Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

DEVASENA | 44. Sebuah Usaha Melepaskan

" Na, lo sakit?"

Itu adalah kalimat pertama yang Rafi tanyakan ketika mereka bertemu di luar stasiun. Sena membiarkan Rafi mengambil alih kopernya untuk dibawa ke mobil. Sementara Sena merapatkan jaketnya di siang hari yang terik seperti ini.

" Pucet, tau nggak. Kenapa? Sakit apa?" tanya Rafi ketika mereka sudah ada di dalam mobil. Namun Sena menggeleng.

" Nggak papa. Cuma kecapekan aja," jawab Sena tidak terlalu kepingin menjelaskan betapa sibuknya dia di rumah sampai-sampai dia harus minta izin dua hari lagi pada Danar.

Mengurusi kasus Wira, ikut mengasuh Laksmita dan Femi, serta menyelesaikan masalah dengan Susan. Keluarga Susan tidak mengizinkan Susan menikah dengan Wira karena mereka tahu Wira pengangguran dan pengedar narkoba meskipun anak yang dikandungnya adalah anak Wira. Sena tidak begitu ambil pusing. Yang jelas, saat ini dia dan keluarganya begitu fokus pada Wira.

Selama ini Shinta selalu bilang jika Wira sudah mendapat pekerjaan, karena kakaknya pun berkata demikian dengan bukti mempunyai pemasukan dan mampu mencukupi kebutuhan Hestia. Namun yang tidak mereka tahu adalah jenis pekerjaan Wira. Alih-alih bekerja keras mencari pekerjaan yang baik, kakaknya mencari pekerjaan pintas sebagai pengedar.

Sena menghempaskan diri ke punggung kursi, merasa dirinya menua tiga tahun lebih cepat. Terkekeh pelan ketika membayangkan pendapat orang lain akan keluarganya.

Barantakan? Bukan keluarga baik-baik? Hmph...nyatanya, Sena sudah biasa mendapatkan cibiran negatif bahkan dari lingkungannya sendiri.

Ck, tekanan batin berpengaruh pada asam lambungnya. Dan kini, perutnya terasa melilit karena sudah beberapa hari ini makannya tidak teratur.

" Sampai keringetan gini," celetuknya cemas ketika Rafi menempelkan tangan ke dahi Sena. " Lo ada masalah sama Sakti? Ini...lo beneran putus? Kenapa?"

Sena menghela nafas lelah.

" Jangan sekarang, Mas."

" Terus mau kapan? Hm?!"

Nada tinggi Rafi membuat gadis itu menoleh. Rafi mendengus kasar dan menepikan mobil di bahu jalan.

" Kenapa berhenti?" tanya Sena.

" Karena lo perlu ngomong," ucap Rafi tegas. " Waktu gue bilang sama Sakti kalau lo datang hari ini, dia bilang itu bukan lagi hak dia karena kalian udah putus. Kenapa, Na? Lo itu...ck! Gue bukannya mau ikut campur tapi tolong, dua tahun gue kenal lo dan gue baru tahu ada dua orang gila yang pernah nyakitin lo sedemikian dalam! Sekali-sekali lo juga perlu ngomong! Apa gara-gara fotonya si Nata de Coco itu? Iya?"

Mendengarnya, Sena menatap Rafi beberapa saat.

" Mas tahu darimana?"

Rafi mendengus. " Gue ngerasa aneh aja sama kalian. Terus gue stalking-stalking sampai di akunnya si Natasha itu."

" Nathalie."

" Bodo! Siapa suruh punya nama bikin lidah kesleo!" dengus Rafi.

" Kita udah putus sebelum aku tahu foto sama cincin itu," ucap Sena pahit. " Cocok, ya."

Rafi menepuk jidatnya sendiri. " Aduh bego astaga! Gue tanya Sakti dan katanya itu tuh foto dari jaman purba! Dan itu memang cincin dari Sakti, tapi itu udah jaman dinosaurus, Na. Udah dulu banget. Udah basi etdah!"

Sena menelan ludah, namun tidak mengatakan apa-apa.

" Lo...ini...beneran cemburu gitu sama fotonya?" Rafi mengusap keningnya. " Ya apa, Na, dulu mereka pernah bersama. Nggak mungkin kan lo nganggep kehidupan asmara Sakti biasa aja sama pacarnya? Sama seperti nggak mungkinnya kehidupan asmara lo sama Dirga dulu bakalan biasa aja, karena kalian pernah terikat. Paham nggak? Jadi kalau lo cemburu sama masa lalu itu cuma sia-sia. Lagipula yang upload kan si Narsiska itu, bukan Sakti!"

Sena hanya membuang pandangannya ke luar jendela.

Rafi menggaruk dahinya. " Gue itu...nggak nyaman aja nantinya kalian berdua bakal gimana, Na. Kalian berdua itu tinggal sebelahan. Lo bayangin betapa canggungnya kita kalau kumpul bareng. Jadi tolong, kalau ini masalah salah paham, lo lurusin gih sama Sakti. Dia juga kacau setelah kemarin pulang dari London. Nggak keluar kamar seharian."

Sena terdiam beberapa saat, kemudian menggeleng.

" Apapun itu, gue nggak bisa percaya lagi sama dia. Ada banyak hal yang kamu nggak tahu, Mas."

" Apa Sakti selingkuh? Kalau lo belum paham, Na. Selama ini yang getol bikin sensasi itu si cewek. Sakti mah adem ayem. Jadi, bisa gue simpulkan kalau si cewek ini masih suka sama Sakti."

Sena meraih tisu di dashboard.

" Makanya sebelum dia selingkuh, mending kita selesai aja," ucap Sena menghapus air matanya. Rafi berdecak, kemudian menjentik kening Sena hingga gadis itu memekik.

" Kalau mau putus, jangan lewat telfon, bego! Lo bakal sakit sendiri kayak gini," celetuk Rafi menyalakan mobil lagi. " Putus itu bukan sekedar ambil keputusan, tapi memutuskan hubungan batin yang nggak bisa disepelekan. Jadi, bicara baik-baik. Empat mata. Dan ngomong semuanya. Karena kalau ini cuma salah paham, lo rugi besar."

" Aku nggak akan rugi cuma gara-gara putus cinta," kata Sena.

" Kali ini, lo bakal rugi, Na. Karena lo bukannya kehilangan Sakti. Tapi orang yang benar-benar tulus sayang sama lo."

Ingatan tentang igauan dan lipstik itu terlintas di benak Sena.

" Mas?" panggil Sena membuat Rafi menoleh sekilas padanya.

" Kamu itu...pernah nggak sih takut sama sesuatu sampai kamu nggak mau deket-deket barang itu?" Sena akhirnya berkata dengan kesal. Dia sedikit tidak terima ketika Rafi menghakiminya seperti ini karena demi apapun, dia ketakutan!

" Ini...maksudnya lo takut sama Sakti?" tanya Rafi terkejut. " Emang dia pernah ngapain lo?"

Mendadak saja si bunga matahari mungil berwarna kuning yang sedari tadi mengangguk-angguk imut itu jadi menggoda untuk dilemparkan ke jidat Rafi.

" Aku nggak takut sama Mas Sakti. Aku takut sama hubungan yang kami bangun! Aku takut sewaktu-waktu dia pergi terus aku sakit sampai rasanya hancur! Rasanya...aku nggak pernah bisa tenang, tau nggak?!" seru Sena kehilangan kendali. " Aku nggak punya keyakinan kalau dia bakal setia. Aku nggak punya keyakinan bahwa di masa depan, dia nggak jatuh cinta sama cewek lain atau, balik lagi sama mantannya. Aku nggak bisa, Mas! Kamu kira aku bisa nyaman kalau pikiran-pikiran itu nggak bisa aku tepis? Aku udah lihat sendiri kalau hati manusia itu gampang banget berpaling! Memangnya siapa di dunia ini yang bisa menjamin pasangan kita bisa setia seumur hidup? Sebijak apapun Mas Sakti berhasil bikin aku yakin, pada akhirnya aku tetap nggak bisa lagi percaya sama dia!"

Sena menatap nyalang pada Rafi, berharap laki-laki itu paham apa yang dia rasakan. Tapi Rafi hanya mengangguk-angguk seolah menyadari sesuatu.

" Fix, lo sakit," celetuknya minta ditabok.

Sena mendengus kesal dan menghempaskan dirinya ke punggung kursi. " Nggak usah ngomong!"

" Lo itu sakit Na," kekeh Rafi mencubit pipi Sena tanpa ampun. " Sakit yang cuma bisa disembuhin sama Plato, Kahlil Gibran, Shakespeare dan teman-temannya."

**

Pemandangan pertama yang Sena lihat ketika memasuki halaman kontrakan Kenanga adalah kardus-kardus yang bertumpuk rapi dengan berbagai ukuran di depan pintu Sakti yang terbuka.

" Ada apa Mas?" Tanya Rafi pada Arga ketika mereka berdua mendekat. Karena Arga baru saja keluar dari ruangan Sakti dengan sebuah kardus lain di tangannya.

Arga menatap Sena beberapa saat sebelum meletakkan kardus di teras seperti kardus lainnya.

" Sakti pindah," jawabnya sebelum masuk ke dalam.

" HAH?" Rafi berseru. " Pindah? Kenapa? Kemana? Mas!"

Rafi melangkah cepat masuk ke dalam unit Sakti, meninggalkan Sena membatu di samping kardus-kardus itu.

" Sena! Udah pulang?"

Sena menoleh dan mendapati Ana berjalan ke arahnya dengan wajah bersinar.

" Hmm..." Sena tersenyum dan membungkuk di depan perut Ana. "Safira gimana kabarnya?"

Ana tertawa kecil. " Safira baik, Tante. Tante gimana? Lancar di rumah?"

Sena menegakkan diri dan mengangguk kecil. Gadis itu meraih sesuatu dari dalam kopernya dan mengulurkannya pada Ana.

" Jambu air. Tempatku baru panen," ucap Sena.

Ana menangkupkan tangannya ke pipi sembari membelalak. " Wah, Tante pengertian sekali! Makasih ya sayang."

Seakan jambu air itu adalah sesuatu yang berharga, Ana segera bergegas ke unitnya sembari membawa kantung itu dengan kedua tangan. Sena tersenyum samar, sedikit iri karena Ana bisa begitu positif dalam hidupnya.

Sena berbalik. Hendak menuju ke unitnya sendiri ketika Sakti muncul dengan sebuah kardus di tangannya.

Untuk beberapa saat, detik waktu Sena berhenti. Sakti ada di depannya. Memakai kaus hitam polosnya dengan celana longgar selutut. Kacamata bertengger di hidungnya, tapi tidak menyembunyikan sorot Sakti ketika laki-laki itu juga menatapnya dalam diam.

Rindu berdenyut sakit di dada Sena.

" Udah pulang?"

Suara itu, sudah berapa tahun Sena tidak mendengarnya?

Sena cepat-cepat menguasai diri, kemudian mengangguk.

Sakti meletakkan kardus itu di samping kardus yang lain sebelum menghadapi Sena lagi. Normal, terlalu normal hingga Sena merasa bahwa tidak ada apapun yang terjadi di antara mereka.

" Jangan kemana-mana. Aku punya sesuatu buat kamu," ucapnya sebelum berbalik ke dalam.

Saat itu, Rafi dan Arga keluar dengan kardus di masing-masing tangannya. Keduanya menatap Sena, kemudian Rafi mengangkat alis sementara Arga mendekatinya.

" Ck!" decaknya mengusap cepat wajah Sena.

" Eh?" Sena menunduk dan menyapukan tangannya ke wajah. Basah. Astaga! Jangan bilang jika dia menangis!

" Ng...pasti karena ini nggak enak badan." Sena tertawa canggung. Arga hanya menghembuskan nafas, kemudian menjentik pelan dahi Sena sebelum berbalik dan menyeret Rafi pergi dari sana.

Sena mengerjap, sangat memahami situasi yang ditinggalkan oleh tetangganya. Gadis itu cepat-cepat menuju unitnya sebelum Sakti muncul. Namun belum sempat ia melangkah, Sakti keluar dengan sebuah paperbag di tangannya.

Laki-laki itu berhenti tepat di depan Sena, menghantarkan aroma mint yang membangkitkan rindunya.

" Oleh-oleh," ucapnya seraya mengulurkan paperbag kepada Sena.

Namun Sena bergeming. Dibiarkannya tangan Sakti menggantung di antara mereka berdua ketika Sena terlalu sibuk menilai ekspresi Sakti. Namun tidak ada ekspresi apapun yang bisa dia baca kecuali mata coklat tua itu menatapnya dengan tenang seperti biasa.

" Nggak perlu, Mas," kata Sena pelan.

" Ini oleh-oleh. Sama seperti punya Ana dan Yolla," ucapnya. " Jadi, tolong diterima."

Sena terdiam sejenak, kemudian meraih kantung lain dari dalam koper dan mengulurkannya pada Sakti.

" Jambu air. Rumah panen."

" Hmm, thanks," ucap Sakti menerimanya sopan dengan satu tangan masih terulur. Sena bedehem, kemudian meraih paperbag dari Sakti.

" Makasih juga," ucapnya. Gadis itu mengalihkan pandangan ke arah kardus-kardus ketika wajah Sakti terlalu bahaya untuk dipandangi lebih lama. " Mas Sakti pindah kemana?"

" Singapura."

" Kemana?"

" Singapura," ulangnya memastikan jika pendengaran Sena masih baik-baik saja.

Untuk beberapa saat, Sena tidak mampu berbicara.

" Kenapa kesana?" tanyanya tanpa sadar. " Ini bukan gara-gara kita, kan?"

Mendengarnya, Sakti tersenyum samar. Ia menyimpan kedua tangannya ke dalam saku.

" Bukan. Bukan karena kita. Ini masalah kerjaan."

Tidak, sungguh. Sakti tidak mengatakannya dengan nada tinggi, tajam atau apapun. Laki-laki itu mengatakannya dengan biasa saja. Ia juga tidak menatap Sena dengan pandangan menyalahkan, dendam ataupun dingin. Dia hanya menatap Sena setenang biasanya.

" Berapa lama?"

" Empat, lima tahun minimal."

Itu artinya, Sakti akan tinggal di sana dalam waktu yang sangat lama.

" Oh...kapan berangkat?"

" Satu minggu lagi. Aku bawa barang-barang ini ke rumah Bayu yang lebih dekat ke bandara."

Satu minggu lagi. Satu minggu lagi.

" Makasih," ucapan Sakti tiba-tiba dengan seulas senyum tipis. " Makasih untuk mencoba semuanya denganku, Na."

Setelah mengatakannya dengan tenang, Sakti mengusap singkat puncak kepala Sena sebelum berbalik dan menghilang, meninggalkan Sena yang berdiri mematung dengan jemari mencengkram paperbag erat-erat.

**

Apapun yang Sena lakukan, kata-kata Rafi tentang foto itu mengganggunya. Sudah kesekian kalinya tangan Sena berhenti bekerja hanya karena tiba-tiba saja fokusnya berbeda.

Sena menggeleng, kemudian kembali memasukkan pakaian-pakaiannya ke dalam lemari.

Apa dia sudah salah memahami semuanya? Apa ada sesuatu yang terlewatkan olehnya?

Tapi lagi-lagi, sisi pengecut dalam dirinya mencibir. Apa yang sudah ia salah pahami? Mimpi itu? Bekas lipstik itu?

Namun kemudian kalau memang benar salah paham, mengapa Sakti tidak berusaha meluruskannya? Alih-alih menepis sesuatu yang menurutnya membuat Sena salah paham, laki-laki itu justru diam. Sakti memang menerima keputusan Sena semudah itu.

Sena memang setidakpenting itu untuk sakti, kan?

" Devasena, berhenti!" gertaknya pada diri sendiri. " Lo yang sekarang terlihat sangat menyedihkan, tahu nggak?!"

Karena terlepas dari dirinya yang masih menyayangi Sakti, dia tidak bisa mempercayai laki-laki itu lagi. Dia tidak ingin menderita. Maka tidak salah jika dia menyingkirkan faktor yang berpotensi membuatnya menderita, kan?

Pikirannya membawa Sena pada Galuh, tanpa sadar ia mencengkram pakaiannya erat-erat. Kondisi Galuh masih belum pulih dari syok. Kini ibu muda itu memilih menenangkan diri ke rumah orangtuanya.

Sena meremat pakaiannya tanpa sadar. Kata orang pernikahan itu suci. Katanya, pernikahan itu janji abadi. Tapi toh banyak dari mereka yang hanya mengucapkan di mulut saja. Pada kenyataannya, masalah hati bisa membuat sebuah rumah tangga binasa.

Sebuah hubungan hanya akan ada kalau dua pihak tetap mempertahankannya. Kalau mereka rapuh, yang salah adalah pihak-pihak yang seharusnya menjaga dia untuk tetap utuh.

Sena tertawa kecil. Pada beberapa saat di masa lalunya, Itu adalah salah satu kalimat yang membuat Sena percaya pada Sakti. Jika kini Sakti saja masih menoleh-noleh ke belakang, apa yang Sena harapkan ke depannya?

Lamunan Sena tersela oleh ketukan di pintu. Gadis itu bergegas keluar dari kamarnya, lalu keningnya berkerut ketika tahu siapa yang bertamu.

" Halo Sena," sapa laki-laki berkacamata tebal itu.

" Mas Bayu?" Sena berujar untuk memastikan bahwa lelaki berjaket biru tipis di depannya adalah Bayu. " Ada apa?"

Bayu tidak segera menjawab. Laki-laki itu menatap Sena beberapa saat. Menilai gadis itu bak sebuah laser tak kasat mata dengan pandangan tajam dari balik kacamata tebalnya.

" Lo emang secantik ini," ucapnya membuat Sena langsung mundur. Melihatnya, Bayu tertawa.

" Gue mau minta tolong. Lebih tepatnya minta ditemeni, sih," ucap Bayu mengedik. " Gue diseret kesini sama Sakti, katanya mau ada pesta perpisahan dia keluar dari kontrakan. Berhubung yang lain juga pada sibuk nyiapin peralatan sama beli jagung ke pasar, gimana kalau lo nemenin gue ke supermarket beli bahan-bahan yang lain?"

Ah, iya. Sakti mau pergi, ya?

" So?" Bayu menunggu. " Bukannya apa-apa, tapi beneran, gue nggak ngerti apa yang perlu gue beli buat pesta bakar jagung nanti malam."

Sena mendengus geli kala mendengarnya. Menepis aliran panas yang berpotensi membuat dadanya sesak, gadis itu akhirnya mengangguk. Ia berbalik untuk meraih jaketnya sebelum keluar lagi. Bayu masih di depan unitnya, bersandar di kusen pintu sembari bersedekap. Laki-laki itu menyingkir ketika Sena mengunci pintu.

" Na, gue denger lo putus sama Sakti?" Bayu berbisik di telinganya hingga gadis itu terkesiap. " Gimana kalau kita jadian? Nggak salah, kan? Lo free."

Sena memandangi sosok laki-laki ini dengan menyipit. Siapa sangka lelaki berparas culun dengan kacamata bundar dan tebal itu bisa mengatakan sesuatu yang sangat menye—

Dan sejak kapan Sakti ada di depan unitnya sendiri, tampak sibuk dengan kardus-kardus itu? Sakti menoleh sekilas sebelum menunduk lagi untuk melakban salah satu kardus, tampak penuh dengan konsentrasi.

" Mau ya, Na? Lo kan wife-able banget. Rugi kalau nglepasin cewek kayak lo. Ya ya ya?" rengek Bayu melingkarkan lengannya ke pundak Sena, yang ditepis Sena.

" Ck! Aku sendiri aja yang beli!" geram Sena gerah dengan kelakuan tengil Bayu.

Bayu justru tergelak. Bukannya berhenti, laki-laki itu malah meraih siku Sena dan menyeretnya keluar pagar.

" HA? APA NA? LO MAU JADI CEWEK GUE?? WAAAHH BAHAGIANYAA—ADUH!!"

Karena pipi Bayu terlalu tinggi untuk ia raih, maka sasaran empuk yang lain adalah jempol kakinya. Sena meniup rambut yang beterbangan di wajahnya, melirik bengis pada Bayu yang kini tengah melompat-lompat dengan satu kaki.

Tidak cukupkah dia diganggu dengan fakta bahwa Sakti terlihat masa bodoh dengan kelakuan Bayu?

Ternyata, dia memang tidak sepenting itu.

*TBC*

Selamat sore, 

Semoga selalu berbahagia ❤️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro