Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

DEVASENA | 42. Hanya Terisi Benci

Sena keluar dari gerbong dengan tergesa dan segera menepi. Ia hendak memesan taksi online ketika sebuah kaki bercelana kain panjang masuk ke dalam pandangannya.

" Shinta bilang kamu naik kereta ini," ujar Badra singkat sebelum tersenyum. " Ternyata anak gadis ayah sudah besar."

Untuk sesaat, Sena bergeming. Gadis itu terus terpaku pada sosok di depannya, berusaha meyakinkan diri.

Lalu ketika dirinya yakin jika orang yang berdiri di depannya adalah Badra, seluruh rasa benci yang tertidur di dasar hati kini menyeruak ke setiap pembuluh darahnya.

" Mau apa di sini?" tanya Sena dingin. Gadis itu mencengkram ponsel dan kopernya erat-erat.

" Jemput kamu," ucapnya masih dengan senyum yang sama.

Sena menatapnya dengan seluruh rasa benci yang dia punya, kemudian ia berjalan melewati Badra tanpa kata. Sena meraih apapun taksi pertama yang ia lihat di depan gerbang keluar. Tanpa menoleh ke belakang, gadis itu masuk ke dalam taksi.

Ada apa ini? Mengapa pria itu kembali lagi ke dalam kehidupannya?

Menjemputnya? Sena menertawakannya dalam hati.

Laki-laki itu menghilang dari kehidupan Shinta dan Sena setelah pernikahannya. Tidak pernah terdengar kabar apapun, tidak pernah muncul dalam kondisi apapun. Ketika Sena wisuda, ketika Shinta kecelakaan, atau bahkan ketika Wira menikah, laki-laki itu tidak pernah ada bahkan hanya dalam bentuk panggilan suara.

Badra tidak pernah ada.

Dan Sena mensyukurinya, karena itu berarti Shinta bisa meninggalkan luka dan perlahan bangkit dengan kekuatan baru.

Lalu sekarang, jika kehadiran Badra adalah untuk mengganggu mamanya lagi, Sena tidak akan pernah memaafkannya.

Selang hampir satu setengah jam, ia sampai di depan rumahnya. Jika saja Shinta tidak tinggal di sini, Sena tidak akan pernah mau kembali menjejakkan kaki di rumah ini.

Sena menghirup nafas panjang, berusaha menenangkan diri sebelum bertemu Shinta. Shinta harus tahu jika Sena baik-baik saja. Gadis itu menarik ujung-ujung bibirnya karena wajahnya terasa kaku. Setelah menguatkan diri, ia membuka pintu gerbang.

Namun, senyumnya sirna ketika ia melihat Shinta bercakap dengan Dirga di teras rumah. Keduanya menoleh ke arah Sena, dan keduanya tersenyum lebar.

Tadi Badra. Sekarang Dirga. Berikutnya siapa? Galang? Sakti? Terus saja semua laki-laki itu bermunculan di rumah Sena.

Sena tidak menggubris senyuman Dirga, walaupun dia sadar bahwa tangan laki-laki itu dibebat dan sebuah luka panjang masih memerah di pipinya. Fokusnya hanya pada Shinta yang berdiri dan menyambutnya dengan tangan terentang. Sena melepas kopernya dan menghambur ke pelukan Shinta.

" Ma, ikut Sena, yuk?" ucap Sena ketika melepaskan diri. Ia menghapus air mata yang meleleh di pipi Shinta, menyadari dengan sesal ketika gurat-gurat tipis mulai menguasai wajah penuh kasih milik mamanya. " Pensiun dini aja. Sena udah nyicil rumah. Kita tinggal berdua, biarin aja Bang Wira sendirian di sini."

Namun Shinta terkekeh di sela isakannya. Wanita itu menepuk pelan pipi Sena dengan sayang.

" Kamu ngomong apa, sih?" katanya lembut. " Ayo masuk, kamu pasti capek—"

" Tatata!"

Sebuah suara melengking khas seorang bayi yang sedang mengoceh menyita perhatian Sena. Gadis itu celingukan. Lalu ketika Badra keluar rumah dengan menggendong sebuah buntalan di pelukannya, Sena terpaku.

" Sh...shuuu shuuu...anak Ayah yang paling cantik, ini Mama, ini Mama..." Badra berkata dengan begitu lembut sebelum menyerahkannya pada Shinta.

" Ah, haus ini. Buatin susu, Yah. Ganti jangan yang tadi, udah basi." Shinta menimpali seraya menimang seorang bayi yang tergolek di pelukannya.

Dan seketika itu juga, dunia Sena benar-benar binasa.

" Ma..." panggil Sena begitu pelan karena saat ini, kerongkongannya menyesak. Gadis itu mengelus dadanya sembari menatap bayi mungil yang memainkan tangannya di pelukan Shinta.

" Ma...ini..."

Shinta akhirnya menatap Sena, kemudian tersenyum dan mengangguk.

" Tia meninggal karena kecelakaan satu bulan lalu. Badra bawa dia ke sini. Lihat Na, kamu punya adik. Lucu, kan?"

Dan saat itu, Sena benar-benar bertanya sampai kapan Tuhan akan menyiksa batinnya seperti ini. Berdiri, bergeming dengan mata terpancang pada bayi mungil itu, tangis Sena merebak. Tangannya terkepal kala rasa benci begitu menyelubunginya. Dia mengenali bentuk alis itu. Alis milik Tia. Perempuan yang mengganggu keluarganya.

Tepukan pelan menyadarkan Sena.

" Nanti, Sena sayang." Karena sepertinya, Shinta memahami apa yang tengah dirasakan Sena hingga wanita itu melayangkan senyum penuh pengertian. " Kamu istirahat dulu."

Iya.

Mendadak Sena merasa lelah sekali. Mendadak, dia hanya ingin berbaring di lantai yang dingin, tidak memperdulikan orang-orang yang berlalu lalang di sekitarnya. Terus saja begitu sampai dirinya mati. Bolehkah?

" Ma, saya mau bicara dengan Sena. Sebentar saja."

Dan mengapa makhluk satu ini tidak menghilang saja dari peradaban?

Sena mengabaikannya, namun Shinta menahan Sena. Perempuan dengan rambut yang mulai memutih itu mengedik, menyuruh Sena duduk berhadapan dengan Dirga di meja bundar kecil itu. Sena menggeleng keras, namun Shinta hanya tersenyum dan menepuk pipinya sebelum masuk ke dalam dengan menyeret koper Sena.

Dengan berat hati, Sena mematuhinya.

" Gimana kabar kamu, Na?" Dirga mencoba membuka pembicaraan. Namun Sena bergeming. Gadi situ hanya memandangi taman mungil yang ada di depan rumahnya.

Dirga berdehem, " Kemarin Raras ketemu kamu, katanya. Dia ngomong apa aja? Maaf kalau omongannya dia lancang. Aku nggak nyuruh dia nemuin kamu."

Sena hampir mendengus geli kala Dirga meminta maaf untuk Raras. Namun gadis itu terus bungkam dan menolak menatap Dirga.

" Na, Sena...maaf untuk pertemuan kita yang terakhir, Na." ucap Dirga dengan penyesalan yang nyata. " Nggak seharusnya aku kehilangan kendali dan...berbuat seperti itu, Na. Maaf--"

" Kamu memang seperti itu, kan?" potong Sena dingin. " Orang yang nggak bisa mengontrol diri dan sembunyi dibalik kata kekhilafan. Makasih, Ga. Sekarang aku benar-benar tahu kamu orang yang seperti apa."

Dirga menelan ludah, merutuki kebodohannya yang tidak bisa mengendalikan diri. Karena dari dulu, dia selalu kehilangan kendali jika Sena disentuh orang lain. Sena adalah miliknya. Hanya miliknya.

Dia sadar, meraih kembali hati Sena bukanlah dengan suatu cara egois seperti itu. Tapi membayangkan gadisnya disentuh orang lain sungguh membuatnya lupa diri. Dirga ingin sekali mencari orang itu dan menghancurkannya dengan segala kekuatan atas nama Rajendra. Membuatnya tenggelam dalam kesengsaraan dunia hingga laki-laki lancang itu tunduk di kakinya, mengiba, tersiksa.

Namun Dirga menahan diri. Karena dia tahu Sena tidak akan menyukai caranya.

" Na, aku...ke sini karena dengar kakak kamu katanya kabur dari rumah. Aku bisa bantu cari dia," ucap Dirga lembut. Lalu ketika Sena menoleh, gadis itu bisa melihat senyum terbayang di wajah Dirga. " Aku baru saja bilang sama Mama kalau Wira sudah ditemukan. Dia kabur ke luar pulau. Tapi orangku untungnya bisa nemuin dia hanya dalam semalam."

Sena masih menatapnya dengan pandangan yang tidak terbaca, membuat Dirga gugup sendiri di tengah gelayar bahagia yang dirasakannya. Dia merasa dirinya sedikit lebih berharga di hadapan Sena.

" Mereka bilang mereka baru berusaha bawa Wira ke sini. Kita bisa dengar kabarnya nanti siang," ucapnya menahan gejolak semangat melihat respon Sena padanya.

Namun Sena hanya menatap Dirga dengan datar. Beberapa saat berlalu, gadis itu berdiri dan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku.

" Makasih," ucapnya datar. " Tapi kamu nggak perlu manggil 'Mama' ke mamaku. Kamu bukan anak yatim piatu yang seperlu itu memanggil 'Mama' pada ibu orang lain."

Selesai mengatakannya, gadis itu masuk ke rumah. Namun langkahnya terhenti kala melihat Badra duduk di sofa ruang tamu, berhadapan dengan Shinta yang masih memangku bayi itu.

Kini, kebencian Sena melesat dua kali lipat.

" Mau apa di sini?" tanya Sena dengan nada tinggi sembari menatap tajam pada Badra.

Sena menyambangi Shinta dan meraih tangannya, sebuah naluri untuk menyingkirkan Shinta dari rasa sakit yang mengancam. Namun Shinta menahannya.

Dengan senyum penuh ketulusan, wanita itu justru menarik Sena untuk duduk di sampingnya.

" Ayahmu sama Mama sepakat, kita mau rujuk. Femi butuh ibu. Butuh orangtua, " kata Shinta lembut. Tentu saja, Sena terperangah. Ia menatap Shinta tidak percaya.

" Ma!" seru Sena tidak bisa mengatakan yang lain saking tidak percayanya. Namun Shinta hanya menepuk pelan pipinya.

" Sana ngomong dulu sama ayah, Mama harus siap-siap ke rumah sakit. Susan juga masuk rumah sakit gara-gara anemia. Aduh aduh, kenapa menantu Mama pada sakit begini? Ck!"

Shinta beranjak, meninggalkan Sena duduk berhadapan dengan Badra.

Sena hanya bergeming di sebelah sofa, berdiri dengan fokus menatap punggung Shinta yang menjauh sembari menepuk-nepuk Femi dengan sayang.

Perlahan, gadis itu menoleh kepada Badra.

" Aku sampai penasaran anda bisa sejahat apa lagi, Pak Badra?" bisik Sena dengan air mata yang mulai meleleh meskipun gadis itu menatap tajam dengan mata yang memerah. Lelah, sungguh. Sena lelah.

" Anda kira ibu saya itu apa? KAMU ANGGAP IBU SAYA ITU APA?" Sena berteriak ketika sesak melanda dadanya tanpa ampun. Gadis itu lepas kendali. Dia menatap Badra dengan nyalang.

" LALU KENAPA KALAU TIA MATI?" teriak Sena histeris dengan air mata membasahi wajah. " KENAPA HARUS KESINI? KENAPA HARUS KEMBALI LAGI? AYAH INGIN BUNUH MAMA? AYAH INGIN BUNUH SENA? IYA?"

Badra berdiri dan meraih Sena. Namun gadis itu memberontak sekuat tenaga.

" Pergi!" hujam Sena tajam, " Pergi! Bawa siapapun dia!"

Sena menangis sesenggukan. Gadis itu berlari ke kamar Shinta, tempat dimana ibunya menidurkan si bayi kecil itu. Dengan mata semerah darah, Sena menyambanginya.

" Na..."

Shinta yang sedari tadi hanya mendengarkan, kini menghalau tangan Sena yang hendak meraih bayi yang tengah tertidur pulas itu.

" Dia nggak boleh di sini, Ma." Sena menepis tangan Shinta. " Suruh pergi saja. Biar sama Badra terserah mau kemana tapi jangan di sini. Sena nggak mau...Sena—nggak mau, suruh dia pergi!"

Namun Shinta segera menyambangi Sena dan merengkuh Sena dalam pelukannya.

" Badra sama dia harus keluar," ucap Sena sesenggukan seraya berusaha melepaskan diri dengan putus asa. " Mama, lepas...Mama, Sena nggak mau, LEPAS!!"

" SENA!"

Sentakan Shinta menusuk ke dalam kubah kebencian yang menenggelamkan Sena, membuat gadis itu terpaku dengan mata terpancang pada ibunya. Shinta menangis, apa Shinta menangis karena dia? Tapi, Sena hanya ingin menghindarkan Shinta dari rasa sakit yang berkepanjangan! Bagaimana bisa Shinta rela membesarkan anak dari Badra dan Tia?

" Sstt, sayang. Sudah...sudah, kamu lelah."

Dan dengan begitu, Shinta membawa Sena ke dalam pelukannya. Pelukan yang hangat dan melindungi.

Seperti milik seseorang.

Tangis Sena pecah. Ia menggenggam baju Shinta erat-erat.

" Sama seperti kata-kata kamu untuk Wira, Femi juga seperti itu, Na." bisik Shinta di tengah tangis histeris Sena. "Kamu tega dia nggak keurus? Sementara kamu tahu sendiri Ayah kamu orangnya nggak bisa ngurus anak kecil? Dulu dia berani mandiin kamu saja setelah kamu dua tahun. Lihat? Nggak kasihan?"

Dalam dengung kemarahan yang menguasai jiwanya, gadis itu mengakui jika kata-kata Shinta adalah benar. Tapi sisi dirinya yang pembenci menolaknya. Mana bisa? Badra sudah pergi dengan pilihannya! Pria itu tidak berhak merengek lagi pada Shinta dengan alasan apapun!

" Sstt...sini anak Mama yang cantik," dendang Shinta lembut sembari mengusap wajah Sena. " Anggap saja, Mama rujuk sama Ayah demi Femi. Demi bayi lucu yang bisa jadi adik kamu."

" Kenapa harus Mama?" bisik Sena letih ketika benci ini menguras tenaganya. " Kenapa harus Mama, Ma? Biar saja Badra cari perempuan lain...mudah kan buat dia? Kenapa harus Mama? Mama, jangan. Sena nggak mau Mama sakit lagi, Ma."

Gadis itu bisa mendengar ibunya terkekeh pelan. " Karena ayahmu meminta tolong pada Mama. Sena sayang, apa sih yang dicari di dunia? Kalau kita bisa berbuat baik, kenapa harus dilewatkan?"

Dan untuk kesekian kalinya, Sena tahu jika Shinta terlalu baik untuk Badra, sampai kapanpun.

**

Maka, kini Sena hanya duduk saja di sofa, menatap satu titik imajiner di depannya.

Membiarkan semua orang berlalu lalang di sekitarnya tanpa dia mau tahu.

Sebuah gerakan tertangkap ujung mata Sena. Badra duduk di depan Sena.

" Maaf, kamu baru mendengarnya." Badra berucap lembut. " Ternyata perempuan kecil ayah sudah jadi gadis secantik ini."

Ucapan Badra menyadarkan Sena.

" Kenapa harus Mama?" tanya Sena serak karena terlalu lama menangis. " Kenapa nggak cari perempuan lain saja, Pak Badra, apa anda memang setidaktahumalu ini?"

Senyum lemah tercipta di wajah yang mulai renta itu. Dan Sena menyadari dengan enggan, bahwa wajah itu tidak lagi segar dan terawat seperti dulu.

" Karena Shinta adalah orang yang muncul pertama kali ketika Tia tiada," jawab Badra. " dan akan merepotkan jika harus mencari wanita lain lagi."

Sena menyandarkan kepalanya di punggung sofa. Untuk beberapa saat, hanya keheningan melanda.

" Aku boleh tanya sesuatu?" tanya Sena tiba-tiba masih dengan memejamkan mata.

" Apa, sayang?"

Ah, suara lembut itu kini hanya seperti bisikan kabut di pagi hari. Ada namun tidak terasa. Tidak berarti apa-apa bagi Sena.

" Apa anda pernah menyesal sudah berbuat jahat pada Mama?" terus Sena membuka mata dan menatap Badra, yang menatapnya tanpa ekspresi yang bisa dibaca Sena. " Apa pernah, sekali saja, anda menyesal?"

Badra tersenyum. Kali ini dengan paksa dan tersirat sebuah luka.

" Sangat." Badra berucap lirih hingga Sena mempertajam tatapannya. " Saking menyesalnya, Ayah menganggap kehidupan Ayah bersama Tia adalah sebuah hukuman yang harus Ayah terima. Karena Ayah baru tahu, seperti apa Tia sebenarnya setelah kami menikah. Dia bukan seorang istri yang baik."

Bolehkah Sena mengumpat?

" Oh God, tentu saja dia bukan istri yang baik, Ayah! Dia merebut suami orang, astaga! Mana ada perempuan baik-baik yang mau jadi selingkuhan dengan sadar? Mana ada perempuan baik-baik yang mengacaukan rumah tangga orang lain dengan sadar? Mana bisa perempuan seperti itu jadi istri yang baik jika menghormati rumah tangga lain saja dia tidak bisa?"

Badra hanya terdiam menatap Sena. Matanya berkaca dengan cepat. Jakun laki-laki itu bergerak naik turun, seolah sedang menahan diri untuk mengatakan sesuatu. Namun Sena tidak peduli. Hatinya terlalu letih.

" Penyesalan Ayah nggak akan pernah menghapus kenyataan bahwa Ayah pernah menyakiti Mama sedemikian dalam," desis Sena benci. " Sekarang Sena tahu kalau keputusan Mama melepaskan Ayah itu tepat sekali. Karena Mamaku terlalu baik untuk Ayah. Karena bukan Mama yang kehilangan Ayah, tapi Ayah yang kehilangan Mama. Karena bukan Mama yang butuh Ayah, tapi Ayah yang butuh Mama. Sekarang Sena tahu, dan Sena berterima kasih karena entah dengan cara apapun itu, Tuhan memberitahu Ayah sehingga Ayah bisa menyesalinya seumur hidup."

Dengan satu lirikan penuh kebencian, gadis itu pergi dari hadapan Badra. Pria itu bungkam, seolah baru saja ditampar kuat-kuat. Ketika melewati ambang pintu ruang tengahnya, ia baru sadar jika Dirga berdiri di sana, entah sejak kapan. Tampangnya tidak jauh berbeda dengan Badra.

Namun Sena sama sekali tidak peduli. Mereka berdua sama saja.


*TBC*


Tadaa...Dirga kembali 😄😄

Jangan banting hape, bantinglah mantan #eh.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro