Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

DEVASENA | 43. Milik Sakti

Sena terbangun karena tangisan yang memekakkan.

Ah, Femi menangis lagi untuk kesekian kali. Gadis itu bergelung sembari menutupkan bantal di telinganya, berusaha mengusir suara yang menyelusupkan rasa benci pada sukmanya yang benar-benar letih.

Namun hingga beberapa menit, tangisan itu masih saja mencegahnya jatuh tertidur. Malah yang ada, tangisan itu justru semakin kencang.

Melemparkan bantal ke sudut tempat tidur, gadis itu akhirnya beranjak. Ketika membuka pintu kamar Shinta, dia hanya mendapati Badra sedang memangku Femi yang menangis histeris, tampak kewalahan.

" Mama kemana?" tanya Sena dingin.

" Mama ke rumah sakit jenguk Susan dan Hestia..." ucapnya menimang bayi mungil di pelukannya yang tidak kunjung diam.

Ingin rasanya Sena berbalik dan tidak memperdulikan bayi mungil yang terlihat menderita itu. Toh, dia bukan siapa-siapa. Dia hanyalah makhluk yang akan membuat Shinta terus teringat luka. Dia hanyalah makhluk yang menjadi kelemahan Shinta untuk tidak memperdulikan Badra.

Namun yang ada, Sena justru mendekati Badra dan meraih Femi tanpa suara.

Sesaat, dalam rengkuhannya, mata mereka bertemu dan Femi terdiam. Ia mengamati Sena dengan mata bundarnya, mencoba mengenali wajah asing yang menatapnya dengan beribu rasa berkecamuk di dada. Sorot mata yang polos. Lalu begitu saja, Sena merasa sudah jahat sekali.

" Sudah dicek popoknya?" Sena membuang wajah kala matanya memanas. Gadis itu menidurkan Femi yang mulai menggeliat lagi dan membuka popoknya. Benar saja, bayi mungil itu buang air besar.

" Ayah...belum berani pegang..." Badra berbisik di sampingnya. " Ayah nggak tahu--"

" Iya. Mau jadi apa Ayah tanpa Mama?" Sena berkata datar sembari membersihkan dan mengganti popok Femi dengan cekatan. Ia mengulurkan popok kotor pada Badra, yang menerimanya tanpa kata dan keluar ruangan untuk membuangnya di tempat sampah.

Meninggalkan Sena berdua dengan bayi mungil yang lahir di atas penderitaan orang lain.

Mengusap aliran air mata yang mulai menguasai pipinya, gadis itu duduk di tepi tempat tidur dan merengkuh Femi dalam gendongannya. Meskipun tidak ingin, namun tetap saja gadis itu menelusuri bentuk wajah Femi.

Alis milik Tia, hidung milik Badra, tulang pipi milik Tia, lekuk bibir milik Badra.

Meskipun Sena hanya pernah bertemu Tia satu kali, namun Sena tidak akan pernah bisa melupakan kedatangan sosok yang menimbulkan rasa benci di hatinya untuk pertama kali. Dia bahkan masih ingat rasa itu, rasa ketika Badra memperkenalkannya sebagai ibu baru bagi Sena. Tia menyapanya dengan senyum. Saat itu pula, noktah hitam mulai muncul dan menyebar di hatinya yang hanya mengenal bahagia. Melumpuhkan persendiannya hingga rasanya api melalap seluruh belulang Sena.

Sekuat itu rasa yang ditimbulkan dari Tia.

Sena menengadah ketika kedua tangannya tidak mampu menghalau air mata yang kian melaju. Dia sedang memegang secuil bagian dari orang yang sangat ia benci. Namun ketidakberdayaan menguasainya kala melihat tatapan polos Femi. Maka Sena hanya bisa menangis tanpa suara ketika kebencian itu berpusar di hatinya.

Femi menggeliat dan merengek lirih di gendongan Sena. Bayi mungil itu mencecapkan sepasang bibirnya sembari menatap Sena dengan kedua manik bundarnya. Masih dengan pandangan mengabur, Sena menimangnya sembari menempatkan botol susu dengan lembut di antara bibirnya yang mungil.

" Maaf."

**

Sena sama sekali tidak pernah bisa mengerti Wira.

Pagi-pagi buta, tiga orang anak buah Dirga membawa Wira kembali ke rumah. Maka kini Sena, Shinta, Badra dan bahkan Raras berkumpul di rumah Sena.

Jika seorang Wirawan Hardiwinata sudah sangat menakutkan bagi Sena ketika pertemuan terakhir mereka, kini Sena yakin hal itu bukan apa-apa.

Dia nyaris tidak mengenali sosok gagah yang pernah bersemayam di tubuh yang sama. Laki-laki itu lebih kering daripada tengkorak. Kulitnya jauh lebih hitam dan kusam, rambutnya panjang dan kusut masai, wajahnya memerah dengan kantung mata tebal di bawah matanya.

" Ketangkap tangan waktu transaksi. Dia sih bilangnya pengedar doang. Buat jelasnya, mending dibawa ke laboratorium aja," ujar salah satu orang berbadan tinggi besar yang mencekal Wira kuat-kuat.

Sena menekap mulutnya, sementara satu tangannya menahan tubuh Shinta yang limbung. Wanita itu menangis di bahu Sena. Sena tetap menatap Wira, yang membalas tatapannya dengan sayu dan tidak fokus. Kemana perginya Wira yang tampan dan penakhluk wanita itu?

Saat itu, Hestia yang baru saja tiba dari rumah sakit kemarin sore menyeruak ke depan, membuat Wira menoleh ke arahnya. Wanita yang baru saja menjadi ibu dalam beberapa bulan itu menekap erat mulutnya dengan kedua tangan sebelum lelehan air mata mengalir deras dari ujung matanya.

Perlahan, dengan tubuh gemetar, wanita itu mendekati Wira yang menatapnya tajam dengan mata memerah, seperti seekor singa yang menggeram ketika melihat mangsanya. Tapi Hestia mengabaikannya. Dengan kelembutan yang menjanjikan, wanita berdaster itu merengkuh Wira dalam pelukannya, menyembunyikan wajah Wira dalam-dalam di lekukan leher dengan satu tangan membelai rambutnya.

Dirga mengedik, menyuruh ketiga orang yang tadinya mencekal Wira untuk melepaskan laki-laki itu. Mereka patuh dan mengambil beberapa langkah ke belakang.

Hestia membisikkan sesuatu entah apa, yang membuat Wira bergeming beberapa saat. Kemudian perlahan, sebuah isakan keluar dari bibir Wira.

" Maaf, Hes," ujarnya bergetar sebelum memeluk tubuh wanita itu erat-erat dan menyembunyikan wajahnya lebih dalam. " Maaf."

Empat huruf itu membuat Sena terguncang luar biasa. Kakaknya, seorang Wirawan Hardiwinata yang memandang dunia sebagai tempat bermain kini meminta maaf dengan suara penuh kekalahan, di depan wanita yang pernah ia tertawakan.

Dunia memang seaneh itu.

Sena mengusap air matanya. Ia baru sadar bahwa Dirga dan ayahnya sudah menghilang. Kini, yang ada di sana hanya Raras, Sena dan Shinta. Namun kemudian Shinta juga memutuskan untuk pergi ke dalam ketika tidak mampu lagi melihat kondisi anak sulungnya.

Sena ikut berbalik, namun saat itu Raras menahannya.

" Masih belum mau nerima Dirga?" tanyanya tajam.

Sena menatapnya datar.

" Apa sepenting itu Dirga buat lo sampai-sampai lo peduli sama kebahagiaannya dia?" tanya Sena. " Atau mungkin, lo cuma sedang berusaha menghibur diri sendiri dengan memperbaiki kesalahan lo, dan membuat gue sama Dirga bareng-bareng lagi biar lo nggak terus merasa tersiksa?"

Mendengarnya, Raras terpaku. Sena mengibaskan cekalan Raras, namun wanita itu masih menahannya.

" Cowok lo, namanya Sakti. Sakti Samudra," ucapnya pelan. " Lo tahu kalau dia main di belakang lo sama cewek yang namanya Nathalie Diomira? Bahkan tadi malam, cewek itu baru aja ngunggah foto mesra sama cincin dengan nama cowok lo di sana."

Perubahan dalam air muka Sena pasti tidak luput dari perhatian Raras. Gadis itu menelan ludah sebelum menatap tangan mereka yang bertaut.

" Apa yang gue bilang tentang dia, sekarang kejadian, kan?" Bisiknya. " Orang yang belum pernah merasa kehilangan, hanya akan menilai suatu barang seadanya. Tapi Dirga tahu betul gimana rasanya kehilangan lo. Dia menderita. Dan harusnya itu cukup buat lo kasih dia kesempatan kedua. Dirga nggak pernah bener-bener cinta gue. Dulu—," Gadis itu menelan ludah. " Dulu, cuma sebatas fisik aja. Dan gue yakin cinta lo buat Dirga masih ada. Tertimbun sama rasa benci dan dendam yang lo simpan buat Dirga."

Sena menatap Raras beberapa saat. " Tolong, Ras. Apa nggak ada hal yang lebih penting buat lo daripada ngurusin Dirga sama gue?"

" Na, lo kenapa jadi kepala batu gini, sih?" celetuk Raras. " Gue cuma nggak mau lihat lo menderita! Nyata-nyata orang lain yang berusaha lo percaya tetap aja nyakitin lo!"

" Apa bedanya sama lo?" kata Sena dingin. " Gue udah biasa dikelilingi pengkhianat semacam itu. Jadi tolong, Ras. Berhenti ngurusin hidup gue."

Sena melangkah, namun Raras menahannya lagi.

" Setidaknya, berhenti bersikap dingin ke Dirga, Na. Dia udah bantu keluarga lo nemuin Wira. Itu nggak gampang! Gue lihat sendiri dia nggak tidur beberapa hari ini."

" Dan kalau dia memang minta balasan buat hal kayak gitu, gue makin benci dia," bisik Sena membungkam Raras. Selama beberapa saat, pandangan Raras bergetar menghadapi hujaman dingin Sena.

" Astaga Na, gue beneran nggak ngerti harus nyadarin lo pakai cara gimana lagi." Hujam Raras putus asa seraya menenggelamkan jemarinya pada rambut, tampak frustasi. " Lo sama Dirga juga belum nikah! Nggak seharusnya lo seserius ini! Nggak seharusnya lo sebenci ini cuma karena—"

" Nggak seserius ini?" potong Sena dingin dengan pandangan tajam kepada Raras. " Lo bilang karena gue sama dia cuma pacaran, jadi harusnya gue nggak perlu serius naggepin dia yang selingkuh, gitu maksud lo?"

Raras diam. Perempuan itu mengatupkan mulut rapat-rapat, sangat menyadari jika sepertinya dia sudah salah bicara di depan Sena.

Sementara Sena berusaha menenangkan darahnya yang tiba-tiba saja menggelegak. Gadis itu mengepalkan tangannya kuat-kuat agar bisa tetap menatap manik mata Raras.

" Jadi, begitu pikiran kamu, Ras. Sekarang gue ngerti," ujar Sena dengan kekehan tipis meskipun dengung kemarahan memenuhi telinganya. " Kalau gitu, cepetan lo nikah, Ras. Sebelum lidah gue keburu berulah dan minta yang nggak-nggak sama Tuhan."

Gadis itu berjalan melewati Raras yang terpaku di depan rumah, menuju ke dalam rumah di mana sudah banyak orang berkumpul di ruang tengah rumahnya.

Sena hanya terdiam ketika rapat diadakan. Sena tidak akan menyebutnya rapat keluarga, karena Badra dan Dirga ada di sana. Saat ini, Hestia yang menggendong Laksmita, Susan, Shinta, Badra, Dirga dan dirinya tengah berada di ruang tengah, membahas Wira dan kasusnya. Dirga mengatakan, sebentar lagi polisi akan sampai di rumah mereka. Satu-satunya yang membuat Sena berada di sini adalah Shinta, yang sedari tadi menggenggam tangannya.

Kali ini, Sena bisa melihat keputusasaan yang teramat dalam pada Wira. Seolah akhirnya laki-laki itu dikalahkan oleh segala norma dan aturan dunia yang selama ini dicoba untuk ditentangnya. Mungkin, dengan cara ini Tuhan menegur Wira agar Wira bisa melihat Hestia sebagai orang yang berharga. Sesuatu yang Sena yakin, tidak pernah terlintas dalam pikiran Wira karena gadis itu tahu seperti apa Wira dan seleranya.

Setelah menjalani sebuah diskusi panjang dan penuh air mata dari Shinta, Hestia dan Susan, akhirnya Wira setuju untuk menjalani proses di kantor kepolisian. Dirga berjanji akan mencarikan seorang pengacara yang bagus sehingga Shinta tidak perlu khawatir.

Dengan keputusan yang diambil, satu persatu mereka pergi dari ruang tamu.

Wira pergi bersama Hestia dan Laksmita, sedikit bercanda tentang Laksmita. Sebuah canda yang suram. Sebuah usaha untuk menghibur diri dan satu sama lain, berusaha saling menguatkan, saling memaafkan dan saling menerima. Laksmita, keponakan Sena itu tertawa lucu kala memainkan jemari Wira. Kentara sekali laki-laki itu mengabaikan Susan, perempuan lain yang tengah mengandung darah dagingnya sendiri, yang kini tergugu karena terabaikan sebelum dia juga pergi ke kamar yang disediakan Shinta.

Besok ketika Laksmita sudah cukup besar untuk bisa memahami, apa dia akan membenci Wira seperti Sena membenci Badra?

Badra dan Shinta berbicara sejenak, lalu menghilang ke pekarangan belakang, membuat Sena sadar bahwa mamanya benar-benar malaikat yang diturunkan Tuhan ke bumi tanpa mempunyai kekuatan untuk membenci.

Kini, hanya tinggal Dirga dan Sena di sofa ruang tamu itu, duduk berhadapan.

Sena menyandarkan diri ke punggung sofa sembari menghembuskan nafas panjang. Gadis itu mengeluarkan ponsel untuk memeriksa apa saja yang terjadi selama ia pergi. Ada beberapa pesan dari instalasinya, beberapa pesan dan panggilan tidak terjawab dari Danar, juga dari anggota Kenanga lain.

Tapi tidak ada pesan apapun dari Sakti.

Dada Sena berdenyut pelan, membuat gadis itu menghirup nafas dalam. Sena mengerjap, berusaha mengurai sesuatu yang mulai berkumpul di pelupuk matanya. Ia membuka aplikasi instagram dan memeriksa akun milik Sakti. Yang terbaru beberapa menit lalu hanya foto-foto penuh dengan tulisan yang Sena yakini sebagai bahan presentasi. Juga dua foto yang menyertakan Sakti di dalamnya. Dengan setelan jas dan sikap tubuh tegap, laki-laki itu terlihat sangat profesional. Sena memandanginya beberapa lama, bertanya-tanya sejak kapan rindu jadi sesakit ini.

Dengan jemari gemetar, gadis itu mencari akun Nathalie yang tidak lama ia dapatkan. Di situlah dia menemukan banyak sekali postingan Sakti dan Nathalie sedang bersama. Apa yang dikatakan Raras benar. Postingan terbaru adalah sebuah foto cetak tentang mereka berdua yang diletakkan di atas sebuah meja kayu. Berlatar Istana Westminster dan Big Ben yang terlihat sangat mencolok, keduanya bersandar di tembok di seberang sungai Thames. Mereka berdiri sangat dekat hingga kedua bahu bersentuhan. Sakti yang memakai kemeja putih menyelipkan satu tangannya di pinggang Nath dan tersenyum lembut  ke arah Nath. Senyum yang selalu Sakti berikan untuknya. Nath yang juga memakai gaun polos putih, menyanggul rambutnya sedemikian rupa hingga menampakkan leher jenjang putih susu miliknya, sedang tertawa sembari memegangi gelas plastik kopi berlogo starbucks di tangannya.

Di bawah lembar foto itu, tampak sebuah cincin bermata satu. Nathalie meletakkannya sedemikian rupa hingga Sena bisa melihat tulisan yang terukir di bagian dalam cincin itu.

Sakti's

Sena cepat-cepat beralih pada caption.

Perfect couple, aren't we?

Nafas Sena sesak ketika ia kembali memandangi cincin itu. Kalau begitu, bukankah keputusan Sena untuk melepaskannya adalah hal yang tepat? Sebelum Sakti berselingkuh di belakangnya, Sena harus melepaskannya. Karena dia tidak ingin terluka lagi. Karena dia yakin, dia akan membenci Sakti jika itu terjadi.

Sena membungkuk ketika ingatan akan bekas lipstik itu mencincangnya habis-habisan. Tanpa menyadari seseorang tengah mendekat dan bersimpuh di hadapannya. Dengan satu tangannya yang sehat, Dirga meraih tangan Sena.

" Stay with me once again, Na. Please."

*TBC*

Selamat siang semuanya, semoga berbahagia ❤❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro