sena menahan kaus Sakti sekali lagi ketika sebuah ketakutan mulai merayap di kakinya. Laki-laki itu memandangnya lagi, masih dengan tatapannya yang tenang.

" Kamu yang meminta kita untuk selesai, Na. Apa kamu lupa?"

Sena menggeleng dengan cepat, membuat beberapa air mata berjatuhan ke pipi. " Nggak jadi, nggak jadi selesai. Itu semua gara-gara aku yang berpikir bodoh. Maaf."

Sakti menghela nafas. Laki-laki itu membelai pelan tangan Sena di kausnya, kemudian perlahan melepaskan cengkraman Sena.

" Jangan minta maaf, kamu nggak punya salah yang perlu aku maafkan," kata Sakti.

" Kalau begitu kita belum selesai, Mas Sakti." Sena terisak kala menyadari bahwa Sakti mundur satu langkah ketika Sena mendekatinya.

Pemuda ini, apakah sedang menghukumnya? Karena jika iya, maka caranya sadis sekali.

" Tentang aku yang bilang sering mimpi kamu," suara Sakti menyadarkan Sena, membuat gadis itu kembali berfokus pada Sakti yang menatapnya dengan sorot penuh ketenangan di kedua manik matanya. " Kamu percaya nggak, Na?"

Sena terdiam beberapa lama, membuat Sakti tersenyum samar ketika diam Sena sudah menjawab pertanyaannya.

" Masalahnya, Na, bukan hanya tentang igauan atau kesalahpahaman tentang bekas lipstik itu. Tapi tentang kamu yang nggak bisa percaya aku," ucapnya pelan. " Bahkan mungkin lebih dari itu. Karena sejak awal, kamu memang nggak sepenuhnya mempercayaiku. Kamu takut dengan apa yang mungkin aku lakukan di masa depan."

Sakti berbicara dengan tepat. Sena menatap Sakti dengan kalut, mencari-cari kemarahan di iris coklat tua itu. Namun Sena tidak menemukannya. Dia hanya menemukan tatapan Sakti yang tenang, tanpa binar.

"Aku selalu berusaha menjaga kepercayaan kamu, Na. Tapi seperti kasus CCTV itu, aku nggak punya kuasa atas semua yang terjadi di luar sana. Kalau kamu nggak bilang tentang bekas lipstik itu, aku nggak akan pernah tahu," ucapnya dengan kelembutan yang mematikan. " Kenapa baru tanya sekarang, Sena? Aku sudah kasih kamu kesempatan untuk kita bicara. Kenapa kamu nggak mau bicara?"

Sena mengangguk cepat. " Iya, maaf. Maaf. Jangan begini!"

Sekali lagi, jemari Sena hanya meraih udara kosong karena laki-laki itu menjauhinya.

"Aku mengajak kamu terus melangkah, tapi itu nggak akan cukup dengan kamu yang selalu berpikiran buruk akan masa depan kita. Itu nggak akan cukup dengan kamu yang selalu menyembunyikan sesuatu dariku, Na. Aku sayang kamu, Sena, Devasena Gayatri. Tapi untuk bertahan di hubungan ini, sepertinya kita nggak akan bisa. Kita sudah kehilangan satu poin yang penting, itu kamu yang nggak bisa percaya aku. Jadi daripada diteruskan, aku setuju keputusan kamu untuk menyudahi hubungan ini."

Tidak! Tolong, siapapun...

" Berhenti Mas," Sena tercekat. " Maaf, kemarin aku kacau."

" Setelah aku turun dari pesawat di London, aku bahkan masih mengira kamu berangkat kerja, Na."

Sakti menatapnya dengan seulas senyum di bibir. Samar, penuh pengertian, juga kekecewaan.

" Aku baru tahu kamu pulang karena baca chat dari Rafi. Aku tanya alasannya sama dia dan yang lain, mereka hanya bilang kamu ada urusan tanpa tahu urusan apa. Lalu waktu aku pulang dari London, aku ketemu Danar, Na. Dia cari kamu dan dari dia, aku baru tahu alasan kamu pulang adalah karena kakak kamu pergi dari rumah. Jadi, sepertinya aku nggak selayak itu untuk bisa kamu percaya."

Sungguh, Sakti tidak pernah meninggikan intonasi suaranya maupun menggunakan nada menuduh. Laki-laki itu hanya berbicara dengan tenang. Namun sesuatu dalam dada Sena teremat kuat-kuat.

" Itu karena bekas lipstik itu, Mas Sakti," isak Sena.

"Alih-alih tanya, kamu menyimpulkan semuanya sendiri dan memutuskan hubungan kita, Na." ucap Sakti. " Kamu nggak pernah mau bilang semua hal yang menganggu kamu. Darimana aku bisa tahu?"

Sena mengusap air matanya meskipun masih terisak. " Karena...bisa jadi jawaban Mas Sakti juga kebohongan. Karena pencuri nggak pernah ngaku kalau dirinya seorang pencuri."

" Jadi, serendah itu aku di mata kamu."

Sena menggeleng cepat. Merasa terkejut dengan penyimpulan Sakti. Namun laki-laki itu hanya tersenyum, masih dengan sirat kecewa di sudut bibirnya.

" Kalau begitu, kamu akan selalu menganggap penjelasanku kebohongan, Na. Sejujur apapun aku bilang sama kamu, kamu nggak akan pernah bisa percaya."

Masih tenang tanpa nada menuduh, namun kalimat Sakti serupa gada yang diayunkan kuat-kuat pada Sena.

"Kalau igauan dan bekas lipstik itu saja bisa membinasakan kepercayaan kamu, lalu bagaimana kalau suatu saat ada foto tentang aku yang tidur telanjang bulat dengan perempuan lain? apa yang akan kamu pikirkan, Na? Apa yang akan kamu lakukan?"

Sena membeku dan karenanya, Sakti tersenyum dengan mata yang mulai memerah. Meskipun demikian, ia masih menatap Sena dengan teduh.

" Suatu saat kalau aku dituduh sebagai pemerkosa anak orang, kamu mungkin akan langsung pergi menjauh. Suatu saat kalau aku dituduh sebagai pembunuh, mungkin kamu akan langsung setuju. Sama seperti pertama kali kamu lihat bekas lipstik itu, hal pertama yang kamu lihat tentang aku adalah aku yang melakukan kesalahan tanpa mau membicarakannya lebih dulu."

Tuhan, tolong, lidah Sena menjadi kelu.

Mata merah itu menawan tatapan Sena beberapa saat sebelum menunduk dan memejamkan mata. Laki-laki itu menghirup nafas dalam dengan sikap yang sedikit membungkuk. Satu, dua, tiga kali dengan kedua tangannya masih di dalam saku.

Dan Sena merasa dadanya robek ketika melihat Sakti yang seperti itu. Gadis itu terpaku, tergugu dengan kedua tangan terkepal erat di kedua sisi.

Ketika Sakti akhirnya menatapnya lagi, warna merah di matanya sudah memudar meskipun senyum masih terulas di bibirnya.

"Bagaimana aku bisa hidup dengan orang yang nggak berusaha percaya aku, Na? Kamu juga nggak akan bisa tenang karena ketidakpercayaan kamu kan, Na? Hubungan kita nggak akan berhasil. Jadi Na, mari kita teruskan keputusan kamu saja. Kita cukup sampai di sini."

Dan, semuanya terjadi secepat itu di depan Sena yang masih membatu. Sakti menghapus lelehan air mata di pipi gadis itu sebelum menyisipkan kedua tangannya ke dalam saku.

" Jangan nangis, Na. Kamu perempuan kuat. Dimakan jagungnya, nanti tidurnya jangan malam-malam."

Dengan senyum samarnya yang terakhir, laki-laki itu berbalik dan berjalan pergi.

Apa...

kulit Sakti mati rasa sampai tidak menyadari jika Sena sedang demam? Apa laki-laki itu buta hingga tidak melihat Sena yang menangis? Apa telinganya tuli hingga dia tidak menyadari isakan Sena dari tadi? Apa dia tidak tahu apa yang telah Sena alami di rumah seminggu kemarin? Apa laki-laki itu tidak ingin tahu seperti biasanya?

Seiring dengan langkah Sakti yang menjauh, air mata Sena kembali berderai. Ia menatap punggung jangkung Sakti, punggung yang selalu membuatnya tersenyum kala melihatnya di lobi rumah sakit.

Dan ketika Sakti memutuskan untuk melepaskan, dia juga nggak akan pernah main-main.

Sena mengerjap hanya untuk membebaskan berjuta air mata terjun bebas di pipinya kala kalimat Bayu terngiang lagi, membuat kepergian siluet jangkung itu menjadi lebih menakutkan.

Jadi, Sakti melepaskannya?

Sebentar.

Sakti benar.

Masalah Sena, bukan tentang salah paham konyol ini, tapi sesuatu yang jauh lebih besar daripada itu. Tentang dia yang tidak bisa percaya masa depan. Tentang dia yang tidak akan pernah bisa percaya bahwa pasangannya bisa setia selamanya.

Tapi kini setelah Sakti pergi, mengapa dia merasa sakit?


*TBC*

🏃🏃🏃🏃🏃

Selamat siang semuanya, semoga berbahagia ❤❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro