Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

DEVASENA | 38. Sebuah Keharusan

" Sini. Kamu duduk sini."

Setelah menerima semangkuk bubur ayam dari Sena, Sakti bergeser pelan untuk memberi ruangan bagi Sena duduk di sampingnya. Demamnya masih tinggi meskipun ia sudah terjaga dengan wajah yang tampak sayu dan berkeringat. Terbalut jaket dan selimut tebal, laki-laki itu duduk dengan bersandar di tembok.

" Sena, sini..." ucapnya tidak sabar karena Sena yang terdiam. Laki-laki itu meraih pelan tangan Sena dan memaksa Sena naik ke atas kasur. Sena menurutinya.

Sebuah senyum terpampang di wajah Sakti. Ia membagi selimutnya dengan Sena meskipun masih mempertahankan jarak. Ia meraih remote televisi dan memberikannya pada Sena agar gadis itu bisa leluasa mengganti saluran televisi yang memang diletakkan Sakti di kamarnya.

" Tadi Bayu langsung pulang?" tanya Sakti menyuap buburnya dengan susah payah.

Tentu saja, Sena mengerutkan kening.

" Mas Bayu? Yang antar Mas Sakti itu Mbak Nathalie. Nggak ingat?"

Tangan Sakti berhenti di udara kala dirinya menatap Sena. Sakti menyisihkan buburnya sebelum meraih tangan Sena. " Tadi yang antar Bayu, lalu Nath sekalian minta diantar pulang. Kamu ketemu Nathalie saja?"

Sena mengangguk.

" Iya. Dia cerita tadi siang kamu jemput dia di bandara pakai motor karena mobilnya dipakai. Terus, pulang kehujanan tapi kamu disuruh pulang nggak mau. Akhirnya demam." Sena mengangkat bahu.

Didengarnya Sakti menghembuskan nafas berat. Laki-laki itu membelai kepala Sena beberapa saat sebelum meraih ponselnya dan menelfon seseorang.

" Bay, kenapa gue nggak inget kapan lo pulang?" ucap Sakti tanpa melepaskan pandangan dari Sena.

" Lo tepar langsung, setan! Susah di gue kan ngegantiin baju lo yang basah itu. Serasa apa grepe-grepe badan cowok, ck! Gue balik duluan soalnya masih ada kerjaan yang belum kelar, mobil gue tinggal karena Nath bilangnya ada perlu sama data yang ada di laptop lo. Sekalian dia di sana, gitu. Kenapa? Nath aneh-aneh? Iya? Dia bikin ulah lagi apa gimana?"

Sena menggeleng. Gadis itu bisa mendengar seluruh percakapan karena Sakti mengaktifkan mode loudspeaker-nya.

" Nggak papa. Tanya aja," kata Sakti masih mengunci pandangan Sena.

" Lo beneran ada di ambang batas kehidupankah, wahai Suketi?" Bayu terkekeh. " Sana istirahat lagi. Gue mau ngelobi sama yang lain. Jangan lupa platinum project deadline dua hari lagi, Pak Supervisor."

" Hmm. Makasih."

Dan dengan begitu, Sakti mematikan ponselnya. Lagi-lagi, Sakti menghirup nafas dalam dan menatap Sena sebelum mengulurkan tangan guna menyila rambut Sena ke belakang telinga.

" Nathalie ngomong apa saja sama kamu?"

Sena menatap Sakti beberapa saat, kemudian menggeleng.

" Dia langsung pulang waktu aku ke sini," ucapnya ringan meraih mangkuk bubur yang sempat terlupakan. " Dimakan, Mas."

Namun Sakti bergeming kala menatapnya dengan lekat. Membuat Sena berdecak dan mencubit pelan pipinya hingga laki-laki itu mengaduh.

" Ini jam berapa, Na?" tanyanya sebelum mengambil suapan.

" Hm? Kalau nggak salah jam tujuh malam," ucap Sena. " Pahit?"

Sakti menatapnya sejenak, kemudian mengangguk.

" Aku makan apapun rasanya tetep pahit, Na," kata Sakti lembut. " Makasih, ya. Besok kalau udah sehat, aku mau lagi."

Sena mengerutkan kening. " Kenapa? Ngapain sehat makan bubur segala?"

Sakti terkekeh pelan. "Aku pingin tahu gimana rasa asli bubur yang dibuatkan kamu waktu aku sakit."

Sena terdiam. Ia mengawasi Sakti yang menghabiskan buburnya dengan cepat meskipun katanya terasa pahit. Laki-laki itu sama sekali tidak protes, juga ketika Sena menyodorkan air putih dan obat penurun panas. Kalau sakit, Sakti jadi patuh sekali seperti anak kecil.

" Nanti saja..." bisiknya pelan ketika Sena hendak turun untuk membawa mangkuk keluar. Laki-laki itu menahan tangan Sena. Kemudian, ia berbaring di pangkuan Sena dan meringkuk berbalutkan selimut hingga hanya menyisakan wajahnya saja.

" Di sini dulu, Na. Aku masih rindu."

Sakti meraih tangan Sena dan menempelkannya di pipi, membuat Sena bisa merasakan sengatan panas dari tubuh Sakti. Laki-laki itu menekuk kakinya seperti bayi yang bergelung di dalam perut, tampak menggigil pelan. Melihatnya, Sena mengusap kening Sakti, memberi rasa hangat di sana hingga laki-laki itu menghela nafas.

" So, how's your day?"

Sena terdiam sejenak, antara ingin bercerita tentang Galuh atau tidak.

" Temanku kena musibah," jawab Sena berdehem. " Suaminya selingkuh. Padahal mereka baru saja menikah beberapa bulan lalu dan sekarang temanku itu baru hamil."

Mendengarnya, usapan jemari Sakti di punggung tangan Sena terhenti.

" Lalu?" tanyanya masih dengan mata terpancang ke televisi.

Tatapan Sena mengarah ke televisi yang sedang menampilkan berita, namun pikirannya berkelana.

" Aku tanya alasannya apa. Ternyata si cowok –Galang namanya- nggak bisa melupakan masa lalunya. Dia dan mantannya berpisah karena terpaksa dan dari apa yang dia bilang, dia menjadikan Galuh pelariannya. Lalu waktu dia tahu mantannya kembali, dia nggak bisa menahan diri sampai mantannya itu hamil juga. Sekarang, dia memutuskan pisah dari Galuh karena dia lebih cinta dengan si mantan daripada dengan istrinya sendiri, yang baru mengandung dan sudah ia beri janjinya di depan Tuhan."

" Hm..." gumam Sakti. " Menurutmu itu gimana?"

Sena menggeleng pelan, " Aku cuma tahu kalau aku nggak suka cowok semacam dia."

" Setiap tindakan punya konsekuensi. Kita tahu itu."

" Tapi nggak menjamin juga kalau kita akan menerima konsekuensi itu, kan? Kayak si Galang, akhirnya apa? Dia pergi, lari dari tanggungjawabnya. Aku bener-bener nggak habis pikir."

" Hmm, dia memang cowok yang nggak bertanggungjawab," celetuk Sakti setuju dengan Sena.

" Iya kan? Seharusnya kalau dia masih cinta banget sama mantannya, nggak usah cari pelarian segala. Memangnya kenapa kalau luka itu dibiarkan saja tanpa harus mengorbankan perasaan orang lain? Dia bohong sama dirinya sendiri, dia bohong sama Galuh, dia bohong sama semua orang. Lalu sekarang waktu mantannya datang, dengan mudahnya dia berpaling!"

Sena tidak tahu sejak kapan nada bicaranya jadi tinggi. Dia hanya ingin menumpahkan emosinya saja.

" Masa lalu memang kadang sekuat itu, Na," ucap Sakti mengusap punggung tangan Sena, " Itu sebabnya, kamu nggak boleh menyimpan perasaan apapun sama masa lalu kamu. Termasuk rasa benci."

Sena menatap Sakti yang tengah menonton televisi sembari mengusap punggung tangan Sena di pipinya.

" Mas Sakti?"

" Hm?"

Sena menelan ludah, " Did you...ever had sex with Nath?"

Usapan Sakti berhenti.

" Menurutmu?"

Sena terhenyak ketika sengatan panas tertoreh di dada.

Mereka pernah bersama selama tiga tahun, dan pergaulan seperti itu bukan lagi hal luar biasa pada masa sekarang meskipun bagi Sena, dia sama sekali tidak setuju.

Sena berusaha meredam jantungnya yang bergolak. Dulu, Na. Dulu, Sakti pernah secinta itu pada Nath. Dulu, Na, bagi Sakti tidak ada perempuan lain selain Nath. Dulu, Na, Nathalie adalah hidup Sakti. Seperti apa yang pernah Sakti katakan padanya tentang pendamping hidup, bagi Sakti, Nathalie adalah ratu. Dulu.

Sena berkedip ketika getaran itu mencapai inti dadanya, menciptakan gemuruh di sana. Berarti, besok dia perlu memeriksa--

" Na?"

Panggilan Sakti menyadarkan Sena bahwa tanpa sengaja gadis itu menjauhkan tangannya dari pipi Sakti. Sakti menatapnya, dengan pandangan yang tidak terbaca.

" I love you, Na," bisiknya parau.

Bukan cinta yang menjadi tuntutan, Na. Tapi bagaimana cara kita mempertahankan hubungan ini bersama.

" I love you too, Sakti Samudra."

Sena berusaha mengenyahkan berbagai pikiran jahat yang mengintari otaknya. Ia membungkuk dan menempelkan bibirnya di dahi laki-laki itu beberapa lama sebelum mengelus pipi Sakti dengan sayang.

" Good girl." Celetukan Sakti membuat Sena menjauhkan bibirnya dan menatap Sakti yang kini tengah tersenyum lemah. Laki-laki itu mengusapkan jemarinya di pipi Sena." I never had sex with Nath or anybody else. Aku cuma ingin tahu bagaimana penerimaanmu tentang masa laluku, Na. Dan kamu bisa menerimanya dengan baik."

Sena mengerjap kala berusaha memahami kata-kata Sakti. Lalu begitu saja, matanya memanas oleh kelegaan yang tiba-tiba saja membanjiri. Sepertinya Sakti tahu, karena dari pangkuan Sena, laki-laki itu mengusap ujung mata Sena.

" Seseorang selalu punya masa lalu, Na," kata Sakti lagi. " Seperti kamu dengan Dirga dan aku dengan Nath. Tapi yang terpenting adalah bagaimana kita melepaskan masa lalu agar masa depan nggak terganggu. Dan sekarang, aku di sini sama kamu. Apa itu belum cukup?"

Ketika Sena mengangguk dengan cepat, beberapa tetes air mata terlepas dari dagunya dan menetes di dahi Sakti. Membuat Sena sadar jika dirinya menangis entah sejak kapan. Laki-laki itu tersenyum samar meskipun raut wajahnya terlihat letih.

Membuat Sena bertanya-tanya sebenarnya siapa yang sedang sakit di sini.

Tapi tolong...

Bahkan saat ini saja, wajah terluka Galuh menari di depan matanya. Dia bisa melihat binar redup dari sepasang mata itu. Seolah seluruh masa depannya terenggut secara tiba-tiba, dengan cara yang mengerikan. Karena saat ini, ibu muda itu sedang kehilangan arah.

Dan Sena tahu seperti apa sakitnya. Karena sebuah pengkhianatan tidak hanya menghancurkan mereka yang dikhianati. Tapi melenyapkan masa depan dimana mereka berdua ada di dalamnya. Sebuah asa, yang menjadi bahagia bagi yang satu, namun tidak penting bagi yang lain. Maka, benarlah jika waktu terasa berhenti bagi mereka yang terkhianati, karena jalan ke depan sudah tidak ada lagi. Mereka perlu berdiam diri barang sebentar, membuat jalan setapak baru dengan seluruh jiwa yang baru saja cidera.

Semengerikan itu.

Gadis itu berusaha menguasai diri kala raut cemas Sakti terbaca olehnya. Tapi Tuhan, dia tahu bahwa masa lalu terkadang memang sekuat itu. Bagaimana masa lalu itu kembali melenakan Galang, seorang suami yang mempunyai tanggungjawab bukan hanya kepada istri tapi pada anak dan keluarga besarnya.

Sementara tadi, Sakti mengigau dengan begitu memohon hingga jantung Sena sempat terhenti.

Dan dengan begitu, kini dia tidak bisa menepis pemikiran bahwa dulu, di suatu saat di masa lalu, Sakti pernah berbaring seperti ini, bermanja seperti ini di pangkuan Nath. Mengatakan hal-hal yang sama lembutnya seperti apa yang ia katakan pada Sena sekarang. Karena dulu, Nathalie sama berharganya seperti Sena saat ini. Atau mungkin, lebih.

Dan mungkin di masa depan, bisa jadi Sakti melakukan hal yang sama di pangkuan perempuan yang berbeda.

Berhenti, Na.

Sena berdecak pelan sekali, merutuki pikirannya yang mulai melantur kemana-mana.

Dia percaya Sakti. Dia hanya harus percaya, karena saling percaya adalah dasar dari sebuah hubungan.

**

" Makan, Luh."

Lagi-lagi, Galuh menggeleng. Dan lagi-lagi, Sena menarik piringnya. Gadis itu memandangi Galuh, berusaha untuk tidak mengeluarkan air mata kala melihat Galuh saat ini.

Sedari tadi, perempuan itu hanya terdiam. Bahkan ketika infusnya tercerabut ketika dia hendak ke kamar mandi, Galuh tetap saja terdiam. Dia memakai baju pasien, wajahnya pucat dan rambutnya riap-riapan sebelum Sena membantu merapikannya dalam sebuah pilihan panjang.

Beginikah dia dulu? Bernafas tapi kehilangan tekad untuk hidup. Menatap tapi kehilangan binar hingga yang tersisa hanya sorot kelabu. Terbungkam karena bicara saja sudah sangat menyakitkan.

Orangtua Galang dan Galuh belum tahu, itu yang dikatakan Galuh dengan nada datar seperti sebuah robot. Dan Sena tidak menyalahkannya. Hal seperti ini, butuh kekuatan agar bisa terus maju. Maka yang bisa Sena lakukan hanyalah menggosok tangan Galuh yang pucat dan dingin.

" Harusnya dulu gue dengerin omongan lo, Na." tiba-tiba Galuh membuka suara dengan parau. Matanya yang berfokus pada Sena mengabur, dan Sena bisa melihat sebuah keputusasaan di sana.

"Karena, meskipun gue udah minta Galang ngehapus semua fotonya, gue tahu ada beberapa foto yang masih disimpan." Galuh mengusap hidungnya sebelum menelan ludah, " Di IG, di laptop, di ponsel. Tapi gue memilih percaya, karena gue berpendapat dia butuh waktu. Nggak masalah, karena dia selalu bilang itu semua sudah masa lalu. Makanya, pertanyaan lo waktu itu agak menakutkan buat gue."

Sena hanya bisa terdiam.

" Buta banget sih gue," kekeh Galuh yang terdengar sangat merana.

" Luh, sekarang lo tenang dulu aja. Kasihan dedek bayinya." Sena berusaha menenangkan kala Galuh mulai menangis lagi. Namun ibu muda itu menggeleng.

" Gue harus segera nyelesaiin ini kalau gue mau tenang, Na. Gue udah putuskan, gue lepasin dia." Galuh berkata dengan sesenggukan, namun suaranya tegas kala dia menatap Sena. " Toh Galang juga minta pisah sama gue. Nggak ada gunanya memohon-mohon sama orang kayak gitu, yang ada gue malah sakit sendiri."

Galuh menggenggam tangan Sena kala air mata tidak kunjung berhenti.

" Bilang sama gue kalau keputusan gue ngelepasin dia udah bener, Na," pinta Galuh pelan. " Bilang, karena gue masih bisa merasakan cinta gue buat dia."

Berdiri dan meraih Galuh dalam pelukannya, Sena mengangguk dengan tangisan tanpa suara.

" Lepasin saja, Luh. Orang yang nggak punya pendirian begitu nggak akan bisa jadi kepala keluarga yang baik. Orang yang masih menoleh-noleh ke belakang gitu nggak akan bisa bikin hidup lo bahagia," bisik Sena pelan seraya membelai sisi kepala Galuh yang sesenggukan di dekapannya. " Lo nggak kehilangan sesuatu yang berharga. Lo nggak rugi apa-apa."

*TBC*

Life's a game made for everyone
And love is a prize

Wake me up-avicii
(RIP) ❤

Huehehe😄


Selamat siang semuanya, semoga berbahagia ❤❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro