DEVASENA | 39. Mereka yang Dulu
" Dev, are you okay?"
Sena terperanjat. Saking terkejutnya, segelas teh panas yang ada di tangannya tumpah.
" Yah! Laporan saya!" Sena memekik panik ketika tumpahan teh mengenai kertas-kertas laporan yang ada di meja.
" Laporan apa?" Danar meraih satu lembar kertas, mengibaskannya sejenak sebelum menyipit untuk membacanya.
" Oh, gampang. Kamu buat salinannya lalu kamu kasih ke saya besok saja," tukas Danar mengembalikan kertas itu di atas meja.
Sena meliriknya tajam. " Bagus, karena ini juga salah bapak. Bapak kenapa tiba-tiba di sini?"
Dengan gerutuan masih keluar dari mulutnya, Sena merapikan mejanya yang basah dan lengket.
" Cuma mau bilang, baru saja Lio dinyatakan meninggal."
Tangan sibuk Sena berhenti. Sesaat, sesuatu yang berat menimpa dadanya. Kemudian, gadis itu berdehem.
" Hmm, dia sudah nggak menderita lagi sekarang," ucap Sena menahan gatal di hidungnya.
Mata Danar tidak lepas dari perempuan cantik bertubuh mungil yang sedang memunggunginya. Kedua tangannya ia simpan rapat di saku, terus mengingatkan diri bahwa wanita ini sudah ada yang memiliki.
" Mau ke ruangannya? Saya mau ke sana," ajak Danar lirih. Lalu ketika Sena berbalik dengan mata yang basah, pertahanan Danar binasa.
Sena menggeleng seraya mengusap matanya. Ia menatap Danar dengan senyum. " Jangan sama saya, Pak. Saya...kayaknya saya nggak kuat. Maaf."
Danar terdiam sejenak dengan tangan terkepal erat di dalam saku.
" Lunch?"
" Eh—ha?" Tentu saja, Sena bingung dengan perubahan pembicaraan yang tiba-tiba.
" Makan siang, sama saya," ucap Danar menatap Sena dengan tatapan tidak terbaca. " Kita belum pernah—ADUH!"
Karena Jenny tiba-tiba saja muncul dan menjewer telinga Danar kuat-kuat. Dengan senyum singkat yang mengerikan kepada Sena, wanita itu menyeret Danar pergi ke ruangannya sendiri sebelum menutup pintunya hingga berdebum keras.
Seluruh kepala muncul dari masing-masing kubikel, melongok ke pintu Danar yang ada di seberang koridor dengan ekspresi yang sama.
" Kenapa, Na?" tanya Kanya.
" Nggak ngerti." Sena mengurut telinganya sendiri. " Tapi kayaknya sakit itu."
Rina mendengus. " Cemburu sama lo, kali."
" Ya habisnya yang diajakin makan siang cuma Sena," kekeh Farida menimpali. " Apa Pak Danar nggak ngerti kalau pacarnya Sena itu hawt abis? Gue udah nge-follow IG-nya. Mati gue waktu lihat foto-fotonya di Jepang."
" Tinggi, eh? Yang dulu pernah ke sini cari Sena itu, kan?"
" Ho oh, pantesan nggak ada ujan badai Sena traktir kita mi ayam Pak Paijo itu, hahaha!"
Secepat angin, bahasan mereka jadi berubah haluan. Dua yang lainnya langsung mengerubuti Farida seperti semut mengerubuti gula. Sedangkan Sena memutar bola mata. Sejak kabar bahwa Sena sudah punya kekasih merebak di Instalasi Gizi termasuk pramusaji, hari-hari Sena penuh dengan sindiran dan godaan. Maka kini gadis itu tidak ambil pusing dan kembali ke kubikelnya, meraih tisu untuk mengilangkan sisa teh di mejanya.
" Cowok yang pinter komputer emang kelihatan seksi abis. Dulu mantan gue juga programmer," celetuk Kanya menyipit kala melihat foto-foto Sakti di Instagram. " Gue lebih suka dia. Wajahnya lebih kalem daripada Dirga."
Kenapa bawa-bawa Dirga segala? Sena menggertakkan gigi.
" Yeuh, ini siapa?" tukas Rina menghentikan jempol Farida ketika tiba-tiba saja sebuah postingan foto terbaru diunggah dari akun orang yang sedang mereka stalk.
Farida mengerutkan kening, heran dengan foto yang baru saja diunggah Sakti. Pasalnya yang ada di sana adalah wajah perempuan luar biasa cantik sedang ber-selfie dengan Sakti yang tampak di belakangnya, sedang menekuri sesuatu di meja panjang. Efek laki-laki itu tampak blur dengan pose candid, seperti bagian dari background yang tidak penting. Sedangkan wanita itu tersenyum ke arah kamera.
" 'After meeting, how about lunch together?' " bisik Farida membaca caption. Serentak, ketiganya menoleh ke arah kubikel Sena.
Mereka tidak pernah tahu jika Sena mendengarnya. Tanpa sadar, gadis itu meraih ponselnya sendiri.
Dia jarang membuka aplikasi Instagram. Malah, seingatnya dia tidak pernah menaruh perhatian pada siapapun dengan men-stalk akun mereka, kecuali Sakti. Itupun hanya untuk mengetahui Sakti lebih jauh dengan melihat-lihat foto laki-laki itu, juga meredakan rindu yang datang tiba-tiba. Sakti juga bukan tipe laki-laki yang sering memperbaharui statusnya di Instagram. Laki-laki itu hanya mem-follow beberapa akun yang terkait dengan masalah komputer, game, Aztec, juga beberapa teman kantornya dan Sena tentunya.
Memang benar apa kata Farida. Itu jelas-jelas akun Sakti. Foto Nathalie tersenyum tepat di depan kamera dengan wajah cantiknya dan Sakti tampak di belakang, sepertinya tidak sadar jika dirinya ikut terfoto.
Mengapa ponsel Sakti ada pada Nathalie?
After meeting, how about lunch together?
Sebuah denyut nyeri hadir di dada Sena, membuat wanita itu menelan ludah dan menutup kembali ponselnya. Dia masih punya banyak kerjaan dibandingkan mengurus sesuatu yang ambigu seperti itu. Banyak kemungkinan, bisa saja Nathalie sedang meminjam ponsel Sakti, kan?
Gadis itu menulikan suara ribut rekan-rekannya. Dia masih punya pekerjaan lain yang harus diselesaikan segera. Maka bergeser dari tumpahan tehnya, Sena mulai fokus pada pekerjaan.
Suara interkom menginterupsi fokus Sena, juga bisik-bisik yang tengah memanas dari ketiga teman kerja Sena yang lain.
" Ya, Departemen Gizi," jawab Kanya.
" Devasena Gayatri ada? Ada yang nyari, nih."
" Siapa?" sahut Sena langsung yang diteruskan oleh Kanya.
" Nathalie dari Aztec. Katanya lo kenal dia."
Sena terdiam sesaat, kemudian bangkit. " Gue ke sana."
" Sena ke sana," kata Kanya sebelum menutup sambungan dan menahan tangan Sena." Lo okay?"
" Hm? Memangnya kenapa?" tanya Sena balik. Kanya melirik pada Farida dan Rina yang sengaja tidak menatap Sena.
" Tentang yang tadi?" tebak Sena. " Itu temannya. Dan please, jangan mikir yang macam-macam cuma gara-gara barang sepele semacam foto kayak gitu. Oke? Daaa semua. Gue keluar dulu!"
Ketiganya menatap punggung Sena dalam diam.
" Percaya nggak, selama gue kenal dan jadi rekan kerjanya dia di sini, gue sama sekali nggak bisa paham sama itu anak," celetuk Farida. " Dia jarang ikutan ngegosip sama kita."
" Sena itu profesional buat masalah kerjaan. Cenderung galak juga. Jadi agak takut gue," kekeh Rina.
Kanya berdecak. " Itu bukan galak, Rin. Dia anaknya tegas. Lagipula biarin aja udah. Gue yakin Sena punya kehidupan sendiri dan kita nggak berhak nge-judge dia. Yang penting buat ukuran dietitian, dia expert banget. Makanya Pak Danar cenderung minta bantuan Sena kalau ada kasus-kasus berat."
Farida mendengus. " Kan itu juga karena Pak Danar ada rasa sama dia."
Kanya melirik tajam pada Farida. " Coba deh lo gantiin dia ngebantuin Pak Danar ngadepin pasien-pasien VVIP. Yang ada semaput ngadepin pasien yang rewelnya minta ampun! Pernah lho, dia nyuapin sendiri si pasien cuma buat ngukur asupannya sehari. Lo bisa setelaten itu?"
**
Nathalie masih mengenakan setelan kerja yang ia pakai ketika di foto tadi. Sebuah kemeja putih yang mengintip di bawah lapisan blazer berwarna abu-abu dengan aksen hitam di setiap tepi, juga celana panjang bernada sama dan heels hitam mengerucut yang menyempurnakan penampilan kaki jenjangnya.
Wanita itu berdiri anggun di meja lobi, sedang mengamati entah apa, membuat rambut panjangnya tersila di salah satu sisi sementara di sisi yang lain tergerai lembut.
Ketika Sena mendekatinya, Nath menoleh dan senyum ramah hadir di bibir berlipstik merah itu. Dengan kedua tangan memegang memegang clutch bag di depan tubuh, ia menghadapi Sena.
" Halo, Na," sapanya tersenyum.
" Halo Mbak Nath. Ada apa?"
Wanita itu masih tersenyum ramah. " Sebentar lagi aku ada agenda kunjungan klien di dekat sini, jadi aku pikir sekalian saja. We have an appointment. Lunch?"
Sena mengedip. " Bukannya Mbak Nathalie mau makan siang bareng teman kantor?"
Nathalie terdiam sesaat, kemudian ia memahami kata-kata Sena.
" Aku bercanda, Sena. Itu tadi aku pinjam ponselnya Sakti karena ada perlu," kekeh Nathalie. " Nggak nyangka aja kamu baca, padahal aku cuma iseng. So, how about having lunch together?"
Sena mengangguk singkat. Dia tidak bisa menolak ajakan makan yang tulus, kan?
"Hmm, Sakti sering jemput kamu di sini?" tanya Nathalie ketika mereka keluar dari gedung. Sena mengangguk lagi.
" God!" Nathalie tertawa kecil seraya mempersilahkan Sena masuk ke dalam mobil. " Dia pasti benar-benar menahan diri. Kalau kamu belum tahu, dia nggak tahan dekat-dekat rumah sakit."
Sena hanya terdiam. Saat ini, dia sedang menebak-nebak apa gerangan maksud dari wanita di sampingnya ini.
" Kalian biasanya makan dimana? I mean, kamu sama Sakti. Kita ke sana saja biar kamu familiar," ucapnya di balik kemudi beberapa saat kemudian.
" Terserah saja. Kami nggak pernah punya tujuan khusus," jawab Sena santai.
Nathalie tertawa pelan. " Begitu, ya? Tapi Sakti memang begitu, kan? Di pasti menawari kamu pingin dimana, atau ngajak kamu di tempat-tempat yang nggak biasa, atau makan di restoran yang ada makanan favorit kamu. Pantas saja perempuan gampang nyaman sama Sakti. Tapi kamu tahu nggak makanan favorit dia?"
Sena mengerjap. Iya. Apa makanan favorit Sakti? Selama ini, laki-laki itu terlihat selalu antusias dimanapun mereka menghabiskan waktu untuk makan bersama.
Nathalie melirik Sena yang tiba-tiba tenggelam dalam pikirannya, kemudian menarik sedikit ujung bibirnya.
" Jadi, sudah seberapa jauh hubungan kalian?" tanyanya lagi hingga Sena menoleh. Wanita itu tersenyum samar. " I mean, hugging? Kissing? Or so far...having sex?"
Sena menatap ke depan. " Itu...cukup kita berdua saja yang tahu."
" Oh, sure!" ucap Nathalie mengangguk. " Maksudku, kalian tinggal bersampingan begitu. Itu lebih dekat daripada dulu waktu kita sama-sama tinggal di GG karena kita beda lantai. Serasa nggak punya privasi, karena dia suka banget keluar masuk apartemenku tanpa aku tahu. Just wondering, apa Sakti yang sekarang masih sama seperti yang dulu."
Sena kembali terdiam. Sekarang ia sedikit menyesali keputusan untuk mengiyakan ajakan Nath. Rasanya dia ingin keluar dari ruangan sempit ini.
" He was a crybaby when he with me," celetuknya beberapa saat kemudian. " Dan ketika aku lihat kalian bersama, he was so gentle, Na. Kadang aku ngerasa, apa itu Sakti yang sesungguhnya? Apakah dia berusaha keras untuk menjadi orang lain agar bisa melupakan hubungan kami? Karena dulu dia nggak seperti itu. Selalu bertanya kapan aku pulang kantor? Kapan aku pulang dari luar negeri? Sometimes, it's bothering me. Dia semanja itu."
" Itu bukan manja, Mbak Nathalie. Itu artinya dia kangen," jawab Sena kalem.
Nathalie melirik sekilas ke arah Sena.
" Dia memang semanja itu, Na," tukas Nathalie. " Seolah dia nggak bisa jauh dariku barang sedikit saja. Kamu tahu masa lalunya, kan? Dia sudah kehilangan ayah ibunya sejak masih kecil, di sebuah tragedi yang mengerikan. Mungkin itu sebabnya dia semanja itu sama aku."
Nathalie melirik kala Sena hanya terdiam. " Oh, sorry. Apa dia belum ajak kamu ke makam?"
" Sudah." Sena menjawab dengan tenang.
" Oh, harusnya memang sudah," komentar Nathalie ringan.
" Sena, aku boleh meminta sesuatu sama kamu?" tanya Nathalie masuk ke salah satu pelataran sebuah kafe. Namun wanita itu tidak segera turun. Ia justru menatap Sena dengan senyum lemah.
" Aku boleh meminta Sakti kembali?"
" Kenapa harus sesedih itu? Bukannya Mbak Nath udah punya pilihan lain?" tanya Sena datar.
Nathalie mendengus geli. " Udah aku duga dia pasti cerita alasan kita berpisah. Apa alasannya? Aku selingkuh, ya? Kamu tahu alasan yang sebenarnya?"
Sena terdiam.
" Karena dia nggak pernah mau berjuang untukku. Dia nggak pernah bisa benar-benar membahagiakanku."
Jawaban macam apa itu?
" Itu bukan alasan untuk selingkuh," tepis Sena tidak mampu menahan nada dingin miliknya.
" Apa salah jika aku meminta dukungan orang lain ketika Sakti sendiri tidak bisa mendukungku? Dia bilang padamu seolah aku selingkuh, padahal dia sendiri yang banyak kekurangan. Dia semalas itu untuk mau membahagiakanku, untuk mau mengimbangi langkahku."
" Apa yang Mbak harapkan dari Mas Sakti? Dia juga manusia, tentu saja dia punya kekurangan. Selama ini, aku baik-baik saja sama Mas Sakti. Dia nggak pernah terlihat malas atau semacamnya untuk hubungan kami. Justru, dia yang berjuang lebih keras agar kami bisa tetap bersama."
" Kamu nggak akan ngerti, Na. Ada titik dimana aku sangat membenci dia. Dia nggak pernah berusaha menjadi lebih baik. Apalagi kalau sudah memegang game atau apalah, seakan aku cuma barang pajangan di dekatnya." Ada getar dalam suara Nathalie.
" Begitukah?" tepis Sena dingin. Cengkraman di sisi kursinya mengerat. " Kalau begitu, itu artinya kamu yang harus menyamakan langkah dengannya. Karena, Mbak, apa kamu akan mengekang orang yang kamu sayang untuk melakukan sesuatu yang dia suka? Hobinya bukan kriminal kan? Menurutku, Mas Sakti bukan orang yang seperti itu karena dia bisa membagi waktu bagi kami, pekerjaan dan hobinya. Itu cukup untukku. Sekarang, aku jadi tahu kalau penilaian kita untuk Mas Sakti memang berbeda."
Nathalie menatap Sena sejenak, kemudian senyum sesal terulas di salah satu sudut bibirnya.
"Pantas saja dia pergi ke kamu, Na. Kamu pasti bisa membuat Sakti nyaman tapi, aku rasa aku perlu memberitahumu ini," ucap Nathalie pahit.
Sena menunggu kala Nathalie menghirup nafas dalam.
" Kami pernah melalui waktu tiga tahun bersama. Itu bukan waktu yang singkat. Ada banyak hal yang terjadi dalam tiga tahun itu. Dia pernah mengajakku menikah," Nathalie menjeda, hanya untuk memberi kesempatan bagi Sena merasa nyeri di dada. " Kalau Sakti bilang sama kamu dia benar-benar melupakanku, itu artinya dia bohong. Aku berani bilang kalau aku masih menguasai pikirannya, sama seperti dia menguasai pikiranku. Sakti hanya meminta pertolongan kamu agar dirinya tidak hancur, Na. Sekarang aku tahu apa yang aku lakukan itu salah, dan aku siap memperbaiki semuanya dengan Sakti. Jadi Na, sebelum kamu terluka lebih jauh, tolong akhiri sampai di sini. Kamu hanya tempat istirahat sejenak bagi Sakti, sedangkan tempat kembalinya adalah aku. Selalu aku."
Mendengarnya, Sena bungkam. Dia masih ingat ekspresi Sakti ketika memanggil Nath dalam tidurnya. Terlihat begitu mengiba seolah ia sedang sangat menderita.
Masa lalu nggak pernah melepaskan lo atau Dirga dengan mudah, Na. Suatu saat, lo akan tahu kalau kembali bersama adalah hal terbaik setelah melewati luka.
Suara Raras terngiang kembali tanpa bisa ia tahan. Ternyata, itu bukan tentang Sena dan Dirga. Tapi tentang Nathalie dan Sakti.
**
" Kamu kepikiran apa?"
Suara Sakti menarik fokus Sena yang sedari tadi berkelana. Ia mendongak, hanya untuk menemukan wajah berkacamata bundar itu sedang menunduk ke arahnya yang tertidur berbantalkan pangkuan Sakti sementara laki-laki itu berada di tengah-tengah battle.
Ketika ada Sena, Sakti tidak pernah memakai headphone-nya. Alih-alih demikian, laki-laki itu menyalakan speaker sehingga Sena bisa mendengar percakapan teman-teman Sakti maupun backsound game yang terkadang bisa sangat berisik. Tapi Sena tidak keberatan, justru terkadang dia geli sendiri akan percakapan teman-teman Sakti.
Sakti menunggu, membiarkan sebuah peperangan terjadi di layarnya tanpa dirinya ikut andil.
" Masih battle itu. Nanti diprotes sama yang lain," ucap Sena memutuskan untuk menutup modulnya.
Sakti melirik ke layar sekilas sebelum kembali menatap Sena. " Timku nggak akan kalah cuma karena aku ketemu pacarku."
Mendengarnya, Sena mendengus. " Aneh-aneh aja."
Sakti nyengir dan menjapit hidung Sena dengan jarinya, membuat gadis itu mengaduh. " Jadi, kamu kepikiran apa? Dari tadi kamu baca halaman itu terus."
Sena menatap manik coklat tua itu sejenak, teringat kata-kata Nathalie. Barang pajangan? Sementara kini dengan dirinya yang sibuk, dia masih sempat menyadari bahwa Sena berhenti di satu halaman cukup lama.
Sena juga punya sesuatu yang sangat ia suka, yaitu memasak. Gadis itu akan lupa segalanya jika sudah bersemangat untuk mencoba menu baru. Maka dia paham bagaimana rasanya ketika Sakti sudah berkutat dengan hobinya. Yang perlu Sena lakukan hanyalah menyelaraskan sikap sehingga keduanya bisa menikmati waktu bersama seperti sekarang, ketika Sena menemani laki-laki itu bermain game dengan dirinya membaca di pangkuan Sakti. Itu cukup baginya, cukup bagi Sakti. Karena Sakti sudah membuktikan bahwa dia tetap memperhatikan Sena meskipun seluruh konsentrasinya ada pada layar.
Bagian mana yang pantas dicela Nathalie?
" Dulu, kenapa Mas Sakti keluar dari apartemen dan pindah ke sini?"
Sakti mengangkat alis, " Apa seaneh itu? Karena kamu bukan satu-satunya orang yang bertanya, Na."
" Ng...cuma tanya aja. Maksudnya, aku tahu Mbak Nath juga tinggal di sana. Apa mungkin waktu itu kamu memilih menjauh untuk melupakan dia?"
Sakti menatapnya beberapa saat, kemudian menyusupkan jemarinya di rambut Sena.
" Apa yang aku punya saat ini bukan sesuatu yang instan, Na. Dulu, keluargaku adalah keluarga yang sederhana. Waktu aku tinggal sama Om Gibran, kita juga tinggal di kontrakan yang justru lebih kecil dibanding ini. Hidupku dimulai dari situ," jelas Sakti sabar. " Waktu berlalu, dan tanpa sadar hidupku jadi berubah. Jadi hedon, menghamburkan uang untuk sesuatu yang nggak perlu. GG jauh dari Aztec. Juga, dia ada di kawasan elit. Beli apa-apa mahal."
" Terus kenapa nggak dari dulu aja keluar dari GG?"
" Karena dulu ada Nathalie di situ. Waktu kami sudah terpangkas habis dengan dia yang sering pergi. Aku tetap di sana karena itu salah satu usahaku agar punya lebih banyak quality time dengan Nath."
Jawaban yang dibenci Sena, tapi tidak bisa dibantahnya. Maka gadis itu hanya bisa mengerucutkan bibir.
" Sena, itu bukan berarti aku pindah karena Nath."
" Iya aku paham."
" Terus kenapa bibirnya masih gitu? Minta dicium?"
Seketika, Sena langsung menarik bibirnya ke dalam, membuat Sakti terkekeh pelan sebelum mencium dahinya.
"Aku pernah menganggap Nathalie duniaku. Tapi itu sudah jadi masa lalu. Kamu masa sekarangku, dan kalau kamu mau, aku siap menjadikan kamu masa depanku."
Kami pernah melalui waktu tiga tahun bersama. Itu bukan waktu yang singkat. Ada banyak hal yang terjadi dalam tiga tahun itu. Dia pernah mengajakku menikah.
Sena jadi penasaran bagaimana cara Sakti melamar Nath dulu. Gadis itu memejamkan mata, mengusir bayang ketakutan yang menaunginya.
" Kenapa tadi Mbak Nath bisa pegang ponselnya Mas Sakti?"
Sakti yang hendak berkonsentrasi kembali menunduk ke arah Sena.
" Kamu sempat lihat," ucapnya mengambil kesimpulan.
Sena mengangguk dan membuka ponselnya.
"Sudah aku hapus, Na." Sakti berkata singkat. Membuat Sena menghentikan aktivitas jemarinya dan menatap Sakti dalam diam.
" Nath bilang cuma mau pinjam karena ada perlu dengan klien yang kebetulan kontaknya ada di ponselku."
Mengedip dua kali, Sena kembali meletakkan ponselnya. "Oh..."
" Apa dia ngomong yang aneh-aneh sama kamu? Kenapa tiba-tiba dia ngajak kamu makan siang?" tanyanya. Iya, Sena memang menceritakan bahwa Nathalie mengajaknya makan siang.
Sena terdiam sejenak, kemudian mengangkat bahu. " Dia cuma pingin aku balikin kamu ke dia."
Rahang Sakti menegang. Namun laki-laki itu tidak mengatakan apapun sementara kedua manik matanya masih memerangkap Sena.
"Oh, dan kamu sadar nggak, Mas? Kemeja putih kamu dipinjam Mbak Nath."
Sena menusuk-nusukkan ujung jari telunjuknya di pipi Sakti ketika laki-laki itu hanya menunduk dan menatapnya dengan pandangan tajam di balik kacamatanya.
" Mungkin pas itu kamu nggak sadar soalnya kata Mas Bayu kamu langsung tepar. Tadi juga udah dibalikin tapi nanti aku cuci balik. Aku nggak suka baunya."
Sakti menghela nafas dalam dan Sena bisa merasakan sapuan jemari Sakti di dahinya menjadi sedikit kaku. Namun tatapan laki-laki itu melembut dengan seulas senyum geli di bibirnya.
" Kayaknya begitu. Buang saja kalau kamu nggak suka." Sakti berkata dengan ringan, membuat Sena manggut-manggut ketika tawaran itu terdengar sangat menggoda. Karena ketika Sena membayangkan Sakti memakai kemeja itu, akan terlihat seperti...Sakti yang dipeluk Nathalie dan Sena tidak menyukainya.
Mungkin dia harus memakai kemeja itu seharian. Atau kalau perlu, sekalian saja dia pakai tidur semalaman, berguling-guling sesuka hati agar setiap bekas kulit Nathalie di kain itu sepenuhnya hilang dan tertutupi olehnya.
Dan Sena sadar jika dirinya sudah jadi gila.
" Dulu waktu kamu ajak nikah, dia mau?"
Sakti menatap Sena sejenak. " Dia juga cerita itu?"
Sena mengangguk.
" Dia nolak. Aku memakluminya karena aku pikir aku agak terburu-buru, tapi belakangan aku tahu kalau waktu itu dia sudah bersama Tirta."
Tidak. Sakti tidak mengatakannya dengan nada sedih atau menyesal. Dia mengatakannya sambil lalu, seolah itu bukanlah sesuatu yang penting. Dan karenanya, Sena tersenyum samar.
Ia mengulurkan tangan dan menyentuh pipi Sakti. " Dia bilang dia masih suka kamu. Aku bener, kan?"
Sakti menunduk. Laki-laki itu meraih tangan Sena yang meraba pipinya. " But I am here, with you, Na."
" Aku tahu," Sena mengembangkan senyum. " Cuma itu yang mau aku dengar."
Sakti memejamkan matanya sejenak.
" Duduk, Na," ucapnya berat hingga membuat Sena mengerutkan kening. Namun gadis itu mematuhinya. Sakti beranjak dan menutup pintu sebelum kembali menghadapi Sena.
" Apa yang ada di pikiran kamu?" tanya Sakti mencari-cari di manik mata Sena.
Sena menelan ludah, kemudian menggeleng.
Laki-laki itu menghembuskan nafas berat dan mengacak rambutnya. Setelahnya, ia duduk bersila dan menarik Sena untuk duduk di pangkuannya.
" Jangan berpikiran macam-macam, Na," pintanya memeluk erat Sena, menenggelamkan tubuh mungil itu dalam rengkuhan tangannya.
Sena memejamkan mata, berusaha mengatasi matanya yang memanas dengan cepat. Nyatanya, beribu pikiran melintas di otaknya.
Laki-laki itu melepaskan Sena. Satu tangannya menahan punggung Sena, yang lain berlari ke dagu Sena, membelai bibirnya dengan ibu jari.
" Mas, kacamatanya." Sena berkata ketika Sakti memangkas jarak.
Sakti berdecak. Dengan tergesa, ia melepaskan kacamatanya dan membuangnya sembarangan. Setelahnya, ia melanjutkan kegiatan yang sempat terganggu.
Sena tidak berbohong ketika dia bilang pikirannya kacau dan batinnya kusut. Dia tidak berbohong bahwa saat ini keraguan mulai mengancam keyakinan yang dulu pernah tercipta karena Sakti. Tapi dengan bodohnya, ia tetap rindu rasa ketika Sakti mencium Sena seperti ini.
" I love you, Na," bisiknya sebelum menciumnya lagi dengan kekuatan yang lebih besar. Sejak kapan Sena menangis? Yang ia tahu, matanya terasa basah dengan satu jemari Sakti mengusap lembut pipinya.
Dia hanya tidak mau kehilangan Sakti. Dia tidak mau kehilangan Sakti sekarang ataupun nanti. Tapi keegoisan itu menciptakan sebuah ketakutan. Masa depan memang setidakjelas itu, dan masa lalu memang sekuat itu. Pikirannya sesak oleh kenyataan bahwa saat ini dia sedang putus asa karena tidak mampu membaca pikiran Sakti. Karena Sena tahu apa yang ada di ujung lidah terkadang tidak sama dengan hati.
Sena menangis, memohon pada Sakti agar laki-laki itu tidak perlu pergi. Karena dengan cerobohnya, dia bersiap merelakan diri menyelam lebih jauh ke tempat yang tidak akan bisa tertolong lagi jika sewaktu-waktu, Sakti meninggalkannya.
*TBC*
Selamat malam semua, semoga berbahagia ❤❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro