Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

DEVASENA | 41. Keputusan

Sena baru saja tiba dari bangsal ketika ponsel di sakunya bergetar. Meraihnya, Sena menemukan nama Sakti di sana.

Sena menatapnya, kemudian memutuskan untuk menerimanya.

" Halo, Na."

Sena menghirup nafas dalam-dalam ketika dadanya menjadi sesak.

" Sena?"

Sena tersadar. Cepat-cepat ia berdehem.

" Iya Mas?"

Hening sejenak, kemudian terdengar suara Sakti.

" Udah makan?"

Sena melirik jam dan menyadari bahwa sudah hampir tiba waktunya makan siang.

" Ini baru mau makan," jawab Sena menyingkirkan rasa berat dari dalam dadanya.

" Mau makan sama-sama?"

" Nggak perlu, Mas. Mubadzir nanti bekalku."

Tidak ada suara, membuat Sena semakin sesak saja.

" Aku kesitu."

" M-Mas, nggak perlu..."

" Na, kamu akhir-akhir ini jarang bisa ditemui. Kamu tinggal di sebelahku, Na. Sudah berapa kali kamu berangkat tanpa aku tahu? Sudah berapa kali aku pulang tanpa kita bisa ketemu? Harusnya nggak sesusah itu ketemu sama kamu. Ada apa?"

Sena memijit pelipisnya sembari memejamkan mata.

" Nggak ada apa-apa, Mas. Aku cuma capek saja. Kerjaan banyak."

" Kalau begitu aku yang kesitu."

" Mas Sakti, sebentar lagi aku ada rapat. Nggak tahu selesainya kapan. Jadi nggak perlu ke sini."

" Dinner?"

Sena terdiam sejenak.

" Hm, oke."

Terdengar hembusan nafas lega di seberang sana. Apa Sakti sekhawatir itu?

" I really miss you, Na. Please go back safely."

Sakti mengatakannya dengan begitu lembut, hingga Sena merasa sangat jahat telah membuat laki-laki ini khawatir.

" Hmm, aku mau kepiting raksasa," ucap Sena berusaha tersenyum. Sakti tertawa geli, tawa yang baru disadari Sena tengah ia rindukan setengah mati.

" Sure. Nanti malam kita kencan. I love you, Na."

Sedetik, dua detik, tiga...

" Love you too, Sakti Samudra."

Sena menurunkan ponsel dari tangannya. Gadis itu menghela nafas panjang dan menjatuhkan diri di kursi.

Dia benci mengakui bahwa dia memang sedang menghindari Sakti. Tapi dia butuh waktu memikirkan ulang akan apa yang telah menjadi pilihannya. Saat ini, ketakutan itu menguasainya tanpa bisa Sena kendalikan. Apapun bisa terjadi di masa depan, meskipun saat ini Sakti berkata bahwa dia serius dengan Sena. Tapi tidak ada yang menjamin bahwa Sakti akan terus setia padanya meskipun laki-laki itu pernah menjawab pertanyaan Sena dengan begitu meyakinkan.

Tidak ada.

Sakti yang kembali ke masa lalu bukan satu-satunya hal yang ditakuti Sena. Lebih daripada itu. Kedatangan Nathalie hanya mengawali keraguan pada Sakti bahwa laki-laki bijak pun juga bisa berpindah hati. Mereka yang berjanji di depan Tuhan dengan penuh keyakinan saja bisa mengingkarinya, apalagi hanya berkata di depan manusia.

Sena seakan kembali lagi di titik awal keraguannya. Begitu ragu hingga dia takut menyentuh apa yang dinamakan hubungan.

Sebentar. Hanya sebentar saja, Sena menahan diri agar tidak menyelam lebih jauh ke palung laut yang tidak terjamah matahari. Hanya sampai dirinya yakin kembali, dia ingin berada pada titik ini.

**

Sena sudah siap dengan dress hijau muda dan rambut yang berpilin cantik.

Gadis itu duduk di ruang depan unitnya, bermain ponsel tanpa minat.

Untuk kesekian kalinya, Sena memeriksa jam dinding. Sudah pukul setengah sembilan dan tidak ada kabar dari Sakti. Beberapa kali ia menelfon, sambungannya sama sekali tidak diangkat. Sena meremas tangannya dengan gelisah.

Membunuh waktu, gadis itu iseng membuka instagram dan melihat-lihat akun Sakti. Seulas senyum hadir di bibirnya kala melihat foto-foto Sakti dalam berbagai suasana. Dari foto yang dia unggah saja, Sena bisa menilai seberapa besar kecintaan Sakti pada dunia komputer.

Dia berlama-lama memandangi foto Sakti yang tengah memakai pakaian tebal lengkap dengan topi di tengah-tengah salju. Itu adalah salah satu foto favoritnya, karena di sana Sakti terlihat manis sekali. Sakti berkacamata hitam, merentangkan tangan ke samping dengan senyum lebar berlatar belakang sebuah gunung yang puncaknya tertutupi salju putih. Sena tidak yakin, tapi apakah itu gunung Fuji?

Gadis itu menyentuh foto Sakti, menikmati getaran hangat yang mengaliri dada ketika ia sangat rindu laki-laki ini. Mungkin dia yang sudah keterlaluan, menanggapi sebuah pandangan dengan begitu berlebihan. Tolong, mungkin saja dia sedang sangat cemburu saat itu hingga dirinya jadi sangat subyektif dan termakan pikiran-pikiran negatif. Dilihat dari bagaimana posisi stiletto itu terputar dan menjepit saja, sudah jelas kaki Nathalie sangat kesakitan. Maka wajar bagi Sakti yang saat itu berada paling dekat dengannya langsung menolongnya, kan?

Karena, Sakti memang sebaik itu. Sama ketika dulu dia begitu sigap kala Ana yang pingsan di depan mereka.

Lagipula, Sakti sudah menyatakan bahwa Nathalie adalah masa lalu. Tidak seharusnya dia menghindari Sakti hingga laki-laki itu begitu khawatir seperti tadi siang.

Sena men-scroll foto-foto Sakti ke bawah, kemudian mendengus geli kala mendapatkan foto candid sakti tengah terkejut ke arah kamera yang dekat sekali dengan wajahnya, membuat kacamata oversized-nya membingkai wajah Sakti dengan lucu.

" I love you," bisik Sena.

Tampan. Laki-laki berusia 29 tahun itu tampan sekali. Dia suka garis wajah Sakti. Dia suka bagaimana hidung mancung itu melekuk, dia suka bulu mata Sakti yang lurus dan panjang, dia suka senyum lebar Sakti. Dia suka sorot hangat yang diberikan Sakti setiap kali menatap Sena. Dia suka sentuhan menenangkan itu. Dan jelas, dia suka ketika Sakti menciumnya dengan penuh kelembutan.

Matanya memanas dengan cepat ketika rindu menyeruak tanpa ampun.

" Kok belum datang, sih?" Gumam Sena cemas ketika jarum jam kian melaju.

Sena cepat-cepat menutup aplikasi apapun di ponselnya dan menelfon Sakti. Tapi lagi-lagi, panggilannya tidak diangkat.

Ah, Sena benci ketika dirinya diliputi rasa gelisah dan curiga seperti ini. Gadis itu memutuskan untuk berbaring di kasur tipis yang sengaja ia bentangkan sembari menunggu Sakti, mendengar dengan enggan rintik hujan yang mulai turun. Rambut yang sudah tertata rapi bisa saja kusut, tapi pikiran Sena lebih kusut daripada ini.

Sena berusaha untuk menghalau segala macam pikiran jahat yang menginvasi otaknya. Tapi pikiran itu terlalu kuat untuk ia lawan. Sena pernah berada di situasi ini, bertahun-tahun lalu. Ketika Dirga berbohong padanya tentang ibunya yang sedang sakit sehingga tidak bisa menjemputnya.

Bohong. Saat itu, Dirga membohonginya.

Hujan menjadi lebat dalam beberapa menit saja. Menghantarkan suara berisik di atap dan hawa dingin yang mulai merangsek masuk ke ruangannya. Sena meringkuk dengan ponsel di dekapannya, menunggu dengan sangat kabar dari Sakti.

Saat itu, ponselnya berdering dengan nama Sakti berada di layar.

" Iya Mas? Kenapa belum pulang? Di jalan nggak kenapa-napa, kan?" Sena mengangkat telfon dengan cepat.

" Sena, maaf tadi ketiduran. Ini aku langsung pulang ya, sayang. Kamu gimana? Atau aku beli makan saja pulangnya?" Suara Sakti terdengar begitu tergesa di seberang sana.

Sena menelan ludah beberapa saat. Namun ia mencoba menepis segala pikiran buruk dari otaknya.

" Oh, nggak papa Mas. Jangan dibatalin. Pulangnya hati-hati, ya."

" Hmm. Love you, Na," balas Sakti dengan suara lembutnya.

" Love you too, Sakti Samudra," jawab Sena dengan seulas senyum canggung di sudut bibir. Setelahnya, gadis itu menghempaskan diri. Namun belum lagi satu menit berlalu, sebuah panggilan kembali masuk.

Sena cepat-cepat menarik ponselnya, namun yang tertera di sana adalah panggilan dari Shinta. Seketika itu juga, seluruh pikiran langsung terhapus dari kepala Sena. Ia menjawab dengan tergesa.

" Halo Mama, kenapa?"

Hening sejenak.

" Halo putri mama yang cantik. Baru apa?" Sapa Shinta lembut. Namun demikian, Sena tidak akan bisa tertipu ketika getar dalam suara mamanya lirih terdengar.

" Ma, kenapa?" tanya Sena menegakkan diri. " Abang bikin ulang lagi?"

Shinta terdiam beberapa saat, kemudian tiba-tiba saja wanita itu menangis.

" Mama! Mama, kenapa?" Tanya Sena panik. Tuhan, tolong—

" Abangmu pergi, Na. Udah hampir dua minggu nggak pulang, nggak ada kabar," ujar Shinta seakan sedang menahan isakannya agar bisa bicara dengan baik. " Hestia sama Laksmita sakit, udah satu minggu di rumah sakit, lalu baru saja tadi sore..."

Shinta berhenti dengan tersendat, membuat kepanikan Sena bertambah dua kali lipat.

" Tadi sore ada perempuan lagi. Hamil. Bilang kalau Wira ayah dari anak yang dikandungnya."

Brengsek!!

Jemari Sena yang memegang ponsel seketika menguat. Air mata mulai mengalir dengan membawa kemarahan yang tidak mampu disimpan oleh hati.

" Brengsek, abang gue..." gumam Sena tanpa bisa ia tahan. Gadis itu memejamkan mata, menahan keinginan untuk membanting ponselnya saat itu juga.

" Kalau bisa, kamu hubungi Wira, ya Nduk. Kasihan Hestia, kasihan Susan juga," pinta mamanya dengan nada yang menghancurkan kalbu Sena.

" Mama, udah nggak usah ngurusin Bang Wira," ucap Sena lirih. " Mama ikut Sena, Ma. Abang cuma bikin Mama sedih!"

Hening sejenak, kemudian Shinta kembali menangis.

" Kamu besok pulang sebentar bisa, Na? Ini...mama nggak bisa sendiri, Mama—"

" Iya Mama, besok Sena pulang," ucap Sena pasti sembari menghapus air matanya. " Besok Sena pulang, Ma. Nggak perlu dijemput di stasiun. Sena bisa naik bis. Mama...Mama jangan kepikiran terus. Mama istirahat. Ini udah malam."

" Makasih, sayang. Mama istirahat dulu, ya. Seharian nemeni Hestia di rumah sakit," ucap Shinta dengan kekehan kecil di antara isakannya. Sena memejamkan mata erat-erat, menunggu Shinta memutuskan sambungan sebelum menjatuhkan diri.

Wirawan Hardiwinata, Sena ingin sekali menampar laki-laki itu agar otak kakaknya bisa normal barang sejengkal saja. Ternyata benar apa yang Wira katakan dulu, bahwa dia memang tidak berniat menjalani pernikahannya dengan Hestia. Seolah janji di depan Tuhan serupa kalimat yang ia baca di kertas iklan hitam putih yang ditempel di tiang listrik. Tidak penting dan tidak perlu dipusingkan.

Beberapa saat berlalu dengan pikiran Sena sibuk akan keluarganya, hingga sebuah suara menarik kesadarannya. Samar-samar ia mendengar deru mobil mendekat di tengah guyuran hujan yang turun dengan lebatnya. Sena mengangkat kepala, melihat sorot lampu menaungi halamannya. Itu Sakti.

Mengusap apapun yang ada di wajahnya, Sena meraih payung dan bergegas keluar. Benar saja, Sakti baru saja memarkirkan mobilnya di carport. Sena membentangkan payung dan berlari menuju carport.

Sakti yang melihatnya tersenyum sebelum mematikan mobil dan membuka pintu untuk memasuki naungan payung Sena. Tanpa banyak kata, laki-laki itu meraih Sena dalam pelukan.

" Maaf, Na, tadi aku ketiduran di kantor," ucapnya mengeratkan pelukan. " Aku jadi nggak dengar te--Sena?"

Karena saat itu, Sena mengambil satu langkah menjauhi Sakti. Dia tidak mendengar apapun yang dikatakan Sakti karena saat ini, dia hendak memastikan sesuatu.

" Tadi ketiduran dimana?" tanya Sena pelan.

Sakti menangkup wajah Sena dan mengusapkan ibu jarinya di pipi Sena. " Di kantor, Na. Aku langsung pulang. Maaf, jalanan macet karena hujan dan perbaikan jalannya belum selesai. Kita jadi semalam ini. Hari ini banyak kerjaan-"

Sena mengerjapkan mata, masih tidak mampu memahami kalimat Sakti. Karena saat ini, ia berusaha meyakinkan diri bahwa noda lipstik samar pada leher di bawah telinga kiri Sakti hanyalah ilusi.

Tapi tolong! Dengan cahaya lampu carport, Sena tidak mungkin salah.

Apapun yang dikatakan Sakti, Sena tidak bisa mendengarnya. Yang ia tahu, ia berbalik memunggungi Sakti dan berjalan menerobos hujan tanpa pernah menatap Sakti lagi.

**

Setelah memastikan bahwa dia melimpahkan wewenangnya kepada Erna, Sena mengirim pesan pada Danar untuk pamit beberapa hari ke depan. Tidak tahunya, atasannya itu justru menelfonnya.

" Berangkat kapan, Dev?"

" Sekarang, Pak," Jawab Sena menekan suara sengau dari hidungnya sementara kedua tangan sibuk melipat pakaian ke dalam koper.

" Sekarang? Dev, kamu sadar sekarang jam berapa? Jam tiga pagi!" seru Danar terkejut. " Kenapa buru-buru sekali? Nggak bisa ditunda sam—"

" Pak Danar, saya perlu pulang—"

" Tunggu di situ! Saya antar!"

" Pak—"

" Devasena, ini masih malam! Bisa-bisanya kamu—"

" Pak Danar!" potong Sena ketika pelipisnya berdenyut. " Kakak saya pergi dari rumah, Pak. Saya harus cepat-cepat pulang!" tukas Sena menahan isakan dan kemarahan yang kembali menyeruak ketika mengingat Shinta.

Lagipula, memangnya ada gunanya Sena menunda keberangkatan? Sudah cukup dia mengabaikan ketukan Sakti di luar atau puluhan panggilan dari Sakti yang tidak ia jawab. Bahkan ketika laki-laki itu mengirim pesan singkat bahwa ia sudah membelikan Sena makan malam, gadis itu mengabaikannya.

" Hah? Kakak kamu pergi? Kenapa?"

Sena bisa mendengar nada siaga dari pertanyaan Danar. Namun gadis itu hanya menghembuskan nafas panjang.

" Nggak papa, nggak perlu dipikirkan. Yang jelas sekarang saya harus pulang. Udah pesan kereta juga," jawab Sena menutup kopernya dan berganti pakaian.

" Dev, jangan ke stasiun sendirian. Saya antar. Tunggu saya!" ucap Danar sebelum Sena mendengar suara berisik dari sana.

" Nggak perlu, Pak. Saya bisa berangkat sendiri. Sudah pesan taksi tadi."

" Kamu itu Dev! Nggak tahu banyak kejadian perampokan berkedok taksi online?" sentak Danar.

" Semoga yang ini sehat," celetuk Sena.

" Pokoknya, kamu tunggu saya! Saya kesana—"

" Nggak perlu, Pak. Taksinya udah datang," tepis Sena ketika sebuah pesan menginterupsi. " Sudah dulu ya, saya mau berangkat."

" Kirimi saya nomor taksinya!" geram Danar membuat Sena memutar bola mata.

" Iya, saya tutup. Selamat pagi, Pak Danar. Maaf sudah ganggu pagi-pagi gini," pamit Sena sebelum menekan tombol end. Gadis itu cepat-cepat bercermin, mengusap wajahnya yang bersimbah air mata dan merapikan rambut yang tidak sempat ia sisir sebelum meraih kopernya.

Sena melihat sang taksi sudah menunggu di luar gerbang. Maka tanpa menghiraukan tetangga sebelahnya yang kini tampak lengang, Sena menyeret koper di tengah suhu dingin dini hari itu.

**

Sena terbangun karena ponsel di pangkuannya bergetar.

Ia mengerjapkan mata, baru saja menyadari bahwa ia tertidur dengan sisi kepala bersandar pada jendela kereta api. Pantas saja lehernya pegal.

Gadis itu menyapu wajahnya, menyingkirkan rambut yang beterbangan selama dia ketiduran. Lalu ia memeriksa ponsel dan menemukan sebuah pesan dari Sakti.

04.49

Na, kamu belum bangun? Kenapa? Kamu sakit gara-gara tadi malam?

04.51

Sena, you okay? Kenapa makanan tadi malam nggak dimakan, Na? Kamu marah ya? Maaf, Na.

05.05

Sebentar saja, sayang. Aku mau pamitan, tadi malam nggak sempat bilang. Hari ini berangkat ke London. Sehabis dari London, kita kencan seharian, bagaimana?"

Sena menghapus tetesan air mata yang terjatuh di layar ponselnya. Tidak berniat membalas ketika tiba-tiba saja, ponselnya berdering.

Menenangkan diri, Sena mengangkatnya.

" Sena," sapa sakti penuh kelegaan. " Na, ada apa, Na? Kamu sakit? Kamu marah, Na? Maaf. Yang tadi malam sudah basi jadi aku buang. Di pintu depan ada nasi kuning sama susu kedelai. Dimakan ya sayang. Maaf gara-gara kemarin. Kita bisa ganti setelah aku pulang dari London, Na. Ini aku udah di bandara, tadi aku ketok pintu kam—"

" Mas?"

Bahkan dengan menyebutnya saja, kini hati Sena terasa perih.

" Iya, Na?"

Sebuah gumpalan menyakitkan menghalangi kata-kata Sena. Dengan sangat pahit, Sena berkata pelan sekali.

" Kita...udahan saja."

Sedetik, dua detik, yang terdengar hanyalah riuh keramaian teredam tempat Sakti berada.

" Na, ada apa?"

Sena mengerjapkan mata, meloloskan beberapa butir air mata ke pangkuannya.

" Kamu pernah menyebut Nathalie dalam tidurmu, Mas," jawab Sena dengan bibir bergetar. " Dan aku nggak bisa percaya kalau tadi malam kamu cuma di kantor."

" Memangnya aku kemana?"

Sena mengedikkan bahu seolah Sakti bisa melihatnya. " Nggak ngerti, maybe, somewhere with Nath. Aku nggak ngerti tapi...aku nggak bisa."

" Na—"

" Aku nggak bisa, Mas. Aku nggak bisa percaya sama kamu lagi."

Tuhan, ini adalah jeda percakapan terpanjang yang pernah Sena alami.

" Sena, kita perlu bicara."

Namun, Sena menggeleng. Gadis itu membungkuk sembari mencengkram dadanya.

" Aku...nggak bisa, Mas Sakti. Aku nggak bisa."

Beberapa detik berlalu, hanya diisi oleh kebungkaman Sakti dan isakan Sena.

" Kalau itu keputusan kamu, Na."

Sakti mengatakannya dengan pelan. Namun sesuatu dalam batin Sena terasa patah. Gadis itu memejamkan mata seraya meremas ujung jaketnya, berusaha meredam perih akibat luka sayat yang tak kasat mata.

" Hati-hati di jalan."

Tanpa menunggu jawaban Sakti, Sena memutuskan sambungan. Setelahnya, ia membungkuk dalam-dalam.

Rasa kebas itu menguasai seluruh syaraf Sena, membuatnya tersiksa dalam isakan teredam selama beberapa jam lamanya. Dia sangat tidak suka rasa ini. Seolah Sena tercabik hingga tidak utuh, menyisakan luka mendalam yang akan sulit disembuhkan nantinya.

Tapi ini lebih baik. Jauh lebih baik daripada segala arus tidak tentu yang membuat hatinya letih. Jauh lebih baik daripada berpura-pura baik-baik saja dengan Sakti meninggalkannya di masa depan.

Sena lelah. Gadis itu lelah menangis. Dia lelah berpikir. Sena hanya menyandarkan kepala seraya melihat ke luar jendela, membiarkan air mata keluar sembari membawa pergi kegundahan yang memberatkan hati. Persetan dengan orang-orang yang meliriknya.

Pada nyatanya, air mata adalah sandaran luka sesungguhnya bagi para wanita, yang diberikan Tuhan ketika tidak ada lagi tempat baginya untuk berduka.



*TBC*

Selamat malam semuanya, semoga berbahagia❤❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro