Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

DEVASENA | 4. Kesekian Kali

Rafi yang saat itu sedang menikmati kopi berdua dengan Arga tersedak ketika Sena keluar dari kontrakan.

" Mau kemana?" Nada datar Arga menarik perhatian Sena, sementara Rafi berjingkrakan di kursi karena kopi panas yang mengenai tubuhnya.

" Lo mau nge-date?" Rafi menghardik sembari mengibas-ngibaskan kausnya dan menatap Sena dengan terluka. " Padahal gue mau ngajak lo beli sosis bakar. Yah, sendirian dong gue!"

Sena yang memang sudah rapi dengan blus putih dan celana jeansnya tertawa geli.

"Aku pergi bareng temen-temen, kok. Santai."

"Kalau perlu jemputan, kamu telfon Rafi," kata Arga yang diangguki Sena. Rafi mengerutkan kening.

" Kok aku?" protes Rafi.

" Karena cuma kamu yang nggak sibuk waktu malem," jawab Arga enteng sembari meraih kopinya. Sena tertawa kala melihat Rafi melemparkan tutup gelas ke arah Arga dengan kesal. Ketika ia menoleh ke arah gerbang, sebuah minivan yang sangat dikenali Sena muncul dan wajah Oka terpampang dari kursi kemudi. Melambai ke arahnya dengan senyum lebar khas Oka.

Sena membalasnya, berharap senyum itu akan terus melekat hingga mereka pulang nanti.

**

Meskipun Sena seorang Ahli Gizi, dia cukup dekat dengan para perawat seusianya. Sena bertingkah sangat santai. Gadis itu mengikuti obrolan dengan luwes meskipun di ujung sana, dia sangat menyadari Oka yang terlihat gugup.

Puncaknya ketika jarum jam menunjukkan malam yang semakin larut dimana obrolan mulai kehilangan arah dan kontrol mulut, Oka mengajak Sena keluar tanpa satu orang pun yang menyadari.

Oka berjalan lebih dulu ke selasar restoran yang menyuguhkan pemandangan kota di malam hari. Laki-laki itu memandangi langit beberapa saat sebelum menoleh ke arah Sena dan tersenyum gugup.

" Kenapa, Mas?" tanya Sena mengusap bahunya.

Oka, yang malam itu mengenakan kaus yang dibalut jaket tampak beda sekali ketika dirinya memakai seragam perawat. Laki-laki itu menatap Sena dengan pandangan tidak terbaca. Lalu kemudian, ia tertawa kecil.

" Maaf, aku gugup," gumamnya mengalihkan wajah. Sena menunduk menatap kolam yang mengelilingi restoran bertema kampung laut ini.

" Aku suka kamu, Na."

Sena mendengarnya, dengan jelas sekali. Namun gadis itu masih saja menunduk mengamati ikan yang berseliweran di bawah selasar.

" Bilang begitu kenapa harus di sini sih, Mas?" kekeh Sena geli. " Aku juga suka Mas Oka. Kita kan teman. Kalau mas Oka benci, nggak mungkin baik banget sama aku, kan?"

Oka menatap Sena sesaat, kemudian meringis bingung.

" Maksudnya, Devasena. Aku sayang kamu. I mean, love. I love you, Na."

Sena mengerjap, berusaha menguasai dentum kencang jantungnya yang mulai ketakutan.

" Aku bilang begini karena...aku mau kita punya hubungan yang lebih serius dibanding hanya teman. Kita sudah cukup mengenal lama dan aku rasa, seharusnya kita bisa memulai sebuah hubungan yang lebih serius." ucap Oka tegas, membuat Sena tidak bisa berkelit lagi dari keseriusan pembicaraan mereka. Akhirnya, Sena menghirup nafas dalam-dalam.

Oka adalah salah satu teman sejawat yang dekat dengannya, Sena tidak memungkiri itu. Tapi bagi Sena, kedekatan itu tetap berjarak. Seperti Sena menganggap Rafi, menganggap Arga, menganggap Danar, menganggap teman-teman lelakinya yang lain.

" Kenapa?" bisik Sena setelah beberapa saat berusaha meredam sesak yang mulai menjalar ke dadanya seperti jaring laba-laba.

" Hm?"

Sena menghembuskan nafas sebelum memutuskan untuk menghadapi Oka. Jelas sekali laki-laki itu terlihat canggung saat menatapnya.

" Kenapa bisa suka aku?" jelas Sena menatap Oka.

" Rasa suka nggak butuh alasan, Na. Aku merasa nyaman di dekat kamu. Kamu anaknya ramai, enak diajak ngobrol."

" Cuma itu saja?" tanya Sena menelengkan kepala.

Oka menggeleng. " Banyak. Yang harus kamu tahu, kamu terlihat berbeda dari yang lain. Aku, sebenernya udah lama pingin bilang ini jadi... ," Oka menghirup nafas dalam-dalam, " gimana menurut kamu?"

Sena terdiam sejenak. Binar harap menyala di mata Oka, membuat Sena membuang wajahnya.

" Apa yang Mas Oka harapkan semisal kita mempunyai hubungan istimewa?" gumam Sena. " Kasih aku alasan, satu aja, kalau aku bisa percaya sama kamu."

Tentu saja, Oka mengerutkan kening. Dia sama sekali tidak paham arah pembicaraan Sena.

Sena menghembuskan nafas panjang, berusaha menenangkan diri ketika tenggorokannya mendadak kering. Gadis itu mencengkram palang selasar erat-erat.

" Apa kamu bisa menjamin di masa depan nanti, kita bisa terus sama-sama?" tanya Sena menoleh ke arah Oka lagi. " Apa kamu bisa memastikan kalau kamu akan tetap setia?"

Oka tertawa kecil, gugup. " Sena, aku-kita bahkan belum memulai apa-apa. Aku meminta kesediaan kamu untuk jadi orang istimewa buatku. Kenapa kamu bertanya hal kayak gitu?"

Sena menatap Oka beberapa saat sebelum tersenyum samar.

" Maaf. Tapi itu mengganggu," kata Sena. " Kalau Mas Oka mau jawab, aku dengarkan."

Oka menatap Sena, yang terlihat begitu manis saat ini. Gadis itu menunduk dengan pandangan menerawang ke arah ikan-ikan di bawah mereka. Tampak temaram di bawah naungan lampu yang membuat rambutnya terlihat keemasan dan terbelai angin dengan lembut, membuat Oka harus menahan tangannya agar tetap terjuntai di sisi tubuhnya.

Dia menyukai Sena, itu jelas. Dia tertarik pada gadis ini tidak lama setelah mereka sama-sama menjadi pegawai baru di rumah sakit. Lalu ketika dia mendengar selentingan kabar bahwa banyak anak yang juga mengincar Sena, dirinya merasa tidak tenang.

" Mengapa harus mencemaskan masa depan kalau sekarang saja kamu belum kasih jawaban kamu, Na? Aku suka kamu. Aku merasa, cuma kamu satu-satunya yang bisa bikin aku bahagia."

Jika Sena mendengar, gadis itu tidak menunjukannya. Sena masih tetap menerawang ke titik yang sama, seolah jiwanya sedang tidak berada di sini.

" Kamu pernah pacaran sebelum ini, Mas?" Tiba-tiba Sena bertanya. Pertanyaan yang membuat Oka mengerutkan dahi. Namun laki-laki itu mengangguk.

" Pernah, tapi apa hubungannya dengan kita? Masa lalu bukan hal yang seharusnya dibahas saat ini." Ucap Oka sedikit bersikap defensif. Namun Sena tersenyum.

" Dulu waktu sama pacar kamu, kamu juga pasti merasa hanya dia satu-satunya yang bisa bikin kamu bahagia." Sena menoleh pada Oka. "Lalu sekarang kamu bilang begitu sama aku, itu artinya di masa depan kamu juga bisa ketemu perempuan yang bikin kamu bahagia."

Tentu saja, laki-laki itu terdiam.

" Kalau suatu saat kamu ketemu cewek lain yang lebih menarik dibanding aku, apa kamu akan pergi?"

Oka menatap Sena sejenak, kemudian menjawab dengan lembut. " Nggak ada yang lebih menarik di mataku kecuali kamu, Na. Karena aku cinta kamu. Di mataku, kamu satu-satunya."

Sena mengangguk, kemudian melanjutkan, " Kalau suatu saat kamu ketemu cewek yang bisa bikin kamu merasa lebih bahagia dan dia bikin kamu merasakan hal yang sama seperti apa yang sedang kamu rasakan sekarang, apa yang akan kamu lakukan, Mas?"

Sena menatap Oka lekat, menyadari sepenuhnya bagaimana laki-laki itu tergugu dengan jakun yang naik turun tanpa bisa berkata apapun.

" Mereka yang sudah menikah juga merasa bahagia karena satu sama lain. Tapi bahkan setelah menikah saja, mereka bisa bercerai. Menurutmu itu kenapa?" tanya Sena mengawasi sepasang mata Oka dalam-dalam. " Apa kamu bisa menjamin, hubungan kita bisa langgeng selamanya?"

Kali ini, Oka terbungkam. Sena menunggu, tapi kebungkaman Oka memberitahunya bahwa laki-laki itu tidak mempunyai jawaban yang dia butuhkan.

" Maaf Mas. Aku nggak bisa," ujar Sena pahit.

Oka terdiam. Saat ini, ada rasa sakit di dadanya.

" Na, beneran. Kamu nolak aku cuma gara-gara pertanyaan konyol itu?" tanya Oka setengah tertawa, " Beberapa hubungan memang ditakdirkan selesai, beberapa lagi bisa langgeng, Na. Sesimpel itu. Kenapa kamu jadikan itu tolok ukur untuk jawab aku?"

Namun gadis itu hanya tersenyum simpul, " Aku perlu tahu gimana pandangan kamu tentang itu. Sekarang aku tahu, jadi maaf. Aku nggak bisa."

" Sena, kamu itu aneh banget. Untuk apa berpikir ruwet tentang masa depan yang kamu jalani saja belum?" tanya Oka. " Secepat ini kamu kasih jawaban kamu?"

" Karena itu perlu, Mas," jawab Sena. " Dan, ya. Karena aku ragu jawabanku bisa berbeda nantinya. Maaf."

Oka berusaha menarik nafas dengan susah payah. " Alasannya, kalau boleh tahu?"

Sena tersenyum samar. "Aku cuma belum siap aja."

" Sena, kalau itu alasan kamu, kamu nggak akan pernah siap," ujar Oka. " Kita udah sama-sama dewasa, Na. sudah bukan saatnya main-main lagi. Memangnya kamu mau nunggu apa?"

Mendengarnya, Sena hanya bisa tersenyum lagi. Ia mengalihkan pandangan ke arah siluet gedung tinggi nun jauh di depan mereka.

" Nunggu apa, aku juga nggak paham," celetuk Sena. " Aku memang se-enggakjelas itu, Mas. Karena itu aku minta maaf. Lagipula kalau alasannya sama-sama dewasa, itu artinya Mas Oka bisa sama yang lain selain sama aku."

Tentu saja, Oka ternganga.

" Tapi aku sukanya sama kamu, Na," desis Oka.

" Iya kah?" ujar Sena pelan. "Maaf, aku nggak bisa. Bukan salah Mas Oka. Aku cuma...nggak bisa."

Dengan melayangkan senyum penuh permohonan maaf, gadis itu berputar hendak masuk ke dalam. Namun kemudian, Oka meraih tangan Sena hingga gadis itu berhenti.

" Na... ," panggil Oka pelan sembari menatap dalam mata Sena. " I do love you. So much. Just one chance, Devasena. Satu kesempatan saja buatku, apa kamu nggak bisa?"

Sena menggeleng. " Maaf."

" Apa ada orang lain yang kamu suka? Kalau itu alasanmu, aku akan mundur dengan sukarela, Na. Tapi kalau alasan kamu itu karena kamu belum siap, aku nggak bisa terima. Hal itu terlalu nggak masuk akal untuk jadi alasan," ucap Oka bertahan.

Sena menggeleng lagi. " Aku memang belum bisa, Mas Oka. Maaf."

Oka menahan tangan Sena selama beberapa detik sembari menatap netra gadis itu, berharap, walau hanya sedikit, gadis itu akan luluh dan memberikan kesempatan padanya. Karena demi apapun, Oka memang sudah jatuh cinta pada gadis itu.

Sangat.

" Oke," ucap Oka melepaskan tangan Sena dengan seulas senyum samar. Ia mengangkat tangannya, ragu, kemudian memberanikan diri mengusap pelan puncak kepala gadis mungil itu. " You really are beautiful, Devasena."

Satu lagi hati yang mungkin dipatahkan oleh Sena dengan penuh kesadaran. Tapi tidak, gadis itu tidak pernah menyesal.

Karena sebenarnya, dia mencari sebuah jawaban. Jawaban atas pertanyaan yang selalu ia lontarkan pada mereka yang mengaku cinta padanya. Seperti apa bentuknya, bagaimana jawaban yang dia harapkan, Sena tidak tahu, dia tidak mengerti. Yang dia tahu hanyalah, dia ingin sebuah jawaban yang mampu mengusir pergi ketakutannya selama ini.

Pada kenyataannya, mereka yang mengaku cinta padanya sudah menggandeng perempuan lain di lain waktu. Memutuskan berpindah hati begitu mudahnya setelah mengaku bahwa Sena hanyalah satu-satunya dengan alasan bahwa mereka sudah dewasa, sudah saatnya mencari pasangan hidup, sudah lama sendiri, sudah saatnya berumah tangga dan berbagai macam alasan lain yang bagi Sena terlalu formal.

Sena tidak menyalahkannya. Mereka berhak dengan siapa saja yang mereka mau. Mereka berhak melakukannya dengan alasan apapun. Hanya saja hal itu justru membuat ketakutan Sena semakin menjadi.

Karena dengan begitu dia tahu, berpindah hati ternyata semudah itu.

**

" Dev!"

Sena yang saat itu sedang menekuri pekerjaan di bilik kerjanya menghembuskan nafas keras.

" Dev! DEV!"

Diiringi suara langkah kaki yang tergesa, wajah Danar muncul di celah kubikelnya.

" Saya di sini, Pak. Nggak kemana-mana." Sena mengeluarkan sebungkus plastik dari dalam lacinya.

Cengiran lebar muncul di wajah Danar. Pria yang masih mengenakan jaket itu duduk di hadapan Sena seraya membuka bungkusan dengan penuh rasa terima kasih.

" Bapak tadi mandi, nggak?" Sena mengernyit kala melihat rambut Danar begitu berantakan.

" Hm? Mandi," tukasnya sebelum menggigit sepotong besar kebab yang masih beruap. Sena mengernyit kecil. Bosnya makan seperti orang kelaparan, sama sekali tidak mengindahkan kebab yang masih panas itu. Sena menyorongkan air putih miliknya yang belum ia sentuh, kemudian kembali menunduk dan memfokuskan diri pada pekerjaan.

" Hari ini kamu seminar. Ingat?" celetuk Danar beberapa saat kemudian.

Sena mengangguk tanpa mengangkat wajah. Masih ada beberapa menit lagi sebelum ia harus bersiap berangkat.

" Saya dengar kemarin ada kehebohan waktu kamu ngisi jadwal konseling. Kenapa?" tanya Danar lagi.

" Hm? Oh, kayaknya kasus Lio. Ingat? Anak 17 tahun yang kena gagal ginjal di paviliun Cendrawasih itu, orangtuanya masih sulit menerima," jawab Sena membuat Danar menghentikan kunyahannya. Sena mengangkat bahu. " Sama cewek anoreksia. Udah sih, itu aja. Memangnya sampai heboh, ya?"

Danar mengangguk. " Kata Retno, orangtua Lio pingsan di lorong sehabis konseling sama kamu. Kamu nggak ngomong yang aneh-aneh, kan?"

Sena mengingat-ingat perkataannya kemarin. " Kayaknya nggak. Mau menjelaskan saja saya tidak tega. Padahal ibunya terus tanya apa penyebabnya." Gadis itu menghirup nafas panjang. " Gimana saya bisa menjelaskan kalau beliau saja masih di tahap denial begitu?"

Danar mengangguk-angguk tanda mengerti. Ia menggigit kebabnya lagi dengan perlahan. Pandangannya menerawang, seolah berpikir.

" Konseling selalu menjadi hal yang berat jika kamu bertemu orang yang masih berada di tahap denial," celetuk Danar tiba-tiba. " Pada dasarnya, orang nggak pernah mau menerima jika mereka menderita sakit."

" Siapa juga yang mau sakit, Pak?" tukas Sena kesal.

Danar tergelak kecil. " Nggak ada yang mau sakit, kan? Tapi mereka biasanya justru membuat diri mereka menderita sendiri. Manusia itu lucu ya, kalau sakit minta sehat. Setelah sehat, mereka nggak menjaga kesehatannya. Maunya apa sih? Kadang di situ saya merasa sedih."

Sena mendengus geli mendengarnya. Danar berdiri dengan kebab yang tinggal sedikit di tangannya, sedang tangan yang lain ia selipkan di dalam saku jaket. Ia menatap Sena sejenak selagi mengunyah kebab. Benar-benar gestur yang sangat tidak menjaga wibawa.

" Minum, Pak. Biar nggak seret," ucap Sena mendorong gelas berisi air putih tadi ke arah Danar. Danar mengerlingnya sebentar, kemudian tersenyum kecil.

" Kamu perhatian. Pantas jadi istri saya," ucapnya sebelum meneguk air putih. Sena memutar bola mata, merasa sangat biasa dengan tingkah bosnya.

" Jangan sampai Dokter Jenny dengar bapak bilang gitu. Bisa di-tubektomi saya," desis Sena mengudang tawa Danar.

" Makasih buat kebabnya. Besok saya pesen dua, bisa?" tanya Danar ketika kebab di tangannya habis, hanya menyisakan kertas tipis yang kini menjadi gumpalan di tangannya.

" Jangan banyak-banyak makan daging kambing. Ingat tekanan darah," tukas Sena tetap menatap ke arah berkas-berkasnya. Danar terkekeh sebelum menepuk pelan puncak kepala Sena.

" Santai, cuma seminggu ini. Mumpung istimewa." Danar tertawa sebelum pergi keluar dari bilik Sena.

Sena menghembuskan nafas, merasa bahwa akhirnya dunia menjadi tenang kembali.

**

" Dev ada? Tadi dia sudah ke bangsal belum, ya?"

Sena menyembulkan kepalanya dari kubikel, mendapati seorang perempuan berjas putih sedang bertanya pada Kanya.

" Sudah Bu, kenapa?" Tanya Sena mengerutkan kening.

Dokter Jenny, dokter kandungan itu langsung menatap padanya.

" Ada pasien baru. Preeklamsia. Kamu tolong kasih edukasi, ya." Ia berkata lembut pada Sena yang mengangguk. Setelahnya, beliau keluar ruangan.

" Pasti tadi nyari Pak Danar juga. Ngapain jauh-jauh ke sini padahal di ruangannya ada interkom, coba?" gumam Kanya mengetukkan jemari ke dagunya. Sena hanya mengangkat bahu. Sudah menjadi rahasia umum di rumah sakit ini jika keduanya bertunangan.

" Tau nggak, Na. Gue punya perasaan kalau si Bos itu suka sama lo," celetuk Kanya ketika mereka berjalan beriringan menuju parkir mobil milik Kanya.

" Jangan ngomong ngawur," sahut Sena memutar bola mata. " Dokter Jenny mau ditaruh mana?"

" Ck! Tunangan nggak bisa jadi bukti apa-apa." Kanya menukas dengan cepat.

" Dia itu cuma usil, Nya. Udah, jangan aneh-aneh," tepis Sena.

" Tapi yang diusilin cuma lo."

" Karena kata dia, gue usil-able," dengus Sena membuka pintu mobil di sebelah Kanya yang sudah duduk di samping kemudi. " Paling sebel kalau udah ngerampok kebab gue."

Kanya terkekeh, " Coba, yang dirampok cuma lo doang, elah. Peka dikit napa sih, Na! Nggak cuma gue yang mikir gini, lho. Semua orang di Instalasi Gizi juga sepemikiran sama gue."

Sena menyipit pada Kanya yang sedang memundurkan mobilnya. " Kalian ngegosip di belakang gue?"

Kanya berdecak, " Lo aja yang nggak peka, ih. Tinggal tunggu waktu aja sebelum Pak Danar bilang suka sama lo."

Sena menoleh ke depan, " Nggak bakalan. Dia itu atasan gue. Mana ada acara naksir-naksiran."

" Radar lo rusak berarti," gerutu Kanya.

Sena memutar bola mata, " Yang ada, kalian itu yang kehabisan topik gosip sampai teman sama bos sendiri digosipin."

Kanya tertawa kecil, " Lo nggak ada niatan buka hati gitu? Kemarin sama si, siapa? Rudi si anak perawat yang nembak lo sehabis seminar di Bandung? Udah settle lho dia. Tinggal nunggu calon aja kalau kata gue. Kenapa lo tolak?"

Sungguh, ini percakapan yang sangat tidak dinikmati Sena. Gadis itu melemparkan pandangan ke luar jendela, berusaha menekan rasa sakit yang mulai merambati dadanya.

" Belum mau aja," jawab Sena singkat.

" Beneran ya, dari semua cewek yang gue kenal di rumah sakit ini, cuma lo yang gue denger belum pernah punya pacar. Sampai si Rehan gonta ganti pacar tiap bulan aja, lo tetep setia sama status jomblo. Umur udah dua lima lho, Na. Dan selama ini yang minat sama lo bukan sembarang cowok. Mereka udah matang, mapan."

Kanya melirik pada Sena yang masih setia memandang ke luar. Sebenarnya, apa yang dicari oleh Devasena si cuek tapi cantik ini? Si perempuan bertubuh mungil yang bahkan pernah memikat hati beberapa dokter di rumah sakit?

Dokter, lho. Laki-laki dengan kualitas yang tidak main-main. Dan masih saja, gadis di sebelahnya ini menolak mereka tanpa pertimbangan lebih dulu.

Sedangkan Sena hanya terdiam. Matang dan mapan, ya?

" Entah," celetuk Sena pelan mengundang lirikan Kanya. " Mungkin guenya aja yang takut."

Tentu saja, Kanya mengerutkan kening.

" Takut kenapa?"

" Kadang, laki-laki itu menakutkan." Sena berkata sembari menerawang ke luar jendela. " Menakutkan sampai-sampai lo merasa bisa mati saat itu juga."

**

Seminar diadakan di gedung Expo. Seminar yang berhubungan dengan penatalaksanaan gizi klinis, maka para pesertanya didominasi oleh para ahli gizi yang bekerja di rumah sakit meskipun beberapa mahasiswa juga tampak memenuhi ruangan. Bahkan, mereka aktif bertanya begitu memasuki sesi pertanyaan.

Sena membuka snack-nya pada pertengahan acara, merasa sudah sangat lapar padahal waktu masih menunjukkan pukul sepuluh. Di sampingnya, Kanya begitu sibuk menyimak perkataan sang pembicara, bahkan ia membuat beberapa catatan pertanyaan untuk ditanyakan nantinya.

Sena yang duduk di kursi paling ujung dalam deretan mengambil sebuah plastik klip yang berisi kacang telur, mengunyahnya sembari mendengarkan pembicara dengan sesekali mengecek materi di pangkuannya, hingga tanpa sadar seseorang telah menggeser sebuah kursi dan duduk di sebelahnya.

" Halo, Na. Akhirnya aku ketemu kamu di sini."

Bagai sebuah meteor yang terjatuh di bumi, dentumannya begitu memekakkan hingga pendengaran Sena menjadi tuli. Gadis itu menoleh, kemudian, apapun yang ada di genggamannya jatuh berhamburan.

**

" Sena! Devasena! Tunggu!"

Kanya menoleh ke belakang, kemudian kembali menoleh ke arah Sena yang entah mengapa langsung mengambil langkah seribu begitu seminar ditutup.

" Sena, ada yang nyari lo, tuh." Kanya mengedik ke belakang, tidak mengerti pada Sena yang terlihat begitu tegang.

Kanya kembali menatap ke belakang, ke arah seorang pemuda yang terlihat susah payah melewati kerumunan orang-orang agar sampai pada mereka. Tidak butuh waktu lama, laki-laki itu meraih tangan Sena yang terayun.

" Sena, Sena, please, please jangan pergi."

Sesuatu dalam suara pemuda itu membuat Kanya paham bahwa ini adalah urusan mereka berdua. Maka tanpa kata, Kanya meninggalkan keduanya. Namun belum sempat ia berbalik, sebuah debuman terdengar disusul siapan beberapa orang di sekitar mereka.

Kanya ternganga menatap laki-laki yang kini terpuruk di lantai sembari memegangi hidungnya, lalu pada Sena yang baru saja meninjunya.

" Don't you dare even for calling my name!" desis Sena dingin menatap pria itu dengan hujaman mematikan.

*TBC*

Hope you enjoy ^^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro